Oleh:
Dosen:
Dr. Iwan Krisnadi, MBA
1. Paket 1 Juni 1983 merupakan salah satu tonggak penting yang mengubah arah
perbankan nasional yang tadinya belum mengikuti mekanisme pasar, atau dengan kata
lain, mulai diterapkannya equal treatment antara bank pemerintah dengan bank
swasta.
2. Kebijakan Oktober 1988 menjadi faktor utama terjadinya booming pendirian bank
dengan memberikan kemudahan bagi para investor. Dalam kurun waktu 3 tahun
sesudahnya, tercatat jumlah bank meningkat dari 111 bank pada tahun 1988 menjadi
182 bank pada pertengahan 1991. Pertumbuhan bank beserta kegiatan penyaluran
dana bank yang luar biasa tersebut akhirnya berujung pada tindakan kebijakan uang
ketat (Tight Money Policy) yang diambil oleh Bank Indonesia pada Tahun 1990.
3. Pakfeb 1991, yang bertujuan untuk mengembangkan dunia perbankan menjadi
lembaga keuangan yang sehat, kuat, dan tangguh serta lebih dipercaya baik dalam
tingkat nasional maupun global. Sistem penilaian kesehatan bank dengan CAMEL
mulai diterapkan oleh Bank Indonesia, termasuk penetapan nilai CAR sebesar 8
persen yang harus dipenuhi mulai tahun 1993.
4. Bom waktu perbankan akhirnya meledak, dan tidak tanggung-tanggung dampak
letusannya terhadap perekonomian Indonesia. Pada November 1997 sejumlah bank
mulai rontok yang diawali dengan ditutupnya 16 bank yang akhirnya menyeret
Indonesia ke krisis moneter yang tak terlupakan dalam sejarah perekonomian
Indonesia.
5. Pada tahun 1998 dibentuk BPPN sebagai lembaga yang berusaha untuk
menyelamatkan wajah perbankan Indonesia. BPPN lahir sebagai salah satu butir
dalam serangkaian Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF,
dengan LOI pertamanya ditandatangani pada 1 November 1997. Pembentukan BPPN
ini dianggap sebagai awal proses rehabilitasi terhadap industri perbankan. Pada tahun
1998, dari 55 bank yang dirawat oleh BPPN ternyata 10 bank tidak tertolong
(dilikuidasi), 4 bank harus masuk unit gawat darurat (direkapitalisasi), dan sisanya
masih terus dirawat intensif. Pada maret 1999 38 bank kembali tak tertolong, 9 bank
direkapitalisasi, dan 7 bank diambil alih.
6. Perbankan Indonesia sudah memasuki tahap konsolidasi yang ditandai dengan
diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Bank Indonesia telah
meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada bulan Januari 2004, sebagai
awal dari tahap konsolidasi perbankan Indonesia. Ke dapannya, bank-bank Indonesia
digolongkan kedalam 4 kelompok bank yaitu bank Internasional, bank nasional, bank
fokus, dan bank dengan cakupan usaha terbatas. Pengelompokkan bank tersebut
didasarkan pada kemampuan modalnya.
7. Terakhir adalah paket Oktober 2006 (Pakto) yang dikeluarkan oleh BI. Salah satu
maksudnya adalah untuk mendorong perbankan nasional dalam meningkatkan
penyaluran kredit tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pakto ini mencakup 13
Peraturan Bank Indonesia, dua diantaranya adalah mengenai pelarangan kepemilikan
tunggal dan pelaksanaan Good Corporate Governance.
8. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih
maju dibandingkan sektor lainnya. Berbagai jenis teknologinya diantaranya meliputi
Automated Teller Machine, Banking Application System, Real Time Gross Settlement
System, Sistem Kliring Elektronik, dan internet banking. Bank Indonesia sendiri lebih
sering menggunakan istilah Teknologi Sistem Informasi (TSI) Perbankan untuk
semua terapan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan perbankan. Istilah
lain yang lebih populer adalah Electronic Banking. Electronic banking mencakup
wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Beberapa
diantaranya terkait dengan layanan perbankan di “garis depan” atau front end, seperti
ATM dan komputerisiasi (sistem) perbankan, dan beberapa kelompok lainnya bersifat
back end, yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan,
merchant, atau penyedia jasa transaksi, misalnya electronic check conversion.
9. Saat ini sebagian besar layanan E-banking terkait langsung dengan rekening bank.
Jenis E-Banking yang tidak terkait rekening biasanya berbentuk nilai moneter yang
tersimpan dalam basis data atau dalam sebuah kartu (chip dalam smartcard). Dengan
semakin berkembangnya teknologi dan kompleksitas transaksi, berbagai jenis E-
banking semakin sulit dibedakan karena fungsi dan fiturnya cenderung terintegrasi
atau mengalami konvergensi. Sebagai contoh, sebuah kartu plastik mungkin memiliki
“magnetic strip”- yang memungkinkan transaksi terkait dengan rekening bank, dan
juga memiliki nilai moneter yang tersimpan dalam sebuah chip. Kadang kedua jenis
kartu tersebut disebut “debit card” oleh merchant atau vendor. Beberapa gambaran
umum mengenai jenis-jenis teknologi E-Banking dapat dilihat di bawah ini.
BAB III
PEMBAHASAN
Permasalahan hukum yang berkaitan erat dengan sistem transfer dana secara elektronik
antara lain meliputi masalah pembuktian, masalah pengaturan hak dan kewajiban para
pihak serta masalah resiko yang mungkin timbul.
1. Masalah pembuktian
Aspek pembuktian mempunyai peran yang amat penting yaitu dalam hal terjadi
sengketa antara para pihak dalam melakukan transaksi perbankan yang
menggunakan sarana elektronik. Dalam kaitannya dengan transfer dana elektronik
dimana segala transaksi diproses dan diselesaikan dengan menggunakan media
elektronik sehingga transaksi tersebut bersifat paperless, maka perlu dilihat sampai
sejauh mana dapat dibuktikan adanya atau kebenaran transaksi tersebut.
Dalam hukum perdata terdapat berbagai alat bukti yang dapat dipergunakan jika
timbul perselisihan. Pasal 1865 KUHPerdata mengatur bahwa : setiap orang yang
mehdalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan· suatu
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut .
Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengajukan alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang terdiri dari :
a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e.. sumpah.
Salah satu alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan adanya hak atau
peristiwa menurut Pasal 1866 KUHPerdata adalah bukti tulisan. Sedangkan alat
bukti tulisan menurut bentuknya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu akta
dan non akta sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata, yang terdiri dari :
a. surat-surat;
b. register-register;
c. surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan.
Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya merupakan suatu bukti terhadap siapa yang
membuatnya. Sedangkan akta sebagai alat bukti dapat dibedakan menjadi akta
otentik dan akta di bawah tangan. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata yang
mengatur mengenai alat bukti apabila dikaitkan dengan pelaksanaan transaksi
elektronik (transfer dana elektronik), maka akan timbul kesulitan apabila terjadi
perselisihan antara bank dengan nasabah dalam aspek pembuktiannya. Hal tersebut
disebabkan karena dalam transfer dana elektronik banyak transaksi yang bersifat
paperless dengan menggunakan sarana elektronik seperti komputer. Sedangkan
ketentuan alat bukti dalam KUHPerdata belum mengatur mengenai sarana elektronik
sebagai alat bukti.
Berkaitan dengan masalah alat bukti, dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan antara lain diatur mengenai dokumen perusahaan yang
tidak berupa kertas dan mengenai mikrofilm atau media lainnya dan atau hasil
cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah. Sehubungan dengan hal tersebut
timbul pertanyaan apakah undang-undang dimaksud sudah memenuhi keperluan
pembuktian bagi transaksi yang menggunakan sarana elektronik, seperti transfer
dana elektronik.
Dalam Undang-undang Dokumen Perusahaan ditentukan bahwa setiap perusahaan
wajib membuat catatan baik berupa neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan,
rekening, jumal transaksi harian dan lain sebagainya. Selanjutnya catatan tersebut
ditandatangani oleh pejabat atau pimpinan perusahaan. Catatan yang berupa neraca
tahunan, perhitungan laba rugi tahunan atau tulisan lain yang menggambarkan
neraca dan laba rugi harus dibuat dalam bentuk kertas. Di sisi lain, catatan yang
berbentuk rekening, jurnal transaksi harian atau setiap tulisan yang berisi keterangan
mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha
suatu perusahaan dibuat di atas kertas atau dalam saran a lainnya. Penggunaan
sarana lainnya disini adalah dengan menggunakan alat bantu untuk memproses
pembuatan dokumen perusahaan yang sejak semula tidak dibuat di atas kertas,
misalnya menggunakan pita magnetik atau disket.
Selanjutnya diatur bahwa dokumen perusahaan baik yang semula dalam bentuk
kertas atau bukan kertas dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Menurut Undang-undang dimaksud beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan
Dokumen Perusahaan ke dalam Mikrofilm atau Media Lainnya dan Legalisasi,
dokumen perusahaan yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya
dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Hal ini merupakan hal yang
baru dalam khasanah alat bukti yang berlaku menurut hukum positif di Indonesia,
dimana menurut ketentuan yang berlaku hingga saat ini, alat bukti yang berupa
mikrofilm dan sejenisnya belum diakui sebagai alat bukti.
Dalam Undang-undang Dokumen Perusahaan tersebut diatur bahwa untuk tetap
menjaga keotentikan dokumen yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media
lainnya, dimana hal ini berkaitan dengan dapat dipergunakannya mikrofilm dan
media lainnya sebagai alat bukti, maka untuk pengalihan dokumen tersebut
dilakukan dengan pembuatan suatu berita acara yang dilakukan oleh pimpinan
perusahaan yang bersangkutan atau oleh pejabat yang ditunjuk di lingkungan
perusahaan yang bersangkutan. Dalam berita acara tersebut antara lain dimuat
keterangan mengenai temp at, hari, tanggal, bulan, tahun, tanda tangan, dan nama
jelas pejabat yang bersangkutan serta keterangan bahwa pengalihan tersebut telah
dilakukan sesuai dengan aslinya. Pembuatan berita acara tersebut dilakukan pada
saat terjadinya pengalihan dokumen ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Apabila ketentuan sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan praktek perbankan,
maka terdapat beberapa kegiatan operasional perbankan terutama yang
menggunakan data elektronik diakomodasi oleh ketentuan tersebut, misalnya
mengenai komputerisasi dalam pembukuan bank yang tidak melibatkan nasabah
secara langsung. Sedangkan untuk transaksi yang melibatkan nasabah secara
langsung seperti dalam transfer dana elektronik, ketentuan tersebut dipandang belum
memadai. Dalam transaksi-transaksi tersebut diharapkan data data yang tersimpan
dalam sarana penyimpan data komputer atau transaction receipt yang diberikan
kepada nasabah sejak semula sudah dapat menjadi alat bukti, tanpa perIu dialihkan
ke dalam media lain, microfilm JCD ROM/CD WORM. Untuk memenuhi ketentuan
dimaksud periu disyaratkan agar sistem transfer dana elektronik dilakukan secara
aman, dan persyaratan-persyaratan lain yang lebih bersifat teknis sistem komputer.
Mengenai hal ini perlu diatur tersendiri dalam undang-undang khusus yang
mengatur kegiatan transfer dana elektronik secara lengkap.
3.4 Persepsi masyarakat mengenai e-banking
Intensitas penggunaan layanan transaksi berbasis kartu di Indonesia memang cenderung
semakin meningkat. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat digital-
khususnya less-cash society di Indonesia mulai terbentuk. Memang masyarakat digital
tersebut masih tergolong minoritas. Sebagai ilustrasi, jika jumlah kartu plastik sebanyak
41.172.551 dibagi jumlah penduduk Indonesia- yang tercatat sebanyak 225 juta pada
tahun 2006, maka kartu plastik per kapitanya adalah 0.18. Angka tersebut bisa diartikan
bahwa hanya 18 dari 100 orang Indonesia yang mempunyai kartu plastik. Jumlah
masyarakat digital tersebut relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara
maju. Sebagai contoh, di Amerika Serikat persentase keluarga yang menggunakan
berbagai jenis kartu plastik tersebut untuk tahun 2003 saja sudah mencapai 65% untuk
kartu ATM, 54% untuk Debit Card, 73% untuk Prepaid Card, dan 6% untuk Smart
Card (The Fed, 2004).
Perbedaan tingkat penetrasi layanan E-banking tentunya sangat menarik untuk dikaji,
terutama dikaitkan dengan faktor-faktor pendorong atau penghambat penetrasi E-
Banking tersebut di masyarakat. Tingkat penerimaan inovasi teknologi selain
dipengaruhi oleh karakteristik demografi dan sosioekonomi, juga dipengaruhi oleh
persepsi masyarakat tentang teknologi tersebut serta karakteristik dari berbagai jenis
layanan E-banking itu sendiri. Untuk kasus di Amerika Serikat, pemanfaatan layanan
perbankan berbasis komputer (computer banking) disebabkan oleh faktor kemudahan
layanan- disebutkan oleh 79 persen responden dan penghematan waktu-disebutkan oleh
71 persen responden. Hasil survey lainnya menunjukkan faktor kesediaan layanan E-
banking yang 24 jam menjadi faktor penting lainnya (The Fed, 2004). Memang ada
faktor lain yang cenderung menjadi penghambat yaitu aspek keamanan dan kerahasiaan
dari layanan E-banking.
Pola penggunaan layanan E-banking dan perubahan karakteristik demografi dan
sosioekonomi dari masyarakat pengguna menjadi salah satu tantangan tersendiri dalam
memasyaratkan layanan E-banking. Untuk kasus di Indonesia, peran perbankan dengan
layanan E-banking-nya menjadi sangat penting dan menjadi aktor utama dalam
mempercepat pembentukan masyarakat digital. Dengan besarnya dana masyarakat yang
tersimpan di industri perbankan, sebuah bank masih bisa meningkatkan aktivitas
transaksi yang paperless di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat dari trend
pertumbuhan jumlah kartu plastik beserta nilai transaksinya yang semakin meningkat
dalam 12 bulan terakhir ini. Tantangannya adalah bagaimana mempercepat laju
penetrasinya di masa yang akan datang.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Permasalahan hukum berkaitan erat dengan sistem transfer dana secara elektronik antara lain
meliputi masalah pembuktian, masalah pengaturan hak dan kewajiban para pihak serta
masalah resiko yang mungkin timbul.
User education menjadi salah satu strategi kunci dalam meningkatkan penetrasi layanan E-
banking. Implementasinya perlu mempertimbangkan persepsi masyarakat tentang E-banking,
terutama mengenai faktor-faktor yang masih menjadi penghambat dalam penetrasi E-
banking. Salah tantangan terberat adalah bagaimana meningkatkan penetrasi TIK di
masyarakat berpenghasilan rendah- yang masih merupakan mayoritas di Indonesia. Berbagai
hasil penelitian pun menunjukkan bahwa penetrasi TIK, termasuk layanan E-banking masih
terkonsentrasi pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, berpendidikan tinggi,
dan terkonsentrasi di perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA
https://black711.wordpress.com/2013/06/29/sistem-perbankan-elektronik-mobile-banking/
ar-note.blogspot.co.id/2013/04/sistem-perbankan-elektronik.html
http://prismamika.blogspot.co.id/2014/06/sistem-perbankan-elektronik.html/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/sistem-perbankan-elektronik/
http://delvmi.wordpress.com/2012/06/15/sistem-perbankan-elektronik/