Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)

MEMBUAT KERAJINAN TASBIH


DI DESA BANDUNGREJO KECAMATAN BANTUR

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Jiwa

Oleh:
Yansa Agustiawan Eka Putra
160070301111035

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL KEGIATAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
MEMBUAT KERAJINAN TASBIH
DI DESA BANDUNGREJO KECAMATAN BANTUR

Diajukan untuk Memenuhi kompetensi Praktek Profesi Departemen Jiwa

Oleh:
Yansa Agustiawan Eka Putra
160070301111035

Telah diperiksa kelengkapannya pada:


Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Mengetahui,
Perseptor Akademik Perseptor Klinik

Ns. Retno Lestari, S.Kep, MN Ns. Soebagijono, S.Kep., M.MKes


NIP. 19800914 200502 2001 NIP. 1968109 1999003 1003
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dan
lingkungan dari luar dirinya baik itu lingkungan keluarga, kelompok dan komunitas.
Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi
koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang
dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu diantaranya perubahan
nilai budaya, perubahan sistem kemasyarakatan, pekerjaan, serta akibat
ketegangan antar idealisme dan realita yang dapat menyebabkan terganggunya
keseimbangan mental emosional. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dari
perubahan tersebut, akibatnya akan menimbulkan ketegangan atau stres yang
berkepanjangan sehingga dapat menjadi faktor pencetus dan penyebab serta juga
mengakibatkan suatu penyakit. Faktor yang dapat mempengaruhi stres adalah
pengaruh genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini (Suliswati, 2005).
Penyebab gangguan jiwa salah satunya karena stresor psikologis. Yang
merupakan suatu keadaan atau suatu peristiwa yang menyebabkan adanya
perubahan dalam kehidupan seseorang hingga orang tersebut terpaksa
mengadakan adaptasi dalam menaggulangi stressor tersebut. Pasien yang
mengalami gangguan jiwa kronik sering kali hanya berdiam diri dirumah tanpa
melakukan kegiatan apapun. Hal ini yang dapat menyebabkan pasien dikucilkan
dalam masyarakat. Harga diri rendah dan isolasi sosial pada pasien gangguan jiwa
dapat mempengaruhi kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Harga diri
rendah tampak keterbatasan melakukan aktivitas apapun secara mandiri.
Salah satu terapi aktivitas yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa
dengan harga diri rendah dan isolasi sosial adalah terapi aktivitas kelompok dengan
membuat kerajinan pada kain flannel.

1.2 Tujuan
Tujuan umum TAK membuat kerajinan tasbih yaitu peserta dapat
meningkatkan kemauan dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali
kemampuan motorik halus. Tujuan khususnya adalah:
1. Peserta mampu memperkenalkan diri
2. Peserta mampu mengalihkan resiko perilaku kekerannya kepeda sesuatu
yang kontruktif
3. Peserta mampu membuat kerajinan tasbih
4. Peserta mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK
yang telah dilakukan.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Klien
Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial agar
mempunyai kemauan dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali
kemampuan motorik halus.
1.3.2 Manfaat Bagi Terapis
Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa secara
holistik
Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan Strategi
Pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan keperawatan klien
1.3.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai informasi untuk pihak akademisi, pengelola dan sebagai bahan
kepustakaan, khususnya bagi mahasiswa Ilmu Keperawatan sebagai aplikasi
dari pelayanan Mental Health Nurse yang optimal pada klien dengan isolasi
sosial
1.3.4 Manfaat Bagi Ponkesdes
Sebagai masukkan dalam implementasi asuhan keperawatan yang holistik
pada pasien dengan isolasi sosial pada khususnya, sehingga diharapkan
keberhasilan terapi lebih optimal.
1.3.5 Manfaat Bagi Lingkungan dan Desa
Sebagai masukan kepada warga lingkungan desa pasien isolasi sosial agar
tidak mengucilkan dan dapat memanfaatkan kemampuan dari pasien tersebut
sehingga bisa bermanfaat bagi lingkungan dan desa.
BAB II
TINJAUAN TEORI

PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yang tidak trekontrol (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan
Sudeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz, dalam Harnawati, 1993).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu mengalami
perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau
orang lain (Towsend, 1998).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami
perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk
orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara
verbal dan fisik (Ketner et al., 1995).
Patricia D. Barry (1998:140) menyatakan: Suatu keadaan emosi yang
merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini
didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai
bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan
ke lingkungan, ke dalam diri atau secara destruktif. Agresi berkaitan
dengan trauma pada masa anak pada saat merasa lapar, kedinginan,
basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi secara terus menerus, maka ia akan menampakkan reaksi
berupa menangis, kejang atau kontraksi otot, perubahan ekspresi
warna kulit bahkan mencoba menahan napasnya.
Setelah anak berkembang dewasa ia menampakkan reaksi yang lebih
keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti
tempertantrum, melempar, menjerit, menahan nafas, mencakar,
merusak, atau bersikap agresif pada bonekanya. Bila reward and
punishment tidak dilakukan maka ia cenderung menganggap perbuatan
tersebut benar.
Bila kontrol lingkungan sekitar anak tidak berfungsi, maka reaksi agresi
tersebut bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa
benci atau frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak agresif.
Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang
dicintai dan orang yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia akan belajar
mengontrol dirinya dengan norma dan etika dari dalam dirinya yang
diaadopsi dari pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ia akan belajar
mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga pola asuh dan
orang-orang yang terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif
verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain.

2. Rentang Respon Marah


Adaptif Maladaptive

Asertif frustasi pasif agresif amuk/pk

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secarafisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering disebut gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang
marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak
terkontrol.
Keterangan:
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
5. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

PASIF ASERTIF AGRESIF


ISI PEMBICARAAN Negatif dan Positif dan Menyombongkan diri,
merendahkan diri, menawarkan diri, merendahkan orang
contohnya perkataanL contohnya perkataan: lain, contohnya
dapatkah saya? Saya dapat... perkataan:
Dapatkah kamu? Saya akan... Kamu selalu...
Kamu tidak pernah...
TEKANAN SUARA Cepat lambat, mengeluh Sedang Keras dan ngotot
POSISI BADAN Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku, condong ke
depan
JARAK Menjaga jarak dengan Mempertahankan jarak Siap dengan jarak
sikap acuh/ yang nyaman akan menyerang
mengabaikan orang lain
PENAMPILAN Loyo, tidak dapat tenang Sikap tenang Mengancam, posisi
menyerang
KONTAK MATA Sedikit/ sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan
Sumber: Keliat (1999) dalam Fitria (2009)

3. Faktor Predisposisi
Beberapa teori yang timbul dengan perilaku kekerasan:
a. Faktor psikologis
Perilaku agresif merupakan instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting yaitu: insting hidup
yang diekspresikan dengan seksualitas dan insting kematian yang
diekspreksikan dengan agresivitas.
Frustration-aggresion theory dikembangkan oleh pengikut freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang
atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup.
Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme
koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman:
Kerusakan otak organic, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak, atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya (trust) dan hargadiri
Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor social budaya
Bandura (1997) mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui obsrevasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pembelajaran ini bias ekternal dan internal. Contoh internal:
orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena nonton film erotis
menjadi lebih agresif dibandingkan dengan yang tidak menonton, seorang
anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya membeli es
agar si anak tidak marah. Anak tersebut akan belajar bahwa ia marah akan
mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan contoh eksternal: seorang anak
menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa
mengekpresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap suatu boneka.
Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
di tengah system limbic) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
Perangsangan yang diberikan terutama pada nucleus periforniks
hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya,
mengangkat ekornya, mendesis, bulu dirinya berdiri, menggeram, matanya
terbuka lebar, pupil berdilatasai dan hendak menerkam tikus atau objek
yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi system limbic (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal
(untuk interpretasi penciuman dan memori).
Neutransmitter sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin,
dopamine, norephinefrin, asetilkolin dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
- Masa kanak-kanak tidak menyenangkan
- Sering mengalami kegagalan
- Kehidupan yang penuh tindakan agresif
- Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)

d. Faktor presipitasi
Secara umum, seseorang akan bersepon dengan marah apabila
merasa dirinya terancam, ancaman tersebut dapat berupa injury secara
psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri
seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak
menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu baik perawat maupun klien harus bersama-sama
mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal dan eksternal. Contoh
stressor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang
dianggap bermaksan dan adanya kritikan dari orang lain. Dan contoh
stressor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang
yang dicintai dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari
sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku
kekerasan terbagi dua, yakni:
Klien kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri
Lingkungan: rebut, kehilangan objek/ orang yang berharga, konflik
interaksi sosial.

4. Tanda Dan Gejala


Menurut Keliat (1999), tanda-tanda klinis perilaku kekerasan yaitu:
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri
c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

Menurut Stuart &Sundeen (1995)


a. Emosi :
Jengkel, marah (dendam), rasa terganggu, merasa takut, tidak aman,
cemas, ingin berkelahi.
b. Fisik :
Muka merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal,
nafas pendek, rahang mengatup, postur tubuh kaku, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat, jalan mondar-mandir.
c. Verbal :
Bicara kasar, suara keras, membentak atau berteriak, mengancam secara
verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor.
d. Perilaku :
Melempar atau memukul benda/ orang lain, menyerang orang lain, melukai
diri sendiri/ orang lain, merusak lingkungan, amuk/ agresif
e. Intelektual :
Mendominasi, bawel, berdebat, meremehkan.
f. Spiritual :
Keraguan, kebijakan / keberanian diri, tidak bermoral, kreativitas terhambat,
merasa berkuasa, merasa benar, mengkritik pendapat orang lain, tidak
peduli.
g. Sosial :
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian :
Bolos, melarikan diri, mencuri.

Menurut Tomb (2003), beberapa pola yang tampak dari perilaku kekerasan
meliputi:
a. Gaya hidup yang selalu ingin eningkatkan diri dengan segala cara (self-
aggrandizing) agresif yang kronis
Terlihat dengan Gangguan Kepribadian Antisosial an karenanya
berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, onset
muda, kenakalan remaja dan kriminalitas, membolos, gagal di sekolah.
Pasien sering berkelahi dan selalu berada dalam masalah.
Gangguan afektif yang cenderung serius merupakan hal umum
ditemukan pada populasi ini.
b. Kekerasan episodik
Kemarahan meledak hanya dengan sedikit provokaso, setiap hari
hingga beberapa kali dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia
singkat tentang kejadian tersbut dan disertai penyesalan yang dalam
tentang hal itu.
Suatu kelompok campuran tampilan klinis, umumnya dengan SSP
abnormal.

Pathway:

Malas beraktfitas

Mencederai lingkungan Mencederai diri Kerusakan komunikasi verbal Resiko


mencederai
orang
Resiko perilaku kekerasan

Resiko perubahan sensori :


Halusinasi
pendengaran,penglihatan,dll Gang. proses berpikif (waham)

Isolasi sosial : menarik diri Harga diri rendah kronis


Malu dengan kondisi

Gang. Konsep diri Gang. Interaksi sosial Kekurangan kepercayaan diri

Koping individu tidak efektif Inefektif kopling keluarga

ansietas Gang. Citra tubuh

Stressor Perubahan bentuk tubuh


ISOLASI SOSIAL
1. Definisi
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau
merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan
dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito,
1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam (Towsend,1998).
Kerusakan sosial adalah suatu keadaan seseorang berpartisipasi dalam
pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif (Towsend,
1998). Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami
kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain yang salah satunya
mengarah pada perilaku menarik diri.
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak
fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam
hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri,
tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang
lain (DepKes, 1998).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain. Selain itu menarik diri
merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya
terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri) (Stuart dan
Sundeen, 1995).
Perilaku Menarik Diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan degan orang lain.(Rawlins, 1993,
hal 336).
Menarik Diri adalah suatu tindakan melepaskan diri dari alam sekitarnya,
individu tidak ada minat dan perhatian terhadap lingkungan sosial secara
langsung. (Petunjuk teknis Askep pasien gangguan skizofrenia hal 53).
Perilaku menarik diri adalah suatu usaha menghindari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
menyadari kesempatan untuk berhubungan secara spontan dengan orang
lain yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (Budi
Anna Keliat, 1999).

2. Rentang Respons Sosial


Gangguan hubungan sosial terdiri atas :
Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu
dan dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan
sebagai suatu keadaan negatif yang mengancam. Dengan
karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata. Ketidaksesuaian
atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan atau
terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan,
tindakan yang tidak bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan
atau kesepian yang ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan
yang berbeda dengan orang lain, merasa tidak aman ditengah orang
banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep. Psikiatri, 1998; hal 252).
Kerusakan Interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang
individu berpartisipasi dalam suatu kualitas yang tidak cukup atau
berlebihan atau kualitas interaksi sosial yang tidak efektif, Dengan
Karakteristik : Menyatakan secara verbal atau menampakkan
ketidaknyamanan dalam situasi-situasi sosial. Menyatakan secara
verbal atau menampakkan ketidakmampuan untuk menerima atau
mengkomunikasikan kepuasan rasa memiliki, perhatian, minat, atau
membagi cerita. Tampak menggunakan perilaku interaksi sosial yang
tidak berhasil. Disfungsi interaksi dengan rekan sebaya, keluarga atau
orang lain. Penggunaan proyeksi yang berlebihan tidak menerima
tanggung jawab atas perilakunya sendiri. Manipulasi verbal.
Ketidakmampuan menunda kepuasan. (Mary C. Townsend, Diagnosa
Keperawatan Psikiatri, 1998; hal 226).
Rentang Respon Sosial
Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada
dalam rentang respons yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon
adaptif merupakan respons yang dapat diterima oleh norma norma
sosial dan budaya setempat yang secara umum berlaku, sedangkan
respons maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma
norma sosial dan budaya setempat. Respons sosial maladaptif yang
sering terjadi dalam kehidupan sehari hari adalah menarik diri,
tergantung (dependen), manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan
kesepian.
Menurut Stuart dan Sundeen, 1999, respon setiap individu
berada dalam rentang adaptif sampai dengan maladaptive yang dapat
dilihat pada bagan berikut:
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di
masyarakat. Respon adaptif terdiri dari :
a) Menyendiri (Solitude):
Merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya
dilakukan setelah melakukan kegiatan.
b) Otonomi:
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan
sosial.
c) Bekerja sama (mutualisme)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana
individu tersebut mampu untuk saling memberi dan
menerima.
d) Saling tergantung (interdependen)
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu
dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
Respon maladaptive adalah respon yang menimbulkan
gangguan dengan berbagai tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen,
1998). Respon maladaptif terdiri dari :
a) Menarik diri:
suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang
lain.
b) Manipulasi:
gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu
yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu
tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
c) Impulsif:
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu,
tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat
diandalkan.
d) Narkisisme:
Pada individu narkisisme terdapat harga diri yang rapuh,
secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, sikap egosenetris,
pencemburuan, marah jika orang lain tidak mendukung.
e) Tergantung (dependen):
terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara
sukses.
f) Curiga:
Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya dengan orang lain. Kecurigaan dan
ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda
cemburu, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan individu
ditandai dengan humor yang kurang, dan individu merasa
bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.

3. Faktor Predisposisi Dan Presipitasi


a. Faktor predisposisi
terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang
dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain,
ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan
meresa tertekan.
b. Faktor presipitasi
Terjadi karena faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas
keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti
berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk
bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan
klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart
and Sundeen, 1995).

4. Gejala Klinis ( Budi Anna Keliat):


a) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
b) Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
c) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
d) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
e) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
f) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
g) Menghindar dari orang lain (menyendiri)
h) Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain/perawat
i) Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
j) Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
k) Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
l) Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

Data Subjektif :
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif
adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata tidak , iya,
tidak tahu.
Data Objektif :
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan :
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri
dari orang lain, misalnya pada saat makan.
Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain / perawat.
Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
Posisi janin pada saat tidur.

5. Karakteristik Perilaku Isolasi Sosial


Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
Kemunduran secara fisik.
Tidur berlebihan.
Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
Banyak tidur siang.
Kurang bergairah.
Tidak memperdulikan lingkungan.
Kegiatan menurun.
Immobilisasai.
Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
Keinginan seksual menurun.

6. Komplikasi dari Menarik Diri


Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya
resiko perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini
merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive, dimana
halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata
tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
Gejala Klinis halusinasi :
Bicara, senyum dan tertawa sendiri
Menarik diri dan menghindar dari orang lain
Tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata
Tidak dapat memusatkan perhatian
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya), takut
Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
(Budi Anna Keliat)
7. Penatalaksanaan
Menurut Keliat, dkk.,(1998), prinsip penatalaksanaan klien menarik diri
adalah:
a. Bina hubungan saling percaya
b. Ciptakan lingkungan yang terapeutik
c. Beri klien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
d. Dengarkan klien dengan penuh empati
e. Temani klien dan lakukan komunikasi terapeutik
f. Lakukan kontak sering dan singkat
g. Lakukan perawatan fisik
h. Lindungi klien
i. Rekreasi
j. Gali latar belakang masalah dan beri alternatif pemecahan
k. Laksanakan program terapi dokter
l. Lakukan terapi keluarga

Penatalaksanaan medis (Rasmun,2001) :


OBAT ANTI PSIKOTIK
1. Clorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -fungsi
mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh
atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari -hari,
tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Mekanisme kerja: Memblokade dopamine pada reseptor paska sinap di
otak khususnya sistem ekstra piramidal.
Efek samping:Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama ja
ntung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin,
metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.
Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan
jantung, febris,ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran
disebabkan CNS Depresan.
2. Haloperidol (HP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari hari.
Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamine
pada reseptor paska sinaptik neuron di otak khususnya sistem limbik dan
sistim ekstra piramidal.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).
Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan
jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan
kesadaran.

3. Trihexy phenidyl (THP)


Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan
fenotiazine.
Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada
reseptor p aska sinaptik nauron diotak khususnya sistem limbik dan
sistem ekstra piramidal.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik
(hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra oluker meninggi,
gangguan irama jantung).
Kontra indikasi:Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung,
fibris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
BAB III
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK PRILAKU KEKERASAN

3.1 KARAKTERISTIK KLIEN DAN PROSES SELEKSI


Karakteristik klien
a. Klien yang tidak mengalami gangguan fisik
b. Klien yang mudah mendengarkan dan mempraktekannya.
c. Klien dengan isolasi social dan
d. Klien yang mudah diajak berinteraksi.
Proses Seleksi
a. Mengobservasi klien dengan riwayat isolasi sosial
b. Mengumpulkan keluarga klien yang termasuk dari karakteristik perilaku
kekerasan dan isolasi sosial untuk mengikuti TAK.

3.2 TUGAS DAN WEWENANG


1. Tugas Leader dan Co-Leader
- Memimpin acara: menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.
- Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien
- Memberikan motivasi kepada klien
- Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan
- Memberikan reinforcemen positif terhadap klien
2. Tugas Fasilitator
- Ikut serta dalam kegiatan kelompok
- Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien
- Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung
- Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi aktif
- Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya
- Membantu melakukan evaluasi hasil
3. Tugas Klien
- Mengikuti seluruh kegiatan
- Berperan aktif dalam kegiatan
- Mengikuti proses evaluasi
3.3 PERATURAN KEGIATAN
1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hinggga akhir
2. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai dilaksanakan
3. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi :
- Peringatan lisan
3.4 TEKNIK PELAKSANAAN
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK ISOLASI SOSIAL

Tema : Terapi Aktivitas Kelompok Membuat Tasbih


Sasaran : Pasien peserta posyandu jiwa di Desa Bandungrejo
Hari/ tanggal :
Waktu : 45 menit
Tempat :
Terapis :
1. Leader : Amanda Kardinasari
2. Co Leader : Rahajeng Widhiyasasi
3. Observer : Dw Retno Si
4. Fasilitator 1 : Adimas Mochtar
5. Fasilitator 2 : Siti Khoiriya
6. Fasilitator 3 : Priskila P

Tahapan Sesi: Sesi 1 : Memperkenalkan diri


Sesi 2 : Membuat kerajinan tasbih

A. Tujuan
Sesi 1:
Klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama
panggilan, asal dan hobi serta klien mampu mengalihkan perhatian dari isolasi
sosial
Sesi 2:
Klien mampu membuat kerajinan tasbih
B. Sasaran
1. Kooperatif
2. Tidak terpasang restrain
C. Nama Klien
D. Setting
Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran
Ruangan nyaman dan tenang
E. MAP

C F

K K

F O F

Keterangan :
L : Leader
C: Co Leader
F : Fasilitator
O: Observer
K : Klien

F. Alat dan Bahan


Manik-manik
Benang
Accessories (kepala tasbih)
Gunting

G. Metode
Dinamika kelompok
Diskusi dan tanya jawab

H. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Memilih klien sesuai dengan indikasi
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Memberi salam terapeutik: salam dari terapis
b. Evaluasi/validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak: Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu memperkenalkan diri

3. Tahap kerja
SESI 1
a) Peserta memperkenalkan diri sendiri, meliputi : nama
b) Memberi pujian untuk tiap keberhasilan anggota kelompok dengan
memberi tepuk tangan
SESI 2
a) Membagikan manic-manik, accessories, benign dan gunting yang sudah
disediakan oleh terapis.
b) Menginstruksikan peserta untuk menggunting benang yang sudah diukur
dan merangkai tasbih pada benang tersebut.
c) Memberi pujian untuk setiap anggota kelompok dengan memberi tepuk
tangan

4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
Memberi pujian atas keberhasilan kelompok
b. Rencana tindak lanjut
Menganjurkan tiap anggota kelompok melakukan kegiatan tersebut
secara berkala
c. Kontrak yang akan datang
Menyepakati kegiatan berikutnya
Menyepakati waktu dan tempat
5. Evaluasi Hasil dan Dokumentasi
a. Kemampuan verbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Menyebutkan nama lengkap


2 Menyebutkan nama panggilan
5 Menanyakan nama lengkap
6 Menanyakan nama panggilan
Jumlah

b. Kemampuan nonverbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Kontak mata
2 Duduk tegak
3 Menggunakan bahasa tubuh yg
sesuai
4 Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
Jumlah

c. Kemampuan Membuat Kerajinan Tasbih


Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Menggunting benang
2 Memasukkan butiran manik-
manik ke benang
3 Merapikan bentuk tasbih
4 Menghitung jumlah butiran
manik-manik
Jumlah

Petunjuk:
1. Dibawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK
2. Untuk tiap klien, semua aspek dimulai dengan memberi tanda jika ditemukan
pada klien atau tanda jika tidak ditemukan
3. Jumlahkan kemampuan yang ditemukan, jika nilai 3 atau 4 klien mampu, dan jika
nilai 0, 1, atau 2 klien belum mampu

Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien pada TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Misalnya, klien mengikuti sesi 1 TAKS, klien mampu
memperkenalkan diri secara verbal dan non verbal, dianjurkan klien memperkenalkan
diri pada klien lain diruang rawat (buat jadwal).

Bandungrejo, 2017
Mengetahui,
Perseptor Akademik Perseptor Klinik

Ns. Retno Lestari, S.Kep, MN Ns. Soebagijono, S.Kep., M.MKes


NIP. 19800914 200502 2001 NIP. 1968109 1999003 1003
BAB IV
HASIL EVALUASI

a. Kemampuan verbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Menyebutkan nama panggilan


2 Menyebutkan hobi
3 Menanyakan nama panggilan
4 Menanyakan hobi
Jumlah

b. Kemampuan nonverbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Kontak mata
2 Duduk tegak
3 Menggunakan bahasa tubuh yg
sesuai
4 Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
Jumlah

c. Kemampuan Membuat Tasbih


Nama klien
No. Aspek yg dinilai

1 Mengumpulkan Monte sesuai


warna
2 Menyusun monte menjadi tasbih
3 Mengikat benang tasbih hingga
menyatu
4 Merapikan bentuk tasbih
Jumlah
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktek Klinik. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Carpenito, L.J, (2007). Buku Saku Diagnosa keperawatan (terjemahan), Edisi 8,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Stuart, G.W & Sundeen, S.J, (2001). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi
3, EGC, Jakarta
Stuart, G.W & Laraia. (2005). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Townsend, M.C, (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikitari (terjemahan), Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. San Francisco: W. H.
Freeman & Co.
Gail Wiscarz Stuart, Michele T. Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. Elsevier Mosby,
Keliat, B.A, (1994). Seri Keperawatan Gangguan Konsep Diri, Cetakan II, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai