Anda di halaman 1dari 3

Normal Baru (The New Normal)

Akhir-akhir ini, normal baru (The New Normal) menjadi sebuah frasa yang begitu populer. Namun, ada
pula yang menukargantikan istilah tersebut dengan beberapa istilah berikut ini: “tatanan kehidupan
baru”, kata bapak Joko Widodo, “adaptasi kebiasaan baru”, kata bapak Ridwan Kamil, “transisi
menyambut kenormalan baru”, kata bapak Anies Baswedan dan bapak Bima Arya, dan “era permulaan
baru”, kata Williem Bridge selaku pakar perubahan.

Harus kita sadari bahwa istilah “Normal Baru” tidak sebatas pengertian simantik atau bahasa, dan bukan
sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejak lama atau memiliki sejarah panjang dan penuh makna.

Konsep normal baru terdapat pada sebuah artikel ditulis Henry Wise Wood (1918), judul sebuah film
“Western” (1966), John Naisbit (1990) menggambarkan era baru sebagai “Megatrend”, Vicki Taylor
(2002) menulis artikel berjudul; “The New Normal: How FDNY Firefighters are Rising to The Challenger of
Life September 11”, seorang musisi Roger Mc Namee (2003) menggunkan kalimat singkat “The New
Normal“ ini menjadi judul bukunya untuk menjelaskan suatu lingkungan dimana berbagai kemungkinan
akan hadir bagi mereka yang mau bermain dengan aturan baru untuk jangka lama, Sebuah buku best
seller international ditulis Mike Ryan berjudul “The New Normal: Great Opportunities in Time of Great
Risk”, dan Mohamed El-Erian dalam ceramahnya berjudul “Navigating the New Normal in Industrial
Countries” pada tahun 2010 di Forum Dana Moneter Internasional (IMF).

Makna dari normal baru tidak boleh disederhanakan sebatas pelonggaran PSBB, pembukaan mall,
pertokoan dan transportasi publik. Menurut Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah dalam
percepatan penanganan COVID 19, tatanan kehidupan baru dimaknai sebagai kehidupan yang produktif
dan aman dari wabah virus corona. Menurut penulis, normal baru memiliki makna yang lebih luas atau
komprehensip dari pada sebatas kehidupan produktif dan bebas dari virus corona.

Penulis tegaskan bahwa, konsep “Normal Baru (The New Normal)” tentu saja berbeda dengan konsep
“Normal Lama (The Old Normal)”. Mengapa demikian?, penulis khawatir kita salah paham memaknai
normal baru tersebut, dimana normal baru dipahami kembali kepada pikiran, sikap, dan tindakan atau
kebiasaan lama sebelum pandemik virus korona. Faktanya, penulis sering mendengar pasca pandemik
corona nanti, kehidupan kita kembali enak, karena kita akan kembali mengajar secara tatap muka,
kembali berkumpul, orang tua tidak lagi disibukkan menemani atau membimbing anak-anaknya belajar
di rumah, tidak lagi menggunakan masker yang selama ini dirasakan 2 mengganggu pernapasan, dan
setiap saat tidak lagi harus mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir yang dirasakan sangat
merepotkan. Jika demikian berarti, kita belum berada di era normal baru melainkan kembali kepada
tatanan kehidupan normal lama.

Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Pemerintah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19.
seringkali mengatakan bahwa kita tidak mungkin kembali pada situasi sebagaimana sebelumnya (normal
lama), oleh karena itu kita harus berubah”.

Kembali pada tatanan kehidupan baru, ditanggapi beragam oleh masyarakat, ada yang pro dan kontra.
Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar, sepanjang diniatkan untuk kehidupan yang lebih baik dan
dilakukan berdasarkan kajian ilmiah yang kredibel.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan beberapa syarat sebelum pemerintah
menerapkan normal baru, antara lain: memastikan penularan terkendali, sistem kesehatan dalam
keadaan baik, jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, mencegah kasus impor covid, dan
memastikan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Selain itu, pemerintah menentukan tiga kriteria
pengurangn PSBB, yakni epidemologi dengan indikator Rt dibawah 1 selama dua minggu, sistem
kesehatan dengan indikator, baik infrastruktur kesehatan maupun tenaga medis tersedia, dan surveilans
dengan indikator jumlah tes persatu juta penduduk tidak kurang dari 3.500 dan dilaksanakan secara
masif.

Memperhatikan dan mempertimbangkan persyaratan dan kriteria tersebut di atas, pakar epidemiologi
Universitas Indonesia Pandu Riono menilai kenormalan baru (new normal) belum dapat terlaksana
secara maksimal, jika indikator kesehatan belum terpenuhi. Beliau mempermasalahkan akurasi atau
keabsahan data covid 19 sehingga sulit menghitung angka reproduksi number, dikutip dari You Tube
Kompas TV, Sabtu, 30 Mei 2020.

Bapak Jusuf Kalla memperkirakan tatanan normal baru akan berlangsung minimal 3 (tiga) tahun. Itupun,
jika vaksin covid 19 dapat ditemukan pada Februari 2021 dan digunakan di Indonesia pada Agustus dan
September 2021, dikutip dari Akurat. Com, Sabtu, 30 Mei 2020.

Beberapa hari lalu, Tiongkok (China) dan Korea Selatan memutuskan kembali pada tatanan hidup baru
(new normal), namun tetap mengikuti protokol kesehatan. Dalam hitungan hari berada di fase normal
baru terjadi loncatan wabah yang sangat signifikan (79 kasus), 67 (85%) dari kasus baru tersebut terjadi
ibu kota negara (Seoul). Akhirnya negara ginseng tersebut kembali berlakukan pembatasan sosial.
Fakta di atas, sejalan dengan pernyataan yang sering disampaikan oleh epidemiolog Universitas
Indonesia, bapak Pandu Riono, beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan, “Jika tetap memaksakan
diterapkannya fase normal baru, sementara persyaratan dan kriteria yang telah ditentukan belum
terpenuhi, maka bersiap-siaplah menanggung peningkatan kasus”, dikutip dari Kompas, 29 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai