* masalah :
- Di tinjau dari segi daya saing, pangsa muatan armada kapal nasional masih tergolong rendah.
- Dan daya saing sumber daya manusia di sektor pelayaran masih relatif rendah
* Solusi :
- Melalui perubahan basis pembangunan dari basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, armada
pelayaran akan lebih maju dan efisien.
- logistik.
2) Sektor Perikanan
* masalah :
* Solusi :
- tidak memberi kebebasan kepada kapal asing, untuk masuk kewilayah laut Indonesia tanpa adanya
surat izin .
3) Sektor Pariwisata.
* Masalah :
- Rendahnya promosi berbagai destinasi wisata dan pengelolaan yang tidak optimal diluar Bali.
Sampai saat ini sebagian besar perbankan di Indonesia belum memahami potensi industri kreatif karena
konsep perbankan yang mengikuti permintaan pasar.
Pemberitaan media yang berlebihan soal negeri barbar dan suka pada kekerasan.
* Solusi :
Industri pelayaran dalam negeri masih saja terseok-seok. Ada empat faktor yang menyebabkan
industri pelayaran dalam negeri tidak berkembang.Pemaparan tersebut disampaikan Menteri
Perhubungan Hatta Rajasa dalam acara 'Indonesia Cabotage Advocation Forum 2007' di Hotel
Niko, Jakarta, Rabu (28/3/2007).Keempat faktor tersebut adalah:Pertama, dukungan
pembiayaan atau pendanaan yang masih terbatas. "Industri pelayaran masih dianggap sektor
usaha high risk, slow and low yielding," kata Hatta.Hatta menjelaskan, sebenarnya ada dua
alternatif pendanaan yakni melalui private to private (p to p) dan public ships financing. Untuk
pendanaan melalui p to p, perusahaan nasional berskala besar dapat memperoleh pinjaman
dari dalam dan luar negeri tanpa fasilitasi pemerintah. Untuk pendanaan melalui public ships
financing diperlukan fasilitas pemerintah untuk penyediaan dana dengan kondisi yang lebih
ringan, diperuntukkan bagi perusahaan angkutan laut nasional berskala kecil dan menengah
yang memiliki prospek baik. Pemerintah sedang mengupayakan pinjaman lunak melalui two
step loan dari JBIC. Hatta menambahkan, saat ini pemerintah juga berupaya meningkatkan
kemampuan manajemen perusahaan angkutan laut nasional melalui peningkatan kapasitas
pengelolaan kapal menuju pada independent and professional ships management company.
"JICA merekomendasikan percepatan restrukturisasi BUMN PT PANN Multi Finance guna
menyediakan dukungan pendanaan industri pelayaran dan perkapalan nasional,"
jelasnya.Tantangan kedua, insentif pajak yang kurang mendukung. Menurut Hatta, hingga 2
tahun sejak diperebutkannya Inpres No 5 tahun 2005, belum ada insentif perpajakan yang
diberikan. "Ini disebabkan harus menunggu revisi UU Perpajakan," jelasnya.
Tantangan ketiga, terms of trade yang kurang menguntungkan. Ekspor umumnya dilakukan
dengan free on board, dan impor dengan Cost on Trade, sehingga pihak asing dominan dalam
menentukan penggunaan kapal untuk angkutan muatan ekspor atau
impor.Tantangan keempat, belum adanya kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan
perusahaan angkutan laut nasional. "Walaupun berdasarkan hasil evaluasi antara instansi
pemerintah dan stake holder untuk segera merealisasikan pelaksanaan kontrak pengangkutan
jangka panjang yang menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk komoditi batubara,
minyak dan gas bumi dan kegiatan ekspor telah disepakati," urainya.Hatta berharap
seluruh stakeholder mewujudkan kontrak jangka panjang ini yang akan digunakan sebagai
jaminan mendapatkan pendanaan dari lembaga pembiayaan bank dan non bank demi
pengembangan armada nasional.
Jakarta - Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto
menyayangkan potensi industri perkapalan nasional belum dimaksimalkan oleh industri. Ia
melihatnya dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan minimnya industri
komponen pendukungnya.
"Potensi di sektor perhubungan laut Indonesia kurang mendapat dukungan dari industri galangan
kapal nasional. Selama ini, perusahaan galangan kapal di Indonesia sulit berproduksi karena
minimnya industri komponen," katanya, di Jakarta, Senin(5/11).
Pasalnya, kata Carmelita, Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 300.000 kilometer persegi,
perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,8 juta kilometer persegi, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
seluas 2,7 juta kilometer persegi, serta lebih dari 17.500 pulau menyimpan kekayaan yang luar
biasa.
"Sejumlah perusahaan pelayaran asing diharapkan bermitra dengan perusahaan lokal untuk
membangun industri komponen kapal maupun industri galangan kapal. Keseimbangan kapasitas
galangan dengan kuantitas armada kapal yang telah beredar masih belum sebanding," paparnya.
Saat ini, lanjut Carmelita, 75% dari 11.000 unit kapal niaga nasional berusia di atas 20 tahun.
"Tuanya usia kapal merupakan kendala yang harus diselesaikan karena hal tersebut menyangkut
masalah keselamatan dan tingginya biaya angkut jika dibandingkan menggunakan kapal dengan
usia muda," ujarnya.
"Selain kapal niaga nasional, diperlukan pengadaan kapal tongkang pengangkutan batu bara senilai
US$ 510 juta untuk 150 unit.
Diharapkan investasi pada galangan kapal akan meningkat karena potensi pasarnya masih sangat
besar," tuturnya.
Ia juga mengatakan, dengan tumbuhnya Asia sebagai salah satu pemimpin ekonomi global dan
dengan terus terjaganya permintaan perdagangan lewat kapal di wilayah ini, kelompok-kelompok
maritim di Asia optimis akan kemampuan Asia untuk melewati tahun yang diperkirakan akan berat
bagi industri perkapalan ini.
"Saat ini industri maritim di Indonesia telah maju, dan fokusnya telah bergeser, tidak hanya pada
perdagangan domestik namun juga pada perdagangan internasional. Kami berharap dengan
ekspansi armada nasional, akan ada pertumbuhan hal jumlah unit dan teknologi maritim," tuturnya.
Industri Mafitim di Indonesia, kata dia, mulai mendapat perhatian lebih di era kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid, yang menginisiasi terbentuknya cikal-bakal Kementrian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia yang kini telah berjalan. "Kementrian ini mengelola berbagai sumber
daya laut dan layanan maritim yang telah memberi sumbangsih pada industri maritim Indonesia
dewasa ini," katanya.
Hal ini juga diamini oleh Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian
Perindustrian Budi Darmadi. Ia menjelaskan industri perkapalan di Indonesia masih menyediakan
peluang besar, terutama di subsektbr industri komponen kapal yang produksinya dibutuhkan industri
galangan kapal. "Dukungan dari industri komponen kurang. Itu sebabnya pendirian industri
komponen kapal lokal jadi strategi kami untuk mendorong industri perkapalan nasional," ujarnya.
Budi memperkirakan industri galangan kapal membutuhkan minimal 200 unit industri komponen
pada 2014 atau dua kali lipat dari 100 unit industri komponenen yang sudah berdiri saat ini. Adapun,
pendirian industri komponen berkapasitas 10 set komponen tiap bulan butuh Rp50-100 miliar per
bulan. Untuk 100 unit industri, investasinya butuh Rp10 triliun hingga 2014.
Dia menjelaskan sebagian besar industri galangan kapal di Indonesia juga berperan memproduksi
komponen. Kecenderungan ini membuat struktur industri perkapalan Tanah Air tidak efisien.
Akibatnya, industri komponen perkapalan tidak berkembang walau produsen domestik sudah
memiliki kemampuan dan teknologi yang setara dengan produsen lain di luar negeri.
Menurut Budi, untuk memacu produktivitas industri galangan kapal, seluruh aktivitas produksi
komponen harus dialihkan ke industri komponen.
Indonesia adalah negara maritim. Satu pulau dengan pulau lainnya terpisah dengan
lautan luas. Sebab itu, pelayaran menjadi sektor penting dalam menyokong kehidupan
sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, budaya, serta lainnya.
Aktivitas pelayaran mencakup bidang yang luas dari mulai angkutan penumpang dan
barang, penjagaan pantai, hidrografi, pariwisata, sampai kegiatan olahraga. Untuk
mendukung sarana angkutan laut tersebut tentunya membutuhkan prasarana berupa
pelabuhan.
Pelabuhan merupakan terminal kapal setelah melakukan pelayaran, serta sebagai
tempat untuk melakukan kegiatan menaik-turunkan penumpang, bongkar-muat
barang, pengisian bahan bakar dan air tawar, reparasi, pengadaan perbekalan, dan lain
sebagainya.
Indonesia sebagai negara kepulauan menyimpan potensi besar, terlebih letaknya yang
strategis karena berada di persilangan jalur perdagangan internasional. Sayangnya,
sektor pelabuhan ini belum tergarap optimal karena minimnya infrastruktur dan
dukungan kualitas sumber daya manusia.
Akibat dari belum maksimalnya sarana dan prasarana, meletakkan daya saing
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dalam urutan buncit, jika dibandingkan dengan
negara lainnya. Merujuk data World Economic Forum dalam laporan 'The Global
Competitiveness Report 2011-2012' menyebutkan, kualitas infrastruktur pelabuhan di
Indonesia masih buruk, berada di peringkat ke-103. Dibandingkan dengan negara
anggota ASEAN lain, Indonesia jauh tertinggal. Malaysia menempati urutan ke-15,
Singapura pada peringkat pertama, dan Thailand ke-47.
Masih rendahnya rating pelabuhan Indonesia tidak terlepas dari pelayanan bongkar
muat barang yang belum efektif dan efisien. Sehingga, biaya yang dikeluarkan
operator pelayaran menjadi tidak kompetitif. Padahal, pelabuhan dapat dikatakan imej
dari perekonomian suatu negara di mata dunia internasional.
Kapal-kapal dari negara lain tidak mengenal waktu tunggu. Praktis saat datang, lalu
bersandar, bongkar muatan, dan secepatnya itu meninggalkan pelabuhan. Jika harus
menunggu lama, tentunya harus mengeluarkan biaya sandar lebih mahal. Pun
demikian dengan pengusaha bongkar muat, terpaksa merogoh kocek lebih dalam
untuk ongkos buruh.
Belum lagi masalah klise, yakni lambatnya pelayanan dari pertugas Bea dan Cukai
dan pemeriksa barang, minimnya truk pengangkut barang, serta peralatan crane kapal,
sedikit banyak menghambat arus bongkar muat di pelabuhan. Seperti diketahui,
Kementerian Perhubungan telah menetapkan 25 pelabuhan terbuka untuk kegiatan
perdagangan ekspor dan impor dari total 111 pelabuhan yang dikelola empat BUMN,
yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, IV dan IV.
Sayangnya, mayoritas pelabuhan tersebut bermasalah dengan rendahnya tingkat
produktivitas bongkar muat, kinerja peralatan yang sudah tidak efisien, waiting time,
hingga persoalan minimnya kapasitas. Pada umumnya, pelabuhan berkelas
internasional di dunia memiliki crane. Beda dengan pelabuhan di Indonesia, bongkar
muat kontainer masih mengandalkan crane yang berasal dari kapal. Akibatnya,
aktivitas bongkar muat tidak efisien dan memakan biaya besar, karena kapal harus
membawa crane ke mana-mana.
Selain itu, masih buruknya pelayanan di pelabuhan disebabkan oleh dana logistik
yang tinggi dan minimnya koneksivitas. Dengan masalah itu, sulit bagi operator
pelabuhan di Indonesia untuk bersaiang. Namun hal itu bisa diatasi jika pemerintah
bisa menyediakan fasilitas, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat.
Ketua Himpunan Ahli Pelabuhan Indonesia Wahyono Bimarso mengatakan, peran
pelabuhan sangat penting dalam masalah logistik. Hampir 90 persen barang yang
diekspor dan 84 persen barang angkutan domestik menggunakan angkutan laut.
Transportasi laut adalah moda transportasi paling murah untuk jarak jauh dan volume
besar.
Selain itu, kata Wahyono, manajemen interkoneksi antara infrastruktur pelabuhan
laut, transportasi darat dan pergudangan di Indonesia yang buruk menambah tingginya
biaya logistik di Indonesia. Biaya logistik Indonesia sangat tinggi, rata-rata 14,08
persen dari total penjualan, dibanding dengan negara maju seperti Jepang hanya 4,8
persen.
Kemacetan yang terjadi di Jakarta mengakibatkan truk-truk hanya dapat melakukan
satu kali perjalanan dalam satu hari dari lokasi industri ke Pelabukan Tanjung Priuk.
Akibatnya, ongkos pengiriman di Jakarta menjadi dua kali lebih mahal daripada di
Malaysia atau Thailand. Wahyono menyontohkan, ongkos pengiriman satu peti kemas
dari Padang ke Jakarta Rp5,4 juta, sedangkan ongkos pengiriman yang sama dari
Jakarta ke Singapura hanya Rp1,8 juta.
Karena itulah, pemerintah dan pengelola pelabuhan harus terus membenahi sektor
strategis pelabuhan melalui pembangunan sarana dan prasarana berkualitas tinggi.
Agar sektor pelabuhan yang menjadi pintu gerbang ekonomi nasional ini dapat
diandalkan dalam mendongkrak pendapatan negara, maka pembenahan infrastruktur
mutlak diperlukan, di samping pengembangan sumber daya manusia dan penerapan
sistem teknologi modern.
Dalam siaran persnya, Diretorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla)
Kementerian Perhubungan telah mengarahkan pengembangan kepelabuhanan yang
semula hanya sebagai terminal jaringan mata rantai transportasi, menjadi pusat
pelayanan komprehensif. Hal itu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan pelabuhan
Indonesia dari negara lain.
Menurut Humas Ditjen Hubla Sindu Rahayu, pelayanan komprehensif tersebut
meliputi pusat layanan, distribution and value added, yang berperan sebagai trade
logistics platform. Hal ini itu disebabkan adanya perubahan pola pikir konsumen dan
sistem perdagangan dunia. "Pola dan sistem itu menginginkan adanya solusi total
dengan program mengutamakan pelayanan dan kepuasan pelanggan," jelas Sindu,
baru-baru ini.
Terkait upaya peningkatan nilai tawar tersebut, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II
yang mengelola 12 pelabuhan telah memberlakukan pola kerja 24 jam tujuh hari
dalam sepekan atau program 24/7. Inisitatif pembukaan operasi jasa pelabuhan 24/7
merupakan sesuatu yang baik dan patut diapresiasi, karena memberikan dampak
positif bagi banyak pihak.
Pelindo II menargetkan semua pelabuhan yang dikelola perusahaan plat merah itu
sudah menjalankan pola kerja 24/7. Optimistis tersebut tidak berlebihan, sebab
didukung rampungnya pemasangan crane di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola PT
Pelindo II. Capaiannya, produktivitas bongkar muat dapat ditingkatkan.
Dalam beberapa kesempatan, Sekretaris Perusahaan PT Pelindo II Rima Novianti
mengatakan, perseroan telah menambah investasi dalam upaya meningkatkan
produktivitas bongkar muat, serta pengembangan seluruh pelabuhan di lingkungan PT
Pelindo II.
Pada 2010, PT Pelindo II telah menginvestasikan dana untuk meningkatkan fasilitas
dermaga dan peralatan bongkar muat senilai Rp1,1 triliun. Pada 2011, total nilai
investasi untuk fasilitas dermaga dan peralatan bongkar muat ditingkatkan menjadi
Rp2,5 triliun atau naik 140 persen dibandingkan tahun lalu.
Kebijakan ini sejalan dengan program pemerintah di bidang percepatan pembangunan
ekonomi dan perdagangan yang baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu. Sebab,
pelabuhan adalah salah satu pintu gerbang kedua kegiatan tersebut.
Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menyatakan, percepatan arus barang dengan
memacu produktivitas bongkar muat di pelabuhan adalah suatu keharusan.
Peningkatan produktivitas bongkar muat di pelabuhan di Indonesia wajib hukumnya,
jika ingin bersaing dalam kegiatan perdagangan melalui moda transportasi laut.
Terlebih, arus barang melalui laut di Indonesia terus meningkat. Potensi muatan
melalui laut setiap tahun hampir mencapai satu miliar ton. Sebab itu, PT Pelindo II
melakukan transformasi bisnis dengan mendatangkan peralatan bongkar muat baru.
Pelabuhan merupakan salah satu pintu gerbang percepatan pembangunan
perekonomian dan perdagangan," terang Lino.
Sekadar diketahui, sejak tahun lalu PT Pelindo II memesan peralatan bongkar muat di
sejumlah pabrikan di China sebanyak 45 unit senilai Rp769 miliar. Alat-alat tersebut
di antaranya, gantry lufliing crane yang dikerjakan di Qingdao. Adapun peralatan
gantry jiep crane dipesan di Nanjing, sedangkan rail mounted gantry crane dan
container crane masing-masing dibuat di Wuxi.
Sepanjang 2010, PT Pelindo II mencatat produksi pelayanan pengusahaan alat sebesar
4.950 jam dengan barang mencapai 1.18 miliar ton. Secara keseluruhan pendapatan
usaha jasa terminal peti kemas mencapai Rp256,41 miliar, naik tipis dari tahun 2009
sebesar Rp250.25 miliar. Tahun lalu perseroan ini membukukan laba bersih Rpl,2
triliun, naik 30 persen dibandingkan dengan 2009 sebesar Rp944 miliar.
Genjot pola 24/7
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspedisi (Gapeksi) Anwar Sata
mengatakan, pengaktifan pelabuhan selama 24/7 di setiap provinsi dapat memotong
waktu antrean bongkar muat yang hingga kini masih terjadi. Anwar memaparkan,
untuk bongkar buat kapal rata-rata memakan waktu sekira lima sampai tujuh hari,
sedangkan dengan pola 24/7 kemungkinan waktu yang dibutuhkan untuk bongkar
muat menjadi tiga hari.
Dengan demikian, satu kapal ukuran 4.000 dead weight ton akan mengalami kerugian
kurang lebih Rp24 juta per hari apabila tidak beroperasi akibat menunggu terlalu lama
di pelabuhan.
Pengaktifan 25 pelabuhan ini juga bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan daya
saing untuk merespons implementasi Asean-China Free Trade Agreement. Saat ini
baru empat pelabuhan yang menerapkan pola kerja 24/7, yaitu Pelabuhan Belawan,
Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Merak, dan Pelabuhan Makassar.
Pelayanan 24/7 di empat pelabuhan utama ekspor-impor ini, ternyata belum berjalan
100 persen. Namun masih wajar karena kebijakan tersebut baru dan banyak menemui
kendala di lapangan, sehingga ke depan perlu perbaikan dan penyesuaian.
Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah aspek koordinasi yang belum sejalan di
antara pihak-pihak terkait. Di sini diperlukan sinergisitas semua pihak terkait secara
simultan dalam upaya perbaikan tersebut. Setidaknya, ada tiga pihak yang berperan
penting yakni, administratur pelabuhan, PT Pelindo II, dan swasta.
Selain itu, pelaksanaan 24/7 masih terganjal aktivitas perbankan yang tidak beroperasi
selama waktu tersebut. Sistem national single window (NSW) dan impor secara
elektronik juga tidak dapat beropersi maksimal karena tidak seirama dengan
keterlibatan instansi terkait seperti Kementerian Perdagangan dan Industri atau Bea
dan Cukai.
Pada akhirnya, tujuan dari sistem operasional 24/7 untuk mengurangi pungli yang
marak di pelabuhan tidak tercapai, jika masih ada peluang persinggungan fisik
antarpelaku usaha di pelabuhan. Pihak otoritas juga perlu terus menyosialisasikan
proggram 24/7, karena masih banyak pengusaha yang belum memahaminya.
Imbasnya, layanan kepabeanan di pelabuhan tetap menumpuk pada jam-jam ramai.
Memang, sejumlah pekerjaan besar masih menunggu PT Pelindo II guna mencapai
target menjadi pelabuhan internasional, sesuai visi dan misi perusahaan. Yakni,
menjadikan perusahaan pelabuhan pilihan pelanggan dengan kualitas pelayanan kelas
dunia, di mana senantiasa berusaha menjamin kualitas jasa kepelabuhanan,
kelancaran, dan keamanan arus kapal dan barang, serta menjamin kecukupan
produktivitas untuk memenuhi dinamika kebutuhan pelanggan.
Semua itu dapat terwujud tidak hanya dengan komitmen dari manajemen dan
karyawan di lingkungan PT Pelindo II, melainkan harus sinergi dengan intansi terkait
lainnya dan regulasi yang mendukung. Konon, Singapura berhasil membangun
negaranya menjadi maju dan modern, salah satunya berkat aktivitas pelabuhannya
yang unggul.
Nah, sebagai negara maritim yang menyimpan potensi besar, kiranya Indonesia tidak
perlu malu-malu menimba ilmu dan pengalaman dari negara jiran, demi mempercepat
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia melalui perputaran roda ekonomi di
pelabuhan. Jangan tunda-tunda lagi menjadikan pelabuhan sebagai pintu gerbang
meningkatkan petumbuhan ekonomi nasional.
Dengan terbentuknya kawasan ekonomi terintegrasi di wilayah Asia Tenggara yang dikenal
dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC),
Indonesia dan sembilan anggota ASEAN lainnya memasuki persaingan yang sangat ketat di
bidang ekonomi. Pada dasarnya, MEA merupakan wadah yang sangat penting bagi kemajuan
negara-negara ASEAN dalam mewujudkan kesejahteraan sehingga keberadaannya harus disikapi
dengan positif. Dan diharapkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara bisa berkompetisi dan
bisa menempatkan ASEAN masuk ke dalam pasar terbesar di dunia.
Diharapkan terbentuknya pasar tunggal tersebut mendorong negara-negara di ASEAN untuk
mencapai stabilitas dan kemajuan ekonomi yang kuat dalam menghadapi arus persaingan secara
global. Meskipun adanya MEA sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra, perdebatan
tersebut cenderung mempertanyakan kesiapan negara-negara anggota dalam menghadapi iklim
ekonomi baru di wilayah Asia Tenggara. Dalam menunjang tujuan MEA tersebut, setidaknya ada
empat fokus utama yang dijalankan pada era pasar bebas ini sebagaimana yang diuraikan di
bawah ini.
Sebagai masyarakat yang dinamis, sudah selayaknya kita harus bisa melihat lebih banyak
dampak positif dari adanya pasar bebas Asia Tenggara atau MEA. ASEAN Economic
Community atau MEA secara garis besar terfokus dalam empat hal, yaitu:
1. MEA sebagai pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara yang difungsikan sebagai sebuah
kawasan kesatuan pasar dan basis produksi. Terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi
tersebut akan menghilangkan batasan terhadap arus barang, investasi, modal, jasa, dan tenaga
profesional antarnegara di Asia Tenggara.
2. MEA berorientasi untuk membentuk kawasan ekonomi yang memiliki daya saing tinggi
dengan kebijakan-kebijakan, perlindungan konsumen, dan berbagai macam perjanjian untuk
saling menciptakan kondisi ekonomi yang adil.
3. Menumbuhkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memiliki daya saing
tinggi serta ditunjang dengan kemudahan dalam mendapatkan modal.
4. MEA terintegrasi dengan perekonomian global sehingga jangkauan pasar yang diraih
negara-negara di kawasan Asia Tenggara jauh lebih optimal.
Dengan demikian, negara peserta ditantang untuk bersaing secara ketat satu sama lain. Pasar
bebas harus disadari betul kondisinya agar terus bisa mengembangkan kemampuan dalam
mengikuti persaingan di bidang apa pun. Banyak peluang yang bisa diambil dari MEA seperti
yang dijabarkan berikut ini.
Tentu saja hal tersebut sejalan dengan ASEAN Economic Community Blueprint yang intinya
adalah MEA sangat diperlukan dalam mengurangi kesenjangan antarnegara ASEAN. MEA juga
dapat digunakan sebagai jembatan dalam membangun rantai suplai makanan dan bisa menjadi
perantara untuk melakukan kegiatan ekspor-impor dengan negara-negara non-ASEAN.
Kesempatan baik tersebut dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengurangi hambatan
perdagangan. Dengan tidak adanya hambatan di bidang perdagangan, Indonesia mampu
meningkatkan kegiatan ekspor-impor sehingga bisa meningkatkan gross domestic
product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB). Karena itu, Indonesia sanggup berkompetisi
dengan produk-produk unggulannya di perikanan, pertanian, dan perkebunan.
Pengembangan Sektor Investasi dan SDM Perlu
Menjadi Prioritas
Selain sektor jasa dan sumber daya alam, Pemerintah juga fokus dalam mengembangkan sektor
investasi dan SDM. Di sektor investasi, mengingat potensi yang dimiliki Indonesia cukup besar
maka diprediksi akan sangat mudah untuk meningkatkan masuknya Foreign Direct
Investment (FDI). Masuknya FDI ini bakal mampu memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia
melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan SDM.
Indonesia sangat mungkin memposisikan diri sebagai negara tujuan investor karena tingkat
kebutuhan akan barang dan jasa yang tinggi serta jumlah populasinya yang tinggi juga. Di
bidang ini banyak sekali para pengusaha yang melirik investasi, termasuk properti. Sebagai
lahan investasi yang sangat potensial, masyarakat Indonesia bisa mengambil kesempatan emas
tersebut untuk memanfaatkan aliran modal asing.
Dilihat dari aspek ketenagakerjaan Indonesia juga memiliki kesempatan yang sangat besar
karena dengan jumlah populasi yang dimiliki akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
apalagi jika mereka sudah memiliki kualitas SDM yang mumpuni. Dengan begitu, tenaga kerja
Indonesia bisa mengisi kekosongan-kekosongan posisi yang ada di luar negeri. Ini juga menjadi
kabar baik bagi para wirausaha karena mereka akan lebih mudah dalam mencari tenaga kerja
yang lebih berkompeten dari berbagai negara di wilayah Asia Tenggara.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / AEC (Asean Economic Community) 2015 adalah proyek yang telah lama
disiapkan seluruh anggota ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN
dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat. Dengan diberlakukannya MEA pada akhir 2015,
negara anggota ASEAN akan mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke
masing-masing negara. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah bagaimana Indonesia sebagai
bagian dari komunitas ASEAN berusaha untuk mempersiapkan kualitas diri dan memanfaatkan peluang MEA 2015,
serta harus meningkatkan kapabilitas untuk dapat bersaing dengan Negara anggota ASEAN lainnya sehingga
ketakutan akan kalah saing di negeri sendiri akibat terimplementasinya MEA 2015 tidak terjadi.
Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru MEA dalam upaya persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dalam cetak biru MEA, terdapat 12
sektor prioritas yang akan diintegrasikan oleh pemerintah. Sektor tersebut terdiri dari tujuh sektor barang yaitu
industri agro, otomotif, elektronik, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Kemudian
sisanya berasal dari lima sektor jasa yaitu transportasi udara, kesehatan, pariwisata, logistik, dan teknologi informasi.
Sektor-sektor tersebut pada era MEA akan terimplementasi dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa, investasi,
dan tenaga kerja.
Sejauh ini, langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia berdasarkan rencana strategis pemerintah untuk
menghadapi MEA / AEC, antara lain :
1. Penguatan Daya Saing Ekonomi
Pada 27 Mei 2011, Pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan perwujudan transformasi ekonomi nasional dengan orientasi yang berbasis
pada pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Sejak MP3EI diluncurkan sampai
akhir Desember 2011 telah dilaksanakan Groundbreaking sebanyak 94 proyek investasi sektor riil dan pembangunan
infrastruktur.
2. Program ACI (Aku Cinta Indonesia)
ACI (Aku Cinta Indonesia) merupakan salah satu gerakan ‘Nation Branding’ bagian dari pengembangan ekonomi
kreatif yang termasuk dalam Inpres No.6 Tahun 2009 yang berisikan Program Ekonomi Kreatif bagi 27 Kementrian
Negara dan Pemda. Gerakan ini sendiri masih berjalan sampai sekarang dalam bentuk kampanye nasional yang
terus berjalan dalam berbagai produk dalam negeri seperti busana, aksesoris, entertainment, pariwisata dan lain
sebagainya. (dalam Kemendag RI : 2009:17).
3. Penguatan Sektor UMKM
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM di Indonesia, pihak Kadin mengadakan mengadakan beberapa
program, antara lainnya adalah ‘Pameran Koperasi dan UKM Festival’ pada 5 Juni 2013 lalu yang diikuti oleh 463
KUKM. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk UKM yang ada di Indonesia dan juga sebagai
stimulan bagi masyarakat untuk lebih kreatif lagi dalam mengembangkan usaha kecil serta menengah.
Selain itu, persiapan Indonesia dari sektor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) untuk menghadapi MEA
2015 adalah pembentukan Komite Nasional Persiapan MEA 2015, yang berfungsi merumuskan langkah antisipasi
serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan KUKM mengenai pemberlakuan MEA pada akhir 2015.
Adapun langkah-langkah antisipasi yang telah disusun Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu pelaku
KUKM menyongsong era pasar bebas ASEAN itu, antara lain peningkatan wawasan pelaku KUKM terhadap MEA,
peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap pasar produk KUKM lokal,
penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Namun, salah satu faktor hambatan utama bagi sektor Koperasi dan UKM untuk bersaing dalam era pasar bebas
adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaku KUKM yang secara umum masih rendah. Oleh karena itu, pihak
Kementrian Koperasi dan UKM melakukan pembinaan dan pemberdayaan KUKM yang diarahkan pada peningkatan
kualitas dan standar produk, agar mampu meningkatkan kinerja KUKM untuk menghasilkan produk-produk yang
berdaya saing tinggi.
Pihak Kementerian Perindustrian juga tengah melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan terhadap sektor industri
kecil menengah (IKM) yang merupakan bagian dari sektor UMKM. Penguatan IKM berperan penting dalam upaya
pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja dan menghasilkan barang atau jasa untuk dieskpor.
Selain itu, koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan kementerian pun terus ditingkatkan sehingga faktor
penghambat dapat dieliminir.
4. Perbaikan Infrastruktur
Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing sektor riil, selama tahun 2010 telah berhasil dicapai peningkatan
kapasitas dan kualitas infrastruktur seperti prasarana jalan, perkeretaapian, transportasi darat, transportasi laut,
transportasi udara, komunikasi dan informatika, serta ketenagalistrikan :
Dalam hal ini, Maritim Laos sama sekali tidak ada bandingannya karena Laos tidak memiliki wilayah Laut.
Dalam hal transportasi Laut, Singapura menang telak atas Maritim Indonesia. Hal tersebut dibuktikan
bahwa Pelabuhan Singapura menjadi Pelabuhan Tersibuk ke-2 di Dunia. Namun, dalam hal Migas
Singapura kalah telak karena Singapura tidak memiliki tambang yang berarti.
Brunei Darussalam memiliki Migas yang sudah diekspor dalam jumlah banyak, memang dalam hal
Cadangan Minyak Indonesia lebih banyak namun dari segi pendapatan, Brunei Darussalam mengalahkan
Indonesia.
Indonesia memiliki Potensi yang besar dari Wisata Bawah Lautnya dan Migasnya yang kaya, namun
karena belum dimanfaatkan, sampai saat ini Maritim Indonesia dapat dikalahkan negara ASEAN lain.
INDONESIA UNTUK ASEAN CONNECTIVITY 2015
Untuk menghadapi pertumbuhan dunia yang semakin kompetitif, maka dicanangkan ASEAN
Connectivity guna meningkatkan daya saing ASEAN dengan membangun konektivitas antar negara-
negara di Asia Tenggara, baik di laut, darat maupun udara. Berdasarkan rencana induknya sendiri,
ASEAN Connectivity bertujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan mempersempit
kesenjangan pembangunan dengan meningkatkan infrastruktur fisik (physical connectivity),
kelembagaan (institutional connectivity), serta hubungan kerakyatan (people-to-people connectivity) di
negara-negara anggota ASEAN.
ASEAN Connectivity merupakan program kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan membangun
keterhubungan transportasi dan infrastruktur antara negara-negara Asia Tenggara guna mewujudkan
ASEAN Community. Rencana induk dari ASEAN Connectivity sendiri disahkan pada KTT ke-17 ASEAN di
Hanoi, Oktober 2010. Sedangkan ASEAN Connectivity sendiri direncanakan akan dimulai pada tahun
2015. Memprioritaskan tiga pilar, yaitu ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic
Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC), ASEAN Connectivity ada untuk
pengembangan infrastruktur, kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat.
Tujuan utama ASEAN Connectivity adalah menjadikan kawasan Asia Tenggara lebih mampu bersaing di
lingkungan global. Landasan dasar pengembangan ASEAN Connectivity adalah Master Plan ASEAN
Connectivity (MPAC)[1]. Master Plan ASEAN Connectivity dikembangkan berdasar karakteristik wilayah
agar dapat mendukung strategi pengembangan nasional. Khusus untuk Indonesia, Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)[2] diharapkan dapat menjadi
landasan MPAC.
Meskipun MPAC dikembangkan berdasarkan karakteristik nasional seluruh negara anggota ASEAN
Connectivity, yakinkah Indonesia bahwa Master Plan yang diberikan bagi negara sudah tepat sasaran?
Dari judul master plan ASEAN Connectivity untuk Indonesia, tertera kata ‘percepatan’ dan ‘perluasan’ di
bidang ekonomi di dalam judul itu. Namun, jangankan melaksanakan percepatan dan perluasan untuk
mendukung ASEAN Connectivity, percepatan dan perluasan ekonomi bagi urusan dalam negeri pun
masih sangat terabaikan. Jangankan memperbaiki keuangan negara untuk kebutuhan ASEAN, bahkan
memperbaiki keuangan negara bagi kebutuhan dalam negeri sendiri pun masih menjadi suatu angan-
angan. Jangankan memperluas kekuatan ekonomi ASEAN, memperkuat kekuatan ekonomi sendiri pun
menjadi sebuah hal yang susah, saat pemerataan pendapatan rakyat masih sangat minim. Hal itu pun
dibarengi dengan kasus korupsi bercabang yang menguras habis uang negara.
APSC akan menjamin bahwa rakyat dan negara-negara anggota ASEAN hidup damai satu sama lain dan
dengan dunia pada umumnya di lingkungan yang adil, demokratis dan harmonis. APSC harus
mempromosikan pembangunan politik dalam kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, supremasi
hukum dan pemerintahan yang baik, penghormatan dan promosi dan perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar seperti tertulis dalam Piagam ASEAN. Itu harus menjadi sarana yang negara
anggota ASEAN dapat menghambat interaksi yang lebih dekat dan kerjasama untuk menempa norma-
norma bersama dan menciptakan mekanisme umum untuk mencapai tujuan ASEAN di bidang politik dan
keamanan.
Perbaikan masalah politik dan keamanan dalam negeri sendiri pun masih dalam proses. Banyak
permasalahan HAM dan persaingan-persaingan politik yang tidak sehat, yang ditandai dengan proses
suap-menyuap antar politisi, akhirnya menjadi ancaman bagi keadaan dalam negeri sendiri. Bahkan
Indonesia dikritik habis-habisan di Jenewa, Swiss, tentang masalah pelanggaran HAM yang terjadi.
[3] Jadi, sebaiknya kita membenahi dulu keadaan politik dalam negeri sendiri.
Para pemimpin ASEAN pada KTT mereka di Kuala Lumpur pada Desember 1997 memutuskan untuk
mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan sangat kompetitif dengan pembangunan
ekonomi yang adil, dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi (ASEAN Vision
2020[4]).
Ya, mungkin memang pembangunan ekonomi menjadi salah satu alasan bagi Indonesia untuk bertahan
dalam rencana kerja ASEAN Connectivity. Tidak salah memang jika kita bisa memanfaatkan ASEAN
Connectivity untuk mengembangkan ekonomi negara, apalagi dengan proyek-proyek super hebat yang
luar biasa dan kelihatan mahal itu. Namun, tidak benar juga jika kemudian kita menggantungkan
ekonomi kita sepenuhnya pada proyek-proyek dalam ASEAN Connectivity.
Tujuan utama dari ASCC adalah memberikan kontribusi untuk mewujudkan Komunitas ASEAN dan
mencapai solidaritas dan persatuan antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN. ASCC harus membantu
membangun landasan yang kuat bagi pemahaman yang lebih besar tentang ASEAN dan
memperkenalkan rasa ‘nasionalisme ASEAN’.
Lihat saja program ASEAN Connectivity bagi ASCC. Akan diadakan pelajaran tentang ASEAN dalam
kurikulum sekolah di seluruh negara anggota.[5] Hal itu dilakukan untuk memperkenalkan ASEAN pada
seluruh rakyat ASEAN di berbagai lapisan pendidikan dan diharapkan dapat memberikan suatu suara
yang besar untuk persamaan rasa nasionalisme, yaitu ‘Kita adalah masyarakat ASEAN, bukan Indonesia’.
Namun, jangankan untuk menyamakan / menyatukan diri dengan seluruh negara ASEAN, hubungan
Indonesia dengan Malaysia pun masih menjadi topik hangat. Bagaimana jika Indonesia harus
menyamakan suara untuk mengakui ASEAN sebagai identitas nasional? Persatuan masyarakat ASEAN
bisa dikatakan sebagai suatu hal yang mustahil.. Itu bukan sesuatu yang mudah, sedangkan sifat
etnosentrisme pun kadang tidak dapat dilepaskan, apalagi jika menyangkut persaingan tentang diklaim-
mengklaim. Jika bahkan untuk mendamaikan dua negara saja sudah menjadi kesulitan. Pembelajaran
tentang ASEAN pun membuatuhkan waktu yang tidak singkat. Tujuan ASCC untuk mencapai solidaritas
mungkin masih bisa dilakukan, walaupun itu pun membutuhkan waktu yang lama, tetapi persoalan
mempersatukan bukanlah suatu hal yang sepele dan mudah diselesaikan begitu saja.
Program Kerja ASEAN Connectivity
Merupakan program untuk menghubungkan jalan darat antar negara-negara ASEAN sehingga lebih
memudahkan jalur transportasi darat antara negara-negara di kawasan ASEAN.
Satu permasalahan, bagaimana dengan perhubungan darat di Indonesia sendiri. Sudah bukan fenomena
baru lagi jika kita melihat anak-anak kecil yang harus pergi ke sekolah melepas sepatu dan kaos kaki
karena mereka harus melewati sungai unruk mencapai sekolahnya. Atau potret suram saat beberapa
dari mereka harus bergantung pada seutas tali atau berjalan berjam-jam sejak subuh untuk mencapai
sekolah mereka. Mengapa tidak menjamin dulu jalur transportasi darat di daerah-daerah yang terpencil
untuk menjamin tercapainya keinginan anak negeri? Haruskah keinginan ASEAN didahulukan di atas
kondisi jalur transportasi Indonesia yang masih putus-putus dan tidak kelihatan akan diperbaiki sama
sekali ini?
Merupakan proyek kereta api yang menghubungkan antara Singapore dengan Kunming (China),
sehingga meningkatkan roda perekonomian kawasan ASEAN dan China. Program ini direncanakan
selesai pada tahun 2015.
Semoga tidak akan ada penumpang SKRL yang duduk di atas kereta api karena tidak tersedianya tempat
di dalam gerbong kereta. Jika SKRL dibangun untuk roda perekonomian ASEAN, bahkan kereta api
Indonesia yang bukan untuk mendukung roda perekonomian saja sudah kehabisan tempat untuk sekian
juta penduduknya yang menaiki kereta untuk sekedar pulang kampung.
Open Sky merupakan program di mana maskapai dari negara-negara lain bebas membuat rute
penerbangan domestik di suatu negara. Disini maskapai asing tersebut bebas bersaing dengan maskapi
lokal dalam mencari penumpang.
Tidak sadarkah bahwa sebenarnya ini menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia? Bukan hanya karena
ketidak-siapan maskapai penerbangan Indonesia, tetapi karena maskapai kita akan bersaing dengan
maskapai penerbangan internasional. bahkan fasilitas dan pelayanan pun bisa menjadi sangat berbeda.
Memang ada maskapai yang bias dibilang baik sejauh ini, seperti Garuda, tetapi bagi rakyat Indonesia
kelas menengah ke bawah, Garuda mematok harga yang cukup tinggi. Jangan salahkan jika Open Sky
benar-benar terjadi, akan lebih banyak rakyat yang lebih memilih maskapai asing karena pelayanan yang
baik dengan harga yang murah. Maskapai asing pasti mempunyai cara untuk mempromosikan
maskapainya sendiri dan persaingan itu sebenarnya mengancam kelangsungan hidup maskapai
Indonesia jika tidak mampu mengembangkan diri.
Sederhana saja, mengapa harus menjamin pasokan listrik bagi ‘orang lain’ sedangkan kebutuhan
pasokan listrik di dalam negeri pun masih cakar bongkar? Mengapa tidak diberikan dulu akses listrik bagi
masyarakat Indonesia di daerah-daerah pelosok sebelum menyumbang 600 megawatt untuk proyek
ASEAN?
Pertanyaan terakhir, yakinkah semuanya akan terlaksana dan tercapai di tahun 2015? Ini sudah tahun
2012, dan waktu yang tersisa hanyalah 3 tahun dari sekarang. Bahkan untuk pembangunan lokal daerah,
3 tahun bukan waktu yang lama. Lihat saja proyek bebas macet yang dijanjikan Fauzi Bowo saat
kampanye Pilkada DKI Jakarta. Buktinya? Jakarta tidak kalah sesaknya dengan Jakarta sebelum Fauzi
Bowo berkuasa. Bahkan untuk memenuhi, memperbaiki dan memperkuat kebutuhan dalam negeri
sendiri pun, Indonesia masih pontang-panting.
Permasalahan dalam negeri sendiri pun masih tidak jelas penyelesaiannya. Perjalanan untuk
memperbaiki infrastruktur demi terhubungnya semua warga dalam negeri pun masih panjang, masih
banyak kasus korupsi yang belum, bahkan tidak terselesaikan. Masih banyak hal tentang perpajakan,
yang sebenarnya menjadi sumber utama pemasukan negara, yang dikeluhkan oleh rakyat.
ASEAN Connectivity tidak akan berjalan tanpa kesiapan dari negara-negara anggotanya, yang mayoritas
masih dalam ranah negara berkembang. Memang bukan tidak mungkin, tetapi proyek-proyek yang
dijanjikan ASEAN Connectivity bisa-bisa justru akan memberatkan negara anggota ASEAN sendiri.
Lagipula, waktunya tidak akan cukup untuk mencapai target ASEAN Connectivity tahun 2015.
Seberapa jauh kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dan mendulang peluang di
kawasan ASEAN? Sudah siapkah Indonesia menerima proyek-proyek ASEAN Connectivity? Perjuangan
Indonesia sebagai negara berkembang yang masih mempunyai banyak keterbatasan mengenai standard
dan norma global yang terus bergulir, tentunya akan sangat berat dalam kerjasama multilateralisme
macam ini. Tantangan diplomasi multilateral Indonesia, seperti ASEAN Connectivity ini, sebenarnya
dimulai dari kapasitas pembangunan di Indonesia sendiri, yang masih memerlukan banyak perbaikan,
tidak adanya transparasi dalam peraturan peraturan perundang-undangan dan lemahnya koordinasi
antar lembaga dalam negeri menjadi masalah yang tidak bisa dibiarkan jika Indonesia mau maju ke
tataran internasional yang lebih tinggi.
Indonesia memang belum sepenuhnya siap untuk proyek-proyek ASEAN Connectivity ini. Bahkan Wakil
Presiden, Boediono sendiri pun mengatakan bahwa keinginan Indonesia yang cukup besar dalam
pembangunan melalui ASEAN Connectivity ini, tidak akan bermanfaat jika Indonesia berorientasi pada
konektivitas luar, tetapi konektivitas di dalam negeri belum dibenahi.[7]