Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PENGERTIAN PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN SERTA

KAITANNYA DENGAN GEOGRAFI


“Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan”

(AKDK5402)

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. SURATNO, M.Pd

Disusun Oleh :

MUHAMMAD RIZKI
(1810115210009)

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2020

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan izin
dan kekuatan kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang
filsafat pendidikan islam.

Meskipun banyak hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaannya, tapi
penyusun berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis
sampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dan membimbing
penulis dalam mengerjakan laporan ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini.

Tentunya ada hal-hal yang ingin penyusun berikan kepada masyarakat dari hasil laporan
ini. Karena itu penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi
kita bersama. Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini bisa
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat nyata dalam masyarakat luas.

Banjarmasin ,24 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A.LATAR BELAKANG...................................................................................................................4
B.RUMUSAN MASALAH...............................................................................................................5
C. TUJUAN.......................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A.PENGERTIAN PENDIDIKAN.....................................................................................................6
B.FUNGSI PENDIDIKAN................................................................................................................7
C.PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN..................................................................................8
D.LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN.....................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................14
PENUTUP...........................................................................................................................................14
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................14
B. SARAN...................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Secara awam diketahui bahwa kegiatan mendidik merupakan salah satu kegiatan yang
telah berlangsung berabad-abad lamanya di masyarakat. Bahkan kegiatan mendidik ini
diyakini telah berlangsung sejak manusia ada dalam rangka mengenal diri sendiri dan
lingkungannya demi memajukan peradaban. Keberadaan pendidikan merupakan khas yang
hanya ada pada dunia manusia dan sepenuhnya ditentukan oleh manusia, tanpa manusia
pendidikan tidak pernah ada, human life is just the matter of education. Keberadaan kegiatan
mendidik tersebut tidak hanya menembus dimensi waktu akan tetapi juga menembus dimensi
tempat, dalam arti pendidikan telah berlangsung di segala waktu dan tempat. Oleh karenanya,
kegiatan pendidikan dapat dikatakan bersifat fundamental, universal, dan fenomenal.

Untuk menghindari praktek-praktek pendidikan yang tidak diharapkan dan kurang


sesuai dari cita-cita masyarakat, maka pendidikan perlu dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip yang memiliki justifikasi ilmiah kuat serta dengan kaidah ilmu pendidikan yang telah
ditemukan oleh para ahli sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, sebagai
semua pendidik dan calon pendidik perlu mengetahui dan memahami prinsip-prinsip
mendidik dan kaidah-kaidah teori pendidikan sebelum melakukan praktek mendidik.

Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya
ada tiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing
( Jan Hendrik Rapar dalam Diktat Filsafat Pendidikan). Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta,
rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan
hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna
mencapai tujuan hidup kemanusiaan.Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan
dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Filsafat pendidikan tidak akan terlepas dari kajian Ilmu Filsafat. Filsafat pendidikan
merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan
filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan
yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih
kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak
memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Dalam tulisan ini akan membahas

4
hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan agar lebih memudahkan pembaca dalam
memahami keterkaitan antara keduanya.

B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian ilmu pendidikan ?
2. Sebagai apakah fungsi pendidikan ?
3. Apa yang di maksud dengan filsafat pendidikan ?
4. Apa saja landasan dari filsafat pendidikan ?
5. Bagaimana keterkaitan filsafat dan geografi ?
C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat pendidikan
2. Untuk mengetahui pengertian Filsafat Pendidikan.
3. Untuk mengetahui landasan-landasan Filsafat Pendidikan.
4. Mengetahui hubungan filsafat dan geografi

5
BAB II

PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN PENDIDIKAN
Secara etimologis atau kebahasaan, kata “Pendidikan” berasal dari kata dasar
“didik” yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran pe-an. Berubah manjadi kata
kerja “mendidik” yang berarti membantu anak untuk menguasai aneka pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya. Istilah
ini pertama kali muncul dengan bahasa Yunani yaitu “paedagogiek” yang berarti ilmu
menuntun anak, dan “paedagogia” adalah pergaulan dengan anak-anak, sedangkan
orangnya yang menuntun/mendidik anak adalah “paedagog”. Orang Romawi melihat
pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan
merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan didunia. Bangsa Jerman
melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni
membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam bahasa Inggris dikenal education (kata benda) dan educate (kata kerja) yang
berarti mendidik.

Kneller ( via siswoyo, 1995 :5) mengatakan pendidikan dapat dipandang


dalam arti luas dan dalam arti proses. Dalam arti luas pendidikan menunjuk pda suatu
tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh, berhubungan dengan
pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak atau kemampuan fisik
individu. Pendidikan dalam pengertian ini berlansung terus seumur hidup.
Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses yang terjadi di dalam masyarakat
melalui lembaga-lembaga pendidikan ( sekolah,perguruan tinggi, atau lembaga-
lembaga lain), yang dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilanketerampilan dari generasi ke generasi.
Dalam arti hasil, pendidikan adalah apa yang diperoleh melalui belajar, baik berupa
pengetahuan, nilai-nilai maupun keterampilan-keterampilan.sebagai suatu proses,
pendidikan melibatkan perbuatan belajar itu sendiri, dalam hal ini pendidikan sama
artinya dengan perbuatan mendidik seseorang atau mendidik diri sendiri.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

6
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian pendidikan
berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk
memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya ke arah kesempurnaan.

B.FUNGSI PENDIDIKAN
Fungsi Pendidikan dalam arti mikro ialah membantu (secara sadar)
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan secara makro fungsi
pendidikan ialah pengembangan pribadi, warga negara, kebudayaan, dan
pengembangan bangsa.
Pada dasarnya mendidik adalah tuntunan, bantuan, pertolongan kepada peserta
didik. Dalam pengertian memberi tuntunan telah tersimpul suatu dasar pengakuan
bahwa pihak yang diberi tuntunan memiliki daya atau potensi untuk berkembang.
Potensi ini secara berangsur-ansur tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang
yang diberi tuntunan.
Pendidikan selalu diarahkan untuk pengembangan nilai-nilai kehidupan
manusia. Dalam pengembangan nilai ini, tersirat pengertian manfaat yang ingin
dicapai oleh manusia dalam hidupnya. Oleh karena itu, apa yang ingin dikembangkan
merupakan apa yang dapat dimanfaatkan dari arah pengembangan itu sendiri.
Adapun mengenai fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat menurut Wuradji
(1988), bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi
sebagai berikut:
 Fungsi sosialisasi
Pendidikan berperan penting dalam proses sosialisasi, yaitu proses
membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang
dapat beradapatasi dengan baik di masyarakat.
 Fungsi kontrol social
Pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap
tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga
pelayanan pendidikan untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim
menjelaskan bahwa pendidikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau
mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang

7
merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki
kesadaran dan tanggung jawab sosial.
 Fungsi pelestarian budaya masyarakat
Pendidikan di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-
budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestarikan nilai-nilai budaya
daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian
daerah, budi pekerti, dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal
bagi kepentingan masyarakat.
 Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja
Dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu,
maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu
jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.Proses seleksi ini terjadi di
segala bidang baik ketika masuk sekolah maupun ketika ingin masuk pada
jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu,
untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu.
Melalui hal ini, perkembangan pendidikan dapat diketahui.
 Fungsi pendidikan dan perubahan social
Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial
mempunyai fungsi:
1) Melakukan reproduksi budaya.
2) Difusi budaya.
3) Mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-
kelembagaan tradisional
4) Melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi
sosial tradisional
5) Melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap
institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.

C.PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN


Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai filsafat
pendidikan. Randal Curren (via Chambliss, 2009: 324) mengatakan bahwa
filsafat pendidikan adalah penerapan serangkaian keyakinan-keyakinan
filsafati dalam praktik pendidikan.
Kneller (1971: 4) juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan
bersandar pada filsafat umum atau filsafat formal: artinya masalah-masalah
pendidikan juga merupakan bagian dari cara berpikir filsafat secara umum.
Seseorang tidak dapat memberikan kritik pada kebijakan pendidikan yang ada

8
atau menyarankan kebijakan yang baru tanpa memikirkan masalah-masalah
filsafati yang umum seperti hakikat kehidupan yang baik sebagai arah yang
akan dituju oleh pendidikan, kodrat manusia itu sendiri, sebab yang mendidik
itu adalah manusia, dan yang dicari adalah hakikat kenyataan yang terdalam,
yang menjadi semua pencarian cabang ilmu. Oleh karena itu, filsafat
pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan.
Sebagaimana halnya dengan filsafat umum, filsafat pendidikan bersifat
spekulatif, preskriptif, dan analitik. Bersifat spekulatif artinya bahwa filsafat
membangun teori-teori tentang hakikat manusia, masyarakat dan dunia dengan
cara mrnyusun sedemikian rupa dan menginterpretasikan berbagai data dari
penelitian pendidikan dan penelitian ilmu-ilmu perilaku (psikologi
behavioristik).
Filsafat bersifat preskriptif artinya filsafat pendidikan mengkhususkan
tujuan-tujuannya, yaitu bahwa pendidikan seharusnya mengikuti tujuan-tujuan
itu dan cara-cara yang umum harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Filsafat pendidikan bersifat analitik tatkala filsafat pendidikan
berupaya menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif,
menguji rasionalitas ide-ide pendidikan, baik konsistensinya dengan ide-ide
yang lain maupun cara-cara yang berkaitan dengan adanya distorsi pemikiran.
Konsep-konsep pendidikan diuji secara kritis demikian pula dikaji juga apakah
konsep-konsep tersebut memadai ataukah tidak ketika berhadapan dengan
fakta yang berbeda yang berhubungan dengan berbagai istilah-istilah yang
banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti “ kebebasan,
penyesuaian, pertumbuhan, pengalaman, kebutuhan, dan pengetahuan”.
Penjernihan istilah-istilah akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakikih,
maka kajian filsafati tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang filsafat
yang bernama metafisika atau ontologi.
Antologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat pendidikan. Selain
itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan landasan epistemologis dan
landasan eksiologis.

D.LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN


Tiga landasan utama filsafat pendidikan

9
Filsafat memberikan asumsi-asumsi dasar bagi setiap cabang ilmu pengetahuan.
Demian pila halnya dengan pendidikan. Ketika filsafat membahas tentang ilmu alam,
maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat mempertanyakan konsep dasar dari
hukum, maka terciptalah filsafat umum, dan ketika filsafat mengkaji masalah-masalah
dasar pendidikan, maka terciptalah cabang filsafat yang bernama filsafat pendidikan
(kneller, 1971:4) jadi, setiap bidang ilmu mempunyai landasan-landasan filsafat
masing-masing.

Unsur-unsur esensial dalam landasan filsafat pendidikan ada tiga yang utama,
yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landaan aksiologis.

a. Landasan Ontologis Pendidikan


Landasan ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan
landasan filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau suntansi sesuatu.misalnya,
pendidikan secara ilmiah ditunjukkan untuk mensistematisasikan konsep-konsep dan
praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis menjadi suatu bentuk
pengetahuan tersendiri yang disebut ilmu pendidikan. Pengetahuan ilmiah mengenai
pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati mengenai
manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, pandangan alam semesta: tempat
manusia hisup bersama, dan pandangan tentang tuhan sebagai pencipta manusia dan
alam semesta tersebut.
Kneller (1971:6) mengatakan bahwa metafisika merupakan cabang filsafat
yang bersifat spekulatif membahas hakikat kenyataan terdalam. Metafisika mencari
jawaban atas persoalan mendasar.Dengan kemunculan ilmu-ilmu empiris, banyak
orang meyakini bahwa metafisika telah ketinggalan jaman. Temuan ilmu-ilmu empiris
tampak lebih dipercaya, sebab temuannya dapat diukur, sedangkan pemikiran
metafisik tampaknya tidak dapat diverifikasi dan tidak bersifat aplikatif. Metafisika
dan ilmu empiris seolah merupakan dua bidang kegiatan yang berbeda.
Sebenarnya, ilmu-ilmu empiris mendasarkan diri pada asumsi-asumsi
metafisik, tetapi banyak orang yang tidak menyadarinya. Sebagaimana dinyatakan
oleh ahli fisikaMax Planck bahwa gambaran dunia secra ilmiah yang diperoleh dari
pengalaman tetaplah selalu hanya suatu pikiran saja: suatu model yang lebih kurang.
Oleh karena ada subjek material di belakang setiap sensasi inderawi, maka demikian
pula ada kenyataan metafisik dibelakang segala sesuatu, yang menjadi nyata dalam
pengalaman hidup manusia.

10
Gutek mengatakan persekolahan mewakili upaya dari pembuat kurikulum,
guru-guru dan pengarang buku-buku dalam menggambarkan aspek-aspek kenyataan
pada subjek didik. Contohnya, pelajaran sejarah, geografi, kimia, dan lain-lain
menggambarkan fase tertentu dari kenyataan kepada subjek didik.
b. Landasan Epitemologis Pendidikan
Epitemologis adalah cabang filsafat yang disebut juga teori mengetahui dan
pengetahuan. Epitemologis sangat penting bagi para pendidik. Akinpelu (1988:11)
mengatakan bahwa area kajian epistemologi ada relevansinya dengan pendidikan,
khususnya untuk kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Pencarian akan
pengetahuan dan kebenaran adalah tugas utama baik dalam bidang filsafat /
etpistemologi maupun pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dewey, hanya saja
antara epistemologi dan pendidikan terdapat perbedaan dalam hal prosesnya.
Pendidikan sebagai proses memusatkan perhatiannya pada penanaman pengetahuan
oleh guru dan perolehannya oleh peserta didik, sedangkan epistemologi manggali
lebih dalam sampai pada akarnya pengetahuan.
Epistemologis membahas konsep dasar dan sangat umum dari peoses
mengetahui, sehingga erat kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran.
Sebagi contoh, seorang yang berpaham idealisme berperang pada keyakinan bahwa
proses mengatahui atau proses kognitif sesungguhnya adalah proses memanggil
kembali ide-ide yang telah ada dan bersifat laten dalam pikiran manusia. Metode
pembelajaran yang tepat adalah doalog socrates. Dengan metode ini, guru berusaha
menstimulasi atau membawa ide-ide laten kedalam kesadaran subjek didik dengan
mennyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada munculnya ide-ide tersebut
dalam dialog.
Pengetahuan empiris adalah jenis pengetahuan yang sesuai dengan bukti-bukti
inderawi. Dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan pengecapan
manusia membentuk pengetahuan mengenai dunia di sekitar kita. Dengan demikian,
pengetahuan empiris terdiri dari ide-ide yang dibentuk dalam kesesuaiannya dengan
fakta yang diamati atau diindera. Pradigma ilmu pengetahuan empiris adalah ilmu
alam modern. Hipotesis ilmiah diuji melalui observasi atau melalui pengalaman untuk
mencari apakah hipotesis yang dikemukakan terbukti sangat memuaskan bagi sederet
fenomena tertentu.
Pengetahuan Otoriatif yaitu pengetahuan yang diakui kebenarannya
berdasarkan jaminan otoritas orang yang menguasai bidangnya. Seseorag menerima

11
pengetahuan begitu saja tanpa merasa perlu untuk mengujinya karena pengetahuan
tersebut telah tersedia didalam endiklopedia dan buku-buku yang ditulis oleh
ahlinya.dunia terlalu luas bila seseorang harus menguji kebenaran semua peristiwa
secara pribadi. Jadi, pengetahuan otoritatif adalah pengetahuan yang sudah terbentuk
dan diterima secara luas berdasarkan otoritas seseornag di dalam bidang masing-
masing.
Jadi, dapat diketahui bahwa dalam kegiatan pendidikan sangat erat dengan
epistemologi karena pendidikan selalu berkaitan dengan pemberian pengetahuan oleh
pendidik, dan penenrimaannya, serta pengembangannya oleh peserta didik. Dalam
setiap pengetahuan yang disampaikan oleh guru dengan berbagai disiplin ilmu
masing-masing terdapat epistemologisnya sendiri-sendiri.
c. Landasan Aksiologis Pendidikan
Aksiologis merupakan cabang filsafat6 yang membahas teori-teori nilai dan
berusaha menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang
baik. Bagian dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada kajian
filsafati tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan dengan
kajian nilai-nilai keindahan dan seni. Metafisika membahas tentang hakikat kenyataan
terdalam, sedangkan aksiologi menunjuk pada preskripsi perilaku moral dan
keindahan. Para pendidik selalu memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri para subjek didik dan mendorong kearah
perilaku yang bernilai.
Secara tidak lansung landasan aksiologis pendidikan tercermin didalam
perumusan tujuan pendidikan. Tatkala orang merancang pendidikan, maka ia harus
memulainya dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan
berdasarkan oleh nilai-nilai yang diyakini yang berusaha untuk diwujudkan tindakan
nyata.
Thomas Armstronhg ( 2006:39) mengatakan bahwa tujuan pendeidikan adalah
untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi perkembangan subjek didik sebagai
manusia yang utuh ( a whole human being). hal itu dapat diartikan bahwa menurut
Armstrong pendidikan harus dilandasi oleh nilai-nilai kehidupan yang bersifat holistik
sehingga pendidikan yang ingin diwujudkan adalah pendidikan yang bersifat holistik
pula.Tujuan umum pendidikan adalah untuk mencapai kedewasaan: dalam arti susila.
Dalam konteks indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional mengamanatkan tujuan pendidikan yang meliputi banyak

12
aspek, baik individual maupun sosial, jasmaniah dan rohaniah. Tujuan pendidikan
dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang bersifat holistik, yaitu nilai-nilai pancasila. Di
dalam pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendiddikan adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jadi, ada nilai-nilai kehidupan yang berdimensi horizontal dan vertikal yang
terkandung di dalam tujuan pendidikan tersebut.
Landasan Aksiologis Ilmu Pendidikan adalah konsep nilai yang diyakini yang
dijadikan landasan atau dasar dalam teori dan praktik pendidikan.
E. GEOGRAFI DALAM PANDANGAN OBJEK FORMAL FILSAFAT ILMU

1) Ontologi Geografi

Mengacu pengertian geografi yang telah disampaikan di atas maka

dapat dijelaskan bahwa apa yang ingin diketahui ilmu geografi adalah

”berbagai gejala keruangan dari penduduk, tempat beraktifitas dan

lingkungannya baik dalam dimensi fisik maupun dimensi manusia”.

Perbedaan dan persamaan pola keruangan (spatial pattern) dari struktur,

proses dan perkembangannya adalah penjelasan lebih lanjut dari apa yang

ingin diketahui bidang ilmu geografi (Yunus, 2007).

Sebagai salah satu penjelasan lebih rinci, pola keruangan dari gejala

yang berlangsung di muka bumi biasanya disajikan dalam model simbolik

(dalam bentuk peta). Peta region misalnya, menggambarkan informasi

keruangan atau informasi geografis dalam tingkatan kelas (klasifikasi) dari

mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi dari suatu obyek. Di

samping informasi kuantitatif, peta tersebut juga dapat memberikan

informasi arah dan laju perubahannya. Fakta spasial suatu gejala tertentu

dapat dianalisis lebih jauh untuk menghasilkan informasi keterkaitannya

dengan gejala lainnya (Mertens and Lambin, 1997).

13
Obyek material studi geografi meliputi lapisan atmosfer, lapisan

litosfer, lapisan hidrosfer dan lapisan biosfer (Castree et al., 2009).

Pengetahuan pengetahuan tersebut sangat diperlukan dalam menjelaskan

berbagai gejala keruangan dari suatu obyek yang diteliti untuk dapat

memenuhi sifat integratif sebagaimana telah didefinisikan di atas. Berikut

disampaikan contoh sederhana elaborasi hasil penelitian yang

memperlihatkan sifat integratif.

 Fakta penelitian yang menunjukkan pola kerusakan bangunan

semakin besar jika jarak lokasi bangunan ke pusat gempa semakin

dekat dapat dijelaskan dari pengetahuan geologi dan fisika yang

menyatakan bahwa besaran enersi yang didifusikan semakin kecil jika

semakin jauh dari pusat gempa karena mengalami hambatan struktur

batuan yang dilewatinya sebagai media difusi.

 Penelitian tentang bentang alam (geomorfologi) di suatu daerah

memperlihatkan hubungannya dengan aktivitas penduduk di mana

ada kecenderungan kegiatan penduduk terkonsentrasi di wilayah

dataran alluvial dibanding unit bentang alam lainnya. Hal ini dapat

dijelaskan antara lain berdasarkan teori ekonomi (efisiensi biaya dan

aksesibilitas). Teori pusat (central place theory) Christaller dengan

model hexagonalnya yang terkenal menggunakan salah satu asumsi

yaitu hanya berlaku pada daerah yang memiliki bentang alam

homogen.

 Faktor fisik menentukan perbedaan pola spasial migrasi penduduk,

misalnya di daerah dataran dan di daerah pegunungan, di samping

dapat dijelaskan dari teori gravitasi atau push-pull factor.

14
Pengetahuan tentang berbagai gejala (fisik maupun sosial) yang

berlangsung di muka bumi yang direpresentasikan sebagai gejala keruangan

(spatial phenomena) suatu obyek tertentu (yang dapat diamati oleh panca indra

manusia) merupakan jawaban dari “apa yang ingin diketahui ”ilmu geografi”.

Persoalan selanjutnya adalah ”bagaimana ilmu geografi menjawab pertanyaan

tersebut”. Berkenaan dengan itu secara singkat akan ditelaah tentang

epistemology ilmu geografi.

2) Epistemologi ilmu geografi

Seperti bidang bidang ilmu lainnya, bidang ilmu geografi dapat

menggunakan metode deduktif, metode induktif atau gabungan ke dua

metode tersebut, tergantung persoalan yang ingin dijawab. Sebagai contoh

sederhana, apabila ingin mengetahui hubungan antara bentuk bentang alam

dan pola sebaran pemukiman penduduk.

Apabila kerangka berpikir rasionalisme terpenuhi maka sebagai

seorang peneliti kita harus dapat membuktikan sendiri bagaimana hubungan

dari gejala gejala tersebut dengan menggunakan kerangka berpikir

empirisme. Artinya, adanya dukungan teori dasar untuk meneliti dan

ketersediaan data empiris merupakan hal yang pokok untuk menemukan

jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya, peneliti

harus menetapkan metode apa yang akan digunakan :

 Apabila telah ada konsep dan teori yang secara rasional dapat

menjelaskan hubungan logis ke dua variable tersebut, maka dapat

dipilih metode deduktif untuk memperkuat suatu teori yang sudah

ada.

 Apabila ingin mengetahui pola umum hubungan ke dua gejala

15
tersebut di suatu daerah yang lebih luas (misalnya untuk Indonesia)

maka dapat menggunakan metode induktif – deduktif. Perlu dicatat,

data yang diperlukan dalam penggunaan metode induktif adalah data

sampling dalam statistik inferensial.

Dalam paragraph di atas dapat dicermati bahwa butir 1 menghasilkan

pembuktian teori tertentu untuk memperkuat atau apabila memenuhi syarat

tertentu dapat meningkatkan teori menjadi hukum yang bersifat universal

(axioma). Sedangkan contoh butir 2 menghasilkan pembuktian penemuan

teori baru berdasarkan teori sebelumnya, misalnya menghasilkan model

prediksi. Mungkin kita perlu merenung, selama ini penelitian apa yang telah

kita lakukan untuk mengembangkan ilmu geografi ? Apakah kita baru

sebatas menerapkan konsep dan teori yang sudah ada atau sudah ada teori

baru yang kita hasilkan?Metode atau teknik?

Setelah metode dipilih selanjutnya ditetapkan cara atau teknik apa

yang akan digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan dan analisis data

penelitian. Metode induktif misalnya, tidak dapat mengabaikan peranan

statistik dalam pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Sampai di sini kita

harus dapat membedakan makna metode dan teknik atau cara penelitian.

Overlay atau superimposed peta dapat dipandang sebagai sebuah teknik

analisis dan bukan metode analisis.

Menjadi lebih menarik jika selanjutnya ditelaah tentang pemanfaatan

teknologi informasi yang semakin intens di lingkungan penelitian geografi

(Goodchild, 1992). Misalnya penggunaan GIS (sebagai sebuah sistem) atau

penggunaan data citra, sebagai upaya untuk memperoleh data empiris dengan

16
memanfaatkan sarana teknologi satelit. Sementara ini kita sepakat bahwa

ketersediaan sistem dan tekonologi tersebut sangat membantu (mempermudah

dan mempercepat) penelitian geografi dalam kegiatan pengumpulan sampai

analisis data hasil penelitian, sebagaimana kita menggunakan cara statistik.

Jelas kiranya bahwa dalam konteks penelitian geografi, teknologi RS

dan GIS adalah sebuah pilihan cara atau teknik dalam kita mengumpulkan

data geografi, mengolah dan menganalisis data. Pilihannya terletak pada

sarana atau alat untuk analisis, yang dinilai lebih baik dibanding teknik

sebelumnya.

Sampai saat ini kita mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh dan

teknologi GIS merupakan produk dari R&D bidang ilmu teknik

telekomunikasi, komputer dan informatika (Longley, 2005). Bidang geografi

lebih berperan dalam melakukan interpretasi secara lebih cepat (karena

memiliki bekal cukup pengetahuan fisik permukaan bumi) atau paling jauh

membuat pemodelan aplikasinya. Teknik teknik interpretasinyapun

merupakan hasil pengembangan para ahli bidang ilmu lain seperti fisika.

Geografi adalah bukan bidang ilmu tentang semua hal yang ada dalam

kehidupan manusia (Philo and Wilbert, 2000), walaupun ada yang

berpendapat bahwa geografi adalah mothers of science atau ilmu yang bersifat

generalis. Sebuah kalimat yang sering diungkapkan adalah bahwa “semua hal

bisa di-geografi-kan sepanjang masih dapat dianalisis secara spasial”. Kalimat

ini sangat sederhana namun mempunyai implikasi yang sangat luas terutama

bagi para geograf yang kritis. Pertanyaan kritis yang kemudian dapat

dikemukakan adalah “apakah dapat dibuktikan bahwa semua hal dapat

dianalisis dalam perspektif spasial?”.

17
Oleh karena begitu banyak hal dapat digeografikan maka muncul

usaha usaha membuat spesialisasi geografi. Upaya untuk memikirkan

spesialisasi di bidang ilmu geografi layak untuk diapresiasi. Namun, cabang

atau ranting ilmu yang dirumuskan hendaknya memenuhi kaidah kaidah yang

benar sehingga tidak menyimpang dari pohon ilmunya. Salah satu contoh

adalah pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu informatika

yang fokus dalam rekayasa teknik system pengolahan data menjadi informasi.

Demikian pula pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu

psikologi yang fokus dalam perilaku (behaviour) manusia. Sampai saat ini

belum ada yang mampu untuk mengspasialkan sebuah persepsi dan

menyajikan serta menjelaskannya dalam perspektif keruangan.

3) Axiologi ilmu geografi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peta dikatakan sebagai

satu satunya sarana untuk dapat menyajikan fakta geografi yang memenuhi

pola berpikir keruangan, secara cepat dan mudah dipahami. Dari sebuah peta

dapat dikenali berbagai elemen ukuran sebuah gejala seperti titik, garis, area,

arah, jarak, luas, kepadatan, kerapatan dan lainnya sebagai satuan ukuran

karena bidang ilmu geografi harus dapat terukur. Dari skala peta dapat dinilai

tingkatan informasinya, dari yang bersifat umum sampai informasi yang

lebih rinci dari sebuah populasi.

Bidang ilmu geografi sampai saat ini masih eksis karena memang

memiliki nilai kegunaan bagi umat manusia baik untuk pengembangan

keilmuannya maupun terapannya untuk peningkatan kesejahteraan. Oleh

karena ilmu bersifat netral maka pengetahuan yang dihasilkan apakah

18
bermanfaat atau bahkan menyebabkan bencana bagi umat manusia pada

dasarnya ditentukan oleh para ilmuwan itu sendiri.

Sebuah peta yang disajikan secara sengaja untuk menyesatkan pihak

lain merupakan sebuah bencana bagi penggunanya karena informasinya tidak

tepat, akurat dan lengkap. Akibatnya, pengguna peta tidak menemukan

informasi yang dibutuhkan setelah menghabiskan sumberdaya yang tidak

sedikit. Dalam sebuah peperangan, peta dapat menjadi senjata andal untuk

mengecoh dan mengalahkan musuh karena legenda peta sengaja diubah

sehingga senjata musuh tidak mengenai sasaran.

Dalam kaitan ini suatu kegiatan analisis citra satelit yang dilakukan

tanpa ground-check yang cermat akan menghasilkan peta citra satelit yang

menyesatkan. Apalagi jika secara mentah mentah data citra digital digunakan

untuk membuat pemodelan maka akan dapat diduga informasi hasil

interpretasi citra yang dihasilkan sulit dibuktikan kebenarannya. Oleh karena

itu, apapun kelemahan yang ada dengan menggunakan sarana citra satelit

perlu dikemukakan selengkapnya, bukan hanya keunggulannya. Di sini

menyangkut dasar epistemologisnya dimana “jika putih katakan putih” atau

“jika ada kelemahan katakan kelemahannya dengan jujur”.Esensi dasar

axiology ilmu geografi erat kaitannya dengan ontologinya dan karena itu

sebaik- baiknya pengetahuan yang dihasilkan sangat tergantung dari yang

memiliki pengetahuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

moral pemilik ilmu tersebut merupakan factor yang menentukan apa

sebenarnya nilai manfaat pengetahuan yang dimiliki bagi umat manusia.

F. PENDIDIKAN GEOGRAFI DALAM SUDUT PANDANG FILSAFAT ILMU YANG

19
DI KAJI MELALUI OBJEK FORMAL DAN MATERIAL PADA FILSAFAT ILMU

Pendidikan geografi dapat didefinisikan sebagai proses dan usaha sadar

menanamkan wawasan kegeografian siswa yang meliputi dimensi fisikal dan

sosial dalam prespektif spasial. Dimensi fisikal dan sosial dalam studi

geografi memiliki karakteristik keruangan yang dibentuk hubungan timbal

balik kedua unsur tersebut.

Kenyataan di lapangan khususnya penyelenggaraan pendidikan geografi

di Indonesia menunjukan adanya kesalahan penanaman waawasan

kegeografian antara lain: kesalahpahaman konsep dan filosofi geografi

sehingga pendidikan geografi dan ilmu geografi di Indonesia cenderung

dimarginalkan, kesalahan pada penanaman wawasan geografi terutama objek

material studi geografi atau ruang lingkup geografi yang tidak jelas, sehingga

siswa belum memiliki wawasan kegeografian yang sebenarnya dan mereka

kurang bersemangat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran geografi di

sekolah, kesalahan pada tujuan pembelajaran geografi dan kurangnya

aksiologi pendidikan geografi mengakibatkan siswa belum memahami nilai-

nilai ekstensi geografi apalagi menerapkan dalam kehi-dupan keseharian, dan

marginalisasi geografi sebagai akibat faktor endogen dan eksogen.

Sebuah Ilustrasi Kelompok pertama mengira geografi hanyalah

persoalan nama-nama tempat. Mereka menganggap bahwa geograf adalah

orang yang mengetahui lokasi daerah, ibu kota, sungai, dan laut. Kelompok

kedua mempunyai ide bahwa geografi adalah studi lingkungan alam. Mereka

menganggap geografi Illinois misalnya, hanya akan membahas iklim,

topografi, saluran air, vegetasi alam, tanah, dan mineral. Dalam pandangan

ini, geografi adalah tidak lebih dari sekumpulan kutipan geologi,

20
meteorologi, dan biologi. Tiga konsep geografi tersebut melekat secara

mendalam dalam pikiran mayoritas orang, termasuk guru geografi.

Seminar dan lokakarya dilaksanakan di Jurusan Geografi IKIP

Semarang bekerja sama dengan IGI tahun 1988 menghasilkan rumusan

definisi: Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan

fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan dan kewilayahan

dalam konteks keruangan. Kekurangan definisi ini adalah mengabaikan

faktor aksiologi (apa manfaat mempelajari geografi), penggunaan istilah

geosfer seharusnya biosfer (bagian geosfer sebagai wilayah kehidupan

mencakup dimensi fisik dan sosial), dan sudut pandang kelingkungan

seharusnya ekologi manusia yang menekankan hubungan timbal balik antara

manusia dan lingkungan geografisnya (Daldjoeni, 1997).

Sebagai akibat kesalahpahaman konsep dan filosofi geografi dalam

pengembangan profesional, antara lain sasaran pelajaran geografi belum jelas.

Pelajaran geografi baru sebatas penyampaian informasi kebumian, tetapi

belum membentuk kemampuan siswa dalam menyikapi kondisi kebumian.

Pelajaran geografi hanya menyampaikan misalnya jenis batuan, ragam

bentang alam, potensi wilayah pertanian, ataupun hasil tambang. Akan tetapi

belum sampai pada apa yang bisa dilakukan dengan semua itu. Akibat

lainnya, kecenderungan dimarginalkannya mata pelajaran geografi dalam

kurikulum nasional. Guru geografi belum mampu bagaimana membelajarkan

geografi yang geografik? Padahal, konsep dan filosofi geografi di negara maju

dipelajari mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi memiliki

kaitan signifikan dengan penumbuhan kepedulian terhadap lingkungan hidup

termasuk kebencanaan dan pembangunan wilayah berkelanjutan (Solem et al.,

21
2003).

Peninjauan dari aspek aksiologi (nilai kegunaan) dan ontologi (Hakikat)

pembelajaran geografi yang berlaku di Indonesia baru menghasilkan manusia

yang mengetahui ilmu geografi dengan melakukan konsep epistimologi tetapi

kosong dari nilai-nilai kemanusian dan kesalehan. Tahu mengenai sesuatu,

tetapi belum mampu berperilaku yang sesuai dengan pengetahuannya

sehingga melahirkan manusia perusak lingkungan dan pelanggar hukum

karena mereka tanpa isi iman dan amal saleh. Kalau penanaman wawasan

kegeografian hanya berfokus pada proses-proses keilmuan yang empirik saja,

hanya mengkaji apa adanya (what to be), yang bebas dari nilai, tanpa memper-

hatikan nilai-nilai normatif akan menghasilkan manusia atau seseorang

pemuja ilmu, yang perlu diwaspadai siswa dan guru geografi (Trigwell, 2006).

Kegagalan penanaman nilai kegeografian dalam penerapannya pada

kehidupan, akan mengarahkan siswa menjadi generasi yang kurang peduli

terhadap pelestarian lingkungan hidup.

22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
pendidikan adalah proses yang terjadi di dalam masyarakat melalui lembaga-
lembaga pendidikan ( sekolah,perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), yang
dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-
nilai dan keterampilanketerampilan dari generasi ke generasi.
Kneller (1971: 4) juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan bersandar pada
filsafat umum atau filsafat formal: artinya masalah-masalah pendidikan juga
merupakan bagian dari cara berpikir filsafat secara umum.
Unsur-unsur esensial dalam landasan filsafat pendidikan ada tiga yang utama,
yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landaan aksiologis.
Dari sudut pandang metode keilmuan, hubungannya dengan ruang muka bumi
merupakan ciri bidang ilmu geografi yang menjadi pembeda dengan bidang ilmu
lainnya. Karena mempelajari berbagai gejala dan hubungannya dengan ruang muka
bumi maka peta merupakan sarana paling efektif untuk analisis.
Rumusan spesialisasi di bidang ilmu geografi (membuat cabang atau ranting)
yang ada di lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia masih harus diuji lebih lanjut
melalui telaah kritis tiga pertanyaan dasar keilmuan : ontology, epistemology dan
axiology.Persoalan yang sedang dihadapi dalam mengembangkan ilmu geografi di
Indonesia saat ini adalah bagaimana sosok ilmu geografi sudah dapat dikenal mulai
dari siswa SD sampai SMA. Fakta menunjukkan bahwa betapa tidak mudahnya
belajar geografi secara utuh jika pada tingkat SD dan SMP masih di dalam pelajaran
IPS.pengembangan kurikulum dan buku geografi atau bahan ajar yang kontekstual
disusun dengan pendekatan geografi atau dalam perspektif keruangan, sehingga
mudah dipelajari siswa dan masyarakat.

B. SARAN
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan ke sistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing
secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus dilakukan bangsa

23
indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang
terlahir akan semakin baik mutnya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing
secara sehat dalam segala bidang di dunia Internasional.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.Rohman, Arif. 2009.
Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Ridla, Muhammad Jawwad. Al-Fikr Al-Tarbawiyy Al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih Al-


Ijtima’iyyati wa Al-‘Aqlaniyyat. Diterjemahkan oleh: Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Akinpelu, J.A. 1988 An Introduction to philosophy. London and basingstojke.


Al-syaibany omar muhammad al-toumi, 1979. Falsafah pendidikan islam.Jakarta:bulan
Bintang
Barnadib, imam, 1996 filsafat pendidikan. Yogyakarta : aditya karya nusa.
Castree, N., Demeritt, D., Liverman, D., Rhoads, B., 2009. A Companion to Environmental
Geography. John Wiley & Sons.
Daldjoeni, N.1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah. Bandung:
Alumni.
Goodchild, M.F., 1992. Geographical information science. Int. J. Geogr. Inf. Syst. 6, 31–45.
doi:10.1080/02693799208901893
Haggett, Peter. 2001. Geography A Global Synthesis. London: Prentice Hall.
Harmantyo, Djoko. 2008. Geografi dalam Perspektif Filsafat Ilmu. Proceeding Filsafat
Sains Geografi. Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM
Khafid, S. 2010. Pengembangan Profesional Guru Geografi: Antara Harapan, Hambatan,
dan Solusi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional IGI bekerja sama dengan
Jurusan Pendidikan Geografi Unesa, Surabaya, 11-12 Desember.
Longley, P., 2005. Geographic Information Systems and Science. John Wiley & Sons.
Matthews. J. A, Herbert, 2004. Unifying Geography. London: Routledge
Mertens, B., Lambin, E.F., 1997. Spatial modelling of deforestation in southern Cameroon.
Appl. Geogr. 17, 143–162. doi:10.1016/S0143-6228(97)00032-5
Philo, C., Wilbert, C., 2000. Animal Spaces, Beastly Places: New Geographies of Human-
animal Relations. Psychology Press.

25

Anda mungkin juga menyukai