Anda di halaman 1dari 20

Referat

Gangguan Konversi (Gangguan Gejala Neurologis


Fungsional)

Pembimbing:

dr. Yenny Dewi P, Sp.KJ (K)

Penyusun:

Amelia Suwanto (406161011)

Siauw, Lidya Oktaviani (406172043)

Delmy Sanjaya (406172044)

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

RUMAH SAKIT KHUSUS JIWA DHARMA GRAHA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PERIODE 19 MARET 2018 – 21 APRIL 2018

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
anugerah-Nya referat berjudul “Gangguan Konversi (Gangguan Gejala Neurologis
Fungsional” ini dapat diselesaikan. Adapun maksud penyusunan referat ini adalah dalam rangka
memenuhi tugas kepaniteraan bagian ilmu kedokteran jiwa di Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma
Graha periode 19 Maret 2018 – 21 April 2018.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Yenny Dewi P, Sp.KJ (K) selaku kepala SMF dan pembimbing Kepaniteraan Bagian Ilmu
Jiwa RSK Dharma Graha
2. dr. Rosmalia Suparso, Sp.KJ selaku pembimbing Kepaniteraan Bagian Ilmu Jiwa RSK
Dharma Graha
3. Dr. dr. Irmansyah, Sp.KJ (K) selaku pembimbing Kepaniteraan Bagian Ilmu Jiwa RSK
Dharma Graha
4. dr. Ira Savitri Tanjung, Sp.KJ (K) selaku pembimbing Kepaniteraan Bagian Ilmu Jiwa RSK
Dharma Graha
Tim penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk
menyempurnakan referat ini.
Akhir kata semoga referat ini berguna baik bagi kami sendiri, rekan-rekan di tingkat
klinik, pembaca, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, serta semua pihak yang
membutuhkan.

Jakarta, April 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................5

2.1 Pengertian gangguan somatoform dan gangguan konversi...................................5

2.2 Epidemiologi .........................................................................................................6

2.2.Etiologi ..................................................................................................................8

2.3 Tanda dan gejala....................................................................................................9

2.4 Kriteria Diagnosis................................................................................................10

2.5 Diagnosis banding................................................................................................12

2.6 Tatalaksana..........................................................................................................15

2.7 Perjalanan penyakit dan prognosis......................................................................16

2.8 Contoh kasus........................................................................................................17

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................19

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Gangguan somatoform merupakan kecenderungan dari individu untuk mengalami dan


mengungkapkan distress psikologis dalam bentuk gejala somatik yang biasanya terlihat
nonpsikiatrik. Ciri utama mereka meliputi gejala somatik dan tanda yang tidak dapat
dijelaskan sesuai dengan pola penyakit yang telah ada atau diketahui dan berdampak pada
gangguan sosial dan pekerjaan. Pada praktik klinis, gangguan somatoform seringkali
tumpang tindih dengan kebanyakan tanda dan gejala multifokal. Spektrum dari presentasi
bervariasi dari ringan ke berat dan mungkin kebanyakan berbasis gejala (misalnya:
hipokondriasis) atau berbasis tanda (misalnya: gangguan konversi).

Gangguan konversi sendiri merupakan bentuk spesifik dari somatisasi dimana pasien
datang dengan tanda dan gejala yang terpusat pada sistem saraf pusat yang volunter. Jika
gejala konversi muncul terpisah, diagnosis utamanya adalah gangguan konversi. Jika gejala
konversi muncul sebagai bagian dari sindrom somatoform multisistem, diagnosis utama
adalah gangguan somatisasi. “Konversi” atau “reaksi konversi” mengacu pada proses dimana
distress intrapsikis diubah menjadi gejala neurologis fisik. Secara klasik, pasien datang
dengan kejang psikogenik atau defisit motor-sensorik psikogenik. Namun, gejala neurologik
dapat melibatkan aspek manapun dari sistem saraf pusat yang biasanya dikontrol secara
volunter. Maka, pasien dapat muncul dengan demensia psikogenik, juga hilangnya
kemampuan berbicara dan berbahasa atau gangguan dari panca indera.

Penting untuk mengetahui riwayat mendetail dan melakukan pemeriksaan fisik pada
pasien dengan gejala gangguan konversi. Perhatian secara psikiatrik, peran dari studi
pencitraan neurologis dalam diagnosis gangguan konversi dan kepentingan kerjasama
terapeutik diperlukan untuk hasil yang optimal.1

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian gangguan somatoform dan gangguan konversi

Gangguan somatoform paling baik dimengerti dalam konteks “rasa sakit” (sickness),
karena pasien datang dengan fisik yang sakit, dimana pada awalnya menutupi kelainan
psikiatri yang mendasari. “Rasa sakit” (sickness) terdiri dari tiga komponen: penyakit
(disease), perangai sakit (illness behavior), dan keadaan sebagai dampaknya (predicaments).
Penyakit adalah dasar fisik dari rasa sakit yang disebabkan oleh kelainan atau malfungsi
jaringan. Secara klinis, penyakit ditunjukkan dari tanda yang dapat dilihat (apa yang terlihat),
misalnya: edema, perdarahan, inflamasi, dan sistem organ yang menurun seperti: gagal
jantung dan paralisis.

Perangai sakit (illness behavior) mengacu pada apa yang dirasakan secara subjektif
dan apa yang pasien keluhkan yang biasanya timbul sebagai gejala. Gejala mungkin tidak
spesifik, seperti kelelahan atau nausea. Gejala juga dapat menjurus kepada suatu sistem yang
spesifik atau fungsi fisik, sebagai contoh: nafas pendek atau tidak dapat bergerak; hingga
disfungsi mental spesifik seperti gangguan konsentrasi atau kesedihan; atau sampai
terganggunya fungsi interpersonal: social withdrawal atau kepercayaan diri.

Dampak (predicaments) yang timbul mempengaruhi interpersonal pasien; termasuk:


ketergantungan interpersonal; terbebasnya kewajiban (pekerjaan); kompensasi finansial tanpa
bekerja; memperkuat penggunaan medikasi yang menurunkan gejala (analgesik narkotik);
mendapatkan prioritas dalam komunitas (parkir, transportasi khusus, akses); dan menghindari
konsekuensi karena mendapat kelonggaran dari kewajiban (jasa militer atau dipidana).

Gejala somatik merupakan defensi terhadap keadaan mental yang tidak stabil. Sama
halnya pada defensi intrapsikis lainnya, terbentuknya gejala tersebut mengurangi distress
intrapsikis. Ini dikenal sebagai primary gain yang merupakan usaha untuk mengembalikan
keseimbangan psikologis. Perhatian tertuju pada gejala yang ada, dan penyebab asli dan
sumber dari instabilitas mental tertutupi atau hanya dialami sebagian. Primary gain terjadi
secara tidak sadar.

Gejala yang muncul dapat digunakan secara sadar untuk mendapatkan keuntungan
interpersonal yang optimal. Ini disebut secondary gain yang merupakan strategi oleh
masyarakat jika masalah yang mendasari tampak seperti nyata atau jika keuntungan

5
interpersonal meningkat melalui tingkahlaku yang adaptif dan mengelabui. Sebaliknya, jika
terlihat berpura-pura, contoh: sakit tanpa penyakit, atau terlihat jelas manipulative, maka
respon yang biasa ditemui adalah penolakan. Strategi yang dimaksud antara lain:
menghindari tanggungjawab, konsekuensi yang tidak menyenangkan, dan keuntungan
finansial tanpa bekerja. Pada gangguan somatoform, dapat pula terjadi kondisi dimana
seseorang tampak tidak peduli terhadap hendaya berat yang dialaminya, dimana hal tersebut
didefinisikan sebagai la belle indifference.

Gangguan konversi atau gangguan gejala neurologis fungsional merupakan gangguan


kejiwaan dimana gejala muncul secara tiba-tiba mengikuti peristiwa stres atau trauma, baik
fisik maupun psikologis. Gangguan ini merupakan jenis gangguan somatoform di mana tanda
dan gejala yang muncul tidak dapat dijelaskan dengan medis. Menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) gangguan konversi
(Gangguan Gejala Neurologis Fungsional) dikategorikan sebagai gejala somatik dan
gangguan terkait.

Gangguan ini melibatkan gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi motorik atau
sensorik volunter yang menunjukkan kondisi saraf atau kondisi medis umum lainnya.
Gangguan ini tidak ada penjelasan neurologis untuk gejala, atau temuan pemeriksaan tidak
konsisten dengan keluhan pada pemeriksaan neurologis dan laboratorium yang sesuai dan tes
diagnostik radiografi. Gangguan ini tidak dapat dihubungkan dengan penyebab medis atau
neurologis organik. Contoh umum dari gejala konversi seperti kebutaan, diplopia,
kelumpuhan, dystonia, psychogenic nonepileptic seizures (PNES), anestesi, aphonia,
amnesia, demensia, tidak responsif, kesulitan menelan, motor tic, halusinasi, pseudocyesis
dan kesulitan berjalan. Menurut DSM-5, gangguan konversi adalah yang paling umum
setelah peristiwa kehidupan yang stres atau periode stres dan dua sampai tiga kali lebih
umum pada wanita daripada pria.2

2.2. Epidemiologi gangguan konversi

Menurut DSM-V, gejala konversi yang transien sering ditemukan, namun prevalensi
yang pasti untuk gangguan ini belum diketahui. Ini disebabkan sebagian karena diagnosis
juga memerlukan uji pada pelayanan kesehatan sekunder, dimana ditemukan sekitar 5% (lima
persen) rujukan ke klinik neurologi. Insidens individu dengan gejala konversi yang persisten
diperkirakan sekitar 2-5/100,000 per tahun.2 Berdasarkan buku Psikiatri klinis Kaplan &
Sadock’s, jumlah pasien yang terdata memiliki gangguan ini adalah 11 – 300 per 100.000

6
dari populasi sampel umum. Pada beberapa populasi spesifik tertentu, kejadian gangguan
konversi mungkin lebih tinggi lagi sehingga gangguan konversi mungkin merupakan
gangguan somatoform yang paling sering ditemukan pada populasi tersebut. 5-15%
konsultasi psikiatri di rumah sakit umum dan 25-30% rawat pada rumah sakit Veteran
didiagnosa gangguan konversi.3

Di Indonesia, gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi


Selatan, Bali dan Jawa Tengah dengan persentase yang lebih banyak pada penduduk
perdesaan dan IQ yang rendah. Prevalensi untuk gangguan mental emosional di Indonesia
adalah 6%. Mengacu dari penelitian oleh Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, dari seluruh
pasien Puskesmas yang dipilih sebagai sampel di lapangan, 30% mengalami gangguan mental
dimana 69% diantaranya dengan keluhan fisik. (Retnowati, 2011)

Rasio wanita terhadap pria pada pasien dewasa adalah minimal 2:1 sampai 10:1; pada
pasien anak, predominan lebih tinggi terlihat pada perempuan. Gejala lebih sering terlihat
pada bagian tubuh sebelah kiri dibandingkan kanan pada wanita. Wanita dengan gejala
konversi lebih rentan untuk timbul gangguan somatisasi dibandingkan wanita tanpa gejala
konversi. Hubungan dapat terlihat antara gangguan konversi dengan kepribadian antisosial
pada pria. Selain kepribadian antisosial, orang dengan kepribadian histrionik juga
berkontribusi. Gangguan konversi pada pria seringkali terlibat pada kejadian okupasional
(pekerjaan) atau militer.

Onset gangguan konversi secara umum dari masa akhir anak-anak ke dewasa awal
dan jarang terlihat pada anak dibawah 10 tahun atau lebih tua dari 35 tahun, namun onset
yang terlambat ditemukan juga pada pasien usia 90 tahun. Saat gejala menunjukkan
gangguan konversi dengan onset usia pertangahan atau tua, kemngkinan kondisi medis atau
neurologis lain sangat tinggi. Gejala konversi pada anak dibawah 10 tahun biasanya terbatas
pada masalah gait atau kejang.

Data menunjukkan bahwa gangguan konversi paling banyak ditemukan di populasi


pedesaan/pedalaman (rural), orang dengan Pendidikan rendah, dengan IQ yang rendah,
kelompok sosioekonomik rendah, serta anggota militer yang terpapar dengan situasi perang.
Gangguan konversi paling sering berhubungan dengan diagnosis komorbid yakni: gangguan
depresi, cemas, dan skizofrenia dan menunjukkan frekuensi yang meningkat pada kerabat
dengan riwayat gangguan konversi. Risiko gangguan konversi meningkat pada kembar
monozigotik, namun bukan dizigotik.3

7
2.3. Etiologi gangguan konversi
Gangguan konversi telah dikaitkan pada faktor biologis dan non-biologis.

Faktor Psikodinamik

Gangguan konversi dihubungkan dengan konflik atau stressor yang baru terjadi, dan gejala
bermanifestasi sebagai hasil dari konflik yang tidak disadari antara keinginan yang tidak
dikehendaki seorang pasien dengan hati nuraninya. Gejala konversi secara simbolik
merepresentasikan sebagian keinginannya tanpa kesadaran penuh dari keinginannya yang
tidak dapat diterima (misalnya: vaginismus dengan keinginan seksual, sinkop dengan
kesadaran, paralisis dengan kemarahan).

Teori pembelajaran (learning theory)

Gejala konversi dapat terlihat sebagai suatu bagian dari perilaku yang telah biasa dipelajari
sebelumnya (classically conditioned learned behavior); gejala-gejala penyakit, yang telah
dipelajari pada masa kanak-kanak akan digunakan untuk mengatasi (coping) suatu masalah
yang tidak dikehendaki.

Faktor biologik

Pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada hemisfer dominan dan


hipermetabolisme pada hemisfer non-dominan; adanya gangguan dari komunikasi kedua
hemisfer tersebut diduga menyebabkan gangguan konversi. Menurut penelitian Matthew
Burke et al menggunakan fMRI pada pasien gangguan konversi dengan gejala sensorik
unilateral, aktivasi korteks somatosensorik kontralateral terhadap daerah yang anestetik
berkurang dibandingkan sisi yang dapat merasakan sensasi. Terdapat hipotesis yang
menyatakan bahwa stres emosional yang berhubungan dengan aktivasi dari sistem limbik dan
Korticofrontal menghambat sirkuit basal ganglia-thalamokortikal, sehingga fungsi sensorik
dan motorik volunter dari tubuh berkurang.4 Gejala-gejala dapat disebabkan oleh rangsangan
pada korteks yang berlebihan yang membentuk umpan balik negatif terhadap korteks serebral
dan formasio retikularis batang otak. Peningkatan kadar output kortikofugal menginhibisi
kesadaran pasien terahadap sensasi tubuh, yang dapat menjelaskan defisit sensorik pada
beberapa pasien dengan gangguan konversi. Uji neuropsikologis terkadang menunjukkan
adanya gangguan yang sedikit pada komunikasi verbal, memori, kewaspadaan, afek dan
atensi dari pasien.5

8
2.4. Tanda dan gejala gangguan konversi

Pasien dengan gangguan konversi dapat datang dengan hemiparesis, paraparesis,


monoparesis, perubahan kesadaran, kehilangan penglihatan, kejang seperti aktivitas,
pseudocoma, gangguan gaya berjalan abnormal, aphonia atau dysphonia, kurangnya
koordinasi, atau gangguan gerakan aneh. Pasien yang lebih naif secara medis biasanya
memiliki gejala presentasi yang lebih tidak masuk akal dan sebaliknya. Gejala yang muncul
tergantung pada lingkungan budaya, tingkat kecanggihan medis, dan masalah kejiwaan yang
mendasarinya.

Tanda dan gejala yang mempengaruhi fungsi gerakan mungkin termasuk :

 Kelemahan atau kelumpuhan


 Gerakan abnormal, seperti tremor atau kesulitan berjalan
 Kehilangan keseimbangan
 Kesulitan menelan atau benjolan di tenggorokan
 Serangan atau kejang
 Episode tidak responsif

Tanda dan gejala yang mempengaruhi indra mungkin termasuk :

 Mati rasa atau hilangnya sensasi sentuhan


 Masalah bicara, seperti ketidakmampuan untuk berbicara atau bicara cadel
 Masalah penglihatan, seperti penglihatan ganda atau kebutaan
 Masalah pendengaran atau tuli

Kriteria diagnostik untuk gangguan konversi sesuai DSM-5 yaitu:

- Satu atau lebih gejala dari perubahan fungsi motorik atau sensorik volunter.
- Temuan fisik memberikan bukti ketidaksesuaian antara gejala dan kondisi neurologis
atau medis yang diakui.
- Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan medis atau mental lain.
- Gejala menyebabkan distres atau gangguan yang signifikan secara klinis di bidang
sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya berfungsi atau menjamin evaluasi medis.

Beberapa kriteria untuk mempertimbangkan pasien datang dengan gejala psikogenik yaitu:

9
- Gejala secara eksklusif merupakan fungsi dari gangguan somatoform, gangguan
tiruan, atau berpura-pura sakit.
- Gejala sekunder akibat etiologi psikiatri lainnya seperti gangguan depresi atau
gangguan kecemasan.
- Gejala-gejala hidup berdampingan dengan gangguan fisik.
- Gejala-gejalanya adalah manifestasi yang tidak biasa dari gangguan fisik.

DSM-5 mencantumkan kriteria ketat untuk mendiagnosis gangguan konversi. Dua


dari kondisi diatas hanya dapat ditentukan oleh dokter saraf dengan keahlian
neurologis, neuroanatomy, dan pola klinis penyakit yang berhubungan dengan lokasi
lesi. Penilaian psikiatri dapat membedakan gangguan konversi dari gangguan
somatoform lainnya, gangguan tiruan, dan berpura-pura sakit dan dapat menjelaskan
psikodinamika yang sangat penting dalam pengobatan. Spesialis saraf harus
mengenali proses nonorganik dan menyingkirkan peniru sambil menghindari
intervensi diagnostik atau terapeutik yang berpotensi berbahaya. Oleh karena itu,
spesialis saraf dan psikiater siap untuk mendiagnosis gangguan konversi.2

2.5. Diagnosis gangguan konversi2

Gangguan konversi dapat ditegakan dengan ditemukannya beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Terdapat satu atau lebih gejala yang melibatkan perubahan pada fungsi volunter
motorik atau sensorik.
2. Temuan klinis yang membuktikan inkompatibilitas antara gejala pasien dan kondisi
medis maupun kondisi neurologis yang telah diketahui
3. Gejala atau defisit yang dialami oleh penderita tidak dapat dijelaskan lagi oleh
gangguan medis ataupun mental lainnya
4. Gejala atau defisit yang dialami oleh penderita menyebabkan gangguan atau kesulitan
klinis yang bermakna dalam aspek sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau
yang menjamn evaluasi klinis

Gejala yang spesifik antara lain :


 Kelemahan atau paralisis
 Gerakan yang abnormal (tremor, gerakan distonik, mioklonus, dan gangguan gait)
 Gangguan menelan
 Gangguan berbicara (disfonia, slurred speech)

10
 Serangan atau bangkitan
 Anestesia atau kehilangan fungsi sensorik
 Gejala pada panca indera (gangguan visual, olfaktorius atau ppendengaran)
 Gejala gabungan

Spesifik jika :
 Episode akut : terdapat gejala yang bertahan kurang dari 6 bulan
 Persisten : Gejala yang terjadi selama 6 bulan atau lebih
 Dengan stressor
 Tanpa stressor

Ciri diagnostik:

Fungsional (fungsi sistem saraf pusat yang abnormal) atau psikogenik (mengarah ke etiologi
yang diasumsikan) sebagai deskripsi dari gejala gangguan konversi. Dalam gangguan
konversi, terdapat terjadi satu atau lebih tipe gejala yang bervariasi.

 Gejala motorik: kelemahan atau paralisis; gerakan abnormal seperti tremor atau
gerakan distonik; abnormalitas gait; dan postur tungkai yang abnormal.
 Gejala sensorik: perubahan, penurunan atau hilangnya sensasi pada kulit, penglihatan
atau pendengaran.
 Episode terjadinya tungkai yang gemetaran secara generalisata dengan gangguan atau
hilangnya kesadaran yang tampak jelas dapat menyerupai kejang epileptik (juga
disebut kejang psikogenik atau non-epileptik).
 Dapat terjadi episode tidak responsive yang dapat menyerupai sinkop atau koma.
 Gejala lainnya: penurunan atau hilangnya volume bicara (disfonia/afonia),
terganggunya artikulasi (disartria), sensasi adanya benda asing (gumpalan) pada
tenggorokan (globus), dan diplopia.2

11
2.6. Diagnosis banding gangguan konversi
Salah satu kesulitan dalam menentukan diagnosis gangguan konversi adalah
menyingkirkan kelainan medis. 25 hingga 50 % pasien dengan gangguan konversi sering
didignosis sebagai kelainan neurologis atau kelainan medis non psikiatri yang disebabkan
oleh gejala awalnya, oleh karena itu pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan medis lainnya
perlu untuk menegakan diagnosis. Contoh kelainan medis yang merupakan diagnosis banding
dari gangguan konversi adalah :
1. Kelainan neurologis seperti (demensia dan penyakit degeneratif), tumor otak, dan
kelainan basal ganglia. Kelemahan dapat juga terdapat pada myasthenia gravis,
polimiositis, miopati yang didapat atau sklerosis multipel. Kebutaan akibat gangguan
konversi dapat disalah diagnosis dengan kebutaan akibat neuritis optik.
2. Somatic symptoms disorder sering disalah diagnosis dengan gangguan konversi oleh
karena gejala sensorimotor. Cara membedakan adalah gangguan somatisasi bersifat
kronis dan terdapat gejala dari banyak organ lain.
3. Factitious disorder dan malingering sering disalah diagnosis dengan gangguan
konversi, cara membedakannya adalah gejala pada malingering dan factitious
disorder disadari oleh pasien, riwayat perjalanan penyakitnya tidak insisten dan pada
malingering, penderita memiliki tujuan atau goal yang jelas.3

Tabel 2.1. Diagnosis banding dari tanda dan gejala somatik psikogenik6

Gangguan Gangguan factitious Malingering


somatoform
Motivasi yang Tidak Tidak Ya
disadari
Berpura-pura dan Tidak Ya Ya
disadari

12
Berikut adalah kondisi dan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan apakah
seseorang menderita gangguan konversi.3
Tabel 2.2. Membedakan gangguan konversi dengan pemeriksaan fisik

Kondisi Pemeriksaan Temuan pada gangguan


konversi
Anesthesia Map dermatomes Kehilangan fungsi sensorik
tidak sesuai dengan pola
distribusi yang diketahui
Hemianesthesia Pemeriksaan Midline Strict half-body split
Astasia-abasia Berjalan, Menari Dengan sugesti, Penderita
yang tidak dapat berjalan
masih bisa menari ; Perubahan
dari temuan sensorik dan
motorik
Paralisis, paresis  Meletakan  Tangan terletak
tangan yang disebelah wajah
paralisis ke  Tekanan dirasakan
wajah pada kaki yang
 Hoover test paralisis ketika
 Pemeriksaan mencoba untuk
kekuatan motorik meluruskan kaki
 Berpura-pura lemas
Koma  Mencoba untuk  Menolak untuk
membuka mata membuka mata; lirikan
 Ocular cephalic mata menjauhi
maneuver dokter/pemeriksa
 Tatapan mata lurus dan
jauh kedepan, tidak
bergerak dari sisi ke
sisi
Afonia Meminta untuk batuk Suara batuk normal
Intractable sneezing Observasi Dengusan yang singkat
dengan atau tanpa fase
inspirasi pada bersin; sedikit

13
atau tanpa sekresi dari aerosol;
ekspresi wajah minimal; mata
terbuka; berhenti ketika tidur;
Mereda jika sendiri
Sinkop Head-up tilt test Perubahan besar pada tanda-
tanda vital
Tunnel vision Pemeriksaan lapang Perubahan pola pada
pandang pemeriksaan yang multipel
Profound monocular  Swinging  Tidak ada defek aferen
blindness flashlight sign pupil
(Marcus gunn)  Mata normal
 Pemeriksaan
lapang pandang
binocular
Severe bilateral  “Wiggle your  Pasien mulai meniru
blindness finger, I’m just gerakan baru
testing  Pasien tersentak
coordination”  Pasien tidak melihat
 Memberikan  Bahkan pasien buta
paparan cahaya dapat melakukannya
terang tiba-tiba dengan propioseptif
 Memberi
perintah “Liat
tangan mu”
 Memberi
perintah “Sentuh
jari telunjuk mu”

14
2.7. Tatalaksana gangguan konversi
VEER (Validate, Educate, Empathize, Rehabilitate). Langkah awal dari tatalaksana
gangguan konversi, terutama pada pasien anak adalah membuat pasien dan keluarga untuk
memahami dan menerima diagnosis. Validasi dicapai melalui komunikasi, percaya bahwa
gejala tidak dibuat-buat oleh pasien dan gejala tersebut serta diagnosisnya menimbulkan
distress. Edukasi pasien tentang riwayat dari gangguan konversi merupakan intervensi yang
penting. Untuk kebanyakan pasien anak, gejala seringkali muncul dan hilang dalam beberapa
minggu – bulan. Keluarga dan pasien perlu memastikan bahwa tenaga kesehatan akan ada
dan siap untuk follow-up dan pemeriksaan ulang dikemudian hari. Keluarga dapat berisiko
merasa terlantar oleh petugas kesehatan setelah diagnosis telah dijelaskan. Empati terhadap
keluarga tentang stigma gangguan jiwa dan cara menanganinya akan sangat membantu.
Rehabilitasi merupakan tatalaksana utama dari gangguan konversi. Dimulai dengan
dasar rutinitas harian seperti makan, tidur dan aktivitas/olahraga. Sangat penting untuk
dampingan orang tua dan mulai aktivitas normal, misalnya: bersekolah kembali pada anak-
anak. Peran kunci orang tua dan keluarga adalah untuk secara aktif mengalihkan perhatian
dari gejala dan fokus terhadap aktivitas yang disukai. Cognitive behavioral therapy (CBT)
terbukti efektif dan rujukan disediakan. Keterlibatan tenaga kesehatan dan terapi yang lebih
luas (fisioterapi, hypnosis, terapi bicara dan Bahasa, dan lain-lain) dapat membantu. Rujukan
untuk pemeriksaan dan tatalaksana gejala yang menetap atau komorbiditas yang berat juga
direkomendasikan.7

Tidak ada terapi farmakologis khusus yang tersedia untuk gangguan konversi.
Namun, obat untuk gangguan komorbid dan gangguan kecemasan perlu dipertimbangkan.
Pengobatan yang digunakan untuk gangguan konversi menggunakan lebih dari 1 obat. Obat-
obatan yang terbukti dengan sukses yaitu antidepresan trisiklik, haloperidol, dan juga
pengobatan dengan terapi electroconvulsive (ECT). Perawatan harus diambil untuk
menghindari agen psikotropik yang menyebabkan ketergantungan. Selain itu terapi fisik
dapat dibenarkan dan sering membantu dalam memberikan pasien jalan ego-syntonic karena
mereka diberikan perawatan yang ramah yang dapat mereka respon dan terjadi perbaikan
Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit sangat dibutuhkan.5

Transcranial Magnetic Stimulation sekarang merupakan salah satu indikasi yang


dapat dipertimbangkan apabila penderita mengalami gangguan konversi paralisis yang
refrakter dan gangguan somatisasi yang beruhubungan dengan PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder). Hal tersebut menarik perhatian karena data pencitraan fungsional yang

15
menunjukkan adanya gangguan pada sirkuit frontal-subkortikal otak. Dengan adanya
stimulasi tersebut, dapat terdeteksi lokasi yang jelas dari gangguan konversi sehingga dapat
menunjang kesembuhan pasien dengan gangguan konversi.8

2.8. Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan konversi


Hampir semua gejala awal (90% - 100%) dari pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak
pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Prognosis yang baik berkaitan dengan awitan yang mendadak, adanya
stresor yang bermakna, riwayat pramorbid baik, tak terdapat komorbid dengan gangguan
psikiatrik lain atau gangguan medik. Semakin lama gejala gangguan konversi berlangsung,
semakin buruk prognosisnya. Di kemudian hari sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai
gangguan neurologis atau kondisi medik nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem
persarafan. Oleh karena itu pasien dengan gangguan konversi harus dilakukan evaluasi medis
dan neurologis pada saat diagnosis ditegakan.5

16
2.9. Contoh Kasus
Tn. J, 28 tahun, belum menikah, bekerja di pabrik.
Tn. J dibawa ke Unit Gawat Darurat oleh ayahnya karena mengeluh kehilangan
penglihatan saat perjalanan pulang dari acara kumpul keluarga. Pada saat acara tersebut, ia
bermain voli dan tidak terkena cedera yang signifikan kecuali saat bola voli tersebut
menghantam kepalanya beberapa kali. Tn. J memang biasanya tidak ingin atau menghindar
bermain voli karena tidak memiliki kemampuan atletik dan selalu ditempatkan pada posisi
terakhir dalam tim. Ia meningat bahwa ia memiliki masalah penglihatan saat permainan
berlangsung, tapi penglihatannya tidak bermasalah hingga pada saat ia duduk di mobil untuk
pulang. Saat sampai di UGD, penglihatannya membaik, walaupun ia masih mengeluh
pandangan buram dan sedikit penglihatan ganda (diplopia). Penglihatan gandanya dapat
menghilang jika ia fokus pada suatu benda dengan jarak berbeda.
Pada pemeriksaan, Tn. J sangat kooperatif, tetapi seperti tidak yakin mengapa gejala
ini muncul, dan ia tidak terlalu menghiraukannya. Pemeriksaan pupil, oculomotor, dan
sensorimotor secara umum normal. Setelah pemeriksaan medis selesai, pasien dirujuk ke
pusat kesehatan mental untuk dievaluasi lebih lanjut.
Pada pusat kesehatan mental, pasien menceritakan kembali peristiwa seperti yang ia
ceritakan di UGD, masih ditemani oleh ayahnya. Ia mulai menceritakan tentang bagaimana
penglihatannya mulai kembali normal, ketika ayahnya berhenti sejenak di tepi jalan dan
mulai bercerita tentang kejadian pada hari itu. Ia berkata pada ayahnya tentang bagaimana ia
merasa malu dan bertentangan dengan bermain voli dan bagaimana ia merasa harus bermain
dibawah tekanan atau terbebani. Riwayat tambahan dari pasien dan ayahnya mengungkapkan
bahwa pria muda ini merupakan seorang yang pemalu pada masa remajanya, terutama saat
berpartisipasi dalam kegiatan atletik. Ia belum pernah mengalami episode kehilangan
penglihatan lainnya. Ia bercerita tentang perasaan khawatir dan terkadang enak badan saat
aktivitas olahraga.
Pada pusat kesehatan mental, diskusi dengan pasien mentitikberatkan pada potensi
psikologis dan factor sosial terhadap kehilangan penglihatan yang akut. Pasien merasa
bingung sekaligus dapat menerima penjelasan tersebut. Ia menyatakan ia mengenali dengan
jelas bahwa dapat mulai melihat dan merasa lebih baik saat ayahnya berhenti ditepi jalan dan
bercerita hal lain dengannya. Dokter mengakui bahwa mereka tidak tahu betul penyebab dari
kehilangan penglihatan dan tidak akan terulang kembali. Pasien dan ayahnya sangat puas
dengan evaluasi medis dan psikiatrik dan setuju untuk kembali ke pelayanan kesehatan jika

17
ditemukan adanya gejala lanjutan. Pasien dijadwalkan untuk follow up ke klinik rawat jalan
psikiatri.3

18
BAB 3
KESIMPULAN

Gangguan konversi adalah kondisi dimana krisis mental atau emosional menghasilkan
stres yang berubah menjadi masalah fisik. Orang yang didiangosis gangguan konversi tidak
berpura-pura menimbulkan gejalanya. Oleh karena itu, penting untuk tidak melabel pasien
dengan gangguan konversi sebagai manipulatif. Tanda dan gejala gangguan konversi dapat
sulit untuk dibedakan dengan kemungkinan diagnosis lain yang banyak, dan pemahaman
menyeluruh dari penyakit atau patologi dari tiap pasien harus menjadi langkah awal dalam
menegakkan diagnosis yang benar dan penatalaksanaan yang efektif.

Sangat penting untuk secara efisien dan efektif mendapatkn riwayat medis dan
psikiatri dari pasien sambal memperhatikan secara hati-hati tentang bagaimana dan kapan
harus bertanya tentang gejala psikologis. Menciptakan aliansi terapeutik dengan pasien
sangat penting untuk mhasil yang sukses. Pemeriksaan psikiatri yang menyeluruh diperlukan
untuk mendapatkan onset gejala dan adanya stressor dan kondisi komorbid lainnya. Ini akan
membantu membangun pemahaman menyeluruh yang terintegrasi tentang bagaimana
keadaan psikologis abnormal dapat berubah menjadi defisit neurologis tanpa adanya patologi
somatik. Penelitian yang focus pada korelasi antara neural – gangguan konversi memiliki
potensi besar untuk terapi dan pencegahan.

Dalam aspek tatalaksana, tidak terdapat metode tunggal yang dapat direkomendasikan
secara global. Kunjungan tindak lanjut (follow up) secara teratur dikombinasikan dengan
terapi kognitif-perilaku (cognitive-behavioral therapy) dan fisioterapi (untuk gejala motorik)
telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Farmakoterapi mungkin diperlukan untuk
gangguan kejiwaan yang mendasari.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali S, Jabeen S, Pate RJ, Shahid M, Chinala S, Nathani M, Shah R. Conversion Disorder
– Mind versus Body: A Review. Innov Clin Neurosci (2015); 12 (5-6): 27-33.
2. American Psychiatric Association (2013). DSM-5. USA: American Psychiatric
Publishing.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 11th ed. (2015). Philadelphia: Wolters Kluwer.
4. Burke MJ, Ghaffar O, Staines R, Downar J, Feinstein A. Functional neuroimaging of
conversion disorder: The role of ancillary activation. (2014). NeuroImage: Clinical. Vol
6;p333339.Availablefrom:https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S221315821
4001521
5. Husin, A. B., & Siste, K. (2014). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
6. Hurwitz TA. Somatization and Conversion Disorder in Review (March 2004). Can J
Psychiatry; 49: 172-178.
7. Krasnik CE, Meany B, Grant C. A Clinical approach to paediatric conversion disorder:
VEER in the right direction. Canadian Paediatric Surveillance Program
8. Stonnington CM, Barry JJ, Fisher RS. Conversion Disorder: Clinical Case Conference
(September 2006). Am J Psychiatry 163:9. Available from:
https://pdfs.semanticscholar.org/a082/ebf851f0bf6c13aeb88b629b0bf17e9663a6.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai