Oleh:
Yansa Agustiawan Eka Putra
160070301111035
Oleh:
Yansa Agustiawan Eka Putra
160070301111035
Mengetahui,
Perseptor Akademik Perseptor Klinik
1.2 Tujuan
Tujuan umum TAK membuat kerajinan tasbih yaitu peserta dapat
meningkatkan kemauan dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali
kemampuan motorik halus. Tujuan khususnya adalah:
1. Peserta mampu memperkenalkan diri
2. Peserta mampu mengalihkan resiko perilaku kekerannya kepeda sesuatu
yang kontruktif
3. Peserta mampu membuat kerajinan tasbih
4. Peserta mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK
yang telah dilakukan.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Klien
Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial agar
mempunyai kemauan dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali
kemampuan motorik halus.
1.3.2 Manfaat Bagi Terapis
Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa secara
holistik
Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan Strategi
Pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan keperawatan klien
1.3.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai informasi untuk pihak akademisi, pengelola dan sebagai bahan
kepustakaan, khususnya bagi mahasiswa Ilmu Keperawatan sebagai aplikasi
dari pelayanan Mental Health Nurse yang optimal pada klien dengan isolasi
sosial
1.3.4 Manfaat Bagi Ponkesdes
Sebagai masukkan dalam implementasi asuhan keperawatan yang holistik
pada pasien dengan isolasi sosial pada khususnya, sehingga diharapkan
keberhasilan terapi lebih optimal.
1.3.5 Manfaat Bagi Lingkungan dan Desa
Sebagai masukan kepada warga lingkungan desa pasien isolasi sosial agar
tidak mengucilkan dan dapat memanfaatkan kemampuan dari pasien tersebut
sehingga bisa bermanfaat bagi lingkungan dan desa.
BAB II
TINJAUAN TEORI
PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yang tidak trekontrol (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan
Sudeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz, dalam Harnawati, 1993).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu mengalami
perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau
orang lain (Towsend, 1998).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami
perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk
orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara
verbal dan fisik (Ketner et al., 1995).
Patricia D. Barry (1998:140) menyatakan: Suatu keadaan emosi yang
merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini
didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai
bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan
ke lingkungan, ke dalam diri atau secara destruktif. Agresi berkaitan
dengan trauma pada masa anak pada saat merasa lapar, kedinginan,
basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi secara terus menerus, maka ia akan menampakkan reaksi
berupa menangis, kejang atau kontraksi otot, perubahan ekspresi
warna kulit bahkan mencoba menahan napasnya.
Setelah anak berkembang dewasa ia menampakkan reaksi yang lebih
keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti
tempertantrum, melempar, menjerit, menahan nafas, mencakar,
merusak, atau bersikap agresif pada bonekanya. Bila reward and
punishment tidak dilakukan maka ia cenderung menganggap perbuatan
tersebut benar.
Bila kontrol lingkungan sekitar anak tidak berfungsi, maka reaksi agresi
tersebut bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa
benci atau frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak agresif.
Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang
dicintai dan orang yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia akan belajar
mengontrol dirinya dengan norma dan etika dari dalam dirinya yang
diaadopsi dari pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ia akan belajar
mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga pola asuh dan
orang-orang yang terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif
verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain.
3. Faktor Predisposisi
Beberapa teori yang timbul dengan perilaku kekerasan:
a. Faktor psikologis
Perilaku agresif merupakan instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting yaitu: insting hidup
yang diekspresikan dengan seksualitas dan insting kematian yang
diekspreksikan dengan agresivitas.
Frustration-aggresion theory dikembangkan oleh pengikut freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang
atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup.
Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme
koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman:
Kerusakan otak organic, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak, atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya (trust) dan hargadiri
Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor social budaya
Bandura (1997) mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui obsrevasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pembelajaran ini bias ekternal dan internal. Contoh internal:
orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena nonton film erotis
menjadi lebih agresif dibandingkan dengan yang tidak menonton, seorang
anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya membeli es
agar si anak tidak marah. Anak tersebut akan belajar bahwa ia marah akan
mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan contoh eksternal: seorang anak
menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa
mengekpresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap suatu boneka.
Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
di tengah system limbic) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
Perangsangan yang diberikan terutama pada nucleus periforniks
hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya,
mengangkat ekornya, mendesis, bulu dirinya berdiri, menggeram, matanya
terbuka lebar, pupil berdilatasai dan hendak menerkam tikus atau objek
yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi system limbic (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal
(untuk interpretasi penciuman dan memori).
Neutransmitter sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin,
dopamine, norephinefrin, asetilkolin dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
- Masa kanak-kanak tidak menyenangkan
- Sering mengalami kegagalan
- Kehidupan yang penuh tindakan agresif
- Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
d. Faktor presipitasi
Secara umum, seseorang akan bersepon dengan marah apabila
merasa dirinya terancam, ancaman tersebut dapat berupa injury secara
psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri
seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak
menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu baik perawat maupun klien harus bersama-sama
mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal dan eksternal. Contoh
stressor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang
dianggap bermaksan dan adanya kritikan dari orang lain. Dan contoh
stressor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang
yang dicintai dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari
sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku
kekerasan terbagi dua, yakni:
Klien kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri
Lingkungan: rebut, kehilangan objek/ orang yang berharga, konflik
interaksi sosial.
Menurut Tomb (2003), beberapa pola yang tampak dari perilaku kekerasan
meliputi:
a. Gaya hidup yang selalu ingin eningkatkan diri dengan segala cara (self-
aggrandizing) agresif yang kronis
Terlihat dengan Gangguan Kepribadian Antisosial an karenanya
berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, onset
muda, kenakalan remaja dan kriminalitas, membolos, gagal di sekolah.
Pasien sering berkelahi dan selalu berada dalam masalah.
Gangguan afektif yang cenderung serius merupakan hal umum
ditemukan pada populasi ini.
b. Kekerasan episodik
Kemarahan meledak hanya dengan sedikit provokaso, setiap hari
hingga beberapa kali dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia
singkat tentang kejadian tersbut dan disertai penyesalan yang dalam
tentang hal itu.
Suatu kelompok campuran tampilan klinis, umumnya dengan SSP
abnormal.
Pathway:
Malas beraktfitas
Data Subjektif :
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif
adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata tidak , iya,
tidak tahu.
Data Objektif :
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan :
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri
dari orang lain, misalnya pada saat makan.
Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain / perawat.
Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
Posisi janin pada saat tidur.
A. Tujuan
Sesi 1:
Klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama
panggilan, asal dan hobi serta klien mampu mengalihkan perhatian dari isolasi
sosial
Sesi 2:
Klien mampu membuat kerajinan tasbih
B. Sasaran
1. Kooperatif
2. Tidak terpasang restrain
C. Nama Klien
D. Setting
Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran
Ruangan nyaman dan tenang
E. MAP
C F
K K
F O F
Keterangan :
L : Leader
C: Co Leader
F : Fasilitator
O: Observer
K : Klien
G. Metode
Dinamika kelompok
Diskusi dan tanya jawab
H. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Memilih klien sesuai dengan indikasi
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Memberi salam terapeutik: salam dari terapis
b. Evaluasi/validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak: Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu memperkenalkan diri
3. Tahap kerja
SESI 1
a) Peserta memperkenalkan diri sendiri, meliputi : nama
b) Memberi pujian untuk tiap keberhasilan anggota kelompok dengan
memberi tepuk tangan
SESI 2
a) Membagikan manic-manik, accessories, benign dan gunting yang sudah
disediakan oleh terapis.
b) Menginstruksikan peserta untuk menggunting benang yang sudah diukur
dan merangkai tasbih pada benang tersebut.
c) Memberi pujian untuk setiap anggota kelompok dengan memberi tepuk
tangan
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
Memberi pujian atas keberhasilan kelompok
b. Rencana tindak lanjut
Menganjurkan tiap anggota kelompok melakukan kegiatan tersebut
secara berkala
c. Kontrak yang akan datang
Menyepakati kegiatan berikutnya
Menyepakati waktu dan tempat
5. Evaluasi Hasil dan Dokumentasi
a. Kemampuan verbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai
b. Kemampuan nonverbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai
1 Kontak mata
2 Duduk tegak
3 Menggunakan bahasa tubuh yg
sesuai
4 Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
Jumlah
1 Menggunting benang
2 Memasukkan butiran manik-
manik ke benang
3 Merapikan bentuk tasbih
4 Menghitung jumlah butiran
manik-manik
Jumlah
Petunjuk:
1. Dibawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK
2. Untuk tiap klien, semua aspek dimulai dengan memberi tanda jika ditemukan
pada klien atau tanda jika tidak ditemukan
3. Jumlahkan kemampuan yang ditemukan, jika nilai 3 atau 4 klien mampu, dan jika
nilai 0, 1, atau 2 klien belum mampu
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien pada TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Misalnya, klien mengikuti sesi 1 TAKS, klien mampu
memperkenalkan diri secara verbal dan non verbal, dianjurkan klien memperkenalkan
diri pada klien lain diruang rawat (buat jadwal).
Bandungrejo, 2017
Mengetahui,
Perseptor Akademik Perseptor Klinik
a. Kemampuan verbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai
b. Kemampuan nonverbal
Nama klien
No. Aspek yg dinilai
1 Kontak mata
2 Duduk tegak
3 Menggunakan bahasa tubuh yg
sesuai
4 Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
Jumlah
Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktek Klinik. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Carpenito, L.J, (2007). Buku Saku Diagnosa keperawatan (terjemahan), Edisi 8,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Stuart, G.W & Sundeen, S.J, (2001). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi
3, EGC, Jakarta
Stuart, G.W & Laraia. (2005). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Townsend, M.C, (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikitari (terjemahan), Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. San Francisco: W. H.
Freeman & Co.
Gail Wiscarz Stuart, Michele T. Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. Elsevier Mosby,
Keliat, B.A, (1994). Seri Keperawatan Gangguan Konsep Diri, Cetakan II, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.