Anda di halaman 1dari 132

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KINERJA PENGAWAS MENELAN


OBAT (PMO) DAN PENGETAHUAN PASIEN DENGAN
KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENDO KABUPATEN
MAGETAN

Oleh:
Ninis
Wulandari
NIM : 201403075

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KINERJA PENGAWAS MENELAN


OBAT (PMO) DAN PENGETAHUAN PASIEN DENGAN
KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENDO KABUPATEN
MAGETAN

Diajukan untuk memenuhi


Salah satu persyaratan dalam mencapai
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Oleh:
Ninis
Wulandari
NIM : 201403075

PEMINATAN EPIDEIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018

ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ninis Wulandari

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Trenggalek, 20 Juli

1996 Agama : Islam

Alamat : Kuwonharjo RT 24 RW 5 Kec. Takeran Kab. Magetan

Email : niniswulandari96@gmail.com

Riwayat Pendidikan : 1. SDN Kuwonharjo 1 Takeran Magetan (2002 – 2008)

2. MTsN Takeran Magetan (2008 – 2011)

3. SMAN 1 Kawedanan Magetan (2011 – 2014)

4. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun (2014 –


sekarang)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat–Nya,
Skripsi yang berjudul “Hubungan antara Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO)
dan Pengetahuan Pasien dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di
wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan” dapat terselesaikan dengan
baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak–pihak yang telah
berkontribusi dalam proses penulisan Skripsi ini, yaitu :
1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM., M.Kes selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun sekaligus Pembimbing I, yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Hari Widodo selaku Kepala Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan
yang telah memberikan ijin serta kerjasama selama proses penelitian.
3. Drg. Nuning Tyas Susanti selaku Kepala Puskesmas Tebon Kabupaten
Magetan yang telah memberikan ijin serta kerjasama selama proses
penelitian.
4. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM., M.Kes selaku Ketua Program
Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
5. Ibu Riska Ratnawati, S.KM., M.Kes selaku Ketua Dewan Penguji yang
telah memberikan masukan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi
ini.
6. Ibu Hanifah Ardiani, SKM., M.KM selaku Pembimbing II, yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
7. Semua pihak yang telah membantu penulisan Skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis mohon saran dan masukan dari berbagai pihak untuk
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebaik–baiknya oleh
Mahasiswa, Pembimbing Skripsi, Penguji, dan berbagai pihak yang terkait.

Madiun, Juli 2018

Penulis
ABSTRAK

Ninis Wulandari

xvi + 78 halaman + 14 tabel + 4 gambar + 19 lampiran

HUBUNGAN ANTARA KINERJA PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO)


DAN PENGETAHUAN PASIEN DENGAN KEBERHASILAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BENDO KABUPATEN MAGETAN

Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang masih


menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Angka
keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Bendo belum memenuhi target
nasional dan cenderung menurun setiap tahunnya. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat
(PMO) dan pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis
paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional. Populasi penelitian ini adalah pasien TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan sebanyak 50 orang. Teknik sampling yang
digunakan adalah total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan
kartu TB 01. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan bivariat
menggunakan uji fisher exact.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien memiliki PMO
dengan kinerja baik (73,5%). Sebagian besar responden memiliki pengetahuan
yang baik (79,4%). Sebagian besar responden berhasil dalam pengobatannya
(79,4%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kinerja PMO
(p= 0,014; RP= 2,070) dan pengetahuan pasien (p= 0,001; RP= 3,241) dengan
keberhasilan pengobatan TB paru.
Pasien diharapkan melakukan pengobatan secara teratur, dan PMO/keluarga
diharapkan selalu mengawasi dan memotivasi pasien. Petugas kesehatan perlu
untuk melakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
pasien dan masyarakat mengenai TB paru.

Kata kunci : kinerja PMO, pengetahuan pasien, keberhasilan pengobatan,


tuberkulosis paru
Kepustakaan : 35 (2004 – 2018)
ABSTRACT

Ninis Wulandari

xvi + 78 pages + 14 tables + 4 pictures+ 19 appendixes

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PERFORMANCE OF DRUG


SWALLOWING OBSERVER AND PATIENT KNOWLEDGE WITH
SUCCESS OF PULMONARY TUBERCULOSIS TREATMENT IN WORK
AREA OF BENDO COMMUNITY HEALTH CENTER MAGETAN
REGENCY

Tuberculosis (TB) is a contagious disease that became a public health


problem in the world and in Indonesia. TB success rate in Bendo Community
Health Center had not fulfilled national target and tends to decrease each year.
The purpose of this study was to determine the relationship between the
performance of Drug Swallowing Observer (DSO) and patient knowledge with
success of pulmonary tuberculosis treatment in work area of Bendo Community
Health Center Magetan Regency.
The type of this research was observational analytic with cross sectional
approach. The population of this research was pulmonary tuberculosis patients in
work area of Bendo Community Health Center as many as 50 peoples. The
sampling technique was using total sampling. The data collection was using
questionnaire and TB 01 card. The data analysis was using univariate and
bivariate analysis used fisher exact test.
The results showed that most patients had good-performing DSO (73.5%).
Most respondents had good knowledge (79.4%). Most respondents were
successfully treated (79.4%). The result of statistical test showed that there was a
relation between DSO performance (p= 0,014, RP= 2,070) and patient knowledge
(p= 0,001; RP= 3,241) with success of pulmonary tuberculosis treatment.
Patients should take medication regularly, and DSO or family was expected
to always monitor and motivate patients. Community health workers should
conduct counseling to improve the knowledge and awareness of patients and
communities about pulmonary TB.

Keywords : performance of DSO, patient knowledge, success of pulmonary


tuberculosis treatment
References : 35 (2004 – 2018)

ix
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...................................................................................................i
SAMPUL DALAM.................................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
ABSTRAK.............................................................................................................vii
ABSTRACT............................................................................................................ix
DAFTAR ISI............................................................................................................x
DAFTAR TABEL..................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv
DAFTAR SINGKATAN......................................................................................xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Rumusan masalah.............................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................6
1.4. Manfaat Penelitian...........................................................................7
1.5. Keaslian Penelitian...........................................................................8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Tuberkulosis....................................................................13
2.2. Strategi DOTS................................................................................22
2.3. Kinerja Pengawas Menelan Obat...................................................23
2.4. Pengetahuan Pasien........................................................................26
2.5. Keberhasilan Pengobatan...............................................................30
2.6. Kerangka Teori...............................................................................38
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual.....................................................................39
3.2. Hipotesis Penelitian........................................................................40
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1. Rancang Bangun Penelitian............................................................41
4.2. Populasi dan Sampel.......................................................................41
4.3. Teknik Sampling.............................................................................43
4.4. Kerangka Kerja Penelitian..............................................................43
4.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel..................44
4.6. Instrumen Penelitian.......................................................................47
4.7. Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................49
4.8. Prosedur Pengumpulan Data..........................................................49
4.9. Pengolahan Data.............................................................................50
4.10. Teknik Analisis Data....................................................................51
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum...........................................................................53
5.2. Hasil Penelitian..............................................................................54
5.3. Pembahasan....................................................................................62
5.4. Keterbatasan Penelitian..................................................................72
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan....................................................................................74
6.2. Saran..............................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................76
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu..............................................................................8


Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian............................................46
Tabel 4.2 Coding Variabel Penelitian.................................................................50
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan
Bulan Mei 2018...................................................................................54
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di
Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan Bulan Mei
2018.....................................................................................................55
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan Bulan Mei
2018.....................................................................................................55
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan
Bulan Mei 2018...................................................................................56
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten
Magetan Bulan Mei 2018....................................................................56
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Hubungan
dengan PMO di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan
Bulan Mei 2018...................................................................................57
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kinerja
PMO di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan Bulan
Mei 2018..............................................................................................58
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pengetahuan Pasien di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten
Magetan Bulan Mei 2018....................................................................58
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Keberhasilan Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018..................................................59
Tabel 5.10 Tabulasi Silang Hubungan antara Kinerja PMO dengan Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo .
60
Tabel 5.11 Tabulasi Silang Hubungan antara Pengetahuan Pasien dengan
Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bendo................................................................................61
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori.................................................................................38


Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian......................................................39
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Cross Sectional..................................41
Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Antara Kinerja Pengawas
Menelan Obat (PMO) dan Pengetahuan Pasien dengan Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan..........................................................................44

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Ijin Pengambilan Data Awal Kepada Bakesbangpol


Kabupaten Magetan
Lampiran 2 Surat Keterangan Ijin Pengambilan Data Awal Kepada Dinkes
Kabupaten Magetan
Lampiran 3 Surat Ijin Pengambilan Data Awal Kepada Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan
Lampiran 4 Surat Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas Kepada Bakesbangpol
Kabupaten Magetan
Lampiran 5 Surat Keterangan Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas Kepada
Puskesmas Tebon Kecamatan Barat Kabupaten Magetan
Lampiran 6 Surat Keterangan Selesai Uji Validitas dan Reliabilitas di
Puskesmas Tebon Kecamatan Barat Kabupaten Magetan
Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian Kepada Bakesbangpol Kabupaten Magetan
Lampiran 8 Surat Keterangan Ijin Penelitian Kepada Dinkes Kabupaten
Magetan
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian Kepada Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan
Lampiran 10 Surat Keterangan Selesai Penelitian di Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan
Lampiran 11 Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 12 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 13 Kisi-kisi Kuesioner Penelitian
Lampiran 14 Kuesioner Penelitian
Lampiran 15 Kartu Bimbingan Tugas Akhir
Lampiran 16 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Lampiran 17 Hasil Analisis Univariat
Lampiran 18 Hasil Analisis Bivariat
Lampiran 19 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 20 Revisi Ujian Sidang Skripsi

xv
DAFTAR SINGKATAN

PERMENKES : Peraturan Menteri


Kesehatan WHO : World Health Organization
TB : Tuberkulosis
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
KEMENKES : Kementerian Kesehatan
MDR : Multy Drug Resistant
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PMO : Pengawas Menelan Obat
BTA : Bakteri Tahan Asam
SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu
UPK : Unit Pengelola Kegiatan
HIV : Human Immunodeficiency Virus
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS
KDT : Kombinasi Dosis Tetap
DOTS : Directly Observed Treatment Short-course
HRZE : Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pyrozinamid (Z), dan
Ethambutol (E)
PAS : Asam Para Aminosalisilat
PPTI : Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
RO : Resisten Obat
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
SPSS : Statistical Product and Service Solutions
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang dapat menyerang

organ paru-paru dan organ tubuh lainnya. Penyakit ini memerlukan waktu

pengobatan intensif selama enam bulan sehingga sangat perlu diwaspadai

(KEMENKES RI, 2016).

Kasus TB di dunia diperkirakan sebanyak 10,4 juta, dengan 480.000

kasus Multy Drug Resistant. Wilayah Pasifik Barat, Asia Tenggara, dan

Mediterania Timur memiliki angka keberhasilan pengobatan TB tertinggi,

yaitu lebih dari 80%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan TB terendah

ada di wilayah Amerika dan Eropa, yaitu sebesar 75% (WHO, 2015).

Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena

Indonesia merupakan negara dengan beban penyakit TB tertinggi ke enam di

dunia setelah Angola, China, Kongo, Ethiopia dan India. Jumlah pasien TB di

Indonesia sekitar 10,3 % dari total pasien TB di dunia (WHO, 2015). Hal

tersebut didukung oleh hasil Riskesdas 2013, yang menggambarkan

prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis tuberkulosis paru sebesar

0,4%. Pada tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan semua kasus

tuberkulosis di Indonesia sebesar 85%, angka tersebut belum memenuhi

target yaitu minimal 90%. (KEMENKES RI, 2017).

1
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016 menempati urutan kedua dari 34

provinsi untuk penemuan kasus tuberkulosis dengan jumlah sebesar 48.808

penderita. Angka keberhasilan pengobatan TB di Jawa Timur sebesar 89,9%,

angka tersebut belum mencapai target nasional yaitu ≥90%. Terdapat

beberapa daerah di Jawa Timur yang memiliki angka keberhasilan

pengobatan TB di bawah target yang telah ditetapkan, misalnya angka

keberhasilan pengobatan TB di Kabupaten Magetan pada tahun 2016 sebesar

75,4%, angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan angka keberhasilan

pengobatan TB pada tahun 2015 yaitu sebesar 94,9% (Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Timur, 2017).

Puskesmas Bendo memiliki angka keberhasilan pengobatan TB yang

paling rendah diantara 22 Puskesmas di Kabupaten Magetan. Angka

keberhasilan pengobatan pasien TB di Puskesmas Bendo pada tahun 2015

sebesar 93% dengan penemuan semua kasus TB sebanyak 41 orang. Tahun

2016 angka keberhasilan pengobatan TB sebesar 78% dengan penemuan

semua kasus TB sebanyak 27 orang, dan 1 pasien berkonfersi menjadi TB-

MDR. Sedangkan pada tahun 2017 angka keberhasilan pengobatan semua

kasus TB sebesar 72,7% dengan penemuan semua kasus TB sebanyak 21

orang, angka tersebut belum memenuhi target nasional yaitu minimal 90%

dan cenderung menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Hal tersebut dikarenakan ada penderita yang resisten obat, putus berobat, dan

meninggal. (Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan, 2018).

2
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat mengatasi

penyakit TB, namun angka drop out berupa mangkir dan tidak patuh obat di

Indonesia masih tinggi. Pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan

kuman TB menjadi resisten terhadap OAT dan dapat menjadi TB Multi Drug

Resistence (MDR). Masalah resistensi obat pada pengobatan TB menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang berdampak pada produktivitas

masyarakat dan menghambat efektivitas program penanggulangan. Kegagalan

penanggulangan TB-MDR dapat menimbulkan fenomena baru yaitu Total

Drug Resistence, dan akibat yang paling fatal adalah meninggal dunia. Untuk

itu penderita TB Paru membutuhkan setidaknya satu orang petugas yang

mengingatkannya untuk meminum obat, petugas tersebut disebut sebagai

Pengawas Menelan Obat (PMO). Penderita TB harus mematuhi seorang PMO

untuk mencegah terjadinya kegagalan pengobatan (Putri, 2015).

Pengawasan pengobatan secara langsung adalah penting setidaknya

selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa

obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat.

Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul

sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Dukungan PMO

memiliki peran penting dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu

dengan mengawasi dan memberikan dukungan pada pasien (Prabowo, 2014).

Hasil penelitian Harnanik (2014) menunjukkan adanya hubungan antara

keluarga sebagai PMO dengan keberhasilan pengobatan pasien TB paru.

Pasien yang sembuh secara keseluruhan memiliki PMO dari anggota keluarga
yang berperan dengan baik. Namun penelitian tersebut kurang mendalam

karena belum menggali variabel-variabel lain seperti kinerja PMO dalam

melaksanakan tugas-tugasnya, yaitu mengawasi menelan obat sesuai jadwal,

memberi dorongan kepada pasien agar berobat teratur, mengingatkan untuk

periksa ulang dahak sesuai jadwal, serta memberikan penyuluhan kepada

anggota keluarga lain.

Hasil penelitian Dhewi (2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB paru. Sebanyak 76%

responden sudah pernah mendengar tentang TB paru, 26% responden dapat

menyebutkan tanda dan gejala utama TB paru, dan 51% mengetahui cara

penularan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan

pasien tentang tanda, gejala, dan cara penularan TB paru. Pengetahuan pasien

yang kurang akan meningkatkan risiko pasien tidak patuh minum obat.

Upaya yang telah dilakukan oleh Puskesmas Bendo untuk

meminimalisir angka kegagalan pengobatan adalah dengan melakukan

kunjungan rumah pasien TB paru, untuk mengingatkan agar pasien berobat

secara teratur. Namum upaya tersebut belum maksimal karena tidak

dilakukan edukasi atau penyuluhan kepada PMO atau keluarga, serta pasien

mengenai TB paru.

Oleh karena latar belakang di atas, maka perlu untuk diteliti hubungan

antara kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan keberhasilan

pengobatan pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan. Selain kinerja PMO, peneliti juga tertarik untuk meneliti faktor lain
yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru di

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan, yaitu faktor pengetahuan pasien

mengenai penyakit tuberkulosis paru.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

Apakah terdapat hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat

(PMO) dan pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan?

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

1. Bagaimana kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) di wilayah kerja

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan?

2. Bagaimana pengetahuan pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan?

3. Bagaimana keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru di

wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan?

4. Apakah ada hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat

(PMO) dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di wilayah

kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan?

5. Apakah ada hubungan antara pengetahuan pasien dengan

keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan?


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan antara kinerja Pengawas Menelan

Obat (PMO) dan pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) di

wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

2. Untuk mengidentifikasi pengetahuan pasien tuberkulosis paru di

wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

3. Untuk mengidentifikasi keberhasilan pengobatan pasien

Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan.

4. Untuk menganalisa hubungan antara kinerja Pengawas Menelan

Obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di

wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

5. Untuk menganalisa hubungan antara pengetahuan pasien dengan

keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.


1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini sebagai pengembangan bidang ilmu epidemiologi dan

berguna bagi pengembangan ilmu manajemen khususnya manajemen

kesehatan masyarakat.

2. Manfaat bagi Masyarakat

Masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis

paru, serta peran PMO dalam pengawasan pasien.

3. Manfaat bagi Instansi Kesehatan

Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan dalam

rangka menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai

pelaksanaan pengawasan menelan obat untuk meningkatkan angka

keberhasilan pengobatan pasien Tuberkulosis.

4. Manfaat bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun

Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi keilmuan, serta

dapat digunakan sebagai masukan informasi dalam rangka pengembangan

proses belajar mengajar.

5. Manfaat bagi Peneliti

Memberikan tambahan pengetahuan dan keterampilan yang relevan

mengenai pelaksanaan pengawasan minum obat dan keberhasilan

pengobatan Tuberkulosis di instansi kesehatan.


1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan, peneliti membuktikan keaslian penelitian ini

dengan membandingkan penelitian terdahulu dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu


Tempat dan Metode Variabel
No. Judul Penelitian Nama Peneliti Hasil Penelitian
Tahun Penelitian Penelitian Penelitian
1 Hubungan antara Rivangga Dwi Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
peran PMO Ratna Prabowo Nogosari deskriptif peran PMO peran PMO terhadap
terhadap kepatuhan Kabupaten korelatif dengan kepatuhan kunjungan
kunjungan berobat Boyolali, tahun pendekatan Variabel terikat: berobat pasien TB (p =
pada pasien TB paru 2014 cross sectional kunjungan 0,033)
di Puskesmas berobat pasien
Nogosari Boyolali TB
2 Analisis faktor- Harnanik Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
faktor yang Purwodadi II survey analitik jenis kelamin, PMO dengan keberhasilan
mempengaruhi Kabupaten dengan PMO, pengobatan TB paru
keberhasilan Grobogan, tahun pendekatan Pendidikan, dan (p=0,013). Tidak ada
pengobatan TB paru 2014 kohort Pekerjaan hubungan antara jenis
di Puskesmas retrospektif kelamin (p=0,879),
Purwodadi II Variabel terikat: pendidikan (p= 0,056), dan
Kabupaten keberhasilan pekerjaan (p=0,879)
Grobogan pengobatan dengan keberhasilan
pasien TB paru pengobatan TB paru.

8
Lanjutan Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu
Tempat dan Metode Variabel Hasil Penelitian
No. Judul Penelitian Nama Peneliti
Tahun Penelitian Penelitian Penelitian
3 Hubungan antara Gendhis Indra Balai Kesehatan Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
pengetahuan, sikap Dhewi Paru Masyarakat deskriptif pengetahuan, pengetahuan (p=0,000),
pasien dan Kabupaten Pati, korelatif dengan sikap, dan sikap (p=0,001), dan
dukungan keluarga 2011 pendekatan dukungan dukungan keluarga
dengan kepatuhan cross sectional keluarga (p=0,000) dengan
minum obat pada kepatuhan minum obat
pasien TB Paru di Variabel terikat: pasien TB paru
BKPM Pati kepatuhan
minum obat
4 Faktor-faktor yang Murtantiningsih Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
berhubungan Purwodadi I survei analitik penyuluhan status gizi (p=0,002),
dengan kesembuhan Kabupaten dengan petugas pendapatan (p=0,034),
penderita Grobogan, 2010 pendekatan case kesehatan, jenis keteraturan berobat
tuberkulosis paru control kelamin, (p=0,005) dengan
pendidikan, kesembuhan TB paru.
status gizi, Tidak ada hubungan antara
pendapatan, penyuluhan tenaga
keteraturan kesehatan (p=0,345), jenis
berobat, kelamin (p=0,550),
dukungan PMO pendidikan (p=0,620), dan
dukungan PMO (p=0,773)
Variabel terikat: dengan kesembuhan TB
kesembuhan TB paru.
paru
Lanjutan Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu
Tempat dan
Metode
No. Judul Penelitian Nama Peneliti Tahun Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Penelitian
5 Pengaruh PMO dan Khilda Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
tanpa PMO terhadap Fauziyah Ciawi, observasional adanya PMO adanya PMO dan tanpa
kesembuhan TB paru Tasikmalaya, analitik dengan PMO (p=0,000) dengan
dewasa di Puskesmas 2014 pendekatan Variabel terikat: kesembuhan TB paru
Ciawi Tasikmalaya cross sectional kesembuhan TB paru
6 Hubungan tingkat Novita Putri Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
pengetahuan Permatasari Kartasura , survei analitik tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan
pengawas menelan Surakarta, dengan PMO PMO (p=0,005) dengan
obat dengan 2015 pendekatan keberhasilan pengobatan
keberhasilan cross sectional Variabel terikat: TB
pengobatan keberhasilan
tuberkulosis di pengobatan TB
wilayah kerja
Puskesmas Kartasura
7 Hubungan peran Jufrizal Puskesmas Jenis penelitian Variabel bebas: Ada hubungan antara
keluarga sebagai Banda Sakti deskriptif peran keluarga peran keluarga sebagai
PMO dengan tingkat Kota korelatif sebagai PMO PMO (p=0,000) dengan
keberhasilan Lhokseumawe, dengan tingkat keberhasilan
pengobatan penderita 2015 pendekatan Variabel terikat: pengobatan pada
tuberkulosis paru cross sectional tingkat keberhasilan penderita TB paru
pengobatan TB paru
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui perbedaan antara penelitian ini

dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Metode penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional, dimana peneliti melakukan observasi dan

pengukuran variabel bebas dengan variabel terikat dalam satu waktu.

Sedangkan jenis penelitian sebelumnya adalah penelitian survei analitik dengan

pendekatan case control, dimana peneliti membagi populasi menjadi populasi

kasus (pasien TB yang tidak sembuh) dan populasi kontrol (pasien TB yang

sembuh).

2. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kinerja PMO dan pengetahuan

pasien. Pengukuran kinerja PMO berdasarkan tugas-tugas yang dilaksanakan

PMO sesuai dengan ketentuan. Sedangkan pada penelitian sebelumnya hanya

melihat ada tidaknya PMO yang mengawasi pasien TB untuk minum obat.

3. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah keberhasilan pengobatan pasien TB

paru. Sedangkan variabel terikat pada penelitian sebelumnya adalah kepatuhan

kunjungan berobat pasien TB.

4. Subjek penelitian

Subjek penelitian ini adalah pasien TB paru yang telah selesai menjalani

pengobatan lengkap selama 6 bulan pada periode Januari 2016 – Desember

2017, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sedangkan subjek

11
penelitian sebelumnya adalah semua pasien TB paru baik yang telah selesai

menjalani pengobatan, maupun yang sedang menjalani pengobatan pada saat

penelitian tersebut dilakukan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis

2.1.1 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Karakteristik bakteri ini memliki ukuran

0,5 – 4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus,

atau agak bengkok, bergranula atau tidak mempunyai selubung, tetapi

mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam

mikolat). Bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan

asam dan alkohol, sehingga disebut Bakteri Tahan Asam (BTA).

Bakteri ini juga tahan terhadap zat kimia dan fisik, tahan dalam keadaan

kering dan dingin, serta bersifat dormant (dapat tertidur lama) dan

aerob (Widoyono, 2008).

Mycobacterium tuberculosis dapat mati pada pemanasan 100˚C

selama 5 – 10 menit atau pada pemanasan 60˚C selama 30 menit, dan

dengan alkohol 70 – 95 % selama 15 – 30 detik. Bakteri ini tahan

selama 1- 2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap, serta bisa

berbulan-bulan berada pada kondisi tersebut. Namun bakteri ini tidak

tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara (Widoyono, 2008).

13
2.1.2 Klasifikasi

Berdasarkan KEMENKES RI (2016), penentuan klasifikasi dan

tipe pasien tuberkulosis meliputi empat hal, yaitu:

1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput

paru) dan kelenjar hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang

menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, dan lain-lain.

2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara

mikroskopis

a. Tuberkulosis paru BTA positif, dengan kriteria:

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif.

b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan

foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

danbiakan kuman TB positif

14
d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah

3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya

hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif, dengan kriteria:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

negatif.

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi

berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk

berat dan ringan.

b. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu:

a) TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar limfe,

pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang

belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.


b) TB ekstra paru berat, misalnya meningitis, milier,

perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,

TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan

alat kelamin.

4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan TB

a. Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari

satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (Relaps), yaitu pasien tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (asupan atau

kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default), yaitu pasien yang

telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure), yaitu pasien yang hasil

pemeriksaandahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus pindahan (Transfer in), yaitu pasien yang

dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain

untuk melanjutkan pengobatannya.


f. Kasus lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi

ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus

kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA

positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.3 Gejala

Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus

baru sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinis.

Gejala penyakit Tuberkulosis sebagai berikut (KEMENKES RI, 2016):

1. Gejala umum

a. Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih (dapat disertai

dengan darah).

b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

c. Penurunan nafsu makan dan berat badan.

d. Perasaan tidak enak (malaise), sesak nafas, dan lemas.

2. Gejala khusus

a. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke

paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang

membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas

melemah yang disertai sesak.

b. Jika ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru) dapat

disertai dengan keluhan sakit dada.


c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan

bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan

nanah.

d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)

dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya

adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran, dan kejang-

kejang.

2.1.4 Diagnosis

Berdasarkan KEMENKES RI (2016), diagnosis Tuberkulosis

dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Diagnosis TB paru

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2

hari, yaitu sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).

b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional,

penemuan BTA melaluipemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu


memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering

terjadi overdiagnosis.

2. Dianosis TB ekstra paru

a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya

kaku kuduk pada TB meningitis, nyeri dada pada TB pleura

(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada TB

limfadenitis, dan lain-lainnya.

b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan

tubuh yang terkena.

3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

a. TB paru BTA positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan

dahak positif.

b. TB paru negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan

gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA

negatif dengan hasil kultur TB positif.

c. TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan

tubuh yang terkena.

2.1.5 Cara Penularan

Sumber penularan Tuberkulosis adalah pasien Tuberkulosis BTA

positif. Pada saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi

dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat menguranngi jumlah percikan, sementara sinar matahari

langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (KEMENKES RI,

2016).

Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut

(Chin, 2012):

1. Jumlah basil Tuberkulosis yang dikeluarkan.

2. Virulensi dari basil Tuberkulosis.

3. Terpajannya basil Tuberkulosis dengan sinar ultra violet.

4. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, atau bicara.

5. Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi,

inkubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi.

2.1.6 Pengobatan

Menurut KEMENKES RI (2016), pengobatan Tuberkulosis

bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan

tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian


OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan

dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT: Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Kategori 1 (pasien baru): 2(HRZE) / 4(HR)3 atau 2(HRZE) / 4(HR).


2. Kategori 2 (pasien BTA positif pengobatan ulang): 2(HRZE)S /

(HRZE) / 5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)E.

3. Kategori Anak: 2(HRZ) / 4(HR) atau 2HRZE(S) / 4-10HR.

4. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini

ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,

Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,

Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid and etambutol.

2.2 Strategi DOTS

Strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan oleh WHO adalah

Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy).

Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji coba lapangan dapat

memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan

Strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Satu

studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan

bahwa setiap satu dolar yang digunakan untuk membiayai program

penanggulangan TB, akan menghemat sebesar 55 dolar selama 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan

dana.

2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.


3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan

langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

untuk pasien.

5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program TB (Subagyo, 2013).

Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima komponen

tersebut di atas harus dilaksanakan secara bersamaan. Pada tahun 1994

Indonesia menguji-cobakan implementasi Strategi DOTS dengan

demonstration area di Provinsi Jambi (Kabupaten Bungo Tebo) dan Jawa

Timur (Kabupaten Sidoarjo). Hasil uji coba lapangan ini memberi angka

kesembuhan yang tinggi lebih dari 85%. Angka kesembuhan yang tinggi ini

penting untuk memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

kekebalan obat ganda atau Multi Drug Resistance (MDR) yang merupakan

ancaman besar bagi masyarakat. Sejak tahun 1995, program penanggulangan

TB nasional mengadopsi Strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas

secara bertahap. Sampai tahun 2000 hampir seluruh Puskesmas telah

berkomitmen dan mengadopsi Strategi DOTS yang diintegrasikan dalam

pelayanan primernya (Subagyo, 2013).

2.3 Kinerja Pengawas Menelan Obat

Agar kesembuhan pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman

resistan obat dapat tercapai, sangat penting memastikan bahwa pasien


menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan pengawasan

langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) untuk mencegah

terjadinya resistensi obat. PMO adalah orang yang bertugas untuk mengawasi

pasien selama pengobatan TB. Persyaratan untuk menjadi PMO adalah

sebagai berikut:

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh

pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,

guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga (KEMENKES RI, 2016).

Kinerja adalah aksi atau perilaku individu yang berupa bagian dari

fungsi kerja aktualnya, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam

periode waktu tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang

mempekerjakannya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja

individu, yaitu faktor individu, dan psikologis. Faktor individu yang

berpengaruh terhadap kinerja individu adalah kemampuan, keterampilan, latar


belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial, dan demografi. Faktor

psikologis yaitu persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan

kerja (Bahua, 2016).

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh PMO adalah sebagai berikut:

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit

Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil

obat dari unit pelayanan kesehatan. Pada saat pasien mengambil obat,

diupayakan bahwa dosis hari itu ditelan di depan petugas keseheatan. Pada

pengobatan TB RO, pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas

kesehatan di fasyankes. Pada beberapa kondisi tertentu, pemberian OAT

MDR dilakukan di rumah pasien, maka pengawasan menelan obat dapat

dilakukan oleh petugas kesehatan/kader yang ditunjuk, atau oleh keluarga

pasien dengan sebelumnya sudah disepakati oleh petugas kesehatan dan

pasien (KEMENKES RI, 2016).

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarganya adalah:


1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.

2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya.

4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

Berdasarkan uraian di atas, kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO)

dapat didefinisikan sebagai hasil kerja yang dicapai oleh PMO berdasarkan

tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang telah ditentukan menurut

kriteria yang berlaku bagi pekerjaan tersebut. Kinerja PMO dipengaruhi oleh

faktor individu dan psikologi. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya

PMO harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.

Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk

mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan

dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.

2.4 Pengetahuan Pasien

Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah

kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik

secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi

(KEMENKUMHAM, 2004).

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,


telinga, dan sebagainya). Pengetahuan seseorang tentang suatu objek

mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini

yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan

objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap

objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour)

(Notoatmodjo, 2012)

Menurut Notoatmodjo (2012) terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu adalah mengingat kembali memori yang telah ada sebelumnya

setelah mengamati sesuatu.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan tentang suatu

objek yang diketahui dan diinterpretasikan secara benar

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk mempraktekkan materi yang

sudah dipelajari pada kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan menjabarkan atau menjelaskan suatu objek

atau materi tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih

ada kaitannya satu dengan yang lainnya.

5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan menghubungkan bagian-bagian di dalam

suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu

materi atau objek.

Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor yang mempengaruhi

pengetahuan meliputi:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau

kelompok dan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka

semakin capat menerima dan memahami suatu informasi sehingga

pengetahuan yang dimiliki juga semakin tinggi.

2. Informasi atau Media Massa

Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,

menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan

menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu. Informasi diperoleh dari

pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka

pendek sehingga menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan.

Semakin berkembangnya teknologi menyediakan bermacam-macam media

massa sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Informasi

mempengaruhi pengetahuan seseorang jika sering mendapatkan informasi

tentang suatu pembelajaran maka akan menambah pengetahuan dan


wawasannya, sedangkan seseorang yang tidak sering menerima informasi

tidak akan menambah pengetahuan dan wawasannya.

3. Sosial, Budaya dan Ekonomi

Tradisi atau budaya yang dilakukan tanpa penalaran apakah yang

dilakukan tersebut baik atau buruk akan menambah pengetahuannya

walaupun tidak melakukan. Status ekonomi juga akan menentukan

tersedianya fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu sehingga

status ekonomi akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Seseorang

yang mempunyai sosial budaya yang baik maka pengetahuannya akan baik

tapi jika sosial budayanya kurang baik maka pengetahuannya akan kurang

baik. Status ekonomi seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuan karena

seseorang yang memiliki status ekonomi dibawah rata-rata maka seseorang

tersebut akan sulit untuk memenuhi fasilitas yang diperlukan untuk

meningkatkan pengetahuan.

4. Lingkungan

Lingkungan mempengaruhi proses masuknya pengetahuan ke dalam

individu, karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan

direspon sebagai pengetahuan oleh individu. Lingkungan yang baik maka

pengetahuan yang didapatkan akan baik, tapi jika lingkungan kurang baik

maka pengetahuan yang didapat juga akan kurang baik.

5. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman orang lain maupun diri

sendiri sehingga pengalaman yang sudah diperoleh dapat meningkatkan


pengetahuan seseorang. Pengalaman seseorang tentang suatu

permasalahan akan membuat orang tersebut mengetahui bagaimana cara

menyelesaikan permasalahan dari pengalaman sebelumnya yang telah

dialami sehingga pengalaman yang didapat bisa dijadikan sebagai

pengetahuan apabila medapatkan masalah yang sama.

6. Usia

Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikir seseorang, sehingga pengetahuan yang diperoleh

juga akan semakin membaik dan bertambah.

2.5 Keberhasilan Pengobatan

Keberhasilan pengobatan adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh

dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang diobati dan

dilaporkan. Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan uji

bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir pengobatan TB

Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil rontgen ulang menjadi baik atau

tidak ada masalah dengan paru-parunya. Keberhasilan pengobatan

menggambarkan kualitas pengobatan TB. Hasil pengobatan TB dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis

positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada

akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan

sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan

pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum

akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil

pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa

pengobatan, atau kapan saja dalam masa pengobatan diperoleh hasil

laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.

4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum

memulai atau sedang dalam pengobatan.

5. Putus berobat (loss follow up), yaitu pasien TB yang tidak memulai

pengobatannya atau yang pengobatannya terputus terus menerus selama 2

bulan atau lebih.

6. Tidak dievaluasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir

pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah pasien pindah

(transfer out) ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya

tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

Angka kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85%

sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90%.

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya

tetap perlu diperhatikan, meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow up),

dan tidak dievaluasi (KEMENKES RI, 2016).


Lawrence Green (1980) menganalisis perilaku kesehatan manusia

berdasarkan 3 faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor

pendorong. Faktor-faktor tersebut diarahkan untuk menuju perilaku positif

yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan (Noorkasiani,

2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan

tuberkulosis dianalisis berdasarkan teori L. Green adalah sebagai berikut:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku

seseorang, yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan

sosiodemografi (Maulana, 2009). Faktor predisposisi yang mempengaruhi

keberhasilan pengobatan TB adalah sebagai berikut:

a. Umur

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan

suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Umur

seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan perilaku

seseorang dalam keberhasilan pengobatan penyakitnya, Menurut

Elizabeth B. Hurlock (1995) bahwa semakin cukup usia, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir

dan bertindak, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin

dewasa umurnya akan lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai

petunjuk petugas kesehatan karena mereka mempunyai keinginan yang

kuat untuk sembuh (Notoatmodjo, 2007). Namun, berdasarkan

penelitian Dhewi (2011) semakin tua umur maka akan semakin


menurun kekebalan tubuh seseorang. Penurunan sistem kekebalan

tubuh tersebut yang akan menghambat keberhasilan pengobatan.

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu

untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi

mengenai obyek tertentu dan spesifik. Sedangkan tingkat pendidikan

adalah tahapan pendidikan berkelanjutan, yang sudah ditetapkan oleh

lembaga terkait berdasarkan kepada tingkat perkembangan peserta

didik, tingkat kesulitan bahan pengajar, dan cara penyajian bahan

pengajaran. Indonesia memiliki tingkat pendidikan sekolah seperti

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (BPPB,

2012). Menurut L. Green (1980) pendidikan seseorang akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka

seseorang akan semakin mudah menerima sesuatu. Pengetahuan yang

baik tentang TB akan membuat sesorang semakin terdorong untuk

memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan dan mengikuti anjuran

petugas kesehatan agar penyakitnya dapat sembuh (Notoatmodjo,

2007). Sedangkan menurut penelitian Harnanik (2014) pendidikan

formal tidak mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru, karena

semua responden mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan.

Sehingga semua responden memeiliki pengetahuan tentang penyakit TB

paru, dan terdorong untuk memeriksakan dirinya sesuai anjuran dokter

agar penyakitnya dapat disembuhkan.


c. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan

tentang TB dapat berasal dari media elektronik, media cetak, dan

penyuluh kesehatan. Pengetahuan yang baik tentang TB akan membuat

sesorang semakin terdorong untuk memeriksakan dirinya ke fasilitas

kesehatan dan mengikuti anjuran petugas kesehatan agar penyakitnya

dapat sembuh (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan penelitian Dhewi

(2011) pengetahuan memiliki hubungan yang positif dengan kepatuhan

minum obat. Pengetahuan tentang TB paru yang baik membuat pasien

semakin termotivasi untuk sembuh dengan mentaati program

pengobatannya hingga selesai.

d. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan seseorang

dapat mencerminkan sedikit banyaknya informasi yang diterima,

informasi tersebut akan membantu seseorang dalam mengambil

keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Jenis

pekerjaan juga mempengaruhi pendapatan keluarga yang akan

berdampak pada pola hidup, seperti konsumsi makanan, pemeliharaan

kesehatan, dan status gizi. Status gizi yang kurang akan menyebabkan

daya tahan tubuh lemah sehingga kuman M. tuberculosis mudah

berkembangbiak dan menghambat proses penyembuhan dan


keberhasilan pengobatan (Maulana, 2009). Namun menurut penelitian

Harnanik (2014) pekerjaan tidak mempengaruhi keberhasilan

pengobatan TB paru. Hal tersebut dikarenakan pengobatan TB

mendapatkan subsidi dari pemerintah atau gratis, sehingga pasien

berpenghasilan tinggi maupun rendah mendapatkan pelayanan

kesehatan yang sama. Jadi semua responden memiliki peluang yang

sama untuk sembuh.

2. Faktor pedukung (enabling factor)

Faktor pendukung adalah faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku,

yaitu berupa lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas kesehatan dan sarana

kesehatan, serta kemudahan untuk mencapainya (Maulana, 2009). Faktor

pendukung yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB adalah

sebagai berikut:

a. Ketersediaan OAT

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan. Terapi OAT dilaksanakan sesuai petunjuk yang

telah ditetapkan yaitu pengobatan lengkap hingga jangka waktu

pengobatan sampai 100% (68 kali). OAT harus tersedia secara

berkesinambungan dan diminum teratur sesuai jadwal untuk

menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan kekambuhan

(Subagyo, 2013). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Murtantiningsih


(2010) bahwa pengobatan yang lengkap, teratur, dan kualitas OAT yang

baik mempengaruhi kesembuhan pasien TB paru.

b. Jarak ke tempat pengobatan

Jarak ke tempat pengobatan adalah lama perjalanan yang harus

ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengobatan. Jarak tempuh

ke tempat pengobatan yang jauh akan menimbulkan rendahnya

aksesbilitas pasien. Hal tersebut dapat berpengaruh pada motivasi

pasien untuk datang berobat ke tempat pengobatan. Pasien yang berobat

tidak teratur dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan (Maulana,

2009). Menurut penelitian Tirtana (2011) jarak ke tempat pengobatan

mempengaruhi keteraturan pengobatan pasien TB paru. Jarak ke tempat

pengobatan yang jauh membuat keinginan pasien untuk berobat

menurun, karena pasien tidak rela menempuh jarak yang jauh dengan

kondisi tubuhnya yang tidak sehat.

3. Faktor pendorong (reinforcing factor)

Faktor pendorong adalah faktor yang memperkuat terjadinya perilaku,

yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, dan masyarakat

(Maulana, 2009). Faktor pendorong yang mempengaruhi keberhasilan

pengobatan TB adalah sebagai berikut:

a. Kinerja PMO

Kinerja PMO adalah PMO yang melaksanakan tugas-tugas sesuai

dengan ketentuannya. Pasien TB menjalani masa pengobatan yang

panjang memilki kemungkinan merasa bosan untuk mengkonsumsi


obat, sehingga dikhawatirkan terjadi putus obat atau lupa minum obat.

Kinerja PMO yang baik dapat menjamin ketekunan, keteraturan

pengobatan, menghindari putus pengobatan, dan mencegah ketidak

berhasilan pengobatan (Subagyo, 2013). Hal tersebut sesuai dengan

penelitian Harnanik (2014) bahwa peran PMO berhubungan dengan

kesembuhan pasien TB paru. Kinerja PMO yang baik akan

meningkatkan motivasi pasien untuk menjalani pengobatan secara

teratur.

b. Peran petugas kesehatan

Peran petugas kesehatan adalah perilaku petugas kesehatan yang

diharapkan sesuai dengan posisi yang dimiliki. Prinsip pencegahan dan

pemberantasan TB dapat dilaksanakan dengan usaha pendidikan

kesehatan. Peran petugas kesehatan salah satunya adalah memberikan

penyuluhan tentang TB. Penyuluhan ditujukan pada pasien dan

keluarganya supaya pasien menjalani pengobatan secara teratur sampai

sembuh. Penyuluhan secara langsung perorangan sangat penting artinya

untuk menentukan keberhasilan pengobatan pasien (Maulana, 2009).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Murtantiningsih (2011) yang

menyatakan bahwa ada hubungan penyuluhan oleh petugas kesehatan

dengan kesembuhan pasien TB paru. Penyuluhan oleh petugas

kesehatan tentang penyakit TB dan bahayanya akan meningkatkan

motivasi pasien TB paru untuk menjalani pengobatan secara teratur.


2.6 Kerangka Teori

Umur

Pendidikan Pengetahuan
Faktor predisposisi
Pekerjaan

Ketersediaan
OAT Perilaku keteraturan minum
Sembuh
obat
atau pengobatan lengkap
Faktor Keberhasilan
pemungkin pengobatan
Jarak ke tempat pengobatan

Faktor penguat

Kinerja PMO

Peran petugas
kesehatan
Sumber: L. Green (1980), Maulana (2009), Notoatmodjo (2007), Subagyo (2013)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

38
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual atau kerangka berfikir merupakan dasar pemikiran pada

penelitian yang dirumuskan dari fakta-fakta, observasi, dan tinjauan pustaka

(Muchson, 2017). Kerangka konseptual dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Kinerja PMO Keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru


Pengetahuan pasien

Keterangan:

: diteliti

: berhubungan

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, keberhasilan pengobatan

pasien tuberkulosis paru dipengaruhi oleh kinerja PMO, dan pengetahuan

pasien. Kinerja PMO perlu diteliti karena PMO termasuk dalam strategi

penanggulangan tuberkulosis, dimana setiap pasien memiliki PMO masing-

masing yang karakteristik dan kinerjanya tidak sama satu dan lainnya.

Sedangkan pengetahuan pasien merupakan variabel yang mempengaruhi

39
perilaku pasien menuju keberhasilan pengobatan yang dapat dikendalikan,

sehingga juga perlu untuk diteliti.

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

pertanyaan. Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan

baru didasarkan pada teori (Sugiyono, 2014).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis alternatif pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan

keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

2. Ada hubungan antara pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

40
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancang Bangun Penelitian

Jenis dan rancangan pada penelitian ini adalah observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian analitik yang

mengukur variabel sebab atau faktor risiko dan variabel akibat atau efek

secara bersamaan atau dalam satu waktu sekaligus (Yusuf, 2014). Rancangan

penelitian cross sectional dapat digambarkan sebagai berikut:

Populasi/Sampel

Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-)

Efek (+) Efek (-) Efek (+) Efek (-)

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Cross Sectional

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi berupa subjek atau objek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan diambil kesimpulan (Sugiyono, 2014).

41
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis paru di wilayah

kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan sebanyak 50 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek

yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Jika

populasi terlalu besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua

yang ada pada populasi, karena suatu keterbatasan, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi (Sugiyono, 2014).

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis paru di wilayah

kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan, yang memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo pada

periode pengobatan Januari 2016 – Desember 2017.

b. Pasien tuberkulosis paru yang telah menjalani pengobatan

kategori 1 selama 6 bulan.

c. Pasien tuberkulosis paru dengan usia di atas 14 tahun.

d. Pasien tuberkulosis paru yang telah menandatangani informed

concent.

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien tuberkulosis paru yang mengalami efek samping

pengobatan.

b. Responden yang tidak responsif pada saat wawancara.

42
c. Pasien tuberkulosis paru dengan penyakit penyerta (HIV/AIDS,

gizi buruk, dan diabetes melitus).

d. Pasien tuberkulosis paru yang meninggal selama pengobatan.

Jumlah sampel pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi di atas adalah 34 responden.

4.3 Teknik Sampling

Sampling merupakan proses penyeleksi porsi dari suatu populasi untuk

dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang

ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-

benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2016).

Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah total

sampling, yaitu sebanyak 34 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi dari total sampel sebanyak 50 sampel. Total sampling adalah teknik

penentuan sampel yang menggunakan seluruh anggota populasi sebagai

sampel. Hal ini dilakukan apabila jumlah populasi relatif kecil atau kurang

dari 100 (Sugiyono, 2014).

4.4 Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja penelitian adalah tahapan dalam suatu penelitian yang

menyalurkan alur penelitian terutama variabel yang digunakan dalam

penelitian (Nursalam, 2016). Kerangka kerja pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:
Pasien tuberkulosis paru di wilay

Pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Be

Mencatat catatan

Editing, coding, en

Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dan

Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Antara Kinerja Pengawas


Menelan Obat (PMO) dan Pengetahuan Pasien dengan
Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Variabel Penelitian

Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono,

2014). Pada penelitian ini variabel bebas yang diteliti adalah kinerja
Pengawas Menelan Obat (PMO) dan pengetahuan pasien

tuberkulosis paru.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah keberhasilan pengobatan pasien

tuberkulosis paru.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan

peneliti untuk melakukan pengumpulan data yang sebaiknya dilihat alat

ukur pengumpulan data tersebut agar dapat memperkuat penelitian. Alat

pengumpulan data tersebut dapat berupa kuesioner, observasi,

wawancara, atau gabungan ketiganya (Nursalam, 2016). Definisi

operasional variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skor Kategori Skala


1 Kinerja PMO Tingkat keberhasilan PMO Kuesioner Skala Guttman: 1. Baik Nominal
dalam melaksanakan tugas 1. Jawaban (skor ≥ 50%)
dibandingkan dengan benar = 1 2. Kurang baik
standar tugas PMO 2. Jawaban (skor < 50%)
salah = 0 (Arikunto, 2010)
2 Pengetahuan Tingkat pengetahuan pasien Kuesioner Skala Guttman: 1. Baik Nominal
pasien TB tentang penyakit TB, 1. Jawaban (skor > 50%)
gejala, penularan, benar = 1 2. Kurang baik
pemeriksaan, pengobatan, 2. Jawaban (skor ≤ 50%)
dan bahayanya salah = 0 (Budiman dan
Riyanto, 2013)
2 Keberhasilan Hasil pengobatan TB paru Kartu pengobatan 1. Berhasil Nominal
pengobatan lengkap selama 6 bulan tuberkulosis/TB 01 (pengobatan
yang dinyatakan lengkap dan hasil
sembuh/BTA negatif, akhir BTA
dilihat berdasarkan Kartu negatif)
pengobatan pasien TB 2. Tidak berhasil
(hasil akhir BTA
positif atau resisten
OAT)

46
4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perangkat yang digunakan untuk

memperoleh data yang kemudian diolah dan dianalisis. Berdasarkan kerangka

konseptual dan definisi operasional variabel penelitian, kemudian disusun

instrumen untuk mengumpulkan data (Nursalam, 2016). Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mengukur kinerja

PMO dan pengetahuan pasien, serta catatan rekam medis pasien TB Paru

(Kartu Pengobatan Tuberkulosis/TB 01) untuk mengetahui keberhasilan

pengobatan pasien tuberkulosis paru.

Sebelum instrumen (kuesioner) penelitian ini digunakan sebagai alat

pengumpul data terlebih dahulu dilakukan uji coba untuk mengetahui

ketepatan kuesioner dalam mengukur suatu data. Uji coba kuesioner

penelitian ini dilakukan pada 30 pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Tebon kecamatan Barat kabupaten Magetan, dengan syarat

karakteristiknya sama atau hampir sama dengan karakteristik responden

penelitian yang sebenarnya. Uji yang dilakukan untuk mengetahui validitas

dan reliabilitas kuesioner adalah sebagai berikut:

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur

(instrumen) itu benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur

(Notoatmodjo, 2012). Uji validitas dilakukan pada setiap butir pertanyaan

pada kuesioner. Validitas kuesioner dapat diketahui dengan cara

melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor

47
totalnya. Hasil r hitung dibandingkan dengan r tabel, dimana df = n-2

dengan signifikansi 5%. Jika r hitung > r tabel maka pertanyaan tersebut

valid (Sujarweni, 2015). Teknik korelasi yang digunakan adalah korelasi

pearson product moment menggunakan program aplikasi pengolah data

statistik SPSS 16.0.

Hasil uji validitas kuesioner kinerja PMO diperoleh nilai r hitung

antara 0,274 sampai 0,891, sedangkan nilai r tabel pada tingkat

signifikansi 5% dan jumlah sampel 30 adalah 0,312. Perbandingan nilai r

hitung dan r tabel menunjukkan 13 item pertanyaan yang valid dari total

14 item pertanyaan. Hasil uji validitas kuesioner pengetahuan pasien

diperoleh nilai r hitung antara 0,029 sampai 0,897, sedangkan nilai r tabel

pada tingkat signifikansi 5% dan jumlah sampel 30 adalah 0,312.

Perbandingan nilai r hitung dan r tabel menunjukkan 25 item pertanyaan

yang valid dari total 30 item pertanyaan.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan

pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan

menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2012). Uji reliabilitas

dilakukan secara bersama-sama terhadap pertanyaan. Jika nilai α > 0,60

maka pertanyaan tersebut reliabel (Sujarweni, 2015). Uji reliabilitas pada


penelitian ini menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan

program aplikasi pengolah data statistik SPSS 16.0.

Hasil uji reliabilitas kuesioner kinerja PMO diperoleh nilai

koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,873 dan kuesioner pengetahuan

pasien sebesar 0,958. Nilai koefisien Alpha Cronbach kedua kuesioner

tersebut lebih besar 0,60, maka dapat disimpulkan kedua kuesioner

tersebut reliabel.

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan. Waktu penelitian yaitu pada bulan Mei 2018.

4.8 Prosedur Pengumpulan Data

4.8.1 Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan

metode wawancara kepada pasien TB paru yang memenuhi kriteria.

Wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner atau

daftar pertanyaan untuk mendapatkan data mengenai penilaian pasien

TB paru terhadap kinerja PMO dan pengetahuan pasien tentang

penyakit tuberkulosis paru.

4.8.2 Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengamati dan

mencatat catatan rekam medis pasien TB Paru (Kartu Pengobatan


Tuberkulosis/TB 01). Data catatan rekam medis pasien digunakan

untuk mengetahui status pengobatan, dan hasil pengobatan atau

keberhasilan pengobatan pasien TB.

4.9 Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan tahap sebagai

berikut:

1. Editing (penyuntingan)

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua isian pada semua

item pertanyaan dalam kuesioner. Editing dilakukan pada saat

pengumpulan data atau setelah data terkumpul dengan memeriksa jumlah

kuesioner, kelengkapan identitas, lembar kuesioner, kelengkapan isian

kuesioner, serta kejelasan jawaban.

2. Coding (pengkodean)

Coding merupakan pemberian kode atau angka pada variabel yang diteliti

untuk memudahkan pengolahan data. Dalam penelitian ini menggunakan

coding sebagai berikut:

Tabel 4.2 Coding Variabel Penelitian

No Variabel Kategori Kode


1 Kinerja PMO Baik 1
Kurang baik 2
2 Pengetahuan Pasien Baik 1
Kurang baik 2
3 Keberhasilan Pengobatan Berhasil 1
Tidak berhasil 2
3. Entry data (memasukkan data)

Entry data yaitu memasukkan data yang telah diperoleh menggunakan

fasilitas komputer. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan program

Microsoft Excel dan program aplikasi pengolah data statistik SPSS 16.0.

4. Tabulating (pentabulasian)

Kegiatan tabulating dalam penelitian meliputi, pengelompokan data sesuai

dengan tujuan penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam tabel-tabel yang

telah ditentukan, berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skor atau

kodenya. Dalam penelitian ini peneliti melakukan tabulasi data

menggunakan program aplikasi pengolah data statistik SPSS 16.0.

4.10 Teknik Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari penelitian ini kemudian dianalisis

dengan menggunakan program aplikasi pengolah data statistik SPSS 16.0.

Analisis data pada penelitian ini meliputi:

1. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi

dari variabel bebas (kinerja PMO dan pengetahuan pasien), variabel

terikat (keberhasilan pengobatan), maupun deskripsi karakteristik

responden (jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, tipe TB paru, dan

hubungan dengan PMO).


2. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Analisis bivariat untuk mengetahui

kemaknaan hubungan (p) menggunakan analisis chi-square atau

alternatifnya fisher exact dan besarnya risiko menggunakan ratio

prevalens (RP). Untuk uji chi-square atau fisher exact digunakan derajat

kepercayaan (Confident Interval 95%), dan batas kemaknaan alfa 5%

(0,05), bila diperoleh p < 0,05, artinya secara statistik ada perbedaan

yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat, dan bila p

> 0,05 artinya secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara

variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan untuk RP, jika nilai

RP > 1, artinya dugaan adanya faktor resiko terhadap efek memang

benar, dan nilai RP < 1, artinya bahwa faktor yang diteliti tersebut justru

menurunkan terjadinya efek.


BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan mencakup 1

kelurahan dan 15 desa, dengan luas wilayah sekitar 42,90 km2. Batas-batas

wilayah kerja Puskesmas Bendo adalah sebelah utara Kecamatan Maospati,

sebelah selatan Kecamatan Kawedanan dan Takeran, sebelah barat

Kecamatan Sukomoro, dan sebelah timur Kabupaten Madiun. Jarak antara

Puskesmas dengan desa tidak terlalu jauh, desa yang memiliki jarak terjauh

dari Puskesmas yaitu desa Tegalarum dengan jarak 5 km (BPS Kabupaten

Magetan, 2017).

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Bendo pada tahun 2017

sebanyak 42.252 jiwa, dengan kepadatan penduduk 985 jiwa per km2.

Berdasarkan jenis kelaminnya penduduk perempuan berjumlah 21.820 jiwa

lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang berjumlah

20.432 jiwa. Jumlah fasilitas kesehatan pada tahun 2017 sebanyak 70

fasilitas, yang meliputi Puskesmas, Puskesmas Pembantu, klinik KB,

Posyandu, dan Poskesdes/Polindes. Jumlah tenaga medis di wilayah kerja

Puskesmas Bendo pada tahun 2017 sebanyak 44 orang, yang meliputi dokter

umum, dokter gigi, dokter spesialis, bidan, dan mantri kesehatan (BPS

Kabupaten Magetan, 2017).

53
Jumlah pasien tuberkulosis paru pada periode 2016-2017 sebanyak 50

orang. Penelitian ini dilaksanakan di 11 desa yang terdapat pasien

tuberkulosis paru yaitu, Dukuh, Belotan, Pingkuk, Tanjung, Kinandang,

Soco, Lemahbang, Kledokan, Carikan, Duwet, dan Setren.

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Data Umum

Data umum akan menyajikan karakteristik responden penelitian

berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, tipe

tuberkulosis paru, dan status hubungan responden dengan PMO.

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


1 Laki-laki 15 44,1
2 Perempuan 19 55,9
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 19 orang

(55,9%).

54
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten
Magetan Bulan Mei 2018

No Umur Jumlah Persentase (%)


1 18 – 25 tahun 1 2,1
2 26 – 35 tahun 7 20,6
3 36 – 45 tahun 3 8,8
4 46 – 55 tahun 11 32,4
5 56 – 65 tahun 3 8,8
6 >65 tahun 9 26,5
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden termasuk kelompok umur 46 – 55 tahun yaitu sebanyak

11 orang (32,4%). Sedangkan responden yang paling sedikit

termasuk kelompok umur 18 – 25 tahun yaitu sebanyak 1 orang

(2,1%).

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten
Magetan Bulan Mei 2018

No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)


1 Petani 9 26,5
2 Swasta 4 11,8
3 Wiraswasta 2 5,9
4 PNS 1 2,9
5 Ibu Rumah Tangga 11 32,4
6 Tidak bekerja 7 20,6
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 11 orang

(32,4%). Sedangkan responden yang paling sedikit bekerja sebagai

PNS yaitu sebanyak 1 orang (2,9%).

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)


1 Tidak sekolah 8 23,5
2 Tamat SD 10 29,4
3 Tamat SMP 5 14,7
4 Tamat SMA 11 32,4
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMA yaitu sebanyak

11 orang (32,4%). Sedangkan sebagian kecil responden memiliki

tingkat pendidikan tamat SMP yaitu sebanyak 5 orang (14,7%).

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe Tuberkulosis Paru

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Tipe Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Bendo Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Tipe TB Paru Jumlah Persentase (%)


1 BTA positif 22 64,7
2 BTA negatif 12 35,3
Total 34 100,0
Sumber: data sekunder Puskesmas Bendo 2018
Berdasarkan tabel 5.5 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki tipe tuberkulosis paru BTA positif yaitu

sebanyak 22 orang (64,7%).

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Hubungan PMO

dengan Responden

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Hubungan dengan PMO di Wilayah Kerja Puskesmas
Bendo Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Hubungan PMO dengan Jumlah Persentase (%)


Responden
1 Orang tua 1 2,9
2 Suami/istri 16 47,1
3 Anak 12 35,3
4 Cucu 1 2,9
5 Lainnya 4 11,8
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.6 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki PMO yang berasal dari keluarganya yaitu

suami/istri sebanyak 16 orang (47,1%). Sedangkan sebagian kecil

responden memiliki PMO yang berstatus sebagai orang tua (2,9%)

dan cucu (2,9%) dari responden. Selain itu, ada 4 responden (11,8%)

yang memiliki PMO bukan berasal dari keluarganya, seperti petugas

kesehatan dan tetangga.


5.2.2 Data Khusus

Data khusus akan menyajikan data karakteristik responden yang

terkait dengan variabel bebas (kinerja PMO dan pengetahuan pasien)

dan variabel terikat (keberhasilan pengobatan).

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Kinerja PMO

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Kinerja PMO di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Kinerja PMO Jumlah Persentase (%)


1 Baik 25 73,5
2 Kurang baik 9 26,5
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.7 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki PMO yang tingkat kinerjanya termasuk baik

yaitu sebanyak 25 orang (73,5%).

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan Pasien

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Pengetahuan Pasien di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Pengetahuan Pasien Jumlah Persentase (%)


1 Baik 27 79,4
2 Kurang baik 7 20,6
Total 34 100,0
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.8 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru

yang termasuk baik yaitu sebanyak 27 orang (79,4%).


3. Karakteristik Responden Berdasarkan Keberhasilan Pengobatan

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Keberhasilan Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas
Bendo Kabupaten Magetan Bulan Mei 2018

No Keberhasilan Pengobatan Jumlah Persentase (%)


1 Berhasil 27 79,4
2 Tidak berhasil 7 20,6
Total 34 100,0
Sumber: data sekunder Puskesmas Bendo 2018

Berdasarkan tabel 5.9 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden berhasil dalam pengobatan tuberkulosis paru yaitu

sebanyak 27 orang (79,4%).

5.2.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

kinerja PMO dan pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan. Penelitian ini menggunakan uji statistik fisher exact atau uji

alternatif untuk chi-square, karena tidak memenuhi syarat uji chi-

square yaitu ada sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5 lebih

dari 20% dari jumlah sel. Dimana pada uji statistik hubungan kinerja

PMO dengan keberhasilan pengobatan terdapat 2 sel (50%) yang

mempunyai nilai expected kurang dari 5, dan pada uji statistik

hubungan pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan terdapat

1 sel (25%) yang mempunyai nilai expected kurang dari 5. Berikut

adalah hasil analisa bivariat penelitian menggunakan aplikasi pengolah

data statistik SPSS 16.0:


1. Hubungan Kinerja PMO dengan Keberhasilan Pengobatan

Tuberkulosis Paru

Tabel 5.10 Tabulasi Silang Hubungan antara Kinerja PMO dengan Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo

Keberhasilan Pengobatan
Kinerja RP
Berhasil Tidak Berhasil Total P-value
PMO (95% CI)
F % F % F %
Baik 22 91,7 2 8,3 24 100,0 0,014 2,070
Kurang (1,008 –
5 50,0 5 50,0 10 100,0
Baik 4,237)
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.10 di atas, dapat diketahui bahwa proporsi

responden yang pengobatannya berhasil lebih banyak pada

responden yang memiliki PMO dengan kinerja baik (91,7%)

dibandingkan dengan responden yang memiliki PMO dengan kinerja

kurang baik (50,0%). Hasil analisis uji fiher exact hubungan antara

kinerja PMO dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru

menunjukkan bahwa nilai p = 0,014 kurang dari α = 0,05. Maka

dapat diambil kesimpulan bahwa secara statistik ada hubungan

antara kinerja PMO dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis

paru. Nilai RP = 2,070 > 1, maka secara statistik dapat disimpulkan

bahwa pasien yang memiliki PMO dengan kinerja baik mempunyai

kemungkinan pengobatannya berhasil sebesar 2 kali daripada pasien

yang memiliki PMO dengan kinerja yang kurang baik.


2. Hubungan Pengetahuan Pasien dengan Keberhasilan Pengobatan

Tuberkulosis Paru

Tabel 5.11 Tabulasi Silang Hubungan antara Pengetahuan Pasien dengan


Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bendo

Keberhasilan Pengobatan
Pengetahuan Tidak P- RP
Berhasil Total
Pasien Berhasil value (95% CI)
F % F % F %
Baik 25 92,6 2 7,4 27 100,0 0,001 3,241
Kurang Baik (1,020 –
2 28,6 5 71,4 7 100,0
10,506)
Sumber: data primer hasil penelitian bulan Mei 2018

Berdasarkan tabel 5.11 di atas, dapat diketahui bahwa proporsi

responden yang pengobatannya berhasil lebih banyak pada

responden yang memiliki pengetahuan yang baik (92,6%)

dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan yang

kurang baik (28,6%). Hasil analisis uji fiher exact hubungan antara

pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis

paru menunjukkan bahwa nilai p = 0,001 kurang dari α = 0,05. Maka

dapat diambil kesimpulan bahwa secara statistik ada hubungan

antara pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru. Nilai RP = 3,241 > 1, maka secara statistik dapat

diambil kesimpulan bahwa pasien dengan pengetahuan tentang

tuberkulosis paru yang baik mempunyai kemungkinan

pengobatannya berhasil sebesar 3,2 kali daripada pasien yang

memiliki pengetahuan tentang tuberkulosis paru yang kurang baik.


5.3 Pembahasan

5.3.1 Kinerja PMO

Kinerja PMO adalah pemenuhan tugas-tugas PMO dalam

melakukan pengawasan minum obat terhadap pasien TB selama masa

pengobatannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 34

responden, diperoleh bahwa sebagian besar responden memiliki PMO

yang kinerjanya baik sebanyak 25 orang (73,5%), sedangkan sebanyak

9 orang (26,5%) PMO yang kinerjanya kurang baik. Sehingga dapat

diketahui bahwa kinerja PMO pada pasien tuberkulosis paru di wilayah

kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan termasuk dalam kategori

baik. PMO ditunjuk langsung oleh petugas pelayanan kesehatan saat

pasien pertama kali berobat ke Puskesmas. Kemudian PMO diberi

penjelasan oleh petugas pelayanan kesehatan Puskesmas mengenai

tugas-tugas yang harus dilaksanakan hingga masa pengobatan pasien

selesai. PMO sebagian besar berasal dari keluarga pasien yang tinggal

serumah. Sehingga pengawasan menelan obat secara langsung dapat

dilakukan dengan lebih efektif. Namun, PMO yang berasal dari

keluarga juga memiliki kekurangan, yaitu kurangnya informasi dan

pengetahuan tentang tuberkulosis paru, sehingga tidak dapat melakukan

penyuluhan kepada pasien dan keluarga lainnya yang tentang

tuberkulosis paru.

Pengawasan menelan obat secara langsung sangat penting

setidaknya selama tahap pengobatan intensif untuk meyakinkan bahwa


obat ditelan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat.

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pengawas menelan obat

yaitu, mengawasi dan memberi dorongan kepada pasien agar berobat

teratur sampai pengobatan selesai, mengingatkan dan memastikan

pasien untuk periksa ulang dahak sesuai jadwal, serta memberi

penyuluhan pada pasien dan anggota keluarga tentang TB paru. PMO

sebaiknya adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat,

sanitarian, dan lainnya. Jika tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota

PPTI, PKK, tokoh masyarakat lainnya, atau anggota keluarga

(KEMENKES RI, 2016).

Sebagian besar PMO di wilayah kerja Puskesmas Bendo

Kabupaten Magetan telah melaksanakan tugas pengawasan menelan

obat terhadap pasien (85,3%) yang meliputi, mengingatkan dan

memastikan pasien menelan obat sesuai ketentuan hingga pengobatan

selesai, mengingatkan dan mendampingi pasien ke Puskesmas untuk

mendapatkan pengobatan, serta memberi dukungan moral kepada

pasien untuk berobat teratur. Namun sebagian besar PMO (70,6%) tidak

melaksanakan tugas untuk memberikan penyuluhan atau

menyampaikan kepada pasien dan keluarga atau orang yang tinggal

serumah mengenai penyakit tuberkulosis paru.


5.3.2 Pengetahuan Pasien Tuberkulosis Paru

Pengetahuan pasien TB paru adalah pengetahuan pasien tentang

penyakit TB, gejala, penularan, pemeriksaan, pengobatan, dan

bahayanya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 34

responden, diperoleh bahwa sebagian besar responden memiliki

pengetahuan yang termasuk baik sebanyak 27 orang (79,4%),

sedangkan sebanyak 7 orang (20,6%) yang pengetahuannya kurang

baik. Sehingga dapat diketahui bahwa pengetahuan pasien tuberkulosis

paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan termasuk

dalam kategori baik. Sebagian besar pasien mengetahui tentang gejala

(88,2%), pemeriksaan (91,2%), dan pengobatan penyakit tuberkulosis

paru (70,6%). Hal tersebut dikarenakan pasien sudah mengetahui

melalui pengalamannya sendiri selama masa pengobatan tuberkulosis

paru. Namun sebagian besar pasien tidak mengetahui tentang etiologi

(70,6%), cara penularan (55,9), dan bahaya penyakit tuberkulosis paru

(52,9%), karena pasien tidak pernah mendapatkan informasi mengenai

hal-hal tersebut.

Pengetahuan seseorang akan mempengaruhi kesehatan seseorang,

sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang tersebut

akan berusaha berperilaku hidup bersih dan sehat. Begitu juga dengan

pasien TB paru setelah mengetahui penyakitnya, mereka harus

mengetahui tentang gejala-gejala TB paru, cara pemeriksaan, tujuan

dari pengobatan, pencegahan penularan, bahaya TB paru dan


sebagainya. Pengetahuan tersebut dapat berasal dari menuntut ilmu di

lembaga pendidikan formal maupun inforal seperti media elektronik,

media cetak, atau lingkungan sekitar. Selain itu pengetahuan tentang

penyakit TB paru dapat berasal dari penyuluhan kesehatan (Suryo,

2010).

Pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan memperoleh informasi tentang tuberkulosis paru dari petugas

pelayanan kesehatan atau dokter pada saat berobat ke pelayanan

kesehatan. Informasi yang diberikan adalah tentang cara pengobatan

penyakit tuberkulosis paru, cara pencegahan agar penyakit tuberkulosis

paru tersebut tidak menular, yaitu dengan menggunakan masker,

menutup mulut saat batuk dan bersin, serta tidak meludah sembarangan.

Informasi tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan informasi

yang seharusnya diperoleh oleh pasien TB paru, yaitu informasi tentang

etiologi TB paru, bahaya TB paru, serta cara pencegahan penularan

yang lain seperti menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal,

penggunaan ventilasi dan pencahayaan yang baik, dan menjaga daya

tahan tubuh. Selain itu, di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan belum ada kegiatan penyuluhan dari petugas kesehatan kepada

pasien atau keluarga, serta masyarakat tentang tuberkulosis paru,

sehingga sebagian besar pasien tidak mengetahui informasi yang

lengkap tentang penyakit tersebut.


5.3.3 Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 34 responden,

diperoleh bahwa sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan

tuberkulosis paru sebanyak 27 orang (79,4%), sedangkan sebanyak 7

orang (20,6%) yang tidak berhasil dalam pengobatannya. Sehingga

dapat diketahui bahwa keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di

wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan termasuk dalam

kategori kurang baik. Hal tersebut dikarenakan angka keberhasilan

pengobatannya belum memenuhi target nasional yaitu ≥ 85%. Pasien

yang pengobatannya tidak berhasil sebagian besar (57,1%) adalah

pasien TB paru BTA negatif yang tidak menyelesaikan pengobatan

selama 6 bulan, karena merasa sudah sembuh. Selain itu, sebesar 13,6%

pasien TB paru BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya masih

positif setelah 6 bulan pengobatan, sehingga melanjutkan

pengobatannya ke kategori 2.

Keberhasilan pengobatan adalah jumlah semua kasus TB yang

sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang diobati

dan dilaporkan. Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai

berdasarkan uji bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada

akhir pengobatan TB Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil

rontgen ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan paru-

parunya. Keberhasilan pengobatan TB paru dapat dicapai dengan

melakukan pengobatan OAT lengkap selama 6 bulan, jika tidak sedang


dalam kondisi khusus. Pengobatan yang salah dan tidak adekuat

menyebabkan kegagalan dalam menyembuhkan penderita, dapat

menyebabkan kebal terhadap obat, menyulitkan penyembuhan,

sehingga memudahkan penularan kepada orang lain (KEMENKES RI,

2016).

Pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kabupaten

Magetan pada akhir masa pengobatannya melakukan periksa ulang

dahak untuk mengetahui hasil akhir pengobatan apakah sembuh atau

gagal. Namun hasil tersebut tidak didukung dengan pemeriksaan

rontgen, karena petugas Puskesmas tidak menginformasikan kepada

pasien untuk periksa rontgen pada akhir pengobatan. Maka tidak

diketahui apakah sudah tidak ada masalah dengan kondisi paru-paru

pasien.

5.3.4 Hubungan antara Kinerja PMO dengan Keberhasilan Pengobatan

Tuberkulosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang

memiliki PMO dengan kinerja baik, berhasil dalam pengobatannya

(91,7%). Hal tersebut didukung dengan hasil uji fisher exact diperoleh

nilai p sebesar 0,014, serta nilai RP sebesar 2,070. Hasil tersebut

membuktikan bahwa ada hubungan antara kinerja PMO dengan

keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru, dimana pasien yang

memiliki PMO dengan kinerja baik mempunyai kemungkinan


pengobatannya berhasil sebesar 2 kali daripada pasien yang memiliki

PMO dengan kinerja yang kurang baik.

Pengawasan menelan obat sangat penting dalam keberhasilan

pengobatan, karena pasien TB paru selama masa pengobatan yang

panjang kemungkinan akan merasa bosan harus setiap hari

mengkonsumsi obat, sehingga dikhawatirkan akan terjadi lupa minum

obat atau putus minum obat. Adanya PMO diharapkan dapat mencegah

terjadinya putus pengobatan, karena putus pengobatan akan

mengakibatkan pengobatan selanjutnya lebih sulit dan memerlukan

waktu yang lebih panjang (Rosidah, 2008). Kinerja PMO yang baik

yaitu untuk menjamin ketekunan, keteraturan pengobatan, memberikan

dorongan kepada pasien untuk berobat secara teratur, menghindari

putus minum obat sebelum habis masa pengobatan, memberikan

penyuluhan kepada anggota keluarga pasien, serta mencegah

ketidakberhasilan pengobatan (KEMENKES RI, 2014).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Harnanik

(2014), yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan

keberhasilan pengobatan TB paru. Hasil penelitian menunjukkan ada

hubungan antara PMO dengan keberhasilan pengobatan TB paru.

Keluarga yang berperan sebagai PMO dengan baik membantu

kepatuhan pasien meminum obat, sehingga dapat mengurangi risiko

kegagalan pengobatan, serta membantu meningkatkan semangat dan

kepercayaan diri pasien untuk sembuh. Penelitian lain yang mendukung


adalah penelitian Murtantiningsih (2010) yang meneliti faktor-faktor

yang berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara

peran PMO dengan kesembuhan penderita TB paru.

Responden sebagian besar memiliki PMO yang berasal dari

anggota keluarga yang tinggal serumah (88,2%). Menurut Hapsari

(2010) PMO dari anggota keluarga memiliki beberapa keuntungan

yaitu, dapat memantau pasien setiap saat karena dekat dengan pasien,

memiliki ikatan emosional sehingga lebih dapat dipercaya oleh pasien.

Pengawasan, perhatian, serta dukungan dari PMO merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan, karena pasien akan merasa diperhatikan dan lebih

termotivasi untuk menjalani pengobatan secara teratur. Pasien yang

berobat secara teratur dan dengan paduan obat yang baik akan

menjadikan pengobatannya berhasil atau sembuh. Sehingga dengan

kinerja PMO yang baik akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan

pengobatan.

Responden yang memiliki PMO dengan kinerja baik, sebanyak

8,3% diantaranya tidak berhasil dalam pengobatan. Hal tersebut

disebabkan oleh faktor dalam diri pasien, yaitu keyakinan bahwa jika

pasien sudah merasa sembuh atau gejala-gejala TB paru yang dialami

telah hilang, maka pasien tersebut dapat menghentikan pengobatan.

Selain itu, ada pula pasien yang tidak menyelesaikan pengobatannya


karena merasa bosan untuk minum obat dengan kombinasi yang banyak

dan adanya efek samping yang ditimbulkan. Sedangkan responden yang

memiliki PMO dengan kinerja kurang baik, sebanyak 50% diantaranya

berhasil dalam pengobatan. Hal tersebut dikarenakan pasien memiliki

pengetahuan dan kesadaran yang baik terhadap penyakitnya. Sehingga

meskipun tanpa pengawasan atau tidak diingatkan oleh PMO, pasien

dengan kesadaran diri sendiri memiliki kemauan dan kemampuan untuk

menjalani pengobatan secara teratur hingga masa pengobatan selesai.

5.3.5 Hubungan antara Pengetahuan Pasien dengan Keberhasilan

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien

dengan pengetahuan tentang TB paru yang baik, berhasil dalam

pengobatannya (92,6%). Hal tersebut didukung dengan hasil uji fisher

exact diperoleh nilai p sebesar 0,001, serta nilai RP sebesar 3,241. Hasil

tersebut membuktikan bahwa ada hubungan antara pengetahuan pasien

dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru, dimana pasien

dengan pengetahuan tentang TB paru yang baik mempunyai

kemungkinan pengobatannya berhasil sebesar 3,2 kali daripada pasien

yang pengetahuannya kurang baik.

Sebelum seseorang mengubah perilakunya, ia harus mengetahui

terlebih dahulu arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau

keluarganya. Pengetahuan yang baik tentang sakit atau suatu penyakit

akan membuat sesorang semakin terdorong untuk memeriksakan


dirinya ke fasilitas kesehatan dan mengikuti anjuran petugas kesehatan

agar penyakitnya dapat sembuh (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan

penderita TB paru yang kurang mengenai cara penularan, bahaya, dan

cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai

orang sakit, dan akhirnya berakibat terhadap keberhasilan

pengobatannya (Suryo, 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dhewi (2011), yang

meneliti hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat

pasien TB paru. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pasien TB

paru. Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian

Kholifah (2014), yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan

angka kesembuhan TB paru. Hasil penelitian tersebut menyatakan tidak

ada hubungan antara pengetahuan dengan angka kesembuhan TB paru.

Hal tersebut dikarenakan kurangnya faktor lain yang dapat mendukung

perubahan perilaku, misalnya motivasi, fasilitas, dan sarana.

Pengetahuan responden tentang TB paru sebagian besar

didapatkan dari dokter atau petugas kesehatan saat pasien berobat ke

pelayanan kesehatan, maupun dari PMO. Pengetahuan pasien tentang

TB paru akan mempengaruhi tindakan pasien terhadap penyakitnya,

dimana sebagian besar pasien mengikuti nasehat dan petunjuk dari

dokter/petugas kesehatan dan PMO sesuai ketentuan yang diberikan.

Responden yang tidak berhasil dalam pengobatannya sebagian besar


memiliki pengetahuan tentang TB paru yang kurang, karena belum

adanya penyuluhan dari petugas kesehatan. Maka dalam pengobatan TB

paru perlu melengkapi pasien dengan informasi-informasi atau

penyuluhan kesehatan yang cukup jelas mengenai penyakitnya yang

dapat disembuhkan serta memberikan semangat agar dapat memenuhi

seluruh jadwal pengobatan.

Responden yang memiliki pengetahuan baik, sebanyak 7,4%

diantaranya tidak berhasil dalam pengobatan. Hal tersebut disebabkan

oleh kurangnya motivasi pasien untuk menjalani pengobatan secara

teratur, karena tidak ada dukungan dari PMO maupun keluarga. Selain

itu, pasien juga enggan ke Puskesmas untuk kontrol atau mengambil

obat, karena tidak ada yang mengantarkan. Sedangkan responden yang

memiliki pengetahuan kurang baik, sebanyak 28,6% diantaranya

berhasil dalam pengobatan. Hal tersebut disebabkan oleh peran aktif

dari PMO maupun keluarga pasien. PMO selalu mengingatkan,

menyiapkan, dan memastikan pasien telah benar-benar meminum

obatnya secara teratur. PMO juga selalu menemani dan mengantarkan

pasien ke Puskesmas untuk kontrol dan mengambil obat.

5.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat

mempengaruhi hasil penelitian, yaitu sebagai berikut:


1. Kuesioner dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan

teori tentang kinerja PMO dan pengetahuan pasien TB paru, dikarenakan

belum ada kuesioner yang baku. Maka peneliti melakukan uji validitas dan

reliabilitas kuesioner untuk membuktikan ketepatan dan kelayakan

kuesioner untuk mengukur variabel yang diteliti.

2. Uji statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam penelitian

ini menggunakan uji non-parametrik, sehingga memiliki tingkat kepekaan

yang kurang baik meskipun hasilnya berhubungan. Namun peneliti telah

melengkapi hasil penelitian dengan teori dan penelitian terdahulu yang

mendukung, sehingga memperkuat hasil penelitian.


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan,

maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden memiliki PMO yang kinerjanya baik

dibandingkan dengan PMO yang kinerjanya kurang baik.

2. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik dibandingkan

dengan pengetahuan yang kurang baik.

3. Sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan tuberkulosis paru

dibandingkan dengan yang tidak berhasil.

4. Ada hubungan yang signifikan antara kinerja PMO dengan keberhasilan

pengobatan tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bendo

Kabupaten Magetan.

5. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pasien dengan

keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas

Bendo Kabupaten Magetan.

6.2 Saran

1. Bagi Penderita

Penderita sebaiknya melakukan pengobatan secara teratur hingga masa

pengobatan selesai. Penderita sebaiknya melakukan perilaku kesehatan


yang dapat mencegah penyakit tidak bertambah buruk, seperti menjaga

kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal, serta makan makanan yang

bergizi.

2. Bagi Instansi Kesehatan

Petugas kesehatan diharapkan melakukan kunjungan rumah pasien TB

paru secara berkala sebagai bentuk dukungan dan pengawasan terhadap

pengobatan pasien. Selain itu, petugas kesehatan perlu untuk melakukan

kegiatan penyuluhan atau pelatihan mengenai TB paru kepada PMO atau

keluarga untuk meningkatkan kinerja PMO dalam melaksanakan tugas-

tugasnya. Sehingga pengetahuan, motivasi, dan kesadaran pasien dalam

menghadapi penyakitnya juga akan meningkat.

3. Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun

Informasi dari penelitian ini diharapkan mendorong pihak institusi untuk

dapat berperan dalam masyarakat, dengan melakukan edukasi atau

penyuluhan tentang TB paru kepada masyarakat maupun pasien TB paru.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat melakukan penelitian dengan variabel yang lebih

kompleks, sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pengobatan TB paru lebih lengkap. Selain itu, dapat pula

dilakukan penelitian kualitatif, sehingga diharapkan mendapatkan hasil

penelitian yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis.


Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Bahua, M. Ikbal. 2016. Kinerja Penyuluh Pertanian. Yogyakarta: Deepublish.
Budiman, dan Riyanto, A. 2013. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan
Sikap. Jakarta: Salemba Medika.
Chin, James. 2012. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:
Infomedika.
Dhewi, I., Gendhis. 2011. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap Pasien dan
Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien TB Paru
di BKPM Pati. Semarang: STIKES Telogorejo Semarang.
Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan. 2018. Profil Kesehatan Kabupaten
Magetan Tahun 2017. Magetan: Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur Tahun 2016. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013.
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Hapsari, J. R. 2010. Hubungan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan
Keteraturan Berobat Pasien TB Paru Strategi DOTS di RSUD Dr
Moewardi Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Harnanik. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan TB Paru di Puskesmas Purwodadi II Kabupaten Grobogan.
Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Kementrian Hukum dan HAM RI. 2004. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta: Kementrian
Hukum dan HAM RI.

76
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67
Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Kholifah, Siti. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka
Kesembuhan dan Angka Penemuan Kasus Tuberkulosis di Kota Semarang.
Semarang: Universitas Dian Nuswantoro.
Maulana, D. J., Heri. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Muchson. 2017. Metode Riset Akuntansi. Jakarta: Spasi Media.
Muri, Yusuf. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana.
Murtantiningsih. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan
Pasien Tuberkulosis Paru. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Noorkasiani. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, D. R. Rivangga. 2014. Hubungan antara Peran Pengawas Minum Obat
(PMO) Terhadap Kepatuhan Kunjungan Berobat pada Pasien Tuberculosis
Paru (TB Paru) di Puskesmas Nogosari Boyolali. Surakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Putri, Adelina, Jose. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan PMO
(Pengawas Minum Obat) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti

77
Tuberkulosis Pasien TB Paru. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.
Rosidah, F. 2008. Jurnal Kesehatan Masyarakat; Beberapa Faktor yang
Berhubungan dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru di BP4 Tegal.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
Subagyo, Ahmad. 2013. Strategi DOTS Perlukah untuk Pengobatan. Diakses
melalui https://www.klikparu.com pada tanggal 3 Maret 2018.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sujarweni, Wiratna. 2015. SPSS Untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan:
Pneumonia, Kanker paru-paru, TB, Bronkitis, Pleurisis. Yogyakarta: B
First.
Tirtana, T., Bertin. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat
Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
UPTD Puskesmas Bendo. 2018. Profil Kesehatan Puskesmas Bendo Tahun 2017.
Bendo: UPTD Puskesmas Bendo.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report 2015. Ganeva:
WHO.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 11

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ninis Wulandari
NIM : 201403075
Adalah salah satu mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun yang sedang melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan antara Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dan Pengetahuan
Pasien dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan”.
Dengan ini memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk menjadi
responden dalam penelitian ini. Kerahasiaan semua informasi akan dijaga dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Diharapkan
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari menjawab pertanyaan peneliti dengan jawaban yang
jujur tanpa menutupi hal yang sebenarnya.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari menjadi
responden, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Ninis Wulandari
Lampiran 12

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama :
Alamat:
Memberikan persetujuan untuk mengisi angket yang diberikan peneliti. Saya
mengerti bahwa saya menjadi bagian dari penelitian ini yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dan
pengetahuan pasien dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di wilayah
kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.
Saya telah diberitahu peneliti, bahwa jawaban angket ini hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian. Oleh karena itu, secara sukarela saya ikut berperan serta
dalam penelitian ini.

Magetan, Mei 2018


Responden

( )
Lampiran 13

KISI-KISI KUESIONER

1. Kinerja PMO

No Uraian Nomor Soal Jumlah Soal


1 Tugas PMO 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 9
2 Informasi yang disampaikan PMO 10, 11, 12, 13 4
Jumlah 13

2. Pengetahuan Pasien

No Uraian Nomor Soal Jumlah Soal


1 Etiologi TB paru 1, 2, 3 3
2 Gejala TB paru 4, 5, 6 3
3 Pemeriksaan TB paru 7, 8, 9 3
4 Cara Penularan TB paru 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 7
5 Pengobatan TB paru 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 7
6 Bahaya TB paru 24, 25 2
Jumlah 25
Lampiran 14

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI


HUBUNGAN ANTARA KINERJA PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO)
DAN PENGETAHUAN PASIEN DENGAN KEBERHASILAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENDO KABUPATEN MAGETAN

Nomor Responden:
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama Responden :
2. Jenis Kelamin :
3. Alamat :
4. Umur :
5. Pekerjaan :
6. Tingkat Pendidikan :
7. Tipe TB paru :
8. Hubungan dengan PMO :
9. Penyakit Penyerta :

B. KEBERHASILAN PENGOBATAN
Hasil Akhir Pengobatan:
a. Berhasil (sembuh (BTA –) / pengobatan lengkap)
b. Tidak berhasil (gagal / BTA +)

C. KINERJA PMO
No Pertanyaan Ya Tidak
Apakah PMO selalu mengingatkan saudara untuk
1 meminum obat secara teratur sampai selesai
pengobatan?
Apakah PMO menyiapkan obat TB yang harus saudara
2
minum?
Apakah PMO tidak pernah menyaksikan saudara pada
3
saat meminum obat?
No Pertanyaan Ya Tidak
Apakah PMO memberi dukungan kepada saudara agar
4
mau berobat teratur?
Apakah PMO mendengarkan keluhan saudara
5
mengenai pengobatan TB?
Apakah saudara pergi sendiri ke pelayanan kesehatan
6
untuk mengambil obat?
Apakah PMO selalu mengingkatkan saudara untuk
7
periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan?
Apakah PMO selalu mengantarkan atau memastikan
8 bahwa saudara sudah periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan?
Apakah PMO diam saja apabila ada anggota keluarga
9
yang memiliki gejala TB paru?
Apakah PMO pernah menyampaikan kepada saudara
10 dan keluarga bahwa TB paru adalah penyakit keturunan
atau kutukan?
Apakah PMO pernah menyampaikan kepada saudara
11 dan keluarga bahwa TB paru dapat disembuhkan
dengan berobat teratur?
Apakah PMO pernah menyampaikan kepada saudara
12 dan keluarga tentang cara penularan TB, gejala-gejala
yang mencurigakan dan cara pencegahannya?
Apakah anda dan keluarga mencari informasi sendiri
13
tentang cara pengobatan TB paru?
`
D. PENGETAHUAN PASIEN
No Pernyataan Benar Salah
1 TB paru merupakan penyakit keturunan
Kuman penyebab TB paru sama dengan kuman penyebab
2
flu/pilek
Kuman TB dapat menetap dan tertidur lama di dalam tubuh
3 manusia
Batuk selama 2 minggu atau lebih dapat dicurigai terinfeksi
4
TB paru
Batuk berdahak dan disertai darah merupakan gejala TB
5
paru
Berkeringat di malam hari, berat badan turun, dan lemas
6
adalah tanda-tanda penyakit TB paru
Lampiran 140
No Pernyataan Benar Salah
Orang yang dekat dengan penderita TB paru juga perlu
7
untuk periksa
Salah satu cara pemeriksaan untuk menentukan penyakit
8
TB paru adalah dengan rontgen dada
Pemeriksaan dahak dilakukan 1 kali untuk menentukan
9
infeksi TB paru
10 Meludah sembarangan dapat menyebarkan kuman TB paru
Lingkungan perumahan yang padat dan kumuh akan
11
memudahkan penularan TB paru
12 TB paru dapat ditularkan melalui keringat
Menutup mulut saat batuk dan bersin dapat mencegah
13
penularan TB paru
Imunisasi BCG tidak dapat mencegah infeksi TB paru pada
14
anak-anak
Ventilasi atau pencahayaan ruangan yang baik dapat
15
mencegah penyebaran kuman TB paru
Daya tahan tubuh yang lemah dapat meningkatkan risiko
16
terinfeksi TB paru
Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan dan
17
mencegah kekambuhan penyakit TB
Pengobatan penderita TB paru perlu diawasi oleh PMO
18
sampai pengobatan selesai
Pengobatan TB dapat dihentikan setelah pasien merasa
19
sembuh
Pengobatan TB pada tahap awal selama 2 bulan dan
20 dilakukan pemeriksaan ulang dahak untuk masuk tahap
lanjutan
21 Obat TB paru tidak memiliki efek samping
Penderita TB paru yang tidak teratur minum obat atau putus
22 berobat akan menyebabkan penderita kebal terhadap obat
TB dan masa pengobatannya lebih lama
Penderita TB paru dinyatakan sembuh setelah menjalani
23 pengobatan minimal 6 bulan dan hasil akhir pemeriksaan
dahak negatif
24 TB paru dapat menyebar ke bagian tubuh lain
25 TB paru dapat menyebabkan kematian
Lampiran 15

98
Lampiran 16

HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS


KUESIONER KINERJA PMO DAN PENGETAHUAN PASIEN

1. Kuesioner Kinerja PMO


a. Uji Validitas
Correlations
kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja kinerja total skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 kinerja
kinerja 1 Pearson
1 .408* .184 1.000** .604** .259 1.000** .259 .523** .557** .802** .802** .557** .149 .891**
Correlatio
n
Sig. (2-tailed) .025 .331 .000 .000 .167 .000 .167 .003 .001 .000 .000 .001 .432 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 2 Pearson * * * * *
.408 1 .450 .408 .193 .181 .408 .181 .280 .227 .327 .327 .227 .365 .631**
Correlatio
n
Sig. (2-tailed) .025 .012 .025 .307 .337 .025 .337 .134 .227 .077 .077 .227 .047 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 3 Pearson
.184 .450* 1 .184 -.255 -.079 .184 -.079 -.015 .102 .147 .147 .102 .599** .361*
Correlatio
n
Sig. (2-tailed) .331 .012 .331 .174 .679 .331 .679 .935 .590 .437 .437 .590 .000 .050
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 4 Pearson
1.000** .408* .184 1 .604** .259 1.000** .259 .523** .557** .802** .802** .557** .149 .891**
Correlatio
n
Sig. (2-tailed) .000 .025 .331 .000 .167 .000 .167 .003 .001 .000 .000 .001 .432 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

99
kinerja 5 Pearson
.604** .193 -.255 .604** 1 .342 .604** .342 .247 .337 .484** .484** .337 -.388* .537**
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .307 .174 .000 .065 .000 .065 .188 .069 .007 .007 .069 .034 .002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 6 Pearson
.259 .181 -.079 .259 .342 1 .259 1.000** .196 -.062 .356 .356 -.062 -.149 .441
Correlation
Sig. (2-tailed) .167 .337 .679 .167 .065 .167 .000 .299 .745 .053 .053 .745 .432 .015
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 7 Pearson
1.000** .408* .184 1.000** .604** .259 1 .259 .523** .557** .802** .802** .557** .149 .891**
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .025 .331 .000 .000 .167 .167 .003 .001 .000 .000 .001 .432 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 8 Pearson **
.259 .181 -.079 .259 .342 1.000 .259 1 .196 -.062 .356 .356 -.062 -.149 .441
Correlation
Sig. (2-tailed) .167 .337 .679 .167 .065 .000 .167 .299 .745 .053 .053 .745 .432 .015
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 9 Pearson
.523** .280 -.015 .523** .247 .196 .523** .196 1 .473** .681** .681** .473** -.088 .603**
Correlation
Sig. (2-tailed) .003 .134 .935 .003 .188 .299 .003 .299 .008 .000 .000 .008 .645 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 10 Pearson
.557** .227 .102 .557** .337 -.062 .557** -.062 .473** 1 .695** .695** 1.000** .083 .610**
Correlation
Sig. (2-tailed) .001 .227 .590 .001 .069 .745 .001 .745 .008 .000 .000 .000 .663 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 11 Pearson
.802** .327 .147 .802** .484** .356 .802** .356 .681** .695** 1 1.000** .695** .120 .878**
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .077 .437 .000 .007 .053 .000 .053 .000 .000 .000 .000 .529 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 12 Pearson
.802** .327 .147 .802** .484** .356 .802** .356 .681** .695** 1.000** 1 .695** .120 .878**
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .077 .437 .000 .007 .053 .000 .053 .000 .000 .000 .000 .529 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 13 Pearson
.557** .227 .102 .557** .337 -.062 .557** -.062 .473** 1.000** .695** .695** 1 .083 .610**
Correlation
Sig. (2-tailed) .001 .227 .590 .001 .069 .745 .001 .745 .008 .000 .000 .000 .663 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
kinerja 14 Pearson
.149 .365* .599** .149 -.388* -.149 .149 -.149 -.088 .083 .120 .120 .083 1 .274
Correlation
Sig. (2-tailed) .432 .047 .000 .432 .034 .432 .432 .432 .645 .663 .529 .529 .663 .143
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
total skor Pearson
.891** .631** .361* .891** .537** .441* .891** .441* .603** .610** .878** .878** .610** .274 1
kinerja Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .050 .000 .002 .015 .000 .015 .000 .000 .000 .000 .000 .143
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level
(2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01
level (2-tailed).

Uji validitas dilakukan dengan menggunakan responden sebanyak 30 orang. Nilai r tabel diperoleh dari tabel r pearson product
moment dengan df = n – 2 = 30 – 2 = 28, maka diperoleh t tabel = 0,312. Butir pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r tabel.
Berdasarkan ouput program aplikasi SPSS di atas, dapat diketahui bahwa butir pertanyaan yang tidak valid adalah butir pertanyaan
ke 14, maka butir pertanyaan tersebut tidak digunakan dalam kuesioner.
b. Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.873 13

Kuesioner dikatakan reliabel jika nilai alpha cronbach > 0,60. Berdasarkan
output program aplikasi SPSS di atas, dapat diketahui bahwa nilai alpha
cronbach yaitu 0,873 > 0,60, maka kuesioner terbukti reliabel.

102
2. Kuesioner Pengetahuan Pasien
a. Uji Validitas

103
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan responden sebanyak 30 orang.
Nilai r tabel diperoleh dari tabel r pearson product moment dengan df = n –
2 = 30 – 2 = 28, maka diperoleh t tabel = 0,312. Butir pertanyaan dikatakan
valid jika r hitung > r tabel. Berdasarkan ouput program aplikasi SPSS di
atas, dapat diketahui bahwa butir pertanyaan yang tidak valid adalah butir
pertanyaan ke 1, 3, 5, 7, dan 8, maka butir pertanyaan tersebut tidak
digunakan dalam kuesioner.

b. Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.958 25

Kuesioner dikatakan reliabel jika nilai alpha cronbach > 0,60. Berdasarkan
output program aplikasi SPSS di atas, dapat diketahui bahwa nilai alpha
cronbach yaitu 0,958 > 0,60, maka kuesioner terbukti reliabel.

108
Lampiran 17

ANALISIS UNIVARIAT KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Jenis Kelamin Responden


Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 15 44.1 44.1 44.1
Perempuan 19 55.9 55.9 100.0
Total 34 100.0 100.0

2. Pekerjaan Responden
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Petani 9 26.5 26.5 26.5
Swasta 4 11.8 11.8 38.2
Wiraswasta 2 5.9 5.9 44.1
PNS 1 2.9 2.9 47.1
Ibu Rumah Tangga 11 32.4 32.4 79.4
Tidak bekerja 7 20.6 20.6 100.0
Total 34 100.0 100.0

3. Tingkat Pendidikan Responden


Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak sekolah 8 23.5 23.5 23.5
tamat SD 10 29.4 29.4 52.9
tamat SMP 5 14.7 14.7 67.6
tamat SMA 11 32.4 32.4 100.0
Total 34 100.0 100.0
4. Umur Responden
Umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 17 - 25 tahun 1 2.9 2.9 2.9
26 -35 tahun 7 20.6 20.6 23.5
36 - 45 tahun 3 8.8 8.8 32.4
46 - 55 tahun 11 32.4 32.4 64.7
56 - 65 tahun 3 8.8 8.8 73.5
> 65 tahun 9 26.5 26.5 100.0
Total 34 100.0 100.0

5. Hubungan PMO dengan Pasien


Hubungan PMO dengan Pasien
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Orang tua 1 2.9 2.9 2.9
Suami/istri 16 47.1 47.1 50.0
Anak 12 35.3 35.3 85.3
Cucu 1 2.9 2.9 88.2
lainnya 4 11.8 11.8 100.0
Total 34 100.0 100.0

6. Tipe TB Paru Responden


Tipe TB Paru
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid BTA+ 22 64.7 64.7 64.7
BTA- 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0

7. Kineja PMO
Kinerja PMO
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang baik 9 26.5 26.5 26.5
Baik 25 73.5 73.5 100.0
Total 34 100.0 100.0

110
8. Pengetahuan Pasien/Responden
Pengetahuan pasien
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang baik 7 20.6 20.6 20.6
Baik 27 79.4 79.4 100.0
Total 34 100.0 100.0

9. Keberhasilan Pengobatan Pasien/Responden


Keberhasilan Pengobatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak berhasil 7 20.6 20.6 20.6
Berhasil 27 79.4 79.4 100.0
Total 34 100.0 100.0

111
Lampiran 18

ANALISIS BIVARIAT HUBUNGAN ANTARA KINERJA PMO DAN


PENGETAHUAN PASIEN DENGAN KEBERHASILAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

1. Hubungan Kinerja PMO dengan Keberhasilan Pengobatan

Kinerja PMO * Keberhasilan Pengobatan Crosstabulation

Keberhasilan Pengobatan
Berhasil Tidak berhasil Total
Kinerja PMO Baik Count 22 2 24
Expected Count 19.1 4.9 24.0
% within Kinerja PMO 91.7% 8.3% 100.0%
Kurang baik Count 5 5 10
Expected Count 7.9 2.1 10.0
% within Kinerja PMO 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 27 7 34
Expected Count 27.0 7.0 34.0
% within Kinerja PMO 79.4% 20.6% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2- sided) (2- sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.496a 1 .006
Continuity Correctionb 5.164 1 .023
Likelihood Ratio 6.944 1 .008
Fisher's Exact Test
.014 .014
Linear-by-Linear
7.275 1 .007
Association
N of Valid Casesb 34
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Kinerja PMO (Baik /
14.375 2.038 101.398
Kurang baik)
For cohort Keberhasilan Pengobatan =
2.070 1.008 4.237
Berhasil
For cohort Keberhasilan Pengobatan =
.144 .034 .615
Tidak berhasil
N of Valid Cases 34
2. Hubungan Pengetahuan Pasien dengan Keberhasilan Pengobatan

Pengetahuan pasien * Keberhasilan Pengobatan Crosstabulation

Keberhasilan Pengobatan
Berhasil Tidak berhasil Total
Pengetahua Baik Count 25 2 27
n pasien Expected Count 21.4 5.6 27.0
% within Pengetahuan pasien 92.6% 7.4% 100.0%
Kuran Count 2 5 7
g baik Expected Count 5.6 1.4 7.0
% within Pengetahuan pasien 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 27 7 34
Expected Count 27.0 7.0 34.0
% within Pengetahuan pasien 79.4% 20.6% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 13.936a 1 .000
Continuity Correctionb 10.295 1 .001
Likelihood Ratio 11.940 1 .001
Fisher's Exact Test
.001 .001
Linear-by-Linear
13.526 1 .000
Association
N of Valid Casesb 34
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,44.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Pengetahuan pasien
31.250 3.524 277.146
(Baik / Kurang baik)
For cohort Keberhasilan Pengobatan =
3.241 1.020 10.506
Berhasil
For cohort Keberhasilan Pengobatan =
.104 .025 .426
Tidak berhasil
N of Valid Cases 34
DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Wawancara kepada Gambar 2. Wawancara kepada


responden penelitian responden penelitian

Gambar 3. Wawancara kepada Gambar 4. Wawancara kepada


responden penelitian responden penelitian

Gambar 5. Wawancara kepada Gambar 6. Wawancara kepada


responden penelitian responden penelitian
Gambar 7. Wawancara kepada Gambar 8. Wawancara kepada
responden penelitian responden penelitian

Gambar 9. Wawancara kepada Gambar 10. Wawancara kepada


responden penelitian responden penelitian

Gambar 11. Wawancara kepada Gambar 12. Wawancara kepada


responden penelitian responden penelitian
Lampiran 20

116

Anda mungkin juga menyukai