Anda di halaman 1dari 24

BAB X

ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN TEMPAT


PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH

A. Sumber dan Karakteristik Sampah


Sampah adalah segala sesuatu yang sudah tidak terpakai, tidak dikehendaki,
dan merupakan hasil samping dari kegiatan manusia sehari-hari, dapat
berbentuk cair,padat, dan gas. Umumnya sampah berasal dari kegiatan yang
dilakukan manusia termasuk kegiatan industri, tetapi bukan sisa aktivitas
biologis. Sampah adalah barang yang bersifat padat atau setengah padat yang
teridri dari zat organik dan anorganik, berasal dari hasil kegiatan manusia
yang dianggap tidak berguna lagi (tidak termasuk kotoran manusia) dan harus
dikelola agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat dan mencemari
lingkungan. Sedangkan menurut Nugroho (2012) sampah adalah barang yang
dianggap sudah dipakai lagi oleh pemiliknya, tetapi bagi sebagian orang
masih dapat memakainya jika dikelola dengan prosedur yang benar.
Definisi sampah menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang pengelolaan sampah, pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-
hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Dari segi bentuk,
sampah dapat digolongkan pada tiga kelompok besar yaitu sampah padat,
sampah cair, dan sampah gas. Dari sifat kimia unsur pembentuknya sampah
terbagi dalam dua jenis, yaitu:
1. Sampah organik, yaitu sampah yang mudah busuk dan mudah terurai
secara alami (misal: daun-daunan, sisa sayuran, kertas, bangkai, dan lain-
lain).
2. Sampah anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk dan sukar
terurai seperti plastik, kaleng, kaca, logam, dan lain-lain.

Pada dasarnya sampah bersumber dari dua hal, yaitu:


1. Kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga, pertokoan
(kegiatan komersial/perdagangan), penyapuan jalan raya, taman atau
tempat umum lainnya dan kegiatan industri.
2. Sampah yang dihasilkan manusia sehari-hari kemungkinan mengandung
limbah berbahaya seperti sisa bakteri, sisa oli/minyak, sisa pestisida, sisa
biosida tanaman.
Berdasarkan sumbernya sampah dapat digolongkan menjadi sampah alam,
sampah manusia, sampah konsumsi, sampah industri, sampah nuklir
(radioaktif), dan sampah pertambangan. Berdasarkan sifat fisiknya, sampah
secara garis besar terbagi menjadi 12 jenis (Ehlers dan Stell, 1991 dalam
Suryati, 2008), yaitu:
1. Sampah basah (garbage): sampah yang berasal dari sisa pengolahan atau
sisa makanan yang mudah membusuk, tetapi masih dapat digunakan
sebagai makanan oleh organisme lainnya seperti insekta, hewan pengerat,
dan lain-lain. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari kegiatan domestik
atau industri pengolahan makanan.
2. Sampah kering (rubbish): sapah sisa pengolahan yang tidak mudah
membusuk, sampah kering inii dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Sampah yang tidak mudah busuk tetapi mudah terbakar, seperti kayu,
bahan plastik, kain, dan bahan sintetik.
b. Sampah yang tidak mudah busuk dan tidak mudah terbakar seperti
logam, kaca, keramik, dan lain-lain.
3. Sampah abu (ashes), yaitu sampah yang berasal dari sisa pembakaran
dari berbagai jenis pembakaran yang berbentuk partikel yang kecil
sehingga mudah beterbangan dan dapat mengganggu pernapasan dan
penglihatan.
4. Sampah berbahaya (hazardous waste), yaitu sampah yang dapat
menimbulkan bahaya, baik terhadap manusia, hewan, maupun tanaman.
Terdiri dari sampah aptogen (rumah sakit), sampah beracun (sisa
pestisida), sampah radioaktif (bahan nuklir), dan bahan sampah yang
dapat meledak. Sampah ini harus diolah secara khusus terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lokasi tempat pembuangan akhir (TPA).
5. Sampah balokan (bulky waste), yaitu sampah yang berukuran besar,
seperti rongsokan mobil, lemari es, pohon tumbang, dan balok kayu.
6. Sampah jalanan (street sweeping), yaitu sampah yang berasal dari
pembersihan di sepanjang jalan seperti daun-daun kering, sisa-sisa
pembungkus, sisa makanan, kertas, dan lain-lain.
7. Sampah binatang (dead animal), misalnya bangkai tikus, kucing, dan
sebagainya.
8. Sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri.
Sampah jenis ini biasanya lebih seragam jika dibandingkan dengan jenis
lainnya. Sampah industri ada yang beracun jika mengandung logam berat
atau sisa pestisida, dan ada yang tidak berbahaya misalnya sisa makanan
karyawan, kertas, dan sebagainya.
9. Sampah khusus, yaitu sampah dari benda-benda yang berharga atau
sampah dokumentasi (misalnya rahasisa paten dari pabrik, surat rahasia
negara, atau dokumen rahasia).
10. Sampahkandang atau pemotongan hewan, misalnya kotoran hewan, sisa
makanan, kulit, daging, isi perut, dan sebagainya.
11. Sapah lumpur, yaitu sampah setengah padat (misalnya lumpur selokan,
lumpur bangunan, sisa pengolahan air buangan, dan sebagainya).
Selain sumber sampah, karakteristik perlu diperhatikan dalam penanganan
sampah, karakteristik tersebut bervariasi, bergantung pada komponen sampah.
Karakter fisika, kimia, dan biologis. Karakteristik sampah dari berbagai
tempat atau daerah serta jenis yang berbeda memungkinkan sifat yang
berbeda pula. Sampah kota di negara berkembang akan berbeda dengan
sampah dari negara maju.

B. Fungsi Sampah
Agara sampah dapat berfungsi dengan baik, perlu penanganan yang tepat.
Dalam mengevaluasi penanganan sampah, ada lima hal yang harus diketahui
tentang bagaimana sampah terbentuk (Damanhuri dan Padmi, 2008):
1. Sampah yang berasal dari bahan baku yang tidak mengalami perubahan
komposisi, baik secara kimia maupun biologis. Mekanisme transformasi
yang terjadi hanya bersifat fisik semata seperti pemotongan,
penggergajian, dan sebagainya. Sampah seperti ini sangat cocok untuk
dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku. Sampah kota banyak termasuk
dalam kategori ini. Contoh industri gelas atau keramik yang berbahan
kaca.
2. Sampah yang terbentuk akibat hasil samping proses kimia, fisika, dan
biologis atau karena kesalahan atau ketidakoptimuman proses yang
berlangsung. Sampah yang dihasilkan mempunyai sifat yang berbeda
dengan bahan baku semula. Sampah ini ada yang masih dapat digunakan
sebagai bahan baku bagi industri lain, atau sama sekali tidak dapat
digunakan. Usaha modifikasi proses akan mengurangi terbentuknya
sampah jenis ini. Contoh industri penyamakan kulit.
3. Sampah yang terbentuk akibat penggunaan bahan baku sekunder,
misalnya pelarut dan pelumas. Bahan baku yang sekunder ini tidak
termasuk dalam reaksi pembentukan produk. Sampah sering kali sangat
bermanfaat dari sudut kuantitas dan merupakan sumber utama dari
industrial waste water. Teknik daur ulang ataupun penghematan
penggunaan bahan baku sekunder banyak diterapkan dalam
menanggulanginya. Contoh perusahaan pengolahan air minum dan air
limbah.
4. Sampah yang terbentuk dari hasil samping proses pengolahan limbah.
Pada dasarnya semua limbah tidak dapat mentransfer limbah menjadi
100% non-limbah. Ada produk samping yang ditangani lebih lanjut, baik
berupa partikel, gas, dan abu (dari incenerator), lumpur (dari unit
pengolah limbah cair) maupun lindi dari hasil lahan urug.
5. Sampah yang berasal dari bahan samping pemasaran produk industri,
misalnya kertas, kertas karton, kayu, fume, logam, drum, tabung kosong,
dan sebagainya. Smpah jenis ini dapat dimanfaatkan kembali sesuai
fungsinya semula, atau diolah terlebih dahulu agar menjadi produk baru.

Selain fungsi sampah, adakalanya sampah dimanfaatkan kembali seperti


berikut ini:
1. Sampah yang mudah membusuk
a. Dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos (pupuk), gas bio,
briket, dan bahan timbunan rawa. Komposisi sampah yang
mengandung unsur hara sehingga dimanfaatkan untuk menyuburkan
tanah. Proses ini mampu mengubah sampah menjadi humus,
dilakukan pada jenis sampah organik yang mudah membusuk antara
lain daun-daunan dan rumput. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemilahan sampah terlebih dahulu.
b. Untuk bahan ternak. Sampah harus dipilah dan diolah terlebih dahulu
sebelum diberikan kepada hewan ternak. Tujuannya agar terhindar
dari bahan yang berbahaya (B3) seperti logam, pecahan kaca, plastik
yang dapat merusak saluran pencernaan, bahkan dapat mematikan
hewan yang menelannya.
2. Sampah yang sulit atau tidak dapat membusuk
Sampah setelah proses pemilahan yang berasal dari bahan kemasan
makanan, deterjen, dan bahan makanan terutama yang berasal dari plastik
dapat dibersihkan dan diolah. Reuse yakni dengan mengambil kembali
sampah untuk keperluan yang lain. Recycling yakni sampah diambil
kembali untuk diolah secara fisik dan kimiawi. Hal ini merupakan proses
daur ulang material sampah.

C. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani
sampah sejak ditimbulkan hingga pembuangan akhir. Secara garis besar
kegiatan di dalam pengelolaan sampah mulai dari penimbulan, pewadahan,
pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan akhir (Kartikawan, 2007).
Pengelolaan sampah yang dilakukan berwawasan lingkungan untuk
mencegah dampak yang ditimbulkan. Sampah yang tdiak ditangani dengan
baik dan benar, serta tidak dimanfaatkan akan merusak lingkungan dan
menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia. Masalah tersebut meliputi
segi kesehatan, estetika, pencemaran air, udara, dan tanah. Oleh karena
permasalahan semakin komplek terutama di perkotaan, maka pada
prinsipnya pengelolaan harus terfokus pada empat program yang bertujuan:
1. Mengurangi jumlah sampah
2. Meningkatkan penggunaan kembali sampah dan daur ulang yang
berwawasan lingkungan.
3. Mempromosikan TPA dan tempat pengolahan yang berwawasan
lingkungan dan kelestariannya.
4. Memperluas jangkauan pelayanan sampah.

Dari hasil survei yang dilakukan di Indonesia (Damanhuri, 2008) penanganan


sampah di Indonesia masih berupa pengurugan (68%), pengomposan (8%),
open burning (4,79%), buang ke sungai (2,99%), incenerator skala kecil
(6,59%), dan non-pengurugan (9,58%). Di Indonesia sebagian besar
merupakan sampah organik. Data menunjukkan bahwa rata-rata komposisi
sampah di kota besar di Indonesia adalah organik (25%), kertas (19%), plastik
(18%), kayu (12%), logam (11%), kain (11%), gelas (11%), serta lain-lain
(12%). Pada dasarnya kegiatan pengelolaan terinci menjadi penimbulan (solid
waste generated), pengumpulan, pewadahan, pengangkutan, dan pembuangan
akhir.

1. Penimbulan
Timbulan sampah di kota besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain: besarnya jumlah penduduk, keragaman aktivitas masyarakat, serta
musim (cuaca) dan sosial budaya masyarakat. Jika di suatu negara
pertambahan penduduknya meningkat, maka jumlah timbulan sampahnya
juga semakin banyak. Faktor musim sangat mempengaruhi berat sampah,
karena hujan dan kemarau menyebabkan komposisi sampah beribah.
Demikian juga sosial budaya serta ragam aktivitas manusia, juga
mempengaruhi timbulan sampah. Maka sebaiknya perhitungan atau
evaluasi timbulan sampah dihitung beberapa kali dalam satu tahun.
Diperkirakan hanya 60% sampah di kota-kota besar di Indonesia
yang dapat terangkut ke TPA, yang operasi utamanya adalah pengurugan
(land filling) (Damanhuri, 2008). Masalah smapah di perkotaan antara lain
karena keterbatasan alat, lahan, dan sumber daya manusia sehingga
sampah menumpuk dan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Timbulan sampah dinyatakan dengan satuan volume atau berat.
Sedangkan untuk tingkat ketelitian, dalam perhitungan adalah pada satuan
berat, karena sering kali volume tidak menggambarkan banyaknya
sampah yang sebenarnya.
a. Satuan berat: kilogram per orang per hari (kg/o/h) atau kilogram per
meter-persegi bangunan per hari (kg/m2/h) atau kilogram per tempat
tidur per hari (kg/bed/h), dan sebagainya.
b. Satuan volume: liter per orang per hari (l/o/h), liter per meter-persegi
bangunan per hari (l/m2/h), liter per tempat tidur per hari (l/bed/h),
dan sebagainya.

Namun di Indonesia justru banyak menggunakan satuan volume dalam


perhitungannya. Perhitungan dengan volume dapat menimbulkan
kesalahan interpretasi karena faktor kompaksi yang harus diperhitungkan.
Misalnya 10 unit timba berisikan 50 liter air, jika air tersebut dipindahkan
ke wadah yang lebih besar, beratnya tetap 500 liter air, tetapi jika yang
dipindah adalah seonggok sampah, kemudian diwadahi dengan yang lebih
besar, volume akan berkurang karena mengalami pemadatan, sedangkan
berat sampah tetap. Akan tetapi, untuk keperluan praktis telah ditetapkan
suatu standar yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum, salah
satunya adalah SK SNI S-04-1993-03 tentang spesifikasi timbulan sampah
untuk kota kecil dan sedang. Besarnya timbulan sampah untuk kota
sedang adalah 2,75-3,25 liter/orang/hari atau 0,7-0,8 kg/orang/hari.

2. Pewadahan
Pewadahan atau tempat adalah kegiatan menempatkan sampah pada
lokasi tertentu, bersifat sementara, dari sumbernya baik komunal maupun
individual.
a. Pola individual
Merupakan aktivitas penanganan penampungan sampah sementara
dalam suatu wadah khusus untuk dari sampah individu (SNI-3242-
2008). Pada pola ini dilakukan pengumpulan sampah dari rumah ke
rumah dengan alat angkut yang pendek. Wadah atau tempat sampah
untuk yang individual ditempatkan di luar atau depan rumah
penduduk.

b. Pola komunal
Merupakan aktivitas penanganan penampungan sampah sementara
dalam suatu wadah bersama, baik dari berbagai sumber maupun
sumber umum (SNI-3242-2008). Pada pola ini, sampah dikumpulkan
dari beberapa rumah, bahkan RT, pada satu titik pengumpulan, yang
dilakukan langsung oleh penghasil sampah untuk kemudian diangkut
ke TPA.

Tujuan dari pewadahan atau penampungan sampah sementara adalah


untuk menghindari sampah berserakan sehingga mencemari lingkungan,
dan untuk memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak
membahayakan petugas pengumpul sampah. Pewadahan sampah
individual agar tidak mencemarilingkungan, sebaiknya kedap air dan
udara, mudah dibersihkan, mudah diangkat, tertutup, volume cukup untuk
3 hari (10-40 liter), dan bahan mudah diperoleh.
Aspek pewadahan atau penyimpanan membutuhkan pengetahuan
dasar tentang karakteristik masingmasing sampah agar tidak menimbulkan
permasalahan, baik dari sudut biaya maupun keselamatn kerja dan
lingkungan. Sedangkan pewadahan sampah yang komunal, perlu
mempertimbangkan:
a. Peta penyebaran rumah
b. Jumlah rumah berdasarkan tipe:

rasio rumah sederhana


C= x jumlah jiwa di lingkungan
jumlah rasio

c. Luas daerah yang dikelola


d. Jumlah penduduk
e. Besaran timbunan sampah per hari (l/orang/hari)
f. Ketersediaan lahan untuk lokasi TPS
g. Letak strategis memudahkan untuk pengangkutan ke TPA
h. Frekuensi pengambilan sampah di TPS.

3. Pengumpulan
Pengumpulan sampah bertujuan untuk mengumpulkan sampah pada suatu
tempat sehingga memudahkan sampah untuk diolah langsung atau
diangkut dengan baik ke TPA. Pengumpulan adalah kegiatan
mengumpulkan sampah dari sumbernya menuju lokasi tempat
pembuangan sementara (TPS), umumnya dilakukan dengan menggunakan
gerobak dorong (wadah) dari rumah-rumah ke TPS. Menurut Suryati
(2008), agar sampah dapat terkumpul dengan baik perlu dilakukan
beberapa cara, yaitu:
a. Pengumpulan dengan menggunakan bak, kotak, tong tempat sampah
untuk skala kecil tumah tangga, atau pun skala besar di tepi jalan.
b. Pengumpulan dengan menggunakan saluran peluncur (chute) yang
kemudian ditampung di terminal atau tempat pembuangan.
c. Pengumpulan dengan menggunakan mesin mekanis dilengkapi dengan
penampungan sampah.
d. Pengumpulan sampah dengan menggunakan sistem udara dengan
menggunakan alat yang dapat menyerap sampah dan kemudian
dipasang dalam wadah peralatan tersebut.
e. Pengumpulan dengan menggunakan sistem air, sampah terkumpul
dalam penampungan yang merupakan terminal transportasi sistem air.

4. Pengangkutan
Kegiatan pengangkutan sampah dilakukan setelah sampah erkumpul
dalam satu lokasi kemudian dengan sarana transportasi tertentu diangkut
ke tempat pembuangan akhir (pengolahan). Pada tahapan ini melibatkan
tenaga yang pada waktu tertentu, mengangkut sampah dari tempat
pembuangan sampah sementara ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Sampah yang diangkut telah memenuhi volume tertentu sesuai dengan
alat angkut yang tersedia. Berikut adalah persyaratan sarana pengangkutan
sampah:
a. Harus tertutup selama pengangkutan agar sampah tidak berceceran di
jalan.
b. Tinggi bak maksimum 1,6 meter.
c. Sebaiknya ada alat pengungkit.
d. Tidak bocor agar lindi tidak berceceran selama pengangkutan.
e. Disesuaikan dengan kondisi jalan yang dilalui, kemampuan dana, serta
teknik lahan yang tersedia.

5. Pembuangan akhir (Pemusnahan)


Pada prinsipnya, pembuangan akhir harus memenuhi syarat-syarat
kesehatan dan lingkungan, terlebih pembuangan di kota besar harus
memperhitungkan letak atau lokasi yang tidak boleh berdekatan dengan
area pemukiman. Teknik yang sering dilakukan adalah open dumping.
Pembuangan akhir atau pemusnahan dapat dilakukan melalui berbagai
cara, yaitu:
a. Open dumping, pembuangan dengan membuang sampah ke dalam
lubang galian tanah, lalu sampah ditimbun dengan tanah. Sampah
yang ada ditempatkan di tempat tertentu hingga kapasitasnya tidak
lagi memenuhi. Teknik ini sangat berpotensi untuk menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan. Teknik yang danjurkan adalah dengan
sanitary landfill sampah diberi perlakuan khusus untuk mengolah
timbunan sampah.
b. Dibakar, yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di
dalam tungku pembakaran. Hal ini sering dilakukan di wilayah
pedesaan karena banyak lahan kering serta jarak antara rumah satu
dengan yang lain berjauhan sehingga memudahkan proses
pembakaran.
c. Dijadikan pupuk (pupuk kompos), yaitu pengolahan sampah
khususnya yang ebrasal dari sisa makanan, tumbuh-tumbuhan, dan
sampah lainnya yang mudah membusuk. Kegiatan ini memerlukan
pemilahan antara sampah organik dan yang anorganik. Dalam
pembuatannya dapat ditambahkan bahan organik lain seperti cacing
tanah, EM-4, kotoran ternak, untuk mempercepat proses pembusukan.
d. Energy recovery, yaitu transformasis sampah menjadi energi, baik
energi panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak
dikembangkan di negara-negara berkembang, yaitu pada instalasi
yang cukup besar dengan kapasitas kurang lebih 300 ton/hari, dapat
dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik (kurang
lebih 96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk
menekan biaya proses pengelolaan (Yudhi, 2009).
D. Reduksi Sampah
1. Reduksi sampah dengan incenerator
Selama ini incenerator adalah alat pemusnah sampah dengan cara
pembakaran yang terkendali sehingga emisi gas buangan terkendali atau
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan serta abu hasil pembakaran
tidak berbahaya (stabil). Pembakaran adalah sistem sederhana dengan
membakar atau mengoksidasi senyawa-senyawa. Pembakaran sederhana
menghasilkan panas, cahaya, dan air. Teknologi incenerator bekerja
dengan cara membakar sampah secar aoptimal dengan pembakaran
sempurna sehingga sampah menjadi abu yang ramah lingkungan.
Incenerator telah banyak digunakan di berbagai kota di Indonesia, tetapi
masih belum optimal, tidak hanya mahal tapi juga menimbulkan
pencemaran udara. Volume sampah dapat berkurang 90-95% dengan
pengolahan incenerator, tetapi bukan merupakan teknik yang dianjurkan.
Hal ini karena teknik tersebut berpotensi menimbulkan gangguan
terhadap manusia dan lingkungan.
Aplikasi incenerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air
sampah tinggi (>80%) sehingga sebagian energi yang digunakan untuk
membakar (minyak residu) adalah untuk menguapkan air. Hal ini
mengakibatkan biaya operasional alat tersebut tinggi. Seperti yang terjadi
di Kota Surabaya, sekitar tahun 1980-an TPA Sukolilo diprotes oleh
masyarakt setempat karena menimbulkan polusi dan bau, padahal
sampah dari masyarakat dibuang ke Sukolilo itu sudah berjalan beberapa
tahun. Namun, hal ini tiak dapat diabaikan karenamasalah sosial bagian
dari masalah sampah kota. Sebagai jalan keluar, Pemerintah Kota
Surabaya mengimpor satu unit incenerator pembakar dari Inggris.
Ternyata alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat besar
dan polusi bau berubah menjadi asap, debu, dan partikulat. Selain itu
komponen alat tidak mudah didapatkan di pasaran dalam negeri sehingga
cukup merepotkan ketika terjadi kerusakan.
Incenerator yang baik adalah incenerator yang diterapkan dengan
memikirkan beberapa aspek, yakni aspek ekonomi, aspek sosial, serta
aspek kesehatan. Incenerator tersebut harus dapat mengatasi
permasalahan:
a. Pengurangan sampah yang efektif
b. Lokasi jauh dari rumah penduduk
c. Adanya sistem pemisahan sampah
d. Desain yang estetika
e. Pembakaran sampah hingga suhu 800oC
f. Emisi gas buang yang ramah lingkungan
g. Perawatan yang teratur atau periodik
h. Pelatihan staf dan manajemen.

Jika persyaratan tersebut dipenuhi maka emisi yang dikeluarkan dari


incenerator diharapakan dapat memenuhi persyaratan dari Kementrian
Lingkungan Hidup sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
13/MENLH/03/1995. Insenerasi merupakan proses pembuangan dengan
pembakaran pada suhu tinggi (>800oC). Proses ini berlangsung melalui
tiga tahap, yaitu:
a. Membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya sampah
menjadi kering yang akan siap terbakar.
b. Selanjutnya terjadi proses pirolisi, yaitu pembakaran tidak sempurna,
temperaturnya belum terlalu tinggi.
c. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.

Berdasarkan metode pembakarannya incenerator terbagi menjadi 2,


yaitu tipe kontinu dan tipe batch. Pada tipe kontinu sampah dimasukkan
terus-menerus dan bergerak kontinu dengan melewati proses
pembakaran dan pembuangan sisa pembakaran. Sedangkan pada tipe
batch sampah dimasukkan hingga mencapai kapasitas dari alat
pembakar tersebut dan akan mengalami proses pembakaran hingga
didapat sisa pembakaran dalam satu waktu (Nuraga, 2011).

Pada incenerator terdapat dua ruang bakar, terdiri dari primary chamber
dan secondary chamber (Priyambada, 2013).
a. Primary chamber
Berfungsi sebagai tempat pembakaran limbah. Kondisi pembakaran
dirancang dengan jumlah udara untuk reaksi pembakaran kurang dari
semestinya sehingga di samping pembakaran juga terjadi reaksi
pirolisis. Pada reaksi pirolisis materi organik terdegradasi menjadi
karbon monoksida dan metana. Termperatur dalam primary chamber
diatur pada rentang 600-800oC dan untuk mencapai temperatur
tersebut pemanasan dalam primary chamber dibantu oleh energi dari
burner dan energi pembakaran yang timbul dari limbah itu sendiri.
Udara (oksigen) untuk pembakaran disuplay oleh blower dalam
jumlah yang terkontrol. Padatan sisa pembakaran di primary
chamber dapat berupa padatan tidak terbakar (logam, kaca) dan abu
(mineral) atau karbon berupa arang. Namun, arang dapat
diminimalkan dengan pemberian suplai oksigen secara kontinu
selama pembakaran berlangsung. Sedangkan padatan tidak terbakar
dapat diminimalkan dengan melakukan pensortiran limbah terlebih
dahulu.

b. Secondary chamber
Gas hasil pembakaran dan pirolisis perlu dibakar lebih lanjut agar
tidak mencemarilingkungan. Pembakaran gas-gas tersebut dapat
berlangsung dengan baik jika terjadi pencampuran yang tepat antara
oksigen (udara) dan gas hasil pirolisis, serta ditunjang oleh waktu
tinggal (retention time) yang cukup. Udara untuk pembakaran di
secondary chamber disuplai oleh blower dalam jumlah yang
terkontrol. Selanjutnya gas pirolisis yang tercampur dengan udara
dibakar secara sempurna oleh burner di dalam secondary chamber
dalam temperatur tinggi, yaitu sekitar 800-1000oC sehingga gas-gas
pirolisis (metana, etana, dan hidrokarbon lainnya) terurai menjadi
gas CO2 dan H2O.

2. Reduksi sampah Reduce, Reuse,dan Recycle (3R)


Pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2012, pasal 11 ayat 1
tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga, pengertian reduce, recycle, dan reuse (3R) adalah upaya
meminimalisasi timbulan sampah yang dilakukan sejak sebelum
dihasilkannya suatu produk dan/atau kemasan produk sampai dengan saat
berakhirnya kegunaan produk dan/atau kemasan produk.
Usaha meminimalisasi sampah di Indonesia dari sektor industri
sampai pada rumah tangga, adalah upaya untuk mengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari
proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan
limbah. Selain sampah organik, masyarakat Indonesia sebagian besar
juga menghasilkan sampah anorganik, berupa botol, kertas, plastik,
kaleng, alat elektronik lainnya. Sampah jenis ini sering dijumpai di kota
besar, terutama di halaman rumah, tepi jalan, bahkan dibuang ke sungai.
Penanganan sampah 3R adalah konsep untuk mengatasi masalah
sampah, dengan cara reduce (mengurangi), reuse (menggunakan
kembali), dan recycle (mendaur ulang) mulai dari sumbernya.
Berdasarkan perhitungan di atas kertas, jika 3R ini diterapkan dengan
benar maka sampah yang akan dibuang sampai di TPA hanya ±20% saja,
hal ini akan mengurangi biaya pengangkutan dan pengolahan sampah di
TPA.
a. Reduce
Merupakan penangan sampah dengan mengurangi volume dalam arti
menekan kegiatan yang dapat menghasilkan sampah atau
mengurangi timbulan sampah. Diestimasi bahwa sepertiga dari
seluruh produk plastik adalah untuk pengemas produk. Pengemas
makanan merupakan residu yang palig banyak dijumpai di kalangan
konsumen. Beberapa negara industri telah menerapkan program
kemasan yang ramah lingkungan. Bahan pengemas dianjurkan
mengandung bahan tidak berbahaya, mudah didaur ulang, serta
volume atau massanya yang minimalis. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahu 2012 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga, pemerintah mengatur konsumen dalam hal ikut
mengurangi volume sampah, dijelaskan bahwa produsen wajib
melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan menggunakan
bahan baku produksi yang dapat diguna-ulang dan atau menarik
kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk diguna-
ulang.

b. Reuse
Reuse (menggunakan ulang) adalah kegiatan pemakaian kembali,
atau menggunakan barang-barang kembali tanpa mengalami proses
pengolahan atau tanpa transformasi baru, misalnya botol minuman
kembali menjadi botol minuman. Itu artinya mengurangi jumlah
sampah yang digunakan untuk lingkungan. Sampah dapat dikurangi
dengan mendorong penggunaan kembali barang melalui proses
seminimal mungkin. pemakaian kembali sisa produksi atau
konsumsi untuk menjadi bahan dasar dari proses lainnya, khususnya
pada kemasan anti-pecah dan dapat digunakan kembali.
Tindakan yang dapat dilakukan, berkaitan dengan reuse
adalah:
1) Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill)
2) Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.
Mengintensifkan pemakaian kembali sampah penting dalam
mengurangi volume sampah untuk mencapai pengolahan sampah
yang berkelanjutan.
c. Recycle
Recycle atau mendaur ulang merupakan salah satu kegiatan
pengolahan sampah anorganik, yang dimulai dari kegiatan
pemilahan, pemrosesan, pembuatan produk bekas pakai, serta
pendistribusian. Material yang dapat didaur ulang antara lain gelas
air mineral, botol bekas kecap, saos, krim, kertas, koran, kemasan
bekas deterjen, sampo, air mineral, dan lain-lain. Proses daur ulang
tersebut akan menghasilkan barang dengan:
1) Bentuk dan fungsi tetap, contoh daur ulang kertas kemasan.
2) Bentuk berubah, tetapi fungsinya tetap. Contoh botol kemasan
air mineral yang diubah menjadi bunga plastik.
3) Bentuk dan fungsi berubah, contoh plastik menjadi sedotan,
bekas sedotan menjadi hiasan, dan masih banyak lagi kerajinan
tangan.

3. Pembuatan Kompos dan Gas Bio


Teknologi pengolahan sampah yang saat ini dan sangat dianjurkan
bertujuan tidak hanya untuk memusnahkan sampah tetapi juga me-
recovery bahan dan/atau energi yang terkandung di dalam sampah.
Pemanfaatan energi merupakan salah satu teknologi waste to energy.
Dari komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa
makanan dan tumbuh-tumbuhan yang kaya akan zat organik, sifatnya
mudah membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme sehingga baik
sekali jika dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk kompos dan bio gas.

a. Kompos
Kompos adalah pupuk hasil fermentasi dari sampah/ bahan
organik yang berubah bentuk, berwarna kethitam-hitaman dan tidak
berbau. Pengomposan merupakan penguraian bahan organik dalam
suhu yang tinggi sehingga mikroorganisme dapat aktif menguraikan
bahan organik sehingga dapat dihasilkan bahan yang dapat digunakan
tanah tanpa merugikan lingkungan (Santoso, 2009). Kompos dapat
memperbaiki kondisi tanah dan dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini
berarti kompos memiliki nilai kompetitif dan ekonomis yang berarti
kompos dapat dijual. Usaha pengomposan tanah memiliki beberapa
manfaat yang dapat ditinjau baik dari segi teknologi, lingkungan,
kesehatan, dan ekonomi.
Dari sisi lingkungan, pengomposan dapat mengurangi
volume sampah di lingkungan karena sebagian besar sampah tersebut
adalah sampah organik. Dari sisi ekonomi pengomposan sampah
organik berarti barang yang semula tidak memiliki nilai ekonomis
ternyata dapat diubah menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai
ekonomi. Pengurangan tumpukan sampah akan menciptakan
lingkungan yang bersih dan sehat.
Teknik pembuatan kompos sangat beragam, mulai dari proses
yang mudah dengan menggunakan peralatan yang sederhana hingga
proses yang canggih dengan peralatan modern. Pengomposan yang
sederhana, bersifat anaerob, berbahan baku dari semua bahan organik
yang ada di alam, seperti daun-daunan, limbah pertanian, sampah
organik dari rumah tangga, serta kotoran hewan, dan lainnya. Wadah
kompo dapat berupa gentong tanah liat, keranjang/plastik, serta liang
tanah (Iqmal, 2008). Pengomposan ini dilakukan dalam skala kecil
atau skala rumah tangga. Pembuatan kompos secara sederhana bisa
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1) Sampah dan daun dipotong kecil (2-4 cm).
2) Semua bahan dicampur secara merata kemudian dimasukkan
dalam gentong.
3) Tambahkan EM-4 ditambah air 1 gayung dan gula putih ( 4
sendok makan) yang telah dicampur dan didiamkan selama 1 hari,
dimasukkan ke dalam gentong hingga semua bahan tercelup air.
4) Setiap 2-3 hari dalam satu minggu diaduk/dibalik dan ditutup
kembali, jika terlalu basah dapat ditambahkan sekam atau serbuk
gergajian kayu.
5) Setelah 6-8 minggu kompos akan terbentuk.
Untuk memastikan proses pengomposan berjalan, letakkan tangan
dengan jarak 2 cm dari kompos, bila terasa hangat dapat dipastikan
pengomposan berhasil dengan baik.
Ciri kompos yang baik adalah warna cokelat kehitaman,
butiran halus seragam ukurannya, bersifat remah dan kering (tidak
lembek), gembur, berbau daun yang lapuk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan pupuk organik di antaranya yaitu:

1) Perbandingan karbon-nitrogen (C/N) bahan baku pupuk


organik.
Nitrogen adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghamcur untuk
tumbuh dan berkembang biak. Timbunan bahan kompos
yangkandungan itrogennya terlalu sedikit (rendah) tidak
menghasilkan panas sehingga pembusukan bahan-bahan menjadi
terhamba. Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan
kadar nitrogen (N) dalam satu bahan. Semua mahluk hidup
terbuat dari sejumlah besar bahan karbonn (C) serta nitrogen (N)
dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan organik (dalam
bentuk karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam
nitrat, amoniak, dan lain-lain), merupakan makanan pokok bagi
bakteri aerobik. Unsur karbon (C) digunakan untuk energi dan
unsur nitrogen (N) digunakan untuk membangun struktur sel dan
bakteri. Bakteri memakan habis unsur C 30 kali lebih cepat dari
memakan unsur N. Pembuatan kompos yang optimal
membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai dengan 30/1.
2) Suhu pencernaan
Kondisi paling optimum pengomposan dari pencapaian
temperatur antara 45-65oC, tetapi harus kurang dari 80oC. Kondisi
temperatur tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi dari
bakteripatogen di dalam sludge jika ada. Kadar air, kecepatan
aerasi, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar
dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi distribusi temperatur
dalam tumpukan kompos.
3) Derajat keasaman
Keasaman dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,6-7,5 (netral).
Oleh sebab itu, dalam proses pengomposan sering diberi
tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH (Ruskandi,
2006).
4) Cairan pemula (starter)
Starter adalah cairan yang mengandung banyak bakteri atau
mikroorganisme yang sangat membantu terjadinya fermentasi
dalam pengomposan. Salah satu starter yang aman digunakan
adalah effective microorganisms-4 (EM-4) yang merupakan kultur
campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan, berasal
dari alam Indonesia asli, bermanfaat bagi kesuburan tanah atau
pertumbuhan dan produksi tanaman, serta ramah lingkungan.
5) Ukuran bahan
Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik antara
1-7,5 cm. Sedangkan pada pengomposan anaerobik, sangat
dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat-lumatnya
sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk
mempercepat proses penguraian oleh bakteri.
6) Kadar air bahan
Kadar air yang dianjurkan dalam pengomposan anaerobik 50% ke
atas. Kadar air yang banyak pada proses anaerobik diperlukan
bakteri untuk membentuk senyawa gas dan beraneka macam asam
organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara
fisik, kadar air juga akan memudahkan proses penghancuran
bahan organik dan mengurangi bau (Yuwono, 2006).
Manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah di antaranya adalah
(Damanhuri, 2008):
1) Memperkaya bahan makanan
2) Memperbesar daya ikat tanah berpasir
3) Memperbaiki struktur tanah berlempung
4) Mempertinggi kemampuan menyimpan air
5) Memperbaiki drainase dan porositas tanah
6) Menjaga suhu tanah agar stabil.
7) Mempertinggi daya ikat tanah terhadap unsur hara.

b. Gas Bio
Saat ini di Indonesia sering mengalami krisis energi, salah
satunya berupa bahan bakar minyak sehingga harga bahan bakar
minyak meningkat. Kelangkaan energi terjadi karena semakin
meningkatnya kebutuhan, tetapi bahan baku pembuatannya terbatas.
Kini saatnya diupayakan pengembangan kreativitas untuk pengganti
sumber energi alternatif dari kotoran ternak. Gas bio merupakan gas
yang dihasilkan dari bahan organik, seperti kototran hewan, kotoran
manusia, atau sampah organik lain melalui fermentasi di dalam
biodigester. Komponen biogas terdiri atas 50-70% metan, 30-40%
karbondioksida, dan sebagian kecil gas lainnya seperti nitrogen,
hidrogen, dan oksigen (Schluter et al., 2008).
Gas bio merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh
peruraian senyawa organik dalam biomassa oleh bakteri alami
metanogenik dalam kondisi anaerob. Campuran gas tersebut antara
lain gas metana, karbondioksida, dan lainnya (N2, O2, H2S) dengan
perbandingan masing-masing 60%, 38%, 2%, sehingga dapat
dibakar seperti layaknya gas elpiji. Gas bio dapat digunakan sebagai
pembangkit energi listrik sehingga dapat dijadikan sumber energi
alternatif yang ramah lingkungan.
Prosedur pembuatan gas bio dimulai dari proses persiapan
bahan-bahan yang diperlukan, minimal ada 3 buah cincin gorong-
gorong, septic tank untuk tangki digester, dan sebuah drum oli yang
sebesar 200 liter untuk gas metan, pipa logam berdiameter 2 cm
ujung pipa untuk pengeluaran gas dan gas bio, pipa karet paralon
diameter 2 cm untuk penyalur gas dari tangki pencerna ke kompor
untuk memasak, serta kotoran ternak, sampah tanaman (daun dan
jerami) sebagai bahan baku.
Lokasi unit gas bio sekurang-kurangnya 10 m dari rumah,
terpisah dari sumber air dan dapur. Selanjutnya bahan-bahan kotoran
ternak dan sampah daun (2 liter) dicampur rata, ditambahkan air
dengan komposisi (1:1) aduk sampai terbentuk adonan seperti pasta.
Setelah tercampur, tuangkan campuran tersebut pada wadah tertentu
seperti ember, jerigen, serta botol disimpan pada tempat terbuka.
Usahakan wadah pembentukan gas ini tetap hangat, kocok
tiap dua (2) hari sekali selama dua (2) bulan untuk wilayah
berkelembban rendah. Pembentukan gas dari campuran bahan
organik, diperlukan 4-8 minggu, separuhnya terbentuk 2-4 minggu
pertama dan separuh berkiutnya minggu ke-4-8 dan akan berhenti
sama sekali pada minggu ke-9. Kosongkan unit biogas, demikian
seterusnya mengulangi pengisian yang semula. Tahapan proses
pembentukan biogas sebagai berikut:
1) Hidrolisis; terjadi penguraian bahan mudah larut dan bahan
kompleks menjadi sederhana.
2) Pengasaman; bahan yang terbentuk pada tahap I akan menjadi
bahan makanan bagi bakteri metanogenik.
3) Metanogenik; pembentukan gas metan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gas bio adalah
sebagai berikut (Sakinah et al., 2012):
1) C/N rasio 25-30
Apabila C/N terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan
cepat oleh bakteri metanogenik untuk pertumbuhannya dan hanya
sedikit yang bereaksi dengan karbon, akibatnya gas yang
dihasilkan rendah. Sebaliknya, jika C/N terlalu rendah nitrogen
dakan dibebaskan dan berakumulasi membentuk ammonia (NH3)
sehingga pH>8,5.
2) Derajat keasaman (pH)
Faktor pH dalam tahap dekomposisi bahan organik anaerobik
sangat penting karena pada rentang pH yang tidak sesuai, mikroba
tidak dapat tumbuh dengan maksimum. pH yang optimum bagi
kehidupan mikroorganisme adalah 6,8-7,8 (Khaerunnisa, 2013).
Keseluruhan pH terjadi antara 6-8. Pengaruh pH dapat dilakukan
dengan mengendalikan jumlah pencampuran agar keseimbangan
reaksi antara tahap asidogenik dan metagonik terjaga dengan baik.
3) Suhu
Proses anaerob dapat terjadi pada kondisi mesofilik 20-45oC
umumnya 35 oC, dan kondisi termofilik yaitu 50-65 oC. Suhu yang
optimal dari anaerob tergantung pada komposisi nutrien di dalam
digester, tetapi kebanyakan proses anaerob seharusnya dipelihara
secara konstan dalam memelihara tingkat produksi gas (Widodo
et al., 2005).
4) Kandungan total padatan
Kandungan total padatan mempengaruhi komposisi bio gas,
bergantung pada jenis bahan isian yang dipakai, hasilnya dominan
gas metan (CH4) 55-75% gas bio berwarna biru, tidak berbau, da
mudah terbakar. Limbah peternakan dan pertanian cukup
potensial sebagai substrat gas bio.
5) Reaktor gas bio
Perencanaan tabung reaktor untuk gas bio ditentukan oleh faktor
kuantitas kotoran, lokasi reaktor, dan konstruksi serta skalanya
(individu, kelompok, dan industri).
Ketika sampah tanaman maupun kototran ternak disimpan bercampur
air di dalam kontainer atau tangki digester, akan mengalami
pembusukan. Oleh suatu proses yang disebut pencernaan anaerob
merupakan campuran gas yang sebagian mengandung gas metana
(CH4) dan karbon dioksida (CO2), dan sebagian kecil gas nitrogen dan
hidrogen. Energi yang terkandung dalam gas bio bergantung pada
konsentrasi metana, semakin tinggi kandungan metana maka semakin
besar pula kandungan energi pada biogas (Rismawaty et al., 2013).
Potensi produksi dari berbagai kotoran per kg adalah sebagai berikut:
1) Sapi/kerbau : 0,023-0,040 m3
2) Babi : 0,040-0,059 m3
3) Unggas : 0,065-0,116 m3
4) Manusia : 0,020-0,028 m3

SOAL PENGAYAAN/TUGAS
1. Uraikan jenis sampah berdasarkan sumbernya!
2. Uraikan kegiatan pengelolaan sampah secara terinci!
3. Uraikan hal apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya
pengangkutan dan pengolahan sampah di TPA!

Anda mungkin juga menyukai