Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

PUSKESMAS KECAMATAN BANTUR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas

Pendidikan Profesi Ners Departemen Jiwa

Kelompok 2

Oleh :

Afiat Arif Ibrahim

NIM. 150070300011010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
PERILAKU KEKERASAN

A. DEFINISI

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk pengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba dkk, 2008).

B. RENTANG

Adaptif Maladaptive

Asertif frustasi pasif agresif amuk/pk

Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan


melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang
merupakan respon yang maladaptif, yaitu agresif-kekerasan perilaku yang
menampakkan mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:

1. Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega.
2. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang
tidak realistis.
3. Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami.
4. Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang
lain.
C. ETIOLOGI

a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi,
artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor prespitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti ke lemahan fisik (penyakit fisik), keputusan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan dan
kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif
dan konflikdapat pula memicu perilaku kekerasan.
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang
tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan
akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
1. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia
merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu
dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya
misalnya dengan kekerasan.
2. Hilangnya harga diri ; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu
tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
3. Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
D. TANDA DAN GEJALA
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut :

a. Fisik :
Muka merah dan tegang
Mata melotot/ pandangan tajam
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Postur tubuh kaku
Jalan mondar mandir
b. Verbal
Bicara kasar
Suara tinggi, membentak, atau berteriak
Mengancam secara verbal atau fisik
Suara keras
Ketus
Mengumpat dengan kata kata kotor
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda /orang lain
Menyerang diri sendiri/ orang lain
Merusak lingkungan
Amuk/ agresif
d. Emosi
Tidak adekuat
Tidak aman dan nyaman
Rasa terganggu
Dendam dan jengkel
Tidak berdaya
Bermusuhan
Mengamuk
Ingin berkelahi
Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
Mendominasi
Cerewet
Kasar
Berdebat
Meremehkan
Sarkasme
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa
Merasa paling benar
Mengkritik pendapat orang lain
Menyinggung perasaan orang lain
Tidak perduli dan kasar
g. Sosial
Menarik diri
Pengasingan
Penolakan
Kekerasan
Ejekan
Sindiran
h. Perhatian
Bolos
Mencuri
Melarikan diri
Penyimpangan seksual

Videbeck, Sheila L. 2008 Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC


Gambaran klinis penganiayaan dan kekerasan

1. Penganiayaan pasangan
Dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik, seksual, atau kombinasi
semua tipe tersebut (Singer et al, 1995).
a. Penganiayaan emosional atau psikologis :
i. Mengejek
ii. Meremehkan
iii. Berteriak dan memekik
iv. Merusak barang
v. Mengancam
vi. Menolak berbicara dengan korban atau berpura pura tidak melihat korban
b. Penganiayaan fisik :
i. Mendorong dan mendesak
ii. Pemukulan dan mencekik yang mengakibatkan ekstremitas dan tulang iga
patah, perdarahan internal, kerusakan otak, dan bahkan pembunuhan
c. Penganiayaan seksual :
Serangan fisik selama hubunga seksual misalnya menggigit puting, menjambak
rambut, menampar dan memukul, serta memperkosa
2. Penganiayaan anak
a. Penganiayaan fisik. Sering kali terjadi akibat hukuman fisik yang berat dan tidak
masuk akal, atau hukuman yang tidak dapat dibenarkan. Tanda tanda
peringatan pada anak yang mengalami penganiayaan/ pengabaian :
i. Cedera serius seperti fraktur, luka bakar, dan laserasi tanpa ada lapran
riwayat trauma.
ii. Menunda mencari terapi untuk cedera berat.
iii. Anak atau orang tua menjelaskan riwayat cedera yang tidak sesuai dengan
tingkat keparahan cedera, misalnya : bayi yang mengalami cedera contre
coup pada otak yang dinyatakan orang tua terjadi karena bayi jatuh dari sofa.
iv. Riwayat anak yang dijelaskan selama evaluasi tidak konsisten atau berubah
ubah oleh anak itu sendiri ataupun orang tuanya.
v. Cedera yang tidak lazim untuk usia dan tingkat perkembangan anak,
misalnya fraktur femur pada anak usia dua bulan atau dislokasi bahu pada
anak usia dua tahun.
vi. Insiden infeksi saluran kemih tinggi, denital memar, merah atau bengkak,
rektum atau vagina robek atau memar.
vii. Terdapat bekas luka yang tidak dilaporkan, misalnya jaringa parut, fraktur
yang tidak diobati, banyak memar yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat
oleh orang tua /pengasuh.
3. Penganiayaan lansia

E. PATOFISOLOGI

Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan.

Perilaku yg berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :


1. Menyerang atau Menghindar (fight or fight)
a. Pada keadaan ini respons psikologi timbul karena kegiatan sistem saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takhikardi, wajah merah,
b. Pupil melebar,mual, sekresi HCL meningkat, peristaltik gaster menurun,
pengeluaran urin dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga
meningkat disertai ketegangan otot, seperti rahang terkatup,tangan
dikepal,tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
a. Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
b. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena
individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikologis.
c. Disamping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
memberontak untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yg ditujukan kepada diri sendiri,orang lain maupun
lingkungan.
Konsep marah (Beck, Rawlins, Williams. 1986, hlm. 447)

F. POHON MASALAH

Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya


bagi dirinya, orang lain, maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabot, membakar rumah, dan lain-lain. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan berisiko untuk mencederai diri, orang lain dan lingkungan (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh seseorang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak berakhir dapat menyebabkan
perasaan harga diri rendah sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan timbul
halusinasi yang menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan dan ini berdampak
terhadap resiko tinggi menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik untuk menghadapi keadaan pasien mempengaruhi perkembangan pasien
(koping keluarga tidak efektif), hal ini tentunya menyebabkan pasien akan sering keluar
masuk rumah sakit dan timbulnya kekambuhan pasien karena dukungan keluarga tidak
maksimal (Fitria, 2009).

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun pemeriksaan laboratorik adalah pemeriksaan penunjang, tetapi
perannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan dan memonitor respon klinis. Karenanya, dokter atau psikiater perlu
mengerti pemilihan pemeriksaan laboratorik untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus
dipertimbangkan kondisi ekonomi, ketidaknyamanan, dan resiko efek yang merugikan;
interpretasi data laboratorik dalam pengertian spesifitas, sensivitas dan nilai prediktif.
Hasil pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit,
wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif
tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien (Maramis, 2009).

Untuk pasien rawat jalan, melakukan serangkaian tes penyaring secara membabi
buta hanya mempunyai kegunaan klinis yang terbatas dan merupakan pemborosan.
Lebih baik dilakukan tes laboratorik tertentu berdasarkan penilaian yang cermat dan
integrasi antara riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pada pasien rawat inap,
dianjurkan agar dilakukan tes dasar pada waktu masuk rumah sakit untuk mengevaluasi
kondisi medis umum (Maramis, 2009).

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan
sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, glukosa darah, tes fungsi hepar, tes fungsi
ginjal, kalsium serum, tiroksin (T4), pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan
TPHA), dan tes urine untuk obat terlarang (Maramis, 2009).
2. Pencitraan
CT (computerized tomography, sering disebut Ctscan) dan MRI (magnetic
resonance imaging) adalah pencitraan diagnostik yang paling sering digunakan dalam
evaluasi pasien dengan gejala psikiatrik. CT adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat
melihat anatomi kepala menurut irisan dengan berbagai ketebalan (Maramis, 2009).
Indikasi spesifik CT adalah episode pertama psikologis di atas umur 40 tahun,
episode pertama gangguan afektif setelah umur 50 tahun, episode pertama gangguan
kepribadian di atas usia 40 tahun, gerakan involunter abnormal, delirium atau demensia
yang tak diketahui penyebabnya, katatonia persisten, dan anoreksia nervosa (Maramis,
2009).
MRI mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan CT, yaitu: tidak melibatkan
radiasi radioaktif, irisan dapat dilakukan pada berbagai bidang, dapat lebih baik
mengdiferensiasi masa putih (white mass) dan abu-abu (grey mass) otak sehingga lebih
sensitif untuk anatomik otak, dan lebih baik untuk melihat kelainan di fosa posterior dan
batang otak (Maramis, 2009).
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi untuk MRI adalah pasien
dengan alat pacu jantung, klip aneurisma, wanita hamil, dan pasien dengan benda asing
yang berpotensi magnetik. Selain itu, karna harga pemeriksaan ini yang mahal, serta
menuntut kerja sama pasien untuk diam berbaring dalam waktu yang cukup lama, maka
penggunaan CT lebih populer (Maramis, 2009).

3. Pemeriksaan Neurologis
Elektroensefalografi (EEG)mengukur aktivitas elektrik di permukaan otak dan
bukanlah alat yang memisahkan normal dari abnormal, karena hasil EEG yang normal
tidak meniadakan kemungkinan adanya gangguan organik atau epilepsi (Maramis,
2009).

Indikasi umum untuk pemeriksaan EEG adalah pasien muda (terutama di bawah
25 tahun) dengan episode pertama psikosis dan pasien dengan riwayat kemungkina n
cedera otak atau gangguan neurologis (misalnya kecelakaan, tidak sadar, infeksi,
kompilkasi perinatal, kejang) (Maramis, 2009).
Beberapa ciri yang memperbesar kemungkinan ditemukannya abnormalitas pada
EEG, CT atau MRI adalah: adanya defisit neurologis fokal, perubahan status mental
yang drastis dan baru, riwayat penyalahgunaan zat, trauma kepala atau patologi SSP
lain, pasien usia lanjut, dan gejala-gejala tidak khas dengan riwayat psikiatrik yang
meragukan (Maramis, 2009).
Modifikasi pemeriksaan EEG yang lebih baru adalah dengan pemetaan
topografis terkomputerisasi atau lazim disebut Computerized EEG atau brain mapping.
Aktivitas elektrik permukaan otak direkam dengan frekuensi tertentu dan dipetakan
secara grafis dua dimensi yang berwarna. Metode ini digunakan lebih banyak dalam
riset psikofarmakologis dan statistik (Maramis, 2009).
4. Pemeriksaan Status Mental Mini atau mini-mental state examination
Digunakan bilamana dicurigai adanya dimensia. Tes ini dibuat berdasarkan
wawancara pemeriksaan status mental standar dan terdiri atas pemeriksaan terhadap
orientasi, memori untuk registrasi dan recall (segera dan ingatan tunda 3 objek), atensi
(pengurangan seri tujuh), memberi nama objek yang umum (verbal skills), mengikuti
perintah lisan dan tertulis, ketrampilan menulis, dan menggambar figur sederhana
(praxis skills). Tes ini untuk menilai secara global fungsi kognitif. Sering dipakai untuk
menilai pasien ddemensia. Betul pada semua item akan menghasilkan skor 30. Skor
dibawah 24 biasanya mengindikasikan rendahnya kognitif (Maramis, 2009).

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Akut
a. Pertama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut. Apabila demikian,
tangani segera dengan pengekangan fisik dan medikasi bukan dengan percakapan.
Segera temui, jangan biarkan pasien menunggu.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada pada posisi
yang aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam keadaan terbuka). Waspadai
tanda-tanda peringatan (misal : gelisah, sikap menuntut). Apabila bercakap-cakap
tampak bermanfaat, coba lakukan, tetapi berilah batas yang jelas selama
wawancara. Gunakan control fisik bila pasien tidak dapat mempertahankan kendali
tetapi tetap tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri. Apabila
pasien datang dengan keadaan dikekang, jangan dilepas sebelum terjadi rapport
dan beberpa hasil evaluasi diperoleh, meskipun demikian banyak pasien dapat
bersikap lebih baik tanpa pengekangan. Pengekangan dapat meningkatkan agitasi
dan menyebabkan hipertermia. Apabila diperlukan kekuatan untuk meredakannya,
gunakan kekuatan penuh-satu orang memegang masing-masing anggota tubuh
pasien. Jangan mengambil resiko.
c. Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM (diabsorpsi
dengan baik melalui intramuscular) setiap 2-4 jam, maksimal 3 dosis; haloperidol 5
mg IM/jam untuk 3-4 dosis; atau droperidol (5 mg IM/jam 2-3 dosis-tidak
direkomendasikan oleh FDA untuk keperluan tersebut). Apakah pasien
menggunakan obat-obatan yang menekan SSP, apakah dalam kondisi delirium, atau
adakah suatu kondisi medis yang bertanggung jawab atas perilakunya? Kalau
demikian, berikan medikasi dan observasi. ECT dapat mengendalikan kekerasan
psikotik.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan dengan penuh
penghormatan-manusiawi, langsung, pasti, tenang, menetramkan. Jangan
menantang, memprovokasi atau secara terang-terangan tidak setuju dengan pasien.
Kesampingkan birokrasi. Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa.
Pasien dengan perilaku kekerasan sering ketakutan-telusuri mengapa dan apa
penyebabnya.
e. Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera otak?
Penggunaan obat-obatan (lakukan tes urine)? Apakah ada pencetus lingkungan
yang dapat dikenali? Lakukan intervensi secara langsung pada pasien psikotik.
f. Kebanyak pasien dapat ditenangkan dengan dukungan, pengertian (dan medikasi);
meskipun demikian, apabila perlu paksa untuk masuk rumah sakit. Apabila ini benar-
benar masalah criminal, dan haruskan melibatkan polisi? (Tomb, 2003)
2. Pengekangan fisik :
Ada 2 macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunkan manset, sprei
pengekang) atau isolasi (menempatkan pasien pada suatu ruangan di mana klien
tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri).

Jenis pengekangan mekanik :


a. Camisoles (jaket pengekang)
b. Manset untuk pergelangan tangan
c. Manset untuk pergelangan kaki
d. Menggunakan sprei

Indikasi pengekangan ;
a. Perilaku amuk yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain
b. Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
c. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan klien
untuk beristirahat, makan dan minum
d. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan tindakan ini
dikaji dan berindikasi terapeutik.

Pengekangan dengan sprei basah atau dingin


Klien dapat dimobilasasi dengan membalutnya seperti mummi dalam lapisan sprei
dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas sprei yang telah direndam dalam air
es. Walaupun mula-mula terasa dingin, balutan segera menjadi hangat dan
menenangkan. Hal ini dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi yang tidak dapat
dikendalikan obat.

3. Intervensi keperawatan :
1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur yang tahan
air
2. Balutan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa permukaan
kulit tidak saling bersentuhan
3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang bermakna
buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang menyenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantu kline berpakaian
4. Restrains
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik atau restrain
manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan dokter jika diharuskan karena
kebijakan institusi.

5. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam ruangan dimana klien tidak dapat keluar
atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan
dalam ruangan yang tertutup tetapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam
ruangan terkunci dengan kasur tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi
dibatasi dan klien memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.

Indikasi pengunaan :
o Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien atau orang
lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi
pengendalian yang longgar, sperti kontak interpersonal atau pengobatan.
o Reduksi stimulus lingkungan jika diminta oleh klien

Kontraindikasi :
o Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
o Resiko tinggi untuk bunuh diri
o Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori. (Yosep, 2010)
6. Kronis
a. Pasien dengan kekerasan kronis perlu uji coba medikasi. Obat psikosis dengan
antipsikotik dan kejang dengan obat antikonvulsan. Untuk perilaku agresi yang
berlanjut pertimbangkan:
i. Klozapin atau risperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia yang disertai
hostilitas)
ii. SSRI [misal fluoksetin (12)] untuk kondisi berbeda-beda dan buspiron (cedera
kepala, retardasi mental)
iii. Propanol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai 120 mg/hari) atau
pindolol; efektif setelah 4-6 minggu.
iv. Karbamazepin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam valproat dan litium
(kadar di dalam darah 0,6-1,2 mEq/L) mungkin berguna untuk pasien dengan
kekerasan disertai dengan gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi mental,
gangguan eksplosif intermiten dan obat-obatan stimulant lainnya untuk
pasien dewasa yang hiperaktif.

Benzodiazepan dapat bermanfaat selama masa-masa stress, tetapi


kemarahan yang paradoks dapat muncul pada beberapa pasien.

b. Ajarkan pasien untuk mengenali secara dini tanda-tanda meningkatnya kemarahan


dan belajar untuk menghilangkan tekanan-tekanan. Kerusakan otak yang berat
mungkin memerlukan lingkungan yang terstruktur dan teknik-teknik perilaku.
c. Bantu pasien mengembangkan suatu system dukungan dan belajar untuk
mengendalikan stress lingkungan. Pelihara saluran komunikasi dengan pasien yang
berpotensi kekerasan-siap sedialah melalui telepon. (Tomb, 2003)
7. Managemen krisis :
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan intervensi
yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik ;

1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena yang bertanggung
jawab selama 24 jam
2. Bentuk tim krisis. Meliputi dokter, perawat dan konselor
3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus menjelaskan apa saja yang
menjadi tugasnya selama penanganan klien
4. Jauhkan klien lain dari lingkungan
5. Lakukan pengekangan jika memungkinkan
6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien
8. Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan untuk kerjasama
9. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus segera
mengkaji situasi lingkungan sekitar untuk tetap melindungi keselamatan klien dan
timnya.
10. Berikan obat jika diinstruksikan
11. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap klien
12. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis
13. Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat
14. Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan lingkungan. (Yosep, 2010)

I. Pohon Masalah

Resiko tinggi mencederai orang lain

Perilaku kekerasan Perubahan persepsi sensori halusinasi

Inefektif proses terapi Harga diri rendah kronis Isolasi social

Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsional

J. STRATEGI PELAKSANAAN

Tgl/ No Tindakan Keperawatan untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


Dx
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Menjelaskan masalah yang
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala dirasakan keluarga dalam
PK merawat pasien
3. Mengidentifikasi PK yang 2. Menjelaskan pengertian, tanda
dilakukan dan gejala perilaku kekerasan,
4. Mengidentifikasi akibat PK dan jenis perilaku kekerasan
5. Menyebutkan cara mengontrol PK yang dialami pasien, serta
6. Membantu pasien mempraktikkan proses terjadinya
latihan cara mengontrol fisik 1 3. Menjelaskan cara merawat
7. Menganjurkan pasien pasien dengan perilaku
memasukkan dalam jadwal kekerasan
kegiatan
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga
harian pasien mempraktikkan cara merawat
2. Melatih pasien mengontrol PK pasien dengan perilaku
dengan cara fisik 2 kekerasan
3. Menganjurkan pasien 2. Melatih keluarga melakukan
memasukkan dalam jadwal cara merawat langsung pasien
kegiatan harian perilaku kekerasan
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga untuk
harian pasien membuat jadwal aktivitas di
2. Melatih pasien mengontrol PK rumah termasuk minum obat
dengan cara verbal (discharge planning)
3. Menganjurkan pasien 2. Menjelaskan follow up pasien
memasukkan dalam jadwal setelah pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Melatih pasien mengontrol PK
dengan cara spiritual
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal harian
pasien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK
dengan minum obat
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian

Anda mungkin juga menyukai