Sifa Nursopa Perilaku Kekerasan
Sifa Nursopa Perilaku Kekerasan
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
darurat sistem II yang dibimbing oleh Bapak M. Iqbal Sutisna, S.Kep., Ners.
Disusun Oleh :
Keperawatan 3B
A. DEFINISI
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-
benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun
perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon
terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan
menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan
berupa tindak kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap
diri sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse)
untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu
bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. Berdasarkan definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua
menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak
harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat
perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah
(Stuart dan Sundeen, 1995)
B. PENYEBAB
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila merasa
dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis atau lebih
dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika
seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa
yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh Karena itu, baik perawat maupun
klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa
internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal : serangan secara psikis,
kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari
orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam
bekerja, merasa kehilangan orang yang dicinti, dan ketakutan terhadp penyakit
yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka factor yang
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni :
1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
2. Lingkungan : rebut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik
interaksi social.
Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yng
rebut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan, dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain.
Interaksi social yang profokatif dan konflik dapat pula pemicu perilaku
kekerasan (Keliat, 1996).
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan factor
redisposisi, artinya mungkin terjadi / mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika factor berikut dialami oleh individu (Keliat, 1996).
1. Factor pikologis. Mendukung pentingnya peran dari perkembangan
predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan
bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak
merusak.
2. Factor Sosial budaya. Teori ini mengemukakan bahwa agresi tidak
berbeda dengan respon-respon yang lain. Agrasi dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan,
maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai
dengan respon yang dipelajarinya.
3. Faktor Biologis. Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
ditengah system limbic) binatang ternyata mennimbulkan perilaku
agresif.
4. Perilaku. Reinforcment yang diterima pada saat melakukan kekerasan
dan sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
(Keliat,1996)
D. INITIAL ASSESMENT
Cara melakukan deteksi potensi agresi adalah dijbarkan dengan singkatan
POST (Keliat, 1996) adalah sebagai berikut :
P = Profil
Profil seseorang yang potensial melakukan tindak kekerasan
(potentially violent persons).
O = Observable warning sign
Tanda-tanda yang dapat diamati (Observable warning sign)
S = Shotgun
Memiliki senjata api (Shotgun)
T = Triggering event
Peristiwa pncetus (triggering event)
E. PENATALAKSANAAN
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk mlindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul
arena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain (Maramis, 1998)
1. Sublimasi. Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami
suatu dorongan, penyalurannya kea rah lain. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya. Tujuannya adalah
untuk mengurangi ketegangan akibat marah.
2. Proyeksi. Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, sebaliknya menuduh bahwa temnnya tersebut mencoba
merayu dan mencumbunya.
3. Represi. Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kea lam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi. Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement. Melepaskan perasaab yang tertekan, melampiaskan pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulaya yang
mengakibatkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya, mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
F. DIAGNOSA
1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
G. INTERVENSI
H. REFERENSI
Muhith, A. 2015. “Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi”.
Yogyakarta : CV.Andi Offset