Anda di halaman 1dari 29

HEAD INJURY

Laporan Pendahuluan

diajukan untuk memenuhi salah satu matakuliah


Kegawatdaruratan dan Kritis

Disusun oleh
Raden Hasna Roshifatunnisa 319101

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2020
A. PENGERTIAN
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka
di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis (Sjahrir, 2012).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera
kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun
benturan fisik dari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat
menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik. Cedera
kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur
kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau
menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).

B. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera
yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera
sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson
meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey,
2003).
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.
C. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Berat Cedera
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh
Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk
menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan
reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan
operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan
kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah
trauma, score GCS < 9 (George, 2009).
Glasgow Coma Scale
Eye opening Score
Mata terbuka spontan 4
Mata membuka terhadap bicara 3
Mata membuka sedikit setelah dirangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Motor Response Score
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Gerakan fleksi abnormal 3
Gerakan ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Verbal Response Score
Berorientasi 5
Biacara kacau / disorientasi 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat/ tidak membentuk kalimat 3
Mengeluarkan suara tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
2. Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.
Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka
yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan
fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih
intak (Sjamsuhidajat, 2010).
b. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media
akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri
merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila
dibandingkan dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
d. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak
dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada
setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral
yang membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
e. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan
yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh
nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat,
2010).
f. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya
masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak
jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau
Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan
darah vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula
oblongata sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah,
1991 )
D. PATHWAY
E. PATOFISIOLOGI
Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul Cedera
perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara
relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan tiba – tiba tanpa
kontak langsung seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera
otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan
hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya
leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
Trauma kepala dapat terjadi pada ekstrakranial, tulang kranial, dan
intrakranial, trauma yang terjadi pada ekstrakranial akan mengakibatkan
terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler sehingga berkibat
terjadinya perdarahan, hematoma, gangguan suplai darah, resiko infeksi
dan timbulnya nyeri serta kerusakan integritas kulit. Perdarahan dan
hematoma akan mempengaruhi perubahan sirkulasi cairan serebrospinal
yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial. Pada
keadaan ini akan mengakibatkan girus medialis lobus temporalis tergeser
melalui tepi bawah tentorium serebri.
Kompresi pada korteks serebri batang otak
mengakibatkangangguan kesadaran, dan hilangnya reflek batuk. Karena
terjadi gangguan kesadaran maka klien megalami penumpukan sekret
akibat sekret yang statik, hal ini menyebabkan terjadinya bersihan jalan
nafas inefektif.
Trauma kepala yang terjadi pada tulang kranial akan menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan hal ini akan merangsang
timbulnya rasa nyeri, sedangkan trauma kepala yang terjadi pada
intrakranial, akan merusak jaringan otak atau sering disebut kontusio, atau
terjadi laserasi pada jaringan otak, keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan outoregulasi, dan suplai O2 ke otak terganggu, maka
terjadi edema serebral, sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan.
Kerusakan yang terjadi juga menyebabkan rangsang simpatis
meningkat, sehingga tahanan vasikuler, TD, tekanan hidrostatik
meningkat. Sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh kapiler, dan
menyebabkan edema paru yang menyebabkan penurunan curah jantung
dan difusi O2 di alveoli terhambat dan menyebabkan tidak efektifnya pola
nafas. Cidera kepala juga dapat menimbulkan stres bagi klien. Hal ini
direspon juga oleh saraf otonom untuk meningkatkan sekresi hormon.
seperti katekolamin yang menyebabkan asam lambung meningkat dan
membuat mual, muntah, dan anoreksia. Hal ini menyebabkan resiko
pemenuhan nutrisi tidak sesuai

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Berdasarkan anatomis
a. Gegar otak (comutio selebri)
1) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
2) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya
beberapadetik/menit
3) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin
muntah
4) Kadang amnesia retrogard
b. Edema Cerebri
1) Pingsan lebih dari 10 menit
2) Tidak ada kerusakan jaringan otak
3) Nyeri kepala, vertigo, muntah
c. Memar Otak (kontusio Cerebri)
1) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya
bervariasitergantung lokasi dan derajad
2) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
3) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
4) Penekanan batang otak
5) Penurunan kesadaran
6) Edema jaringan otak
7) Defisit neurologis
8) Herniasi
d. Laserasi
1) Hematoma Epidural
Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat
benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa
menit s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan kesadaran
dan defisit neurologis (tandahernia):
a) kacau mental → koma
b) gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
c) pupil isokhor → anisokhor
2) Hematoma subdural
a) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas
arachnoid,biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada
lansia, alkoholik.
b) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti
perdarahanepidural
c) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai
denganberbulan-bulan
d) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
e) perluasan massa lesi
f) peningkatan TIK
g) sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
h) disfasia
3) Perdarahan Subarachnoid
a) Nyeri kepala hebat
b) Kaku kuduk
2. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
a. Cidera kepala Ringan (CKR)
1) GCS 13-15
2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
3) Tidak ada fraktur tengkorakd) Tidak ada kontusio celebral,
hematoma
b. Cidera Kepala Sedang (CKS)
1) GCS 9-12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi
kurang dari24 jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cidera Kepala Berat (CKB)
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma
intracranial
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah
membran timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa
trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung),
otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan
adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual
dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk
yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias
Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posis
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).

G. PEMERIKSAAN PENUNJUANG
1. CT Scan ( Computerized Tomograhy Scanner )Mengidentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan
jaringan otak.
2. MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) : Digunakan sama dengan CT
Scan dengan/tanpa kontras radio aktif
3. Serebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan
trauma.
4. EEG ( Electroencephalograph ) : Untuk memperlihatkan keadaan atau
berkembangnya gelombang patologis
5. Sinar-X : Mendeteksi perubuhan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER ( Brainstem Auditory Evoked Response ) : Mengoreksi batas
fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET ( Positron Emission Tomography ): Mendeteksi perubahan
aktivitas metabolisme otak.
8. CSS ( Cairan Serebro Spinal ) : Lumbal pungsi dapat dilakukan jika
diduga terjadi perdarahan subarakhnoid.
9. Elektrolit darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK
10.Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
penurunan kesadaran
11.Rontgen thorax dua arah (PA/AP dan lateral) : Rontgen thorax
menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleural
12.Thoraxsentesis menyatakan darah atau cairan
13.Analisa Gas Darah (AGD) : Analias Gas Darah (AGD) adalah salah
satu test diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi
yang dapat diigambarkan melalui pemerksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basah.(Muttaqin, 2008 : 161)

H. PENATALAKSANAAN
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
7. Pembedahan.

I. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala addalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
serebral yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat
yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara
intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau
selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak
boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
5. Infeksi

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan
data baik subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-
data dalam pengkajian ini meliputi:
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia
produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama,
pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana
transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa
medis dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
c. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu
lintas, namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh
karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji
mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses
terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari
hidung atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke
rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-
12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan
merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit
kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka
di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor
dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan
karena proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah
lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio atau kontusio
serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau
bisa lebih dari 24 jam.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau
penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga
apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya,
memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum
minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular,
kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan
kesehatan anggota keluarga.
f. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama,
kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama
tidak teratur (cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas
ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus,
adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah
menurun kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra
kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi,
kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai
kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan
intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus
yang normal atau bisa juga menurun apabila masih ada
pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut
tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang
konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau
inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen
terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium,
penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien
sadar, sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan
inkontinensia urine dan fekal, jumlah urine output biasanya
berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-
gerakan involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan
kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala,
suhu tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari
ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena masih
agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma
pada klien dengan perdarahan dimeningen. Data fisik yang lain
adalah mungkin didapatkan luka lecet dan perdarahan pada
bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.
7) Sistem persyarafan
Test fungsi serebral
a) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam
orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta
fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status
mentalnya kurang dari normal atau kurang dari 20 ditandai
dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
b) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded
sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12
c) Pengkajian bicara
(1) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-
kata yang leih dari satu kata misalnya “sakit kepala”
atau “rumah sakit”
(2) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak
spontan dan tidak jelas
d) Test nervus kranial
(1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman
dan anosmia bilateral yang disebabkan karena
terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma
kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.
(2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala
berupa penurunan daya penglihatan, penurunan
lapang pandang
(3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis,
abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan
intrakranial akan menyebabkan gangguan reaksi pupil
yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian
pinggir nervus III yang mengandung serabut
parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun
jarang terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan
terjadinya diplopia, gejala lainnya berupa refek
cahaya menurun, anisokor.
(4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
(5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik
atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak
adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan
kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian
lidah anterior
(6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan keseimbangan tubuh.
(7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal
apabila trauma mengenai syaraf tersebut. Adanya
hiccuping (cegukan) karena kompresi pada nervus
vagus yang menyebabkan spasmodik dan diafragma.
Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan
yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan
intrakranial.
(8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke
salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan.
g. Data psikologis
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data
psikologis tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang
tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan terlihat
adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang
labil, iritabel, apatis, delirium.
h. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan
dengan orang-orang terdekat dan yang lainnya. Kemampuan
berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien
yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya
normal, pada klien trauma kepala akan didapatkan kesulitan
berkomunikasi bila area trauma pada lobus temporal.
i. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak
dapat dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya,
semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan yang diyakini
klien tidak dapat terkaji.
j. Data penunjang
1) Pemeriksaan analisa gas darah
a) PH darah: < 7,35
b) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg
c) PaCO2 : > 45 mmHg
d) HCO3: >22-26 mEq/l
e) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
f) Saturasi: 95%
2) Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
a) Natrium: > 14 mEq/l
b) Kalium: < 3,5 mEq/l
c) Kalsium: > 11 mg%
d) Fosfat: 3 mg%
e) Chlorida: > 107 mEq/l
3) Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
a) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
b) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 – 10,6 ribu
mm3)
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera
kepala adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi jalan nafas,
akumulasi sputum di jalan nafas
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d hipoventilasi, penurunan complience
paru
3. Gangguan Pertukaran Gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi
dan perubahan mem bran alveolar - kapiler
4. Gangguan Perfusi jaringan serebral b.d hipoksemia jaringan
5. Perubahan pola eliminasi urin b.d penurunan kapasitas kandung kemih
6. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kemampuan kognitif, motorik,
dan afektif.
7. Nyeri akut b.d agen injury fisik.
8. Gangguan persepsi sensori b.d penurunan kemampuan kognitif, afektif,
dan motorik
9. Resiko kekurangan volume cairan b.d status hipermetabolik.
10. Resiko infeksi b.d trauma/ laserasi kulit kepala
11. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dengan mual, muntah.
12. Resiko cedera b.d penurunan kemampuan kognitif, afektif, dan motorik
13. PK: peningkatan TIK b.d proses desak ruang akibat penumpukan
cairan/ darah di dalam otak.
L. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan 1. Monitor status pernafasan dan
tidak efektif b.d tindakan keperawatan respirasi
selama ... jam di harapkan 2. Observasi kecepatan, irama,
hipersekresi jalan
kebersihan jalan nafas kedalaman dan kesulitan
nafas, akumulasi tidak efektif dapat teratasi bernafas
sputum di jalan nafas dengan kriteria hasil : 3. Auskultasi suara nafas
a. Secret berkurang 4. Kolaborasi memberikan terapi
b. Suara nafas inhalasi untuk mengencerkan
tambahan: ronkhi secret
tidak ada 5. Lakukan penghisapan/suction
c. Tidak ada batuk sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan 1. Monitor respiratory rate
nafas b.d tindakan keperawatan 2. Observasi pergerakan dada,
hipoventilasi, selama ... jam di harapkan kesimetrisan dada,penggunaan
penurunan pola nafas adekuat dengan oto- otot bantu nafas,dan
complience paru kriteria hasil : retraksi pada dinding dada
a. Tidak dipsneu 3. Kolaborasi pemberian oksigen
b. Frekuensi nafas 4. Monitor aliran oksigen
dalam batas normal 5. Pertahankan posisi pasien
c. Tidak menggunakan (fowler/semi fowler)
otot bantu nafas

3. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan 1. Monitor tanda-tanda vital


gas b.d tindakan keperawatan 2. Monitor adanya sianosis
ketidakseimbangan selama ... jam di harapkan 3. Monitor hasil AGD dan
perfusi ventilasi dan pertukaran gas menjadi oksimetri
perubahan membran adekuat dengan kriteria 4. Posisikan yang nyaman untuk
alveolar-kapiler hasil : ventilator
a. Dispnea menurun 5. Kolaborasi dengan dokter
b. Tidak sianosis yaitu mengenai terapi lebih lanjut
kulit tampak normal sesuai indikasi
atau tidak kebiruan
c. Hasil laboratorium
dalam batas normal
d. Hasil AGD dalam
batas normal

4. Gangguan Perfusi Setelah dilakukan 1. Konsultasikan dengan dokter


jaringan serebral b.d tindakan keperawatan untuk menentukan parameter
hipoksemia jaringan selama ... jam di harapkan hemodinamik dan pertahankan
perfusi jaringan serebral parameter hemodinamik
teratasi dengan kriteria sesuai yang telah ditentukan
hasil: 2. Induksi hipertensi dengan
a. Tekanan darah peningkatan volume atau agen
sistolik dan diastolic vasokontriktsi atau inotropik,
normal sesuai yang diperintahkan
b. Tidak mengalami untuk mempertahankan
peningkatan tekanan parameter hemodinamik dan
intracranial mempertahankan/mengoptima
c. Sakit kepala menurun lkan tekanan perfusi serebral
atau hilang (CPP)
d. MAP dalam batas 3. Berikan dan titrasi obat
normal vasoaktif, sesuai yang
e. Tidak mengalami diperintahkan, untuk
kegelisahan mempertahankan parameter
f. Tidak mengalami hemodinamik
muntah 4. Pertahankan level glukosa
darah dalam batas normal
5. Konsultasikan dengan dokter
untuk menentukan tinggi
kepala tempat tidur yang
optimal (misalnya 150 atau
300) dan monitor respon
pasien terhadap pengaturan
posisi kepala
6. Pertahankan PCO2 pada level
25 mmHg atau lebih
7. Monitor status neurologi
8. Monitor MAP (Mean Arteri
Pressure)
9. Monitor status pernapasan
(misalnya, frekuensi, irama,
dan kedalaman pernapasan,
PaO2, PCO2, pH, dan level
bikarbonat)
10. Monitor parameter pengiriman
oksigen jaringan (misalnya,
PaCO2, SaO2 dan level
hemoglobin dan curah
jantung)
5. Perubahan pola Setelah dilakukan 1. Kaji pola berkemih, dan catat
eliminasi urin b.d tindakan keperawatan produksi urine tiap jam
selama ... jam di harapkan 2. Palpasi kemungkinan adanya
penurunan kapasitas
perfusi jaringan serebral distensi kandung kemih
kandung kemih teratasi dengan kriteria 3. Anjurkan pasien untuk minum
hasil: 2000 cc/hari
4. Pasang dower kateter.

6 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan 1. Monitoring vital sign


fisik b.d penurunan tindakan keperawatan sebelm/sesudah latihan dan
selama ... jam di harapkan lihatrespon pasien saat latihan
kemampuan kognitif,
gangguan mobilitas fisik 2. Konsultasikan dengan terapi
motorik, dan afektif. teratasi dengan kriteria fisik tentang ren%anaambulasi
hasil: sesuai dengan kebutuhan
1. Klien meningkat 3. Bantu klien untuk
dalam aktivitas fisik menggunakan tongkat saat
2. Mengerti tujuan dari berjalandan mencegah
peningkatan mobilitas terhadap cedera
3. Memverbalisasikan 4. Ajarkan pasien atau tenaga
perasaan dalam kesehatan lain tentangteknik
meningkatkan ambulasi
kekuatan dan 5. Kaji kemampuan pasien dalam
kemampuan mobilisasi
berpindah 6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan &antu pasien
saat mobilisasi
8. Berikan alat bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan
berikanbantuan jika
diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

Axton, Sharon & Fugate, Terry. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC..

Donna L. Wong., et all. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan
pertama. Jakarta : EGC.

Hariadi, dkk. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Departemen
Ilmu penyakit dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Muttaqin, Arif . (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan, Salemba Medika, Jakarta.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction.

Anda mungkin juga menyukai