Anda di halaman 1dari 7

PERILAKU KEKERASAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
darurat sistem II yang dibimbing oleh Bapak M. Iqbal Sutisna, S.Kep., Ners.

Disusun Oleh :

Sifa Nursopa 1115020

Keperawatan 3B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2018
PERILAKU KEKERASAN

A. DEFINISI
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-
benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun
perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon
terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan
menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan
berupa tindak kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap
diri sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse)
untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu
bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. Berdasarkan definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua
menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak
harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat
perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah
(Stuart dan Sundeen, 1995)

B. PENYEBAB
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila merasa
dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis atau lebih
dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika
seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa
yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh Karena itu, baik perawat maupun
klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa
internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal : serangan secara psikis,
kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari
orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam
bekerja, merasa kehilangan orang yang dicinti, dan ketakutan terhadp penyakit
yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka factor yang
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni :
1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
2. Lingkungan : rebut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik
interaksi social.
Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yng
rebut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan, dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain.
Interaksi social yang profokatif dan konflik dapat pula pemicu perilaku
kekerasan (Keliat, 1996).
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan factor
redisposisi, artinya mungkin terjadi / mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika factor berikut dialami oleh individu (Keliat, 1996).
1. Factor pikologis. Mendukung pentingnya peran dari perkembangan
predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan
bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak
merusak.
2. Factor Sosial budaya. Teori ini mengemukakan bahwa agresi tidak
berbeda dengan respon-respon yang lain. Agrasi dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan,
maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai
dengan respon yang dipelajarinya.
3. Faktor Biologis. Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
ditengah system limbic) binatang ternyata mennimbulkan perilaku
agresif.
4. Perilaku. Reinforcment yang diterima pada saat melakukan kekerasan
dan sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
(Keliat,1996)

C. TANDA DAN GEJALA


1. Riwayat perilaku kekerasan
2. Penyendiri, pemalu, pendiam ; merasa tidak ada yang peduli pada dirinya
3. Penyalahgunaan narkoba, alkoholik
4. Frustasi dalam pekerjaannya
5. Hubungan relasi buruk dengan orang lain
6. Biasa menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan dan sikap permusuhan
(hostility)
7. Sering menunjukkan perilaku aneh (Strange behavior)
8. Sedang mengalami problem emosional, stress,depresi tanpa terapi medis.
9. Problem interpersonal, hypersensitivity
10. Indikasi kecenderungan ingin bunuh diri (tentamentsuicide)
(Keliat, 1996)

D. INITIAL ASSESMENT
Cara melakukan deteksi potensi agresi adalah dijbarkan dengan singkatan
POST (Keliat, 1996) adalah sebagai berikut :
P = Profil
Profil seseorang yang potensial melakukan tindak kekerasan
(potentially violent persons).
O = Observable warning sign
Tanda-tanda yang dapat diamati (Observable warning sign)
S = Shotgun
Memiliki senjata api (Shotgun)
T = Triggering event
Peristiwa pncetus (triggering event)

Beberapa kit pendekatan pada seseorang yang potensial melakukan tindak


kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Memahami pola pikiran (the mindset) seseorang dengan hostilitas da


potensi melakukan tindak kekerasan. Seseorang pada hakekatnya
membutuhkan kesempatan untuk dapat menyampaikan pendapatnya,
berikan kesempatan padanya untuk mengutarakan isi pikiran sekalipun
pemahamanya menyimpang.
2. Sikap empati
3. Hindari sikap konfrontatif mengancam
4. Alternative solusi penyeleaian masalah (merumuskan pemecahan
masalah yang menjadi resolusi)
5. Bergerak kea rah yang win-win resolusi. Mengalihkan focus dari apa
yang tidak dapat anda lakukan menjadi apa yang dapat anda lakukan
(Keliat, 1996)

E. PENATALAKSANAAN
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk mlindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul
arena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain (Maramis, 1998)
1. Sublimasi. Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami
suatu dorongan, penyalurannya kea rah lain. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya. Tujuannya adalah
untuk mengurangi ketegangan akibat marah.
2. Proyeksi. Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, sebaliknya menuduh bahwa temnnya tersebut mencoba
merayu dan mencumbunya.
3. Represi. Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kea lam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi. Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement. Melepaskan perasaab yang tertekan, melampiaskan pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulaya yang
mengakibatkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya, mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

F. DIAGNOSA
1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
G. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan Intervensi


Risiko mencederai diri Klien dapat membina 1. Bina hubungan saling percaya
sendiri, orang lain, dan hubungan saling 2. Panggil klien dengan nama panggilan yang
lingkungan percaya disukai
3. Bicara dengan sikap tenang, rileks, dan
tidak menantang.
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
5. Beri rasa aman dan sikap empati
6. Lakukan kontak singkat tapi sering
Klien dapat 1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
mengidentifikasi 2. Bantu klien mengungkapkan perasaan
penyebab perilaku kengkel/kesal
kekerasan 3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan
perasaan bermusuhan klien dengan sikap
tenang.
Klien dapat 1. Anjurkan klien mengungkapkan yang
mengidentifikasi dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal
tanda-tanda perilaku 2. Observasi tanda perilaku kekerasan
kekerasan 3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda
jengkel/kesal yang dialami klien
Klien dapat 1. Anjurkan mengungkapkan perilaku
mengidentifikasi kekerasan yang biasa dilakukan
perilaku kekerasan 2. Bantu bermain peran seuai dengan perilaku
yang biasa dilakukan kekerasan yang biasa dilakukan.
3. Tanyakan : apakah dengan cara yang
dilakukan masalahnya selesai?
Klien dapat 1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang
mengidentifikasi dilakukan
akibat periaku 2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari
kekerasan cara yang digunakan
3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara
baru yang sehat
Klien dapat 1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin
mengidentifikasikan mempelajari cara baru yang sehat
cara kontruktif dalam 2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang
berespon terhadap sehat
kemarahan 3. Diskusikan dengan klien cara lain yang
sehat
a. Secraa fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolahraga, memukul
bantal/kasur aau pekerjaan yang
memerlukan tenaga
b. Secara verval : katakana bahwa anda
sedang marah atau kesal/tersinggung
c. Secara social : lakuka dalam kelompok
cara marah yang sehat, latihan aserti,
latihan anajemen perilaku kekerasan.
d. Secara spiritual : berdo’a, sembahyang,
memohon kepada tuhan untuk diberi
kesabaran
Klien dapat 1. Batu memilih cara yang paling tepat
mendemonstrasikan 2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang
cara mengintrol telah dipilih
perilaku kekerasan 3. Bantu menstimulasikan cara yang telah
dipilih
4. Beri reinforment positif atas keberhasilan
yang dicapai dalam simlasi
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah
dipilih saat jengkel/marah
6. Susun jadal melakukan cara yang telah
dipilih
Klien dapat 1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum
menggunakan obat klien pada klien dan keluarga
dengan benar (sesuai 2. Diskusikan manfaat minum obat dan
program) kerugian berhenti minum obat tanpa
seizing dokter
3. Beri pujian jika klien minum obat dengan
benar
Klien dapat medapat 1. Identifikasi kemampuan keluarga merawt
dukungan dari kien dari sikap kluarga selama ini
keluarga dalam 2. Jelaskan peran serta keluarga dalam
mengontrol perilaku merawat klien
kekerasan
Klien mendapat 1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru,
perlindungan dari nada suara rendah, tunjukkan kepedulian
lingkungan untuk 2. Lindungi agar klien tidakk mencederai
mengontrol perilaku orang lain dan lingkungan
kekerasan 3. Jika tidak dapat diatasi, lakukan
pembatasan gerak atau pengekangan.
(Yosep, Iyus, 2007)

H. REFERENSI
Muhith, A. 2015. “Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi”.
Yogyakarta : CV.Andi Offset

Anda mungkin juga menyukai