Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEPERAWATAN JIWA 2

ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

NAMA KELOMPOK :

1. FEBRI YULIANTIKA 21102078

2. MUHAMMAD FAKHUR AFIF 21102093

3. RIZKI DWI KHARISMA 21102108

4. SALSABELLA 21102110

DOSEN PENGAMPU:

ZIDNI NURIS YUHBABA S.kep., Ns., M.kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER 2023/2024


DAFTAR ISI

Halaman Depan
Daftar Isi ...............................................................................
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
Bab II Pembahasan
2.1 Definisi Perilaku Kekerasan...............................................................
2.2 Faktor Predisposisi .............................................................................
2.3 Faktor Presipitasi ...............................................................................
2.4 Rentan Respon ...............................................................................
2.5 Mekanisme Koping ............................................................................
2.6 Pohon Masalah ...............................................................................
2.7 Strategi Pelaksanaan...........................................................................
Bab III Penutup
3.1 Simpulan ...............................................................................
Daftar Pustaka ...............................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress
berat yang membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya
: memaki-maki orang disekitarnya, membanting–banting barang, mencederai diri
sendiri dan orang lain, bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda motor.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan
maladaptif. Bila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menantang,
biasanya dilakukan individu karena merasa kuat. Cara demikian dapat menimbulkan
kemarahan yang berkepanjangan dan menimbulkan tingkah laku yang destruktif,
sehingga menimbulkan perilaku kekerasan yang ditujukan pada orang lain maupun
lingkungan dan bahkan akan merusak diri sendiri.
Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaptif, yang
timbul sebagai akibat dari kegagalan sehingga menimbulkan frustasi. Hal ini akan
memicu individu menjadi pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menentang. Perilaku kekerasan yang ditampakkan dimulai dari yang rendah sampai
tinggi, yaitu agresif yang memperlihatkan permusuhan keras dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman tanpa niat melukai sampai
pada perilaku kekerasan atau gaduh gelisah.
Perawat harus mampu memutuskan tindakan yang tepat dan segera, terutama
jika klien berada pada fase amuk. Kemampuan perawat berkomunikasi secara
terapeutik dan membina hubungan saling percaya sangat diperlukan dalam penanganan
klien marah pada semua fase amuk / perilaku kekerasan. Dengan dasar ini perawat akan
mempunyai kesempatan untuk menurunkan emosi dan perilaku amuk agar klien
mampu merubah perilaku marah yang destruktif menjadi perilaku marah yang
konstruktif.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba, dkk: 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (2005), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi
sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan
sebagai ancaman (Stuart & Sundeen: 2005). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-
ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka
akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan
respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah.
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri
atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk: 2008).

3.1 Faktor Predisposisi


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend
(2005) adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh
Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
c. Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.

4.1 Faktor Presipitasi


Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

5.1 Rentan respon


1. Asertif adalah mengungkapkan marah, tanpa menyatiki, melukai perasaan orang lain,
atau tanpa merendahkan harga diri orang lain
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan
3. Pasif adalah dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah, namun masih dapat dikontrol oleh
individu
5. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

6.1 Mekanisma Koping


Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33). Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti: sublimasi yaitu
menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu dorongan, penyalurannya
ke arah lain, proyeksi yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik, represi yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar, reaksi formasi yaitu mencegah keinginan yang
berbahaya bila diekspresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan digunakannya sebagai rintangan, dan diplacement yaitu melepaskan perasaan
yang tertekan, melampiaskan pada obyek yang tidak begitu berbahaya yang
membangkitkan emosi itu.
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien
mengembangkan mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme koping
yang kontruktif dalam mengekpresikan kemarahanya, mekanisme koping yang umum
digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displancement, sublimasi, proyeksi
represif, denial dan reaksi formasi.
7.1 Pohon Masalah

Resiko mencederai orang lain/lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan harga diri : harga diri rendah

• Resiko mencederai diri sendiri


• Perilaku kekerasan
• Gangguan konsep diri: harga diri rendah

8.1 Strategi Pelaksanaan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SPTK)

Pasien dengan resiko Perilaku Kekerasan

Pertemuan ke-2
1. Proses Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan:
Resiko Perilaku Kekerasan
b. Tujuan khusus:
Klien dapat Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan
c. Tindakan keperawatan: Komunikasi BHSP
2. Strategi Komunikasi
a. Fase Orientasi
1) Salam
P : “Assalamu’alaikum Wr.,wb, Selamat Pagi Bu.”
P : “Bertemu lagi dengan saya ya bu, Ns.A selaku Perawat yang akan
mendampingi ibu selama proses perawatan berlangsung ”

2) Evaluasi validasi
P : “Bagaimana kedaan ibu hari ini apa ada keluhan ?”

P : “Oh iya tidak ada ya,”

3) Kontrak topik, waktu, tempat


P : “saya disini siap menemani ibu untuk setengah jam Kedepan ya bu, dan apa
ibu
merasa nyaman diruangan ini ?”
P : “Baik, Begini bu kemarin saat pertemuan pertama ibu belum cerita-cerita
dengan saya tentang keseharian ibu, nah jadi tujuan saya kemari sekarang
adalah mungkin ibu sudah berkenan membagi cerita dengan saya”
b. Fase Kerja
P : “Baik bu, disini ibu bisa menceritkan keseharian ibu bersama keluarga
seperti
apa ?”
P : “nah kemudian, dari kegiatan sehari-hari ini adakah hal yang menurut ibu
merasa bahwa, karena hal tersebut saya melakukan tindakan ini”
P : “oke ada (jengkel/kesal), mungkin bisa ibu ceritakan agar kita sama-sama
mengerti nih bu tentang hal-hal yang akhir-akhir ini terjadi”
c. Fase Terminasi
I. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi subjektif
P : “ Bagaimana perasaan Ibu setelah cerita-cerita tadi? ”

2. Evaluasi objektif
P : “jadi disini ibu melakukan hal-hal ini didasari oleh rasa jengkel ya ?”
P : “ Berarti Sejauh ini ibu sudah tau ya alasan kenapa
ibu ingin melakukan tindak kekerasan”

d. Rencana tindak lanjut


P: “ Selanjutnya besok saya akan kembali mengunjungi ibu kembali untuk
cerita-cerita lagi soal keseharian ibu lebih dalam lagi oke”
e. Kontrak yang akan datang
P : “Dan untuk pertemuan selanjutnya kita akan ngobrol soal perilaku ibu
P : “Baiklah bu, kalau begitu saya permisi dulu dan semoga ibu lekas membaik
ya, mari ibu”

9.1 Kesimpulan

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba,
dkk: 2008). Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi
sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan
sebagai ancaman (Stuart & Sundeen: 2005). Keberhasilan individu dalam berespon terhadap
kemarahan dapat menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan
menimbulkan masalah.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik,
teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (2005) adalah: Teori
biologik meliputi neurobiologik, genetik, biogimia ganguan otak sedangkan teori psikologi
meliputi teori psikonalitik, teori pembelajaran dan taori sosiokultural.

Tentang respon perilaku kekerasa diantaranya asertif, frustasi, pasif, agresif dan mengamuk.
Mekanisme koping dalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33). Mekanisme koping yang umum digunakan
adalah mekanisme pertahanan ego seperti: sublimasi yaitu menerima suatu sasaran pengganti
artinya saat mengalami suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain, proyeksi yaitu
menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik, represi
yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar, reaksi
formasi yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan digunakannya sebagai rintangan, dan
diplacement yaitu melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada obyek yang tidak
begitu berbahaya yang membangkitkan emosi itu.
Daftar Pustaka

Anna, budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(basic


course).jakarta: EGC
Anna, budi.2009. ModelPraktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta : EGC
Purba, J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press

Anda mungkin juga menyukai