Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Tiongkok melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya pada


tanggal 31 Desember 2019. Pasien dengan kasus tersebut bertambah dengan cepat
hingga mencapai 44 pasien dan terus meningkat hingga saat ini berjumlah ribuan. Data
epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau terpajan dengan satu pasar
seafood atau live market di Wuhan, Provinsi Hubei Tiongkok pada awalnya. Sampel
pasien diteliti dan menunjukkan adanya infeksi coronavirus, betacoronavirus tipe baru,
yang disebut 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV). Tanggal 11 Februari 2020, World
Health Organization (WHO) memberikan nama virus tersebut Severe acute respiratory
syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut sebagai Coronavirus
disease 2019 (COVID-19). Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa
COVID-19 menjadi pandemi di dunia.1 COVID-19 merupakan infeksi yang ditransmisi
oleh agen zoonotik (dari hewan ke manusia). Peningkatan jumlah kasus di kota Wuhan
dan secara Internasional telah mengindikasikan bahwa terdapat transmisi sekunder dari
manusia-ke-manusia. Tanggal 20 Februari 2020, telah dikonfirmasi adanya transmisi
manusia-ke-manusia dan infeksi nosocomial telah terjadi. Transmisi dari COVID-19
mayoritas melalui droplet respirasi dan kontak dengan pasien terinfeksi.2 Berdasarkan
panduan berlandaskan bukti yang dikembangkan oleh panel multidisiplin pelayanan
kesehatan dalam bidang tatalaksana klinis pasien COVID-19 dan infeksi virus lain,
seperti SARS dan MERS, serta sepsis dan ARDS, dasar perawatan suportif yang
dioptimalisasi telah diimplementasikan untuk mempertahankan hidup sebaik mungkin. 3
Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19 meningkat
jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Tinjauan Pustaka ini
membahas mengenai diagnosis dan tatalaksana COVID-19 yang telah diaplikasikan
pada pasien COVID-19 saat ini.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) didefinisikan sebagai suatu penyakit


yang disebabkan oleh virus corona yang novel/baru yang saat ini disebut sebagai Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus – 2 (SARS-CoV-2).4 Coronavirus (CoV)
merupakan virus RNA berkapsul yang ditemukan pada manusia dan binatang. Terdapat
total 6 spesies telah diidentifikasi yang menyebabkan penyakit pada manusia yang
menginfeksi sistem saraf, respirasi, enterik dan hepatik. Wabah yang muncul awalnya
berupa pneumonia tanpa etiologi yang jelas pada pasien di Wuhan, Cina. Pusat infeksi
dihubungkan oleh pasar makanan laut dan binatang di kota tersebut. SARS-CoV-2
sangat menular dan menyebabkan pandemi yang pesat. COVID-19 merupakan infeksi
yang ditransmisi oleh agen zoonotik (dari hewan ke manusia). Peningkatan jumlah
kasus di kota Wuhan dan secara Internasional telah mengindikasikan bahwa terdapat
transmisi sekunder dari manusia-ke-manusia.2 Rute transmisi dipercaya via droplet
respiratorik dari batuk atau bersih dan menginfeksi individu lain via kontak langsung
dengan membrane mukosa. Droplet biasanya tidak dapat berjalan lebih dari 6 kaki.
Virus COVID-19 juga dapat menetap pada permukaan bahan tertentu dengan durasi
yang bervariasi, seperti 24 jam pada bahan kardus, 4 hari pada bahan kaca dan besi
stainless, 7 hari pada plastik atau 4 jam pada bahan tembaga. COVID-19 sangat rentan
terhadap pajanan panas (700C).4

2.2. Epidemiologi

Prevalensi COVID-19 secara global masih meningkat hingga pertanggal 15 Mei


2020 dimana terdapat sebanyak 4.248.389 kasus konfirmasi, dengan 294.046 kasus
meninggal dan angka kematian mencapai 6,9%.5 Negara dengan infeksi COVID-19
terbanyak saat ini adalah Amerika Serikat (1.457.593 kasus dengan 86.912 kematian).
Sebanyak 116.617 kasus konfirmasi dan 3.921 kasus meninggal (3,4%) tercatat di
Regional Asia Tenggara, India sebagai negara terbanyak yakni 81.997 kasus dengan
2.649 kematian.6 Indonesia saat ini memiliki 16.006 kasus konfirmasi dan 1.043 kasus
meninggal (6,5%), dengan kasus sembuh sebanyak 3.518 pasien (22%) dan 11.445

2
dalam perawatan (71.5%). Jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 258.639
kasus dan Pasien Dalam Pemantauan sebanyak 33.672 kasus.5 Lima provinsi dengan
kasus terbanyak di Indonesia ditempati oleh DKI Jakarta (5.688 terkonfirmasi, 1.162
sembuh, 452 meninggal), diikuti oleh Jawa Timur (1.863 terkonfirmasi, 278 sembuh,
167 meninggal), Jawa Barat (1.565 terkondirmasi, 242 sembuh, 99 meninggal), Jawa
Tengah (1.066 terkondirmasi, 229 sembuh, 66 meninggal) dan Sulawesi Selatan (840
terkonfirmasi, 293 sembuh, 51 meninggal). 7 Kasus COVID-19 pada awalnya banyak
ditemukan pada pasien lanjut usia. Seiring dengan berkembangnya infeksi virus ini,
jumlah kasus pada usia 65 tahun keatas semakin meningkat, disertai dengan
peningkatan kasus pada anak – anak (<18 tahun). Pasien laki-laki lebih banyak pada
awal pandemic, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin yang
terlihat setelah kasus semakin banyak.8

2.3. Faktor risiko COVID-19

Berdasarkan beberapa penelitian kohort retrospektif dan meta-analisis mengenai


faktor risiko COVID-19, dapat disimpulkan bahwa pasien lanjut usia terutama yang
disertai dengan komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular serta
penyakit sistem respirasi. Faktor risiko pada usia yang lebih muda juga ditemukan
terutama pada perokok dan imunokompromais.9,10

2.4. Patogenesis COVID-19

Patogenesis dari COVID-19 terbagi menjadi 3 tahapan.

Tahap 1 (asimtomatik; hari 1-2 inisial infeksi); Virus SARS-CoV-2 masuk


melalui inhalasi dan berikatan dengan sel epitel pada kavum nasal dan mulai ber-
replikasi. ACE-2 adalah reseptor utama dari SARS-CoV-2. Propagasi local dari virus
terjadi tetapi respon imun innate terbatas. Virus dapat terdeteksi dengan swab nasal
pada tahap ini. Meskipun beban viral masih rendah, individu sudah infeksius. Tahap 2
(respons saluran nafas, beberapa hari kemudian) Virus bermigrasi ke traktus
respiratorius melalui saluran permnafasan dan respon imun innate yang sangat banyak
terpicu. Swab nasal atau sputum dapat menunjukkan adanya virus, serta marker dari
respon imun inate meningkat. Tampak manifestasi klinis COVID-19 pada tahap ini.
Sekitar 80% pasien yang terinfeksi menunjukkan gejala ringan dan terbatas pada saluran

3
nafas bangian atas. Individu dengan gejala ringan dapat dimonitor rawat jalan dengan
terapi konservatif simtomatik.

Tahap 3 (hipoksia, infiltrate ground glass, progresi menjadi ARDS) Sekitar 20%
dari pasien dapat berprogresi ke tahap 3 dari penyakit dan menunjukkan infiltrate
pulmonal dan beberapa menunjukkan perburukan penyakit. Virus mencapai unit
pertukaran gas di paru-paru dan menginfeksi sel alveolar tipe II (berbeda dengan SARS-
CoV dan influenza yang menginfeksi sel alveolar tipe I). Infeksi unit alveolar paling
sering pada perifer dan subpleural. Virus berpropagasi pada sel tipe II dan banyak
partikel virus yang dilepaskan, sehingga sel mengadakan apoptosis dan mati. Hasil
akhirnya adalah toksin pulmonal yang self-replicating terlepas saat partikel virus
menginfeksi unit sel tipe II lain yang terdekat. Secara patologis, akan tampak kerusakan
alveolar difus dengan fibrin kaya membrane hialin dan beberapa sel raksasa dengan
multinukleus. Penyembuhan kerusakan menyebabkan scarring dan fibrosis yang lebih
berat dari ARDS lainnya. Kesembuhan membutuhkan respon imun innate dan adaptif
yang sangat banyak dan regenerasi epitel.11 Periode inkubasi dari COVID-19 (waktu
dari paparan virus/terinfeksi dan onset gejala) rata-rata adalah 5-6 hari, tetapi dapat

mencapai 14 hari.12

4
Gambar 1. Patogenesis COVID-19
Sumber: Referensi no. 13

5
2.5. Diagnosis

2.5.1. Skrining dan triase

Skrining dan isolasi pasien suspek COVID-19 dilakukan pada kontak pertama
dengan pelayanan kesehatan (seperti unit gawat darurat atau klinik rawat jalan).
COVID-19 harus dijadikan kemungkinan etiologic pada pasien dengan penyakit saluran
pernafasan akut dalam kondisi tertentu.

Tabel 1. Definisi Kasus surveilans untuk COVID-19 (WHO)

KASUS Definisi
Suspek
Pasien dengan penyakit respiratorik akut (demam dan setidaknya
1 tanda/gejala dari penyakit respiratorik, seperti batuk, sulit
bernafas) DAN Riwayat berpergian kea tau tinggal di lokasi yang
dilaporkan adanya transmisi komunitas (community transmission
dari COVID-19 selama 14 hari sebelum onset gejala

ATAU

Pasien dengan penyakit respiratorik akut apapun DAN kontak


dengan kasus konfirmasi atau probable COVID-19 pada 14 hari
sebelum onset gejala

ATAU

Pasien dengan penyakit respiratorik akut berat (demam dan


setidaknya 1 tanda/gejala dari penyakit respiratorik, seperti batuk,
sulit bernafas; DAN memerlukan rawat inap) DAN tidak ada
diagnosis alternative yang menjelaskan presentasi klinis pasien
Probable Kasus suspek yang hasil tes COVID-19 masih inkonklusif
ATAU
Kasus suspek yang pemeriksaannya tidak dapat dilakukan dengan
alasan apapun
Terkonfirmasi Orang yang telah terkonfirmasi secara laboratorium terinfeksi
COVID-19, tanpa melihat tanda dan gejalanya
Kontak Orang yang memiliki salah satu paparan selama 2 hari sebelum
dan 14 hari setelah onset gejala dari kasus probable atau
terkonfirmasi:
1. Kontak yang melibatkan tatap wajah dengan pasien
probable atau terkonfirmasi dalam jarak 1 meter dan lebih
dari 15 menit
2. Kontak fisik langsung dengan kasus probable atau
terkonfirmasi
3. Merawat langsung pasien probable atau terkonfirmasi

6
COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD)
4. Situasi lain yang terindikasi oleh penilaian risiko lokal
Catatan: untuk kasus terkonfirmasi asimptomatik, periode kontak diukur sebagai 2 hari
sebelum hingga 14 hari setelah tanggal dimana sampel diambil dan terdeteksi virus.14

Berdasarkan Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disesase Kemenkes


RI, ditetapkan definisi operasional sebagai berikut:

o Pasien Dalam Pengawasan (PDP)/Suspek


1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga
berat DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan
kasus konfirmasi COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan
o Orang Dalam Pemantauan (ODP)
 Orang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN
o tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan DAN
o pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan
transmisi lokal*.
 Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti
pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN
o pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.

7
o Orang Tanpa Gejala (OTG)
 Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang
konfirmasi COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat
dengan kasus konfirmasi COVID-19.
 Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada
dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien
dalam pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Termasuk kontak erat
adalah:
a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan
membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa
menggunakan APD sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus
(termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari
sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul
gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis
alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala
o Kasus Konfirmasi
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif
melalui pemeriksaan PCR.15

The Infectious Disease Society of America (ISDA) telah mengusulkan


rekomendasi pemeriksaan berdasarkan kelompok prioritas. Menurut IDSA, pasien yang
harus diprioritaskan untuk pemeriksaan adalah pasien yang sakit kritis atau menderita
pneumonia atau gagal nafas akibat virus, individu dengan demam atau tanda gejala
penyakit saluran pernafasan bawah yang memiliki kontak dengan kasus terkonfirmasi
COVID-19 dalam 14 hari dari onset gejala, individu dengan demam atau tanda gejala
penyakit saluran nafas bawah yang telah menempuh perjalanan dalam 14 hari dari onset
gejala ke area dengan transmisi local terjadi, pasien dengan demam atau tanda gejala
infeksi saluran nafas bawah yang imunosupresi, lanjut usia, atau memiliki kondisi

8
penyakit kronis yang mendasari. Pasien dengan demam atau tanda gejala infeksi saluran
nafas bawah yang penting untuk respon pandemic termasuk tenaga Kesehatan, petugas
Kesehatan masyarakat dan pemimpin masyarakat lainnya. Pasien yang dipertimbangkan
menjadi prioritas kedua untuk diperiksa adalah pasien yang dirawat inap lama di rumah
sakit yang bukan di ICU. Pasien yang menjadi prioritas ketiga adalah pasien rawat jalan
yang masuk dalam kriteria untuk pemeriksaan influenza, termasuk orang dengan
komorbiditas tertentu (seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), gagal
jantung kronis (CHF), wanita hamil dan pasien pediatrik dengan gejala dan faktor risiko
lainnya. Terakhir, pasien dengan prioritas ke empat adalah individu yang menjalankan
monitoring untuk pengumpulan data dan studi epidemiologic oleh tenaga Kesehatan
yang berwenang.16

2.5.2. Manifestasi klinis COVID-19

Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan atas beberapa kelompok yaitu

Tabel 2. Klasifikasi pasien berdasarkan keparahan COVID-19

Tanpa gejala Tidak ditemukan gejala


Ringan/tidak Infeksi saluran nafas oleh virus tidak berkomplikasi dengan
berkomplikasi gejala tidak spesifik seperti: demam, lemah, batuk (dengan atau
tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan,
sesak ringan, kongesti hidung, sakit kepala.
Meskipun jarang, pasien dapat dengan keluhan diare, mual atau
muntah. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala
atipikal.
Sedang/moderat Pasien remaja atau dewasa dengan pneumonia tetapi tidak ada
tanda pneumonia berat dan tidak membutuhkan suplementasi
oksigen ATAU
Anak-anak dengan pneumonia tidak berat dengan keluhan batuk
atau sulit bernapas disertai napas cepat.
Berat/pneumoni Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam
a berat pengawasan infeksi saluran napas/pneumonia, ditambah satu
dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distress pernapasan berat,
atau saturasi oksigen (SpO2) <93%, rasio PaO2/FiO2 <300.
Atau Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas,

9
ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2 <90%;
 distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding
dada yang berat);
 tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau
minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
 Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada,
takipnea:
<2 bulan, >= 60 x/menit; 2-11 bulan >= 50 x/menit, 1-5 tahun
>= 40 x/menit, >5 tahun >=30 x/menit
Kritis Pasien dengan gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), syok sepsis dan/atau multiple organ failure.
Sumber: Referensi no. 1

Pasien yang sedang diperiksa untuk COVID-19 harus ditempatkan pada ruangan
tertentu yang tertutup (ruang isolasi untuk infeksi saluran pernafasan ideal digunakan)
dan diminta untuk menggunakan masker bedah. Penggunaan masker medis saat bekerja
dalam radius 1 meter dari pasien. Kewaspadaan kontak harus diterapkan untuk mecegah
penularan langsung atau tidak langsung. Penggunaan APD (masker medis, pelindung
mata, sarung tangan, jubah) saat memasuki ruangan dan melepaskan APD saat
meninggalkan ruangan dan mencuci tangan setelah melepas APD.3

2.5.3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

 Real-time reverse transcription – polymerase chain reaction /rRT-PCR


CDC telah mengembangkan pemeriksaan diagnostic untuk deteksi virus
yakni menggunakan real-time reverse transcription – polymerase chain reaction
(rRT-PCR) yang dapat mendiagnosis virus pada sampel respiratorik dan serum
dari specimen klinis. Specimen saluran pernafasan atas dilaporkan mengandung
lebih sedikit beban virus dibandingkan specimen saluran nafas bawah. Apabila
PCR negatif SARS-CoV-2 menggunakan sampel saluran nafas atas, WHO
merekomendasikan pemeriksaan ulang menggunakan specimen saluran
pernafasan bawah.17

10
Penelitian di Cina menunjukkan hasil positif terbanyak adalah dari cairan
bronchoalveolar lavage/BAL (93%), sputum (72%), swab nasal (63%), biopsy
brush (46%), swab faringeal (32%), feses (29%), darah (1%) dan urin 0%. Swab
nasal ditemukan lebih banyak mengandung virus.18 Xiao dkk menemukan bahwa
kasus positif COVID-19 pada PCR ditemukan paling banyak pada minggu
pertama (100%), minggu ke 2 (89,3%), minggu 3 (66,1%), minggu 4 (32,1%),
minggu 5 (5,4%) dan 0% pada minggu 6.19
 Pemeriksaan antibody
FDA mengusulkan penggunaan emergensi immunoglobulin M dan G
(IgM dan IgG) untuk SARS-CoV-2 menggunakan serum, plasma (EDTA atau
sitrat), atau darah utuh venipuncture secara kualitatif. Antibody IgM terdeteksi
beberapa hari dari infeksi inisial, sedangkan IgG terdeteksi lebih lama.
 Kultur virus
Pada pasien suspek COVID-19, isolasi virus dalam kultur sel atau
karakterisasi inisial dari agen viral ditemukan pada kultur specimen tidak
direkomendasikan untuk alasan biosafety.4
 Temuan laboratorium pada pasien COVID-19
Leukopenia, leukositosis dan limfopenia ditemukan pada kasus awal
COVID-19. Lactate dehydrogenase dan kadar ferritin biasanya ikut meningkat. 20
Wu dkk melaporkan bahwa usia lanjut, neutrofilia, dan elevasi LDH serta D-
dimer meningkatkan risiko ARDS dan kematian.21

11
b. Pemeriksaan radiologis

 Foto thoraks
Penelitian retrospektif pada pasien COVID-19 di Hongkong
menunjukkan abnormalitas pada foto throaks berupa konsolidasi (47%) dan
opasitas ground glass (33%). Umumnya konsolidasi tampak bilateral dan
distribusi pada zona inferior dari paru-paru. Efusi pleura tidak sering ditemukan.
Derajat keparahan dari foto thoraks tampak memuncak pada hari ke 10-12
setelah onset gejala.

Gambar 2. Cor normal. Tampak opasitas bilateral, predominan lobus inferior. Serupa
dengan gambaran pneumonia multifocal/viral. Tidak ada effusi pleura atau
pneumothoraks
Sumber: Referensi no.4

12
Gambar 3. Cor normal. Tampak opasitas patchy diseluruh lapang paru. Area patchy dari
konsolidasi pada basis pulmonal kanan menutupi diafragma kanan. Tidak ada effusi
atau pneumothoraks. Foto kanan: 10 hari dari gejala.
Sumber: Referensi no.4
 CT-Scan
CT-scan pada pasien pneumonia terkait COVID-19 biasanya menunjukkan
opasifikasi ground glass (91%), kemungkinan disertai konsolidasi. Beberapa
penelitian melaporkan abnormalitas yang biasanya bilateral, meliputi lobus
inferior dan terdistribusi perifer (80%). Tampak juga opasitas reticular halus
(56%) dan penebalan vascular (59%). The American College of Radiology
(ACR) merekomendasikan penggunaan CT-scan sebagai opsi untuk manajemen
pasien rawat inap, bukan untuk skrining atau diagnosis. Mingzhi dkk
merekomendasikan CT-scan resolusi tinggi, dan melaporkan progresivitas dari
CT-scan dari waktu ke waktu pada pasien COVID-19.
o Fase awal: banyangan patchy multiple kecil dan perubahan interstisial
mulai tampak dan berawal dari dekat pleura atau bronkus disbanding
parenkim paru.
o Fase progresif: Lesi membesar dan meningkat, berubah menjadi opasitas
ground glass multiple dan infiltrasi konsolidasi pada kedua paru
o Fase dissipative: opasitas ground-glass dan konsolidasi terabsorpsi
sempurna. Lesi mulai berubah menjadi fibrosis.

Gambar 4. CT-scan aksial (kiri) dan koronal (kanan) thoraks dengan opasitas ground
glass dengn distribusi perifer
Sumber: Referensi no. 4

13
Gambar 5. Evolusi tipikal dari temuan CT-scan pada wanita 47 tahun dengan demam
persisten (38,80C) selama 3 hari. a) saat datang berobat (hari ke 3 gejala), regio kecil
dari GGO (ground glass opacity) subpleural dengan konsolidasi parsial pada lobus
kanan bawah; b) hari 7, perluasan regio GGO dengan penebalan septal inter- dan
intralobular (crazy-paving pattern) dengan resolusi GGO inisial, area baru konsolidasi
subpleural; c) hari 11, resolusi parsial GGO awal; d) hari 20, resolusi berlanjut dengan
residu GGO minimal dan tampak parenchymal bands
Sumber: Referensi no. 22

14
2.6. Tatalaksana1

2.6.1. Protokol tatalaksana pasien terkonfirmasi COVID-19

a. Tanpa gejala/OTG

 Isolasi dan Pemantauan


o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Pasien dipantau melalui telepon
oleh petugas FKTP. Kontrol di FKTP setelah 14 hari karantina untuk
pemantauan klinis
 Non-farmakologis
o Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (diberikan leaflet
untuk dibawa ke rumah)
 Pasien :
 Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan
malam hari
 Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat
berinteraksi dengan anggota keluarga
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand
sanitizer sesering mungkin
 Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
 Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah, menerapkan
etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)
 Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
 Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap
harinya
 Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam
kantong plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan
pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan
segera dimasukkan mesin cuci
 Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi, jam 12 siang
dan jam 19 malam.

15
 Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau
keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38o C
 Lingkungan/kamar:
 Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
 Membuka jendela kamar secara berkala
 Bila memungkinkan menggunakan APD saat
membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila
memungkinkan sarung tangan dan goggle.
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand
sanitizer sesering mungkin.
 Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau
bahan desinfektasn lainnya
 Keluarga:
 Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien
sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.
 Anggota keluarga senanitasa pakai masker
 Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
 Senantiasa mencuci tangan
 Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan
bersih
 Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi
udara tertukar
 Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh
pasien misalnya gagang pintu dll
 Farmakologi
o Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter
Spesialis Penyakit Dalam ATAU Dokter Spesialis Jantung
o Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan:

16
 Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
 Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
 Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari)
 Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E, Zinc

b. Gejala ringan

 Isolasi dan Pemantauan


o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
o Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai pasien rawat jalan
o Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis
 Non Farmakologis
o Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi
tanpa gejala).
 Farmakologis
o Vitamin C dengan pilihan:
 Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
 Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
 Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari),
 Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C,B,
E, zink
o Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) 400 mg/24 jam/oral (untuk 5
hari)
o Azitromisin 500 mg/24 jam/oral (untuk 5 hari) dengan alternatif
Levofloxacin 750 mg/24 jam (5 hari)
o Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila demam
o Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus : Oseltamivir 75 mg/12
jam/oral ATAU Favipiravir (Avigan) 600mg/12 jam / oral (untuk 5 hari)

c. Gejala Sedang

17
 Isolasi dan Pemantauan
o Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan Covid-19/ Rumah Sakit
Darurat Covid-19
o Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan Covid-19/ Rumah Sakit
Darurat Covid-19 selama 14 hari
 Non Farmakologis
o Istirahat total, intake kalori adekuat, control elektrolit, status hidrasi,
saturasi oksigen
o Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal,
fungsi hati dan ronsen dada secara berkala.
 Farmakologis
o Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
o Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12
jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)
o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari) dengan
aternatif Levofloxacin 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7
hari)
o Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
o Antivirus : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

d. Gejala Berat

 Isolasi dan Pemantauan


o Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
 Non Farmakologis
o Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi
(terapi cairan), dan oksigen

18
o Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal,
fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
o Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
o Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
 Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min
 Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari)
 PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
 Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
 Limfopenia progresif,
 Peningkatan CRP progresif,
 Asidosis laktat progresif.
o Monitor keadaan kritis
 Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, shock atau
gagal Multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
 Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan
penggunaan ventilator mekanik
 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit:
 Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau non-
invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien
dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih
disarankan dibandingkan NIV.
 Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien
dengan edema paru.
 Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake
prone position).
o Prinsip terapi oksigen:
 NRM : 15 liter per menit.
 HFNC
 Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan
respirator (PAPR, N95).

19
 Batasi flow agar tidak melebihi 30 liter/menit.
 Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian
lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan
mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada
jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3,85
menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi
(Indeks ROX = (SpO2 / FiO2)/ laju nafas)
 NIV
 Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan
respirator (PAPR, N95).
 Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan
evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai
kriteria ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak
ada gejala kegagalan pernafasan atau peningkatan
FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi dan lakukan
penilaian ulang 2 jam kemudian.
 Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk dilakukan
ventilasi invasif.
 Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.
 Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2
kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga
sedang. Hindari penggunaan strategi ini pada ARDS
berat.
 Untuk mengurangi risiko akibat terbentuknya aerosol,
maka alat ventilasi dan metode yang digunakan sebaiknya
yang paling sedikit menimbulkan aerosol. NIV dan HFNC
memiliki risiko terbentuknya aerosol yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ventilasi mekanik invasif, sehingga
jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di ruangan yang
bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan

20
normal, namun pasien terisolasi dari pasien yang lain)
dengan standar APD yang lengkap. Untuk mengurangi
aeorosol pada penggunaan HFNC, pada pasien sebaiknya
dipasang masker surgical dan titrasi flow rate HFNC

Gambar 6. Alur penentuan alat bantu napas mekanik


Sumber: Referensi no.1

 Farmakologis
o Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250
mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) ATAU Hidroksiklorokuin dosis 400 mg
/24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
o Azitromisin 500 mg/24 jam (untuk 5 hari) atau levofloxacin 750 mg/24
jam/intravena (5 hari)
o Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah

21
harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian
khusus) patut dipertimbangkan.
o Antivirus : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
o Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
o Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
o Hydroxycortison 100 mg/24 jam/ intravena (3 hari pertama)
o Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
o Obat suportif lainnya
o Bila tidak tersedia Oseltamivir maupun Favipiravir (Avigan), maka
sebagai pilihan dapat diberikan tablet kombinasi Lopinavir + Ritonavir
( 2 x 400/100 mg) selama 10 hari ATAU Remdisivir 200 mg IV drip,
dilanjutkan 1 x 100 mg IV, semua diberikan dalam drip 3 jam, selama 9
– 13 hari.
 Favipiravir (Avigan) tidak boleh diberikan pada wanita hamil
atau yang merencanakan kehamilan
o Pemberian Azitromisin dan Klorokuin fosfat pada beberapa kasus dapat
menyebabkan QT interval yang memanjang, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan EKG sebelum pemberian dan selanjutnya dilakukan serial
o Untuk gejala ringan, bila terdapat komorbid terutama yang terkait
jantung sebaiknya pasien dirawat

22
 Penanganan kasus henti jantung pasien terduga terkonfirmasi COVID-19 sesuai
algoritma di bawah ini:

Gambar 7. Algoritme penanganan kasus henti jantung pasien terduga COVID-19


Sumber: Referensi no.1

23
2.6.2. Protokol tatalaksana pasien belum terkonfirmasi COVID-19

Kelompok ini termasuk pasien dengan hasil rapid test serologi negatif, ODP dan PDP.

a. Tanpa gejala
 Isolasi mandiri dirumah selama 14 hari
 Edukasi dengan leaflet
 Vitamin C 3x1 tablet
b. Gejala ringan
 Isolasi & pemantauan
 Isolasi mandiri dirumah 14 hari
 Pemeriksaan laboratorium RDT/PCR swab nasofaring hari 1 dan
2 sesuai pedoman covid-19 Kemenkes
 Non-farmakologis
 Pemeriksaan hematologi di FKTP (seperti puskesmas):
hematologic rutin, hitung jenis leukosit, laju endap darah
 Foto toraks
 Edukasi
 Farmakologi
 Vitamin C 3x1 tablet serta obat simtomatis
 Azitromisin 500 mg/24 jam/oral (3 hari), atau levofloxacin 750
mg/24 jam (5 hari) sambil menunggu hasil swab
 SImtomatis
c. Sedang dan berat
 Isolasi & Pemantauan
 Rawat inap di Rumah Sakit/RS Rujukan
 Pemeriksaan laboratorium RDT/PCR swab nasofaring hari 1 dan
2 sesuai pedoman covid kemenkes
 Pikirkan kemungkinan diagnosis lain
 Non-farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi/terapi cairan, oksigen

24
 Pantau laboratorium darah perifer lengkap berikut hitung jenis,
bila mungkin ditambah CRP, fungsi ginjal, hati, hemostasis,
LDH, D-dimer
 Pemeriksaan foto toraks serial
 Farmakologis
 Bila ditemukan pneumonia, tatalaksana sebagai pneumonia yang
dirawat di RS.
 Kasus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang dicurigai sebagai
COVID-19 dan memenuhi kriteria beratnya penyakit dalam
kategori sedang atau berat ditatalaksana seperti pasien
terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan.

2.6.3. Protokol tatalaksana pasien COVID-19 dengan komorbid

 Diabetes mellitus (DM)


o Gejala Ringan
 Obat antidiabetes oral dan insulin dapat dilanjutkan sesuai
dengan regimen awal
o Gejala Sedang
 Pertahankan regimen awal jika kondisi mental pasien, nafsu
makan dan kadar glukosa dalam batas normal
 Ganti obat antidiabetes oral dengan insulin pada pasien dengan
gejala COVID-19 yang nyata dan tidak bisa makan secara teratur
 Disarankan untuk mengganti regimen insulin premiks menjadi
basal-bolus atau pompa insulin agar lebih fleksibel dalam
mengatur kadar glukosa
o Berat dan Kritis
 Insulin intravena menjadi pengobatan lini pertama
 PAsien dalam pengobatan continuous renal replacement therapy
(CRRT), proporsi glukosa & insulin dalam larutan penggantian
harus ditingkatkan atau dikurangi sesuai hasil pemantauan kadar
glukosa
 Geriatri

25
o Pencegahan dengan social & physical distancing, penggunaan masker
dan upaya lainnya penting dilakukan. Tatalaksana COVID-19 pada
geriatric dan dewasa serupa tetapi perlu hati-hati pada efek samping oabt
yang diberikan.
 Autoimun
o Terapi imunosupresan (termasuk agen biologic) serta kortikosteroid (KS)
juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko infeksi. Saat ini belum
ada bukti menunjukkan risiko peningkatan covid-19 pada populasi
pasien autoimun termasuk yang dalam terapi imunosupresan dan KS.
Anjuran untuk pasien autoimun adalah untuk tidak menghentikan
pengobatan karena dapat memicu flare up kondisi autoimun, tetap
melakukan pencegahan seperti populasi umum.
 Penyakit ginjal
o Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) terutama yang menjalani dialysis
atau transplantasi ginjal rentan terkena COVID-19. Semua pasien tetap
melanjutkan terapi sebelumnya termasuk obat antihipertensi kecuali
dihentikan dokter. Tetap tinggal di rumah, mengurangi kontak,
menggunakan masker juga diperlukan. Pasien uremia harus tetap datang
ke unit hemodialisa (HD) secara teratur. Pasien harus memakai masker
bedah saat masuk area perawatan sampai meninggalkan unit dialysis.
Pasien disarankan untuk tidak menggunakan transportasi public. HD
dilaukan di unit dialysis dengan fasilitas ruang isolasi airborne untuk
pasien terkonfirmasi COVID-19 dan PDP, serta ruang isolasi biasa untuk
ODP dan OTG. Jika ruang isolasi tidak ada, HD dijadwalkan diluar
jadwal rutin untuk meminimalisir paparan pada pasien lain, diberi jarak
minimal 1,8 meter (6 kaki) dari mesin pasien terdekat dari semua arah.
Pasien dialysis peritoneal meminimalisir kunjungan ke unit CAPD.
Kunjungan hanya dilakukan apabila terdapat tanda peritonitis, infeksi
exit site berat dan training penggantian cairan untuk pasien CAPD baru.
Pembuangan cairan dialisat ditambahkan larutan klorin 500 mg/liter
sebelum dibuang ke toilet untuk menghindarkan percikan saat
pembuangan cairan.

26
 STEMI
o Pasien kriteria skrining cepat COVID-19 positif dengan STEMI dan
tanda vital stabil onset <12 jam dilakukan fibrinolitik/trombolitik di
ruang isolasi bila tidak ada kontraindikasi
o Pasien kontraindikasi fibrinolitik/trombolitik dilakukan evaluasi risiko
untuk emergency PCI
o Pasien dengan tanda vital tidak stabil dan pneumonia berat (demam +
frekuensi nafas >30 kali/menit, distress nafas berat, atau saturasi
oksigen/SpO2 <90% pada udara kamar), diberi terapi konservatif di
ruang isolasi.
o Pasien kriteria skrining cepat COVID-19 positif dengan STEMI dan
tanda vital stabil >12 jam dilakukan evaluasi risiko PCI
o Pasien kriteria skrining cepat COVID-19 negatif dengan STEMI
dilakukan talaksana sesuai STEMI.
 NSTEMI
o Pasien kriteria skrining cepat COVID-19 positif dengan NSTEMi
dilakukan terapi di ruang siolasi, evaluasi keperluan PCI setelah pulih
dari pneumonia COVID-19
o Pasien skrining cepat COVID-19 negatif dengan NSTEMi dilakukan
tatalaksana sesuai NSTEMI
o Pasien skrining cepat COVID-19 positif dengan NSTEMI dan
hemodinamik tidak stabil dilakukan PCI di ruang kateterisasi isolasi
o Pasien tes COVID-19 negatif ditatalaksana lanjutan di ruang perawatan
ICVCU, sedangkan yang positif ditatalaksana lanjut di ruang isolasi.
 Hipertensi
o Salah satu komorbid paling sering pada COVID-19. SARS-CoV-2
berikatan dengan ACE-2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel,
sehingga penggunaan Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor
dan angiotensin receptor blockers (ARB) dipertanyakan memberikan
manfaat atau merugikan karena keduanya meningkatkan ACE 2; akan
tetapi ACE 2 menunjukkan efek protektif terhadap kerusakan paru pada
penelitian eksperimental. ACE2 membentuk Angiotensin 1-7 dari

27
angiotensin II sehingga mengurangi efek inflamasi dari angiotensin II
dan meningkatkan efek anti-inflamasi angiotensin 1-7. ARB telah
disarankan dalam pengobatan COVID-19 dan komplikasinya.
Penggunaan obat-oabtan ini harus diteruskan untuk mengontrol tekanan
darah.
 PPOK
o Pasien PPOK dengan VEP1 prediksi <50%, Riwayat eksaserbasi dengan
perawatan di RS, butuh oksigen jangka panjang, gejala sesak dan
komorbid lain berisiko terhadap COVID-19. Pasien PPOK pada masa
pandemic disarankan meminimalisir konsultasi tatap muka. Pasien segera
berobat bila terdapat gejala atau perubahan dari gejala sehari-hari yang
mengarah ke COVID-19 ke RS rujukan COVID-19. Pasien PPOK tetap
menggunakan obat inhaler atau oral secara rutin. Tidak ada bukti
penggunaan kortikosteroid inhaler (ICS) atau oral untuk PPOK harus
dihindari selama pandemic. Namun penggunaan ICS untuk PPOK
dipertimbangkan pada pasien Riwayat rawat inap karena eksaserbasi
PPOK (>= 2 eksaserbasi dalam 1 tahun, eosinophil >300 sel/ul, Riwayat
atau konkomitan asma). Pasien PPOK yang dapat ICS dosis tinggi
dipertimbangkan menurunkan ke dosis standar.
 Tuberkulosis (TB)
o Tetap diberikan obat anti TB (OAT). Prinsip yang dianjurkan adalah
pengobatan tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi
fasyankes TB untuk mengambil OAT. Pemantauan pengobatan dapat
dilakukan via elektronik non tatap muka seperti video call
o ODP dan PDP atau OTG
 TB sensitive obat fase intensif diberkan OAT interval tiap 14-28
hari
 TB sensitive obat fase lanjutan diberikan OAT interval tiap 28-56
hari
 TB resisten obat fase intensif diberikan OAT interval tiap 7 hari
 TB resisten obat fase lanjutan diberikan OAT oral frekuensi tiap
14-28 hari dengan memperkuat pengawas minum obat (PMO)

28
 Interval pemberian OAT bisa diperpendek melihat kondisi pasien
 TB resisten obat belum terkonfirmasi COVID-19 yang
menggunakan terapi injeksi tetap melakukan kunjungan tiap hari
ke fasyankes yang ditunjuk (terdekat) menggunakan masker.
 TB resisten obat terkonifmrasi COVID-19 dan terapi injeksi TB
tetap mendapat terapi dari FasKes yang ditunjuk dengan petugas
mendatangi ke rumah pasien atau tempat isolasi diri
menggunakan APD lengkap dan sesuai standar.
o Pasien TB terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala sedang-berat
 Mendapat OAT sesuai standar di RS tempat dirawat

2.6.4. Protokol tatalaksana covid-19 pada anak dan neonatus

Tabel 3. Tatalaksana COVID-19 pada anak dan neonatus

ODP PDP SARS-CoV-2 terkonfirmasi


Asimtomati Isolasi tekanan negatif 14
k hari
ISPA atas Tatalaksana Isolasi di rumah Isolasi tekanan negatif
umum & Tatalaksana nutrisi & Tatalaksana nutrisi dan
simtomatik asupan cairan cukup asupan cairan cukup
Tatalaksana simtomatik Tatalaksana simtomatik
Antibiotik sesuai Antibiotic sesuai indikasi
indikasi
Pneumonia Tatalaksana umum: Tatalaksana umum:
 Oksigen  Oksigen
 Nutrisi  Nutrisi
 Asupan cairan  Asupan cairan cukup
cukup  Isolasi tekanan
 Isolasi tekanan negatif
negatif  Terapi cairan jika
 Terapi cairan perlu
jika perlu Antibiotik sesuai WHO:
Antibiotik sesuai  Pneumonia ringan =
WHO: amoksisilin
 Pneumonia  Pneumonia berat =
ringan = ampisilin +
amoksisilin gentamisin
 Pneumonia  Anak usia sekolah =
berat = makrolid (untuk
ampisilin + pneumonia atipik)
gentamisin  COVID-19 = pilih
 Anak usia AB yang
sekolah = pemberiannya

29
makrolid (untuk frekuensi jarang
pneumonia untuk mengurangi
atipik) kontak dengan
 COVID-19 = petugas pasien
pilih AB yang (injeksi seftriakson
pemberiannya per 24 jam)
frekuensi jarang  Parasetamol jika
untuk diperlukan
mengurangi Antivirus jika koinfeksi
kontak dengan dengan influenza virus
petugas pasien  Oseltamivir
(injeksi  Lopinavir/Ritonavir
seftriakson per 
24 jam) Klorokuin belum banyak
 Parasetamol dilaporkan bermanfaat pada
jika diperlukan anak
 Oseltamivir
apabila Bila terjadi perburukan klinis,
koinfeksi rawat ICU dengan standar
dengan isolasi COVID-19
influenza virus
Kritis •  Rawat ICU • Rawat ICU dengan
• Gagal napas: standar isolasi COVID-19
membutuhkan • Gagal napas
ventilator, syok, membutuhkan ventilator,
atau multiorgan syok, atau MOF atau
failure atau sepsis sepsis:
disesuaikan dengan •  Tatalaksana
protocol standar COVID-19 +
yang ada protocol standar
• Steroid &
Imunoglobulin
tidak
direkomendasikan
rutin

Dosis oseltamivir:
 <1 tahun = 3 mg/kg/dosis tiap 12 jam
 >1 tahun
 BB <15 kg = 30 mg/12 jam
 15-23 kg = 45 mg/12 jam
 23-40 kg = 60 mg/12 jam
 >40 kg = 75 mg/12 jam
Dosis Lopinavir/Ritonavir
 14 hari - < 6 bulan = 16 mg/kg/dosis/kali/12 jam
 15-25 kg = 50 -200 mg/kg/dosis/kali/12 jam
 26-35 kg = 75 – 300 mg/kg/dosis/kali/12 jam
 >35 kg = sesuai dosis dewasa
Keterangan: Perhatikan efek samping obat Nebulisaasi pada kasus ISPA atas dan

30
pneumonia TIDAK BOLEH diberikan tanpa indikasi yang jelas, jika harus diberikan
inhalasi gunakan MDI+aerochamber
Sumber: Referensi no. 1

31
BAB 3

KESIMPULAN

Pandemik COVID-19 saat ini merupakan masalah Kesehatan masyarakat secara


internasional. Telah terjadi perkembangan yang cepat dari pathogen tersebut, bagaimana
cara menginfeksi sel dan menyebabkan penyakit,serta karateristik klinis dari penyakit
tersebut. Oleh karena transmisi yang cepat, dibutuhkan peningkatan perhatian untuk
meningkatkan sistem surveilans dan kesiapan negara dalam merespon terhadap virus
tersebut. Orang yang berisiko terkena infeksi berat COVID-19 meliputi orang lanjut
usia, dengan komorbiditas dan imunosupresi. Coronavirus menyebar dari manusia ke
manusia melalui kontak langsung via droplet airborne yang disebabkan oleh batuk,
bersin, dan lain-lain. Dalam upaya menghindari infeksi COVID-19 maka diperlukan
pencegahan dengan mengurangi kontak tersebut. Hingga saat ini tatalaksana yang
digunakan adalah suportif untuk mempertahankan dan mencegah perburukan dari
penyakit. Pencegahan dilakukan pada setiap tahap, dari yang tanpa gejala hingga kritis.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan E, Susanto A, Nasution S, Ginanjar E, Pitoyo C, Susilo A, et al. Protokol


Tatalaksana COVID-19 [Internet]. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN,
IDAI; 2020 [cited 15 May 2020]. Available from:
http://www.inaheart.org/perki/upload/files/Protokol%20Tatalaksana
%20COVID-19%205OP%20FINAL(4).pdf
2. Hassan S, Sheikh F N, Jamal S, et al. (March 21, 2020) Coronavirus (COVID-
19): A Review of Clinical Features, Diagnosis, and Treatment. Cureus 12(3):
e7355. doi:10.7759/cureus.7355
3. World Health Organization. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut
berat (SARI) suspek penyakit COVID-19 Panduan sementara [Internet]. WHO.
2020 [cited 15 May 2020]. Available from: https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/tatalaksana-klinis-suspek-penyakit-covid-
1935867f18642845f1a1b8fa0a0081efcb.pdf?sfvrsn=abae3a22_2
4. Cennimo D. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Practice Essentials,
Background, Route of Transmission [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2020
[cited 15 May 2020]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2500114-overview
5. Kemenkes RI. Info Corona Virus Archives » Info Infeksi Emerging
Kementerian Kesehatan RI [Internet]. Info Infeksi Emerging Kementerian
Kesehatan RI. 2020 [cited 15 May 2020]. Available from:
https://covid19.kemkes.go.id/category/situasi-infeksi-emerging/info-corona-
virus/#.Xr4B-Ggza00
6. Worldometer. Countries where Coronavirus has spread - Worldometer
[Internet]. Worldometers.info. 2020 [cited 15 May 2020]. Available from:
https://www.worldometers.info/coronavirus/countries-where-coronavirus-has-
spread/
7. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia.
Dashboard Pemantauan Kasus COVID-19 [Internet]. Hub InaCOVID-19. 2020
[cited 4 April 2020]. Available from: http://covid19.bnpb.go.id/
8. Yuki K, Fujiogi M, Koutsogiannaki S. COVID-19 pathophysiology: A review.
Clinical Immunology [Internet]. 2020 [cited 15 May 2020];215:108427.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7169933/
9. Mirsoleymani, Seyedreza and Nekooghadam, Sayyed mojtaba, Risk Factors for
Severe Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Among Iranian Patients: Who
Was More Vulnerable? (3/30/2020). Available at
SSRN: https://ssrn.com/abstract=3566216or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3566
216
10. Yang J, Zheng Y, Gou X, Pu K, Chen Z, Guo Q et al. Prevalence of
comorbidities and its effects in patients infected with SARS-CoV-2: a
systematic review and meta-analysis. International Journal of Infectious
Diseases [Internet]. 2020 [cited 15 May 2020];94:91-95. Available from:
https://www.ijidonline.com/article/S1201-9712(20)30136-3/pdf
11. Mason R. Pathogenesis of COVID-19 from a cell biology perspective. European
Respiratory Journal [Internet]. 2020 [cited 15 May 2020];55(4):2000607.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7144260/

33
12. WHO. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 73 [Internet].
who.int. 2020 [cited 15 May 2020]. Available from:
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200402-sitrep-73-covid-19.pdf?sfvrsn=5ae25bc7_4
13. Neurath M. Covid-19 and immunomodulation in IBD [Internet]. Gut. 2020
[cited 15 May 2020]. Available from:
https://gut.bmj.com/content/early/2020/05/05/gutjnl-2020-321269
14. WHO. Global surveillance for COVID-19 caused by human infection with
COVID-19 virus Interim guidance [Internet]. who.int. 2020 [cited 15 May
2020]. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/331506/WHO-2019-nCoV-
SurveillanceGuidance-2020.6-eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y
15. Kemenkes Ri. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disesase
(Covid-19) [Internet]. 4th Ed. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2020 [Cited 5
April 2020]. Available From:
Https://Www.Kemkes.Go.Id/Resources/Download/Info-Terkini/Covid-
19%20dokumen%20resmi/Rev-04_Pedoman_P2_Covid-19_
%2027%20maret2020_Tanpa%20ttd.Pdf.Pdf
16. IDSA. COVID-19 Prioritization of Diagnostic Testing [Internet]. The Infectious
Disease Society of America. 2020 [cited 15 May 2020]. Available from:
https://www.idsociety.org/globalassets/idsa/public-health/covid-19-
prioritization-of-dx-testing.pdf
17. WHO. Coronavirus disease (COVID-19) technical guidance: Surveillance and
case definitions. World Health Organization. Available
at https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-
guidance/surveillance-and-case-definitions. Accessed: April 2, 2020
18. Wang W, Xu Y, Gao R, Lu R, Han K, Wu G, et al. Detection of SARS-CoV-2
in Different Types of Clinical Specimens. JAMA. 2020 Mar 11. [Medline].
19. Xiao AT, Tong YX, Zhang S. Profile of RT-PCR for SARS-CoV-2: a
preliminary study from 56 COVID-19 patients. Clin Infect Dis. 2020 Apr
19. [Medline].
20. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients
infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020 Jan
24. [Medline].
21. Wu C, Chen X, Cai Y, Xia J, Zhou X, Xu S, et al. Risk Factors Associated With
Acute Respiratory Distress Syndrome and Death in Patients With Coronavirus
Disease 2019 Pneumonia in Wuhan, China. JAMA Intern Med. 2020 Mar
13. [Medline].
22. Pan F, Ye T, Sun P, Gui S, Liang B, Li L et al. Time Course of Lung Changes
On Chest CT During Recovery From 2019 Novel Coronavirus (COVID-19)
Pneumonia. Radiology [Internet]. 2020 [cited 15 May 2020];:200370. Available
from: https://pubs.rsna.org/doi/pdf/10.1148/radiol.2020200370

34

Anda mungkin juga menyukai