Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA SERVICAL DAN TULANG

BELAKANG DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD)

Oleh :

ASRI RAHAYU MUSLIM

191 FK 04007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

BANDUNG
2020

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya ( Bruner & Suddart, 2013).
Fraktur vertebra adalah trauma kompresi hebat dapat menyebabkan
fraktur-dislokasi dengan rupturnya satu diskus, jika terjadi fraktur
kominuta, rupturnya dua diskus (Setiati, siti, dkk. 2014).
Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang
terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya
yang terjadi pada ruas-ruas tulang pinggul karena adanya trauma/benturan
yang dapat menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung atau
tidak langsung (Mansjoer, 2014).
Adapun menurut dr. Iskandar Japardi (2002), lokasi fraktur atau
fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6
terutama pada usia decade 3.

2. Anatomi Fisiologi
Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang,
ligamen, otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar
tengkorak (basis cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan
tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta
pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang
melewatinya.
Tulang-tulang tersebut berjajar dari dasar tengkorak sampai ke tulang
ekor dengan lubang di tengah-tengah setiap ruas tulang (canalis
vertebralis), sehingga susunannya menyerupai seperti terowongan
panjang. Saraf dan pembuluh darah tersebut berjalan melewati canalis
vertebralis dan terlindung oleh tulang belakang dari segala ancaman yang
dapat merusaknya.
Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak
bernama diskus intervertebra, yang berfungsi sebagai peredam kejut
(shock absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang,
yang cara kerjanya mirip dengan shock breaker kendaraan kita. Di setiap
ruas tulang juga terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang
tulang bernama foramen intervertebra, yaitu sebuah lubang tempat
berjalannya akar saraf dari canalis vertebra menuju ke seluruh tubuh.
Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan mempersarafi seluruh
tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun sensasi sesuai daerah
persarafannya.

Gambar 2.1

Gambar 2.2
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri
dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen
lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari
9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang servikal
ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1). Di luar susunan tulang
belakang, terdapat ligamen yang menjaga posisi tulang belakang agar tetap
kompak dan tempat melekatnya otot-otot punggung untuk pergerakan
tubuh kita. Ligamen dan otot tulang belakang berfungsi sebagai
koordinator pergerakan tubuh

Posisi tulang belakang yang normal akan terlihat lurus jika di lihat dari
depan atau belakang. Jika dilihat dari samping, segmen servikal akan
sedikit melengkung ke depan (lordosis) sehingga kepala cenderung
berposisi agak menengadah. Segmen torakal akan sedikit melengkung ke
belakang (kyphosis) dan segmen lumbal akan melengkung kembali ke
depan (lordosis). Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan
posisi tulang belakang yang normal tersebut, dapat berakibat berbagai
keluhan dan gangguan yang bervariasi. Keluhan dan gangguan tersebut
akan berakibat terganggunya produktivitas dan kualitas hidup seseorang.
Tidak jarang keluhan tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi,
hilangnya rasa (sensasi) hingga kelumpuhan (Aston. J.N, 2005 & Wibowo,
daniel S. 2013).

3. Jenis Fraktur
a. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran ( bergaris dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup ( fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
d. Fraktur terbuka ( fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patah tulang.

4. Fatofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang vertebra lumbal bisa terjadi karena
trauma langsung (benturan langsung) dan trauma tidak langsung (jatuh dan
bertumpu pada orang lain), serta bisa juga terjadi karena proses patologis
misalnya osteoporosis, infeksi atau kanker. Akibat dari fraktur lumbal
adalah bisa terjadinya kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan
lunak serta dapat mengakibatkan penekanan pada fragmen tulang lumbal.
Penekanan tersebut akan menyebabkan kerusakan pada saraf jaringan
lunak di medula spinalis sehingga menimbulkan nyeri.
Kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak akan
menyebabkan adanya peningkatan tekanan yang berlebih dalam 1 ruangan
sehingga menimbulkan sindrom kopartemen yang akan menimbulkan
nekrosis jaringan, luka baik terbuka maupun tertutup sehingga dapat
menimbulkan resiko infeksi.
Terjadinya fraktur pada vertebra lumbal I akan menyebabkan
terjepitnya semua area ekstermitas bawah yang menyebar sampai pada
bagian belakang sehingga penderita biasanya akan mengalami hemiparase
atau paraplegia. Vertebra lumbal 2 berhubungan dengan daerah
ekstermitas bawah, kecuali sepertiga atas aspek interior paha. Sehingga
kerusakan pada vertebra lumbal 2 akan menekan daerah kandung kemih
yang menyebabkan inkontinensia urine. Fraktur pada lumbal 3 akan
menyebabkan terjepitnya ekstermitas bagian bawah dan sadel, sehingga
penderita akan mengalami gangguan bowel. Kerusakan pada daerah
lumbal 4 akan mengganggu organ seks dan genetalia, sehingga akan
menyebabakan adanya penurunan libido. Sedangkan kerusakan pada
lumbal 5 akan menyebabkan sendi- sendi tidak dapat di gerakan karena
vertebra lumbal ke 5 berhubungan dengan pergelangan kaki, ekstermitas
bawah dan area sadel (Ross and Wilson, 2011).
5. Etiologi
Menurut Sjamsuhidajat 2008, adalah
a. Trauma langsung
Berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu.
Misal benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna
b. Trauma tidak langsung
Bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

6. Tanda dan gejala


Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
a. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebabkan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.
c. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering di
sebabkan karena tulang menekan otot.
d. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan
saraf, dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
e. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
f. Pergerakan abnormal.
g. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala


terjadinya gangguandikatagorikan sebagai berikut :
1. A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen
sacrum (S4-S5)
2. B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus
neurologis
3. C = tidak komplit
4. D = tidak komplit, fungsi motorik
5. E = normal, fungsi motorik dans ensoris norma

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pad fraktur lumbal di awali dengan mengatasi nyeri
dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Beberapa
penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
a. Braces dan orthotics
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilsasi.
b. Pemsangan alat dan proses penyatuan ( fusi) Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil.
c. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut
d. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.
e. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia ,setiap 2
hari.
f. Nutrisi dengan diet tinggi protein secara intravena.
g. Cegah dekubitus.

h. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.

i. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit,


tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan
perawatan dengan tujuan supaya dapat segera di imobilisasikan.
Pembedahan di kerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih
kurang 24 - 48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6 - 8 jam akan
memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca
bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

Pemeriksaan lokalis

- Look : adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada punggung.


Pada pasien yang telah lama di rawat sering didapatkan adanya
dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah menyababkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

- Feel : prosessus spinosus di palpasi untuk mengkaji adanya suatu


celah yang dapat diraba akibat robeknya ligamentum posterior yang
menandakan cedera yang tidak stabil. Sering di dapatkan adanya
nyeri tekan pada area lesi.

- Move : gerakan tulang punggung atau spina tidak boleh di kaji.


Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan
pada seluruh ekstermitas bawah.

Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan drajat kekuatan otot


di dapatkan nilai 0 atau palisis total.
Pemeriksaan sistem pencernaan dan perkemihan
1. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina ( kandung kemih di kontrol
oleh pusat S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan
menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan
pusat spinal. Pengosongan kandung kemih secara periodik
tergantung dari refleks lokal dinding kandung kemih. Pada
keadaan ini, pengosongan dilakukan oleh aksi otot-otot detrusor
dan harus di awali dengan kompresi secara manual pada dinding
perut atau dengan meregangkan perut. Pengosongan kandung
kemih yang bersifat otomatis seperti ini disebut kandung kemih
otonom. Trauma pada kauda ekuina, pasien mengalami hilangnya
refleks kandung kemih yang bersifat sementara dan pasien
mengkin mengalami inkontinensia urinaria, ketidak mampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
mengguankan urinal kerana kerusakan kontrol motorik dan
postural
2. Proses penyembuhan
a. Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya
terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah
menimbulkan hematom fraktur yang segera dikuti invasi dari
sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit.
Sel- sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk
membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase
reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat
karena material nekrotik di singkirkan.
a. Fase reparatif
Umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai
dengan differesiasi dari sel mesenkim pluripotensial.
Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas
yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula- mula
terbentuk kaus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan
kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas
kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak
menambah menjadi kalus keras dan meningkatkan
stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak
tampak
b. Fase remodialing
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk
merampungkan penyembuhan tuang meliputi aktifitas
osteoblas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur
menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga
menambah stabiltas daerah fraktur.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen
Pemeriksaan posisi AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai :
- Diameter anteriorposterior kanal spinal
- Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
- Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
- Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
- Ketinggan ruangan diskus intervertebralis.
b. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI bermanfaat untuk menunjukan tingkat
penyembuhan kanalis spinalis. Pada fraktur dislokasi cedera paling
terjadi pada sambungan torako lumbal dan biasanya di sertai dengan
kerusakan pada bagian terbawah korda. Klien harus di periksa dengan
hati- hati agar tidak membahayakan korda atau akar syaraf lebih jauh.
c. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin ( biasanya
rendah bila terjadi perdarahan karena trauma) hitung sel darah putih,
Ht mungkin menigkat ( Hemokonsentrasi) atau menurun
( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
mutipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress
normal setelah trauma. Kreatinin : trauma otot meningkat beban
kreatinin untuk klirens ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple atau cedera hati.
- Pemeriksaan kimia darah
Kadar kalsium serum berubah pada oteomalasea, tumor tulang
metastase dan pada immobilisasi lama dan creatinin kinase serta
SGOT yang meningkat pada kerusakan otot.

d. Angiogram : dilakukan bila kerusakan vesikoler dicurigai


Elektromyogram (EM) untuk mengukur kontraksi otot sebagai respon
terhadap stimulus listrik

Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai


dengansurvey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara
bersamaan.Masing-masing pemeriksaannya adalah:

a. Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress


pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan, ekspansi dada, gerakan
dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah arteri dan oksimetri.
b. Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan
paru yangsudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin
terganggudalam pengaturan SCI:1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat
adanya cedera dada.2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau
contusio paru.3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera
kepala atauefek eksogen alkohol dan obat-obatan.
c. CVS nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shockneurogenik).
d. Suhu
- Hipotermia
- shock spinal.
e. Pemeriksaan neurologis.Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete
atau incomplete.
f. Tes motorik dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks
otot,koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal
sangatpenting. Ada atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator
evaluasi sakral.
Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut:
- Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
- Kedipan mata (S5)
- Retensi urine atau inkontinensia
- Priapismed
g. Seks Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1.e) Umur Sekitar
80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORAterjadi
terutama pada anak-anak.

Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang

- C5 : Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu


- C6 : Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus
danbrevis)
- C7 : Ekstensor siku (trisep)
- C8 : Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah
- T1 : Jari kelingking (digiti mini)
- L2 : Hip fleksor (iliopsoas)
- L3: Ekstensor lutut (quadrisep)
- L4 : Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)
- L5 : Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)
- S1 : Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang

- C2 : Tonjolan oksipital
- C3 : Fossa supraklavikula
- C4 : Atas sendi akromioklavikularis
- C5 : Sisi lateral lengan
- C7 : Jari tengah
- C8 : Jari kelingking
- T1 : Sisi medial lengan
- T2 : apex dari aksila atau ICS 2
- T3 : ICS 3
- T4 : ICS 4 lurus puting susu
- T5 : ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)
- T6 : ICS 6 setinggi xiphisternum
- T7 : ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)
- T8 : ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)
- T9 : ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)
- T10 : ICS 10 atau umbilikus
- T11 : ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)
- T12 : Midpoint ligamentum inguinalis
- L1 : Setengah jarak antara T12 dan L2
- L2 : Paha mid-anterior
- L3 : Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis
- L4 : Maleolus medial
- L5 : lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada
sendimetatarsophalangeal ketiga
- S1 : Tumit lateral
- S2 : Fossa popliteal di garis tengah
- S3 : tuberositas iskia
- S4-S5 : Perianal
- C6 : ibu jari dan lengan lateral
9. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisamengakibatkan
berbagai macam komplikasi, diantaranya
a. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusaksehingga
terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil.Yang disertaireaksi peradangan,sehingga
menyebabkanpembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanandidalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf
danmenghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara
drastismeningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat
sehingga sarafdidarah tersebut terhambat atau terjerat.
c. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan reflekssetingg dan
dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syokspinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas keduasegmen
diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik danmotorik serta
syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.Syok spinal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik danmotorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadipembengkakan dan hipoksia
yang parah.
d. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari duasegme diatas
dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalahrefleks yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanandarah, dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnyam secara akut
semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendensdari
otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok
spinlbiasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu
syokspinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas
ototserta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
e. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secarrefleks, yang
meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksiaotonom dapat timbul
setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suaturangsangan sensorik nyeri disalurkan
kekorda spnalis dan mencetukan suaturefleks yang melibatkan pengaktifan sistem
saraf simpatis.Dengandiaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi
konstriksi pembuluh-pembuluhdarah dan penngkatan tekanan darah system.
Pada orang yang kordaspinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui
olehbaroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan
baroreseptor,pusatkardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantungsehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf
simpatisakan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis
dansimpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah
kenormal.Padaindividu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis
akanmemperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas
tempatcedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda
sehnggavasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut
terusberlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat
meningkatmelebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke
atauinfark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan
hiperrefleksia otonomadalah distensi kandung kemih atau rektum,atau
stimulasi reseptor-reseptorpermukaan untuk nyeri.
f. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Padatranseksi
korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atasdan
bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan
disebutkuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi
kordadibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda
yangmengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.Persentase
terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegiakomplit adalah sebagai
berikut :
- pneumonia (60,3 %)
- ulkus akibat tekanan (52,8 %),
- trombosis vena dalam (16,4 %),
- emboli pulmo (5,2 %),
- infeksi pasca operasi (2,2 %).Sedangkan untuk fraktur,
komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
a) Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkanmal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari
jaringan lunak yang terjepitdiantara fragmen tulang, akhirnya ujung
patahan dapat saling beradaptasi danmembentuk sendi palsu
dengan sedikit gerakan (non union).
b) Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu
20 minggu. Halini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
c) Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung
dalamwaktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
d) Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler
diseminata (KID). Infeksiterjadi karena adanya kontaminasi
kuman pada fraktur terbuka atau pada saatpembedahan dan
mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,paku
pada fraktur.
e) Emboli lemak6. Saat fraktur, globula lemak masuk ke
dalam darah karena tekanan sumsumtulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler. Globula lemak akan bergabung dengantrombosit dan
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh
darahkecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ
lain.
f) Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam ototkurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Berakibat kehilanganfungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera

Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang

PENGKAJIAN

a. Identitas klien
Meliputi nama, usia ( kebanyakan terjadi pada usia muda, jenis kelamin
laki – laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa engaman
helem ), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
masuk RS, no registrasi, dan diagnosa medis
b. Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan utama klien meminta pertolongan kesehatan
adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia alvi,
nyeri tekan otot, hiperretensia tepat diatas daerah trauma dan deformitas
pada daerah trauma
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka
tembak, trauma karna tali pengaman ( fraktur chance ) dan kejatuhan
benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas,
paralisis, ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan
klien sebelum menderita penyakit sekarang, berupa riwayat trauma medula
spinalis. Biasanya ada trauma / kecelakaan

e. Riwayat kesehatan keluarga


Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah obat obatan adiktif atau alkohol
g. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoatritis
h. Pengkajian psikospiritual
i. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat
trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis
terputus.
Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada
daerah Servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai
berikut.
- Inspeksi.
Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi
pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak
simetris. Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf
parasimpatis.
- Palpasi.
Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
- Perkusi.
Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma
terjadi pada toraks/hematoraks.
- Auskultasi.
Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan
kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien
cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang
dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang
belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun,
bradikardia, berdebar - debar, pusing saat melakukan perubahan
posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3. Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap
Iingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama
mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan
status mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang
belakang dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam
kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat
kelopak mata dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada
kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.
Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks
patela biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring.
b. Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali yang didahului dengan refleks patologis.
c. Refleks Bullbo Cavemosus positif
d. Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami
hilangnya Sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong,
perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat
memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di
daerah tulang belakang
4. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya
ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta
kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok
spinal yang akanberlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pemenuhan nutrisiberkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan
nutrisi.
6. Muskulo skeletal
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada
ketinggianterjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan
distribusisegmental dari saraf yang terkena

PENGKAJIAN PRIMER
1. Data Subyektif
a. Riwayat Penyakit SekarangMekanisme CederaKemampuan
NeurologiStatus NeurologiKestabilan Bergerak2. 
b. Riwayat Kesehatan Masa LaluKeadaan Jantung dan
pernapasanPenyakit Kronis
2. Data Obyektif
a. Airwayadanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera
spinal sehinggamengganggu jalan napas.
b. BreathingPernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan,
pergerakan dindingdada
c. CirculationHipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg),
Bradikardi, Kulit terabahangat dan kering, Poikilotermi
(Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yangmana suhu tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
d. DisabilityKaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan
bergerak, kehilangansensasi, kelemahan otot
PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Exposure Adanya deformitas tulang belakang
2. Five Intervensi
- Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan
upaya ventilasi
- CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
- MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
- Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
- Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera
tulang(Fraktur/Dislokasi)
3. Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat ce
dera Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot
pernapasan, pergerakan dindingdada,bradikardi, adanya
desakan otot diafragma dan interkosta akibatcedera
spinalPelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam
eliminasi urin dan feses,terjadinyagangguan pada ereksi penis
(priapism) Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis,
paraplegia atau quadriparesis/quadriplegiae) 
- Inspeksi Back / Posterior Surface- Kaji adanya spasme otot,
kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
Analisa data

Anda mungkin juga menyukai