SINDROMA NEFROTIK
1.2 Etiologi
Sindrom nefrotik belum diketahui sebab pastinya, secara umum penyebab dibagi
menjadi berikut:
1.2.1 Sindrom Nefrotik Bawaan
Adanya reaksi fetomaternal terhadap janin ataupun karena gen resesif
autosom menyebabkan sindrom nefrotik
1.2.2 Sindrom Nefrotik Sekunder
Sindroma nefrotik disebabkan oleh adanya penyakit lain seperti parasit
malaria, penyakit kolagen, trombosis vena renalis, pemajanan bahan kimia
(trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, raksa, amiloidosis dan
lain-lain. Sebab paling sering sindrom nefrotik sekunder adalah
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi keganasan penyakit
jaringan penghubung, obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik seperti:
1.2.2.1 Glomerulonefritis primer
1) Glomerulonefritis lesi minimal
2) Glomerulosklerosis fokal
3) Glomerulonefritis membranosa
4) Glomerulonefritis membranoproliferatif
5) Glomerulonefritis proliferatif lain
1.4 Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin,
tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke
dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena
hipovolemia.
1.6 Komplikasi
1.6.1 Hipovolemi
1.6.2 Infeksi pneumokokus
1.6.3 Emboli pulmoner
1.6.4 Peritonitis
1.6.5 Gagal ginjal akut
1.6.6 Dehidrasi
1.6.7 Venous trombosis
1.6.8 Aterosklerosis
1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai
kurang lebih 1 gram per hari, secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
1.7.2 Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan caitan
intravaskular berat.
1.7.3 Pemberian kortikosteroid berdasarkan ISKDC (international Study of
kidney Disease in Children) : prednison dosis penuh : 60 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari)
selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-
turut dalam seminggu (intermitten dose) atau selang sehari (alternating
dose) selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tappering off lagi. Bila
terjadi relaps diberikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai
terjadi remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dosis diturunkan menjadi
2/3 dosis penuh. Bila terjadi relaps sering atau resisten steroid, lakukan
biopsi ginjal.
1.7.4 Cegah infeksi. Antibiotik hanya diberikan bila terjadi infeksi.
1.7.5 Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.
4
1.8 Pathway
1. DM Glumeronefritis
2. SLE
3. Amyloidosis
Nefrotik sindrom
Hilangnya protein
plasma Merangsang sintesis LDL di
hati
Hipoalbuminemia
Mengangkut kolesterol
1. Kelebihan volume cairan dalam darah
2. Resiko tinggi kerusakan ↓ tekanan osmotik
integritas kulit
plasma Hiperlipidemia
3. Gangguan citra tubuh
Cairan intravaskuler
edema berpindah ke
interstitial
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
keseimbangan volume cairan tercapai dengan kriteria hasil :
2.3.1.1 Tidak ada edema
2.3.1.2 Berat badan stabil
2.3.1.3 Intake sama dengan output
2.3.1.4 Berat jenis urin atau hasil laboratorium mendekati normal
2.3.1.5 TTV dalam batas normal
2.3.2 Intervensi keperawatan
2.3.2.1 Fluid and Electrolyte Management
1) Monitor tanda vital.
2) Monitor hasil laboratorium terkait keseimbangan
cairan dan elektrolit seperti penurunan hematokrit,
peningkatan BUN, kadar natrium serum dan kalium.
3) Pertahankan terapi intravena pada flow rate yang
konstan.
4) Kolaborasi dengan dokter jika tanda dan gejala
kelebihan cairan tetap atau semakin memburuk.
5) Monitor intake dan output cairan.
6) Monitor kuantitas dan warna haluaran urin
2.3.2.2 Fluid monitoring (4130)
1) Pantau hasil laboratorium berat jenis urin.
2) Monitor serum albumin dan total protein dalam urin.
3) Monitor membran mukosa, turgor kulit, dan rasa haus.
4) Monitor tanda dan gejala asites.
5) Timbang berat badan setiap hari
3. Daftar Pustaka
Heardman, T. Heater. (2016). Nanda Internasional Inc. Diagnosis
Keperawatan: Definisi Dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Surjadi dan Rita Yuliani. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2.
Jakarta: Sugeng Seto
Wong, Donna L. 2006. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta :
EGC
12
(..................................................) (............................................)