Anda di halaman 1dari 25

PENDAHULUAN

Kolitis ulseratif (KU) merupakan salah satu dari tiga jenis Inflammatory
Bowel Disease (IBD).1 Kondisi ini ditandai dengan adanya peradangan, iritasi,
dan pembengkakan pada usus sehingga tidak dapat menjalankan fungsi
maksimalnya.2 Berdasarkan sebuah tinjauan sistematis, insidensi dari KU
mencapai 0.6 hingga 20 banding 100.000 orang di Eropa dan Amerika Utara,
sedangkan di Asia dan Timur Tengah insidensi KU berada di rentang 0.1-6.3 per
100.000 orang.3 KU biasanya ditandai dengan gejala seperti diare, anemia,
penurunan berat badan, dan pendarahan rektal.2
Untuk mendiagnosis KU, dapat dilakukan pemeriksaan feses, kultur feses, dan
toksin untuk menyingkirkan kemungkinan diare kronik, juga dapat dilakukan
pemeriksaan erythrocyte sedimentation rate (ESR), C-reactive protein, fecal
lactoferrin, atau fecal calprotectin untuk mengkonfirmasi inflamasi.4 Pemeriksaan
endoskopi masih merupakan test of choice dengan sensitivitas hingga 99%.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan yaitu tes darah untuk mendeteksi
perinuclear antineutrophilic cytoplasmic antibodies (pANCA) dan anti-
Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA). Diagnosa ditegakkan berdasarkan
riwayat medis, evaluasi klinis dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan
laboratorium, radiologi, endoskopi dan serologi.5
Pada KU, prognosis yang dimiliki mensugestikan bahwa kurang dari 10%
pasien harus membutuhkan kolektomi.2 Apabila tidak ditangani dengan baik,
maka KU dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti syok, malnutrisi,
anemia, dismotilitas pada usus, kanker kolorektal, hingga kematian.6
Untuk mengatasi terjadinya mortalitas pada pasien KU, langkah diagnosis
komprehensif dan deteksi dini sangat diperlukan. Oleh karena tingginya angka
relaps pada pasien dengan KU serta adanya perbedaan pada tatalaksana dan
komplikasi, diagnosis yang benar diperlukan.

DEFINISI
Kolitis ulseratif merupakan suatu kondisi IBD yang bersifat idiopatik serta
mempengaruhi kolon dalam pola yang difus, berlanjut, dan superfisial. 1,6 Secara

1
garis besar, IBD dapat dibagi menjadi 3 yaitu KU, Crohn’s disease, dan
indeterminate colitis apabila terdapat gejala lain di luar Crohn’s disease dan KU.1
Pada KU, klasifikasi dilakukan berdasarkan dari jarak ekstensi dari KU dan
keparahan dari relaps pada setiap pasien.7 Oleh karena itu, klasifikasi Montreal
membagi KU menjadi beberapa subtipe seperti pada Tabel 1 di bawah ini;
Tabel 1. Klasifikasi Kolitis Ulseratif berdasarkan Ekstensi.
Ekstensi Anatomi
Terbatas pada rektum (ekstensi proksimal
E1 Proktitis Ulseratif inflamasi merupakan distal dari
rectosigmoid junction)
Kolitis ulseratif left- Melibatkan kolorektum distal hingga
E2
sided (UC distal) fleksura splenik
Kolitis ulseratif Menyeluruh dari proksimal menuju
E3
ekstensif (pankolitis) fleksura splenik
Sumber: Torpy JM, Lynm C, Golub RM. JAMA patient page. Ulcerative colitis. JAMA. 2012.2

Berdasarkan tingkat keparahannya, Montreal mengklasifikasikan KU menjadi


beberapa bagian yaitu;
Keparaha
Definisi
n
Remisi
S0 Asimtomatik
klinis
Buang air besar 4x sehari atau kurang (dengan atau
UC
S1 tanpa darah), ketiadaan penyakit sistemik, marker
sedang
inflamatorik normal
UC Buang air besar lebih dari 4x sehari, tanpa gejala
S2
moderat toksisitas
Buang air besar minimal 6x sehari dengan
pendarahan, denyut nadi 90 bpm, temperature
S3 UC parah
minimal 37.5°C, hemoglobin kurang dari 10.5 g/100 
ml, dan ESR minimal 30 mm/h
Tabel 2. Klasifikasi Kolitis berdasarkan Montreal.

Sumber: Satsangi J, Silverberg MS, Vermeire S, Colombel JF. The Montreal classification of
inflammatory bowel disease: Controversies, consensus, and implications. Gut. 2006.7

2
EPIDEMIOLOGI
Insidensi dari KU berbeda di setiap wilayah. Berdasarkan studi dari
Molodecky et al, terdapat sekitar 0.6-20 orang per 100.000 populasi di wilayah
Eropa dan Amerika, sedangkan di Asia dan Timur Tengah, insidensi KU
mencapai 0.1-6.3 per 100.000 populasi.3 Secara keseluruhan, prevalensi dari KU
di seluruh dunia mencapai 5-500 per 100.000 populasi. 8 KU pada kelompok
gender pada umumnya relatif berimbang dengan prevalensi sedikit lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pada laki-laki.9 Berdasarkan kelompok usia, diketahui
bahwa onset usia KU tertinggi pada kelompok usia 15-25 tahun dan lebih rendah
pada kelompok usia 55-65 tahun, sedangkan pada anak-anak, sekitar 2 dari
100.000 anak mengalami KU.10

FAKTOR RESIKO
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sicilia et al, faktor risiko dari KU
antara lain merokok, apendiktomi, riwayat IBD pada keluarga, stress, kekurangan
vitamin A dan E, dan kebersihan pada ketika masa kanak-kanak. 11 Studi lain
menyatakan bahwa terdapat kontribusi dari HLA pada kromosom 6p yang
mengkode antigen presenting protein yang menyebabkan adanya ulser serta
adanya asosiasi dari lokus TNFSF15 (TL1A) yang mengimplikasikan diferensiasi
dan aktivasi dari Th1 dan Th17.12 Faktor mikroorganisme juga dapat
meningkatkan kejadian KU. Sebagai contoh, bakteri penghasil sulfida banyak
ditemukan pada pasien KU.13

PATOFISIOLOGI
Etiologi dari KU belum diketahui, namun kondisi ini diduga diakibatkan oleh
adanya defek dari imunitas innate dan adaptif. Mukosa kolonik bagian proksimal
pada rektum mengalami erosi secara persisten dan menimbulkan erosi dan ulser. 14
Secara imunologis, usus memiliki respons adaptif terhadap patogen. 15 Respon ini
dilakukan dengan sel Treg mengekspresikan FOXP3 dan interleukin (IL-10)
sebagai upaya dari menjaga homeostasis imunologi pada saluran cerna. 15 Namun,
pada pasien dengan KU, sel Treg justru meningkat dibandingkan dengan pasien

3
sehat disertai dengan penurunan angka periferal sel Treg yang mensurpresi CD4+,
CD45RO+, CD25+, FOXP3+.14 Selain itu pada pasien dengan KU, ligan Toll-like
receptor yang diekspresikan oleh sel T CD4+ memiliki dua fungsi, yaitu
mengeliminasi mikroorganisme patogenik sekaligus mengamplifikasi reaksi imun
yang menyebabkan terjadinya inflamasi.15
Bukti tambahan lain menunjukkan bahwa IBD dipengaruhi oleh kerja dari
flagelin.15 Cara kerja dari flagelin dalam menginduksi reaksi inflamasi
ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Flagelin mempengaruhi keseimbangan sel Teff dan Treg.


Sumber: Himmel ME, Hardenberg G, Piccirillo CA, Steiner TS, Levings MK. The role of T-
regulatory cells and Toll-like receptors in the pathogenesis of human inflammatory bowel disease.
Immunology. 2008.15

Peningkatan permeabilitas sel epitelial menyebabkan adanya eksposur


abnormal dari sel di lamina propria pada flagelin dari bakteri komensal. 12,15
Flagelin kemudian dapat difagositosit dan dipresentasikan sebagai antigen oleh sel
dendritik ke sel T CD4+. Di sisi lain, flagelin juga menstimulasi TLR-5 pada sel
imun maupun non imun untuk menginduksi maturasi, proliferasi, dan produksi
dari sitokin.15 Apabila terjadi overstimulasi di satu sisi, keseimbangan akan

4
terganggu dan terjadi produksi sitokin inflamatori yang mempengaruhi terjadinya
peradangan.15

MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang paling terlihat pada KU antara lain adanya darah atau pus pada
feses yang berulang dalam waktu 1-6 minggu, tenesmus, dan diare.16 Selain itu,
sebuah studi melaporkan bahwa 33% dari penderita KU mengalami kolitis
segmental atau bagian kanan saja.17 Manifestasi klinis lain yang terlihat antara lain
anemia, nyeri pada bagian abdominal, dan penurunan berat badan.2
Pada 30% dari total pasien KU mengalami kelainan inflamatorik pada organ
lain seperti kelainan pada liver (primary sclerosing cholangitis dan penyakit
autoimun pada liver), gangguan pada persendian (artritis seronegatif pada
persendian besar, sakroilitis, dan ankylosing spondylitis), gangguan mata
(scleritis, episcleritis, dan anterior uveitis), dan kelainan kulit (erythema nodosum
dan pyoderma gangrenosum).8

DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik dari KU didasarkan oleh riwayat medis dan evaluasi klinis
yang kemudian dikonfirmasi oleh temuan laboratorium, radiologi, endoskopi, dan
serologis.5 Sebelum mendiagnosis pasien, beberapa kemungkinan seperti
penyebab infektif, iskemik, dan iradiasi dari kolitis harus dieksklusi. 5 Lenard
Jones membuat kriteria diagnosis yang membedakan KU dengan IBD yang
lainnya yaitu inflamasi mukosal tanpa granulomata, melibatkan rektum, dan
ekstensi penyakit hingga ke seluruh kolon.18
Anamnesis pada pasien dengan KU harus mencakup beberapa kriteria seperti
gejala klinis yang menandakan terjadinya IBD serta riwayat keluarga. 5 Tabel 3 di
bawah ini menunjukkan kriteria penting yang dapat digunakan dalam membantu
diagnosis pasien dengan KU, selain berdasarkan gejala klinis terdapat juga kriteria
penting lainnya baik dari pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan endoskopi,
dan gejala histologis;

5
Tabel 3. Kriteria Diagnostik Kolitis Ulseratif
● Diare

● Pendarahan rektal

● Nyeri abdomen saat defekasi


Gejala Klinis
● Eksklusi infeksi patogen luar

e.g. Salmonella, Shigella, Yersinia, Campylobacter,

E coli 0157:H7, Clostridium difficile)


● Anemia defisiensi besi

● Trombositosis
Pemeriksaan
● Hypalbuminemia
Laboratorium
● Autoantibodi (GAB, atipical , atau perinuclear ANCA)

● Kenaikan kalprotein fekal


● Mukosa yang difus dan berlanjut dari rektum hingga ke
proksimal

● Hilangnya pola vaskularisasi

● Hilangnya lipatan haustral


Tanda
Endoskopik ● Erosi mukosa dan ulserasi

● Penampakan edema, eritematosa pada mukosa

● Pseudopolip

● Eksudat mukopurulen
Gejala ● Inflamasi mononuklear di lamina propria
histologis (plasmasitosis)

6
● Deplesi musin dan goblet sel

● Abses, percabangan, dan distorsi kriptus


Sumber: Roggenbuck D, Hausdorf G, Martinez-Gamboa L, Reinhold D, Büttner T, Jungblut PR,
et al. Identification of GP2, the major zymogen granule membrane glycoprotein, as the autoantigen
of pancreatic antibodies in Crohn’s disease. Gut. 2009.5

Pada pasien dengan suspek KU, pemeriksaan laboratorium yang digunakan


adalah uji feses untuk mengetahui adanya telur maupun parasit, kultur feses, dan
pemeriksaan untuk mendeteksi toksin terutama toksin pada Clostridium difficile
untuk menyingkirkan kemungkinan diare kronik.4 Selain itu, pemeriksaan lain
dilakukan untuk mengkonfirmasi inflamasi sistemik seperti pemeriksaan
erythrocyte sedimentation rate (ESR), C-reactive protein, fecal lactoferrin
ataupun fecal calprotectin yang mengalami peningkatan pada KU sedang hingga
berat.4,19 Hitung darah komplit dapat dilakukan untuk mengetahui adanya anemia
akibat jumlah darah yang hilang, hematokrit yang berada di bawah angka normal
(berada dalam kisaran angka 30-40% atau kurang) dan adanya abnormalitas
elektrolit seperti hipokalemia dan diare.4 Pemeriksaan kultur feses untuk
clostridium difficile, campylobacter species, dan Escherichia coli 0157:H7
direkomendasikan untuk mengeksklusi penyebab infeksi atau komplikasi. 19 Pasien
dengan penyakit yang berat atau refrakter sebaiknya dilakukan pemeriksaan
infeksi cytomegalovirus baik secara histologi, imunokimia, serologi, kultur, atau
tes DNA.19
Dalam mendiagnosis KU, pemeriksaan endoskopi merupakan test of choice.
Pada sebuah studi, endoskopi dengan biopsi memiliki sensitivitas hingga 99%.4
Gejala yang terlihat pada endoskopi antara lain perubahan hingga ketiadaan pola
vaskular, ulserasi, granulasi, dan penampakan pseudopolip serta edema pada
rektum.4,5 Pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan peradangan yang merata dari
anorectal yang memanjang ke proksimal, pada KU ringan tampak mukosa yang
granular, eritema, rapuh, dan kehilangan pola vaskularisasi. 19 Pada KU sedang
tampak mikroulserasi ataupun erosi pada mukosa, pada KU berat tampak ulserasi
dangkal dengan perdarahan spontan.19 Pada pancolitis inflamasi terhenti pada

7
ileocecal valve dengan keterlibatan yang jarang pada ileum distal, kondisi ini
diketahui sebagai backwash ileitis.19 Pada pasien dengan inflamasi berulang,
inflamasi yang tidak remisi, pada kolonoskopi dapat ditemukan pseudopolip
ataupun mucosal bridging. Jika ditemukan striktur, multipel biopsi adalah suatu
keharusan untuk mengeksklusi keganasan. Biopsi juga diperlukan untuk
pengawasan displasia pada pasien yang telah menderita sakit selama lebih dari 8
tahun, walaupun tidak ada bukti yang jelas bahwa pengawasan dapat
memperpanjang kelangsungan hidup.19
Pada evaluasi histologi, inflamasi terbatas pada lapisan mukosa dengan
infiltrasi yang beragam pada densitas dan komposisi tergantung keaktifan
penyakit ataupun tingkat remisi.19 Infiltrasi biasanya terdiri dari limfosit, plasma
sel, dan granulosit, fitur khas yang lain yaitu ditemukannya deplesi sel goblet,
distorsi atau hilangnya kriptus, dan adanya ulserasi.19 Displasia dapat ditemukan
pada semua tahap tanpa mengindikasikan transformasi maligna. Saat ini tidak ada
kriteria yang pasti untuk diagnosa kolitis ulseratif secara histologi, tapi pada
banyak kasus dengan ditemukannya 2 atau 3 dari perubahan histologi tersebut
dapat membantu menegakkan diagnosa KU.19
Untuk pencitraan, beberapa guideline merekomendasikan radiografi rutin pada
pasien dengan suspek KU.20,21 Radiografi hanya dipakai apabila endoskopi tidak
tersedia atau terjadi striktur pada kolon dengan menggunakan kontras ganda
barium enema.20 Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk mendiagnosis KU
yaitu tes darah untuk mendeteksi adanya perinuclear antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (pANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA).
Kombinasi pengujian antibodi ini memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, namun
sensitivitasnya rendah pada pasien dengan KU.4
Diagnosis banding pada KU melibatkan semua penyakit yang menimbulkan
diare intermiten seperti Crohn’s disease, irritable bowel syndrome, kolitis
iskemik, kolitis infeksius, dan kolitis pseudomembran. 4 Yang membedakan dari
KU adalah KU tidak memenuhi kriteria Rome II seperti pada IBS. Kemudian,
kolitis infeksius memiliki onset yang lebih cepat serta patogen muncul pada
feses.4 Pada kolitis iskemik, pasien yang lebih terpengaruh adalah pasien dengan

8
usia tua dan terkadang disertai dengan penyakit vaskular, sedangkan kolitis
pseudomembran terjadi karena penggunaan antibiotik dan terdeteksinya toksin
Clostridium difficile pada feses.4 Penampakan radiologi pada KU juga memiliki
penampakan yang serupa dengan kolon katartik, namun perubahan pada kolon
katartik cenderung lebih terlihat pada bagian hemikolon sebelah kanan.22
Kolitis ulseratif seringkali sulit dibedakan dengan Crohn’s disease. Oleh
karena itu, Tabel 4 menjelaskan mengenai perbedaan antara kolitis ulseratif
dengan Crohn’s disease berdasarkan dari nyeri pada abdominal, kedalaman
inflamasi, diare, distribusi dari penyakit, hingga adanya fistula maupun jalur
sinus.4

GEJALA KOLITIS ULSERATIF CROHN'S


Nyeri
Bervariasi Umum terjadi
abdominal

Kedalaman
Mukosal Transmural
inflamasi

Diare Parah Tidak lebih parah

Segmental, penyebaran
Difus, penyebaran
non-kontagius (“skip
kontagius; melibatkan
lesions”); jarang
Distribusi rektum; menyisakan bagian
melibatkan rektal;
proksimal jalur
terjadi pada seluruh
gastrointestinal
saluran gastrointestinal

Fistula dan
Jarang Umumnya ada
sinus
Tabel 4. Perbandingan antara Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif.

Sumber: Langan RC, Gotsch PB, Krafczyk MA, Skillinge DD. Ulcerative colitis: Diagnosis and
treatment. Am Fam Physician. 2007;4

9
TATALAKSANA KOLITIS ULSERATIF
Manajemen dan tata laksana pada KU pada umumnya juga digunakan sebagai
tatalaksana akut dalam menangani gejala inflamasi dan diikuti oleh perbaikan
remisi.4 Tabel 5 berikut menunjukkan obat yang digunakan untuk tatalaksana
kolitis ulseratif.

Tabel 5. Obat yang digunakan untuk kolitis ulseratif


OBAT DOSIS HARIAN EFEK SAMPING
Sulfasalazine 2 -6 g Agranulositosis, diare, sakit kepala,
(Azulfidine) nausea, gangguan ginjal

Mesalamine Asacol, 2.4- 4.8 g Agranulositosis, diare, sakit kepala,


(Asacol, nausea, gangguan ginjal
Pentasa)

Pentasa, 2 -4 g Agranulositosis, diare, sakit kepala,


nausea, gangguan ginjal

Mesalamine 2 -4 g Agranulositosis, diare, sakit kepala,


enema nausea, gangguan ginjal
(Rowasa)

Prednisone 40 -60 mg Insufisiensi adrenal, hiperglikemia,


osteoporosis

Enema steroid 100 mg Diare

Azathioprine 1.5 -2.5 mg per kg Sakit kepala, diare, hepatotoksisitas,


(Imuran) leukopenia, myalgias

Mercaptopurine 0.75- 1.5 mg per Sakit kepala, diare, hepatotoksisitas,


(Purinethol) kg leukopenia, myalgias

10
Infliximab 5 mg per kg Artralgias, demam, infeksi, malaise,
(Remicade) myalgias
Sumber: Langan RC, Gotsch PB, Krafczyk MA, Skillinge DD. Ulcerative colitis: Diagnosis and
treatment. Am Fam Physician. 2007;4

Gambar 2. Algoritma pengobatan kolitis ulseratif aktif.


Sumber: Manz M, Michetti P, Seibold F, Rogler G, Beglinger C. Treatment algorithm for
moderate to severe ulcerative colitis. Swiss Medical Weekly. 2011.25

Aminosalisilat
Lini pertama terapi dari KU adalah mesalazine 5-aminosalycilic acid (5-ASA)
bekerja secara topikal pada lumen kolon untuk menekan produksi mediator
proinflamatorik.4,23 Terapi ini digunakan untuk mengatasi proktitis atau kolitis

11
yang terdapat pada bagian distal.23 Sulfasalazine terdiri dari 5-ASA dan
sulfapiridin yang diikat oleh ikatan azo dimana memiliki efek antiinflamasi (5-
ASA) dan antibakterial (sulfapiridin). Pemberian 5-ASA sendiri secara oral akan
diabsorbsi di jejunum dan tidak efektif untuk penyakit pada usus halus dan kolon.
Saat 5-ASA dikombinasikan dengan sulfapiridin, kebanyakan 5-ASA akan
menetap di kolon dan hanya sebagian yang akan diabsorbsi di jejunum.
Sulfapiridin kemudian akan di absorbsi dan di metabolism di hati kemudian
diekskresikan di ginjal, sulfapiridin ini yang menyebabkan banyak efek samping
pada pengobatan.19
Pengobatan dengan aminosalisilat ini dapat menginduksi remisi 40-80% pada
pasien berdasarkan penelitian oleh Riley pada tahun 1988. Dosis efektif
pemberian 5-ASA berkisar antara 2 dan 4 gram per hari, terapi berkelanjutan
dapat mempertahankan remisi hingga 60-80% pada pasien KU. Mekanisme kerja
dari aminosalisilat termasuk menghambat prostaglandin dan sintesis leukotriene,
mengikat radikal bebas, aktifitas imunosupresi, dan menghambat sintesis sitokin.19
Untuk mengurangi efek samping yang berkaitan dengan sulfapiridin, terdapat
obat baru yang hanya mengandung 5-ASA atau yang melekat pada pembawa
dengan ikatan azo. Sediaan mesalamine seperti asacol dan salofalk memiliki
lapisan akrilik polimer yang membantu melepaskan 5-ASA pada ileum terminal
dan kolon. Preparat mesalamine yang lain seperti pentasa yang berbentuk
mikrogranul dapat melepaskan 5-ASA sepanjang saluran pencernaan.19 Terdapat
juga beberapa preparat mesalamine yang baru seperti olsalazine yang memiliki
ikatan 2 5-ASA yang diikat oleh ikatan azo, balsalazide yang mengandung 5-ASA
yang melekat pada pembawa, lialda yang mengandung mesalamine dengan dosis
1 kali setiap hari dan pelepasan pada sepanjang kolon, apriso yang memiliki dosis
1 kali setiap hari dan baru disetujui sebagai pengobatan untuk mempertahankan
remisi pada KU.19
Selain berupa oral, mesalamine juga tersedia dalam bentuk supositoria, enema
foam. Mesalamine supositoria seperti canasa dapat mencapai rectum dan distal
kolon sigmoid, mesalamine enema seperti rowasa dapat mencapai proksimal
kolon sigmoid dan foam dapat mencapai regio midsigmoid.19 Sediaan ini

12
digunakan untuk pasien dengan proctosigmoiditis dan membutuhkan terapi
selama 4-6 minggu untuk mencapai remisi.4 Pada pasien dengan pankolitis, obat
diadministrasikan secara oral maupun topikal. Pemberian 5-ASA secara topikal
lebih efektif pada KU ringan hingga sedang dan kombinasi oral dan enema
terbukti lebih efektif.24,25 5-ASA merespons secara baik pada supositoria selama 3-
4 minggu.4 Pemberian preparat topikal memiliki lebih sedikit efek samping
dibandingkan dengan preparat oral.19
Efek samping dari 5-ASA ini dapat berupa mual, sakit kepala yang tergantung
dosis obat, demam dan kemerahan sebagai akibat reaksi hipersensitivitas, diare,
hiperglikemia, dan osteoporosis.4,23 Efek samping ini biasa terjadi pada 20%
pasien, dimana banyak pasien masih dapat mentoleransi dosis 2-4 gram per hari.
Efek samping yang jarang adalah agranulositosis yang terjadi pada 8 minggu
pertama saat terapi, pasien biasanya membaik setelah penghentian obat selama 1-2
minggu.19

Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat menginduksi remisi pada KU yang sedang mengalami
flare, tapi tidak dapat mempertahankan remisi itu sendiri. Mekanisme kerjanya
masih belum jelas tapi diperkirakan melalui inhibisi pelepasan sitokin dengan
inaktivasi dari NKFβ. Hal ini memicu penurunan pengambilan limfosit,
menurunkan permeabilitas vaskular dan menginhibisi nekrosis yang dimediasi
sitokin. Bentuk oral, topical, dan intravena dapat digunakan.19
Tidak terdapat perbedaan dari tingkat remisi yang diinduksi oleh pemberian
steroid oral ataupun parenteral, steroid parenteral (metilprednison 20 mg per 8
jam, prednisolone 30 mg per 12 jam, atau hidrokortison 100 mg per 8 jam) biasa
digunakan pada penyakit yang berat ataupun pada pasien yang tidak bisa
mentoleransi asupan secara oral. Steroid ini dapat diberikan secara bolus ataupun
infus kontinu. Prednison oral dengan dosis 30-60 mg per hari dapat digunakan
untuk menginduksi terjadinya remisi. Dosis yang lebih tinggi tidak memberikan
manfaat tambahan.19
Efek samping obat biasa timbul pada dosis yang melebihi 40mg setiap hari.
Apabila steroid digunakan selama lebih dari 2 minggu, maka dosis harus di

13
turunkan perlahan untuk mencegah terjadinya hipoadrenal. Efek samping akibat
penggunaan steroid jangka Panjang dapat berupa hipertensi, diabetes, peningkatan
berat badan, gangguan psikiatri dan infeksi. Pada pasien IBD dengan penggunaan
steroid juga sebaiknya diberikan preparat kalsium.19 Kortikosteroid topikal seperti
budesonide 2-8 mg per hari juga dapat diberikan meskipun memiliki efektifitas
yang lebih rendah daripada mesalazin.23

Azathioprine/6-mercaptopurine
Azathioprine (AZA) adalah suatu prodrug dan dikonversikan menjadi 6-
mercaptopurine (6-MP) oleh reaksi nonenzim pada sel darah merah dan jaringan
lain. AZA/6MP dapat menginhibisi sintesis purin dan utamanya sintesis DNA dan
RNA, juga dapat menginhibisi proliferasi limfosit B dan limfosit T. Namun
mekanisme kerja yang pasti masih belum diketahui. Keduanya dapat menginduksi
dan mempertahankan remisi pada KU dengan tingkat efektifitas 60-70%, juga
dapat digunakan untuk menurunkan dosis atau menghentikan steroid pada pasien
dengan penyakit kronik yang aktif.19
Dosis maksimal dari AZA adalah 2.5 mg/kg per hari dan 1.0-1.5 mg/kg untuk
6-MP.19,23 Efek samping serius biasanya jarang pada penggunaan AZA dengan
dosis dibawah 2.5 mg/kg per hari dan 6-MP dibawah 1.5 mg/kg per hari. Tidak
ada bukti penurunan dosis dapat mencegah efek samping jangka panjang, tetapi
penurunan dosis dapat meningkatkan resiko relaps pada pasien. Obat ini tidak
efektif digunakan pada kasus KU yang akut karena membutuhkan waktu 3-6
bulan untuk memberikan efek.31 Efek samping dari terapi ini antara lain supresi
sumsum tulang, elevasi enzim pada liver, dan pankreakitis akut. 23 Apabila efek
samping mulai terlihat, maka dapat dilakukan penghentian dari penggunaan
AZA/6-MP.23

Siklosporin
Siklosporin merupakan suatu peptide lipofilik dari 11 asam amino, yang
terikat dengan protein sitoplasma yang dikenal sebagai siklofilin. Siklosporin
bersama dengan siklofilin berikatan dan menghambat kalsineurin, hal ini

14
menyebabkan penurunan transkripsi sitokin gen seperti interleukin (IL)-2 dan
tumor necrosis factor (TNF) alpha.19
Studi oleh kronbluth, dkk pada tahun 1997 mengatakan dosis siklosporin
untuk pasien dengan KU akut yaitu 4 mg/kg setiap hari. Pada studi oleh Rayner
dan Van assche pada tahun 2003 mengatakan bahwa dosis siklospirin 2 mg/kg
setiap hari memiliki efektifitas yang sama dan memiliki efek samping yang lebih
rendah.19 Efek samping yang dapat timbul dengan penggunaan siklosporin antara
lain gangguan ginjal, hiperplasia gingiva, anoreksia, mual, muntah, diare, dan rasa
tidak nyaman di perut.19

Anti-Tumor Necrosis Factor Therapy


Infliximab (Remicade) adalah suatu antibodi monoclonal chimeric yang
diarahkan untuk melawan tumor TNF-alpha. Biasa digunakan untuk induksi
remisi pada KU yang sedang sampai berat yang refrakter ataupun tidak cocok
terhadap 5-ASA dan imunomodulator. Juga dapat digunakan untuk
mempertahankan remisi pada pasien yang gagal dengan mesalamine atau
imunomodulator. Peran dari infliximab pada pasien yang tergantung dengan
steroid masih belum jelas, tapi dapat digunakan pada pasien KU akut yang
resisten steroid dan tidak mau menjalani operasi.19
Sebuah studi menyatakan bahwa 69% pasien dengan KU aktif memiliki
respons klinik pada minggu ke delapan setelah diberikan infliximab dengan dosis
5 mg serta 61% menunjukkan respons klinis yang baik setelah diberikan 10 mg
infliximab.26 Data efek samping infliximab masih terbatas, reaksi pada tempat
suntikan sering terjadi tapi tidak serius, infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis
dan juga infeksi oportunistik juga dapat terjadi. Resiko terjadinya reaktivasi
hepatitis B juga meningkat pada pasien dengan penggunaan infliximab.19,27

Antibiotik
Bakteri luminal diduga memiliki peran yang penting pada patogenesis dari
IBD. Kegunaan terapi antibiotik pada KU dimediasi oleh beberapa mekanisme
seperti menurunkan konsentrasi bakteri luminal, mengubah komposisi microflora
usus, mengurangi invasi jaringan oleh bakteri, menurunkan translokasi bakteri dan

15
penyebaran sistemik. Pada studi oleh Turunen pada tahun 1998 menyebutkan
pemberian ciprofloxacin dapat meningkatkan hasil dari terapi konvensional. Salah
satu indikasi penggunaan antibiotik pada kolitis ulseratif yaitu pada kolitis
fulminan dimana dapat mencegah infeksi yang mengancam nyawa.19

Metotrexat
Kerja dari metotrexat pada KU masih belum jelas, walaupun pada penelitian
oleh Kozarek pada tahun 1989 mengatakan pemberian dosis rendah metotrexat
dapat berguna. Pada penelitian oleh Oren pada tahun 1996 mengatakan pemberian
metotrexat pada pasien KU tidak memberikan manfaat.19

TATALAKSANA BERDASARKAN KEPARAHAN DAN EKSTENSI


Pada pasien dengan KU bagian kiri dengan tingkat keparahan ringan hingga
sedang dapat dilakukan terapi aminosalisilat topikal dan dikombinasikan dengan
mesalazine oral dengan dosis lebih dari 2 gram per hari, apabila pendarahan rektal
masih berlangsung dalam waktu 10-14 hari setelah perawatan, maka steroid
sistemik dapat digunakan dengan dosis 40-60 mg per hari seperti contoh 40 mg
prednisolone per hari selama 1 minggu, diikuti dengan 30 mg perhari untuk
minggu berikutnya dan 20 mg per hari selama 1 bulan sebelum menurunkan dosis
5 mg per hari per minggu.23 Apabila KU sudah dalam taraf ekstensif, tatalaksana
inisial yang diberikan adalah sulfasalazine dengan dosis 4-6 g per hari atau
kombinasi antara mesalazine oral dan topikal.23 Pada pasien yang mengalami
ketergantungan pada steroid atau sedang pada periode refraktorik dapat diberikan
azathioprine (2.5 mg/kg per hari) atau 6-mercaptopurine (1.5 mg/kg per hari).21,23
Kolitis ulseratif parah ditandai dengan frekuensi buang air besar lebih dari 6
kali dan melibatkan kelainan sistemik seperti demam, takikardi, dan anemia. 23
Tata laksana yang diberikan antara lain steroid intravena seperti
methylprednisolone 60 mg/hari atau hidrocortisone 400 mg per hari. Untuk
mencegah terapi operasi secara langsung dapat diberikan calcineurin inhibitors
(CsA, tacrolimus) dan infliximab sebagai terapi lini kedua. 23 CsA bekerja dengan
cara menginhibisi faktor transkripsi pada sel T teraktivasi sehingga mencegah
transkripsi dari IL-2.12 CsA diberikan intravena secara berkelanjutan dengan dosis

16
4 mg/kg per hari. Setelah induksi untuk remisi berhasil, azatriophine dengan
dosis 2.5 mg/kg per hari diberikan sebagai imunosupresan. 23 Setelah itu, CsA
kemudian diberikan secara oral (tacrolimus) dengan dosis 0.1-0.2 mg/kg per hari
atau secara intravena dengan dosis 0.01-0.02 mg/kg per hari. Untuk mencegah
infeksi dari bakteri oportunistik maka dapat dilakukan pemberian kemoprofilaksis
seperti trimethoprim-sulfamethoxazole 160/800 mg dua kali per minggu atau
inhalasi dari 300 mg pentamidine sekali per bulan apabila terjadi intoleransi. 23
Apabila tidak merespon, dapat diberikan infliximab. Infliximab adalah antibodi
monoklonal chimeric yang diadministrasikan intravena. 12 Obat ini bekerja dengan
menetralisir TNF alfa.4,23 Infliximab diberikan sebagai infus intravena 5 mg/kg
pada minggu 0, 2, 6 dan setiap 8 minggu sesudahnya.19
Pada pasien KU yang mengalami relaps, sudah dalam tingkat keparahan yang
tinggi atau intoleransi terhadap obat-obatan, jarang ditemukan pilihan tatalaksana
lain selain kolektomi, tetapi beberapa pilihan obat dapat digunakan seperti
golimumab, agen anti-TNF-alfa , anti integrin seperti vedolizumab, antibodi
monoklonal yang secara langsung bekerja pada integrin α4β7, dan
phosphatidylcholine.8 Obat-obatan jenis ini merupakan tatalaksana yang baru
dalam mengatasi KU. Anti-TNF-alfa merupakan obat yang berfungsi untuk
menghambat kerja TNF-alfa yang merupakan sitokin proinflamatorik. Salah
satunya adalah adalimumab. Sebuah studi menyatakan bahwa adalimumab efektif
dalam menginduksi dan meningkatkan remisi pada KU dengan tingkat remisi
jangka pendek maupun jangka panjang sebesar 20%.28,29
Vedolizumab merupakan obat yang bekerja dengan menginhibisi migrasi
leukosit dengan target spesifik adalah α4β7.27 Tujuan dari penghambatan target
spesifik integrin α4β7 adalah meminimalisasi potensi dari kesalahan target yang
berakibat pada leukoenselopati multifokal.30 Selain itu, integrin α4β7 berperan
dalam patogenesis ulseratif kolitis dengan cara mengekspresikan sel T yang
menyebabkan terganggunya permukaan endothelial dengan terikat pada
MAdCAM.30
Kolektomi diindikasikan bagi pasien yang tidak merespon atau mengalami
intoleransi terhadap tatalaksana farmakologi atau mengalami komplikasi seperti

17
kolorektal neoplasia, perforasi, toksik megakolon refraktorik, dan pendarahan
kolorektal.8 Operasi kolektomi parsial maupun total terbukti memiliki peningkatan
pada nilai kualitas hidup, tetapi komplikasi yang sering terjadi pada kolektomi
antara lain obstruksi, pouchitis, striktur, abses, sepsis, dan fistula.4,23

TATALAKSANA REMISI
Remisi pasca pengobatan terjadi ketika frekuensi buang air besar tiga kali
sehari atau kurang tanpa adanya pendarahan.23 Terapi manajemen dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari efek samping jangka panjang sebagai akibat
dari penggunaan terapi kortikoid. Lini pertama terapi untuk manajemen adalah 5-
ASA yang diberikan secara oral maupun per rektal.23 Obat yang digunakan adalah
sulfalazine serta 5-ASA topikal dengan dosis 1 gr sebanyak tiga kali dalam
seminggu. Bagi pasien yang tidak dapat menggunakan 5-ASA, probiotik dari
Escherichia coli Nissle juga dapat digunakan berdasarkan penelitian oleh
Rembacken pada tahun 1999 karena dapat mencegah terjadinya relaps.23
Pada pasien dengan ketergantungan steroid, dapat digunakan azathioprine dan
6-mercaptopurin sebagai steroid-sparing agent yang memiliki fungsi sebagai
imunosupresan pada KU.8 Inflixumab efektif dalam mempertahankan remisi dan
direkomendasikan bagi pasien yang sebelumnya menggunakan induksi IFX. Dosis
standar yang digunakan adalah 5 mg/kg berat badan, dosis lebih tinggi dari angka
tersebut tidak memberikan pengaruh.23
Pasien dengan KU memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena kanker
kolorektal sehingga diperlukan pengecekan untuk terjadinya kanker pada
penderita 8-10 tahun setelahnya.23 Kolonoskopi dilakukan setiap tahun atau setiap
dua tahun dengan biopsi pada interval yang teratur. Penampakan high-grade
dysplasia pada mukosa datar merupakan indikasi untuk dilakukan kolektomi.23

TERAPI PROSPEKTIF
Trichuris suis
Kolitis ulseratif jarang ditemukan pada negara berkembang. Tingginya tingkat
infeksi dan kolonisasi cacing dicurigai sebagai penyebabnya. Infeksi kronik

18
cacing dapat menyebabkan aktivasi imun yang persisten sesuai hasil penelitian
oleh Borkow pada tahun 2000. Gangguan fungsi imun ini dapat mengurangi
kapasitas respon imun sehingga menurunkan resiko terjadinya KU. Sebuah
penelitian oleh Summer pada tahun 2005 mengatakan bahwa setelah pemberian
preparat yang berisi cacing trichuris suis selama 12 minggu, ditemukan perbaikan
aktivitas penyakit pada 43.3% pasien dibandingkan 16.7% pada plasebo.
Penelitian tambahan masih dibutuhkan untuk mengevaluasi pilihan terapi ini.19

Rosiglitazone
Suatu preparat thiazolidinedione yang digunakan sebagai terapi diabetes
mellitus, oleh penelitian dari Lewis pada tahun 2008 dikatakan lebih efektif
daripada placebo untuk keberhasilan remisi pada KU ringan sampai sedang.
Stimulasi peroxisome oleh rosiglitazone menurunkan produksi sitokin inflamasi.19

Visilizumab
Vizilizumab merupakan antibodi monoklonal anti-CD3. Pada tahap pertama
penelitian oleh Plevy pada tahun 2007 dikatakan pada pasien KU dengan refrakter
steroid berat, 84% memiliki respons klinis, 41% mencapai remisi klinis, dan 44%
mencapai remisi endoskopi. Tapi pada penelitian tahap III dihentikan karena pada
analisis interen menunjukkan tidak ada manfaat. Terapi ini bukan lagi sebagai
pilihan untuk KU.19

PROGNOSIS
Prognosis dari KU bervariasi tergantung dari tingkat keparahannya. Sebuah
studi menyatakan bahwa kolitis ekstensif dan kemunculan gejala sistemik menjadi
prediktor independen dilakukannya koletomi pada tahun pertama dan kesepuluh
setelah diagnosis awal, namun tidak meningkatkan resiko terjadinya relaps. 31 Usia
dapat mempengaruhi kolitis ulseratif, namun studi dari Jang et al menunjukkan
bahwa usia di atas 50 tahun menjadi faktor protektif terhadap relaps dan
kolektomi.10
Kolitis ulseratif merupakan penyakit yang memiliki progresi yang tinggi. Pada
proktitis dan kolitis sisi kiri dapat berprogresi menjadi kolitis yang ekstensif

19
selama 10 tahun pertama setelah diagnosis dari KU dilakukan. 31 Meskipun lesi
pada kolitis ulseratif terletak pada mukosa usus, progresi juga dapat terjadi pada
lapisan yang lebih dalam. Perubahan struktural yang terjadi antara lain striktur
jinak dan kontraksi permanen pada muskularis mukosa yang terpisah dari
submukosa.31 Perubahan ini mengakibatkan dismotilitas pada usus dan terjadinya
diare yang persisten setelah terjadi penyembuhan pada mukosa.31 Apabila progresi
terjadi hingga transmural, inkontinensi fekal dan akomodasi rektal akan
berkurang.31
Mortalitas pada kolitis ulseratif selama dua dekade tidak menunjukkan
peningkatan yang bermakna dengan kolektomi sebagai faktor protektif, tetapi
mortalitas KU tetap dapat meningkat sebagai akibat dari mortalitas perioperatif
dan post-operatif.31 Selain mortalitas yang berkaitan dengan tatalaksana,
mortalitas pada KU juga berkaitan dengan penyakit itu sendiri. Mortalitas
tertinggi pada KU terjadi akibat megacolon toksik yang diakibatkan oleh
keterlibatan dari kerusakan saraf, yang menyebabkan terjadinya dismotilitas pada
usus, dilatasi, infark, serta gangren.8 Kondisi ini terjadi pada KU dengan
keparahan yang lebih tinggi. Data juga menunjukkan bahwa 3%-5% penderita KU
mengalami adenokarsinoma kolon dan resiko meningkat sebanding dengan durasi
penyakitnya.6
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang berhubungan dengan terjadinya
relaps pada kolitis ulseratif masih belum jelas, namun beberapa faktor seperti diet
sehari-hari, merokok, stress, dan rendahnya kepatuhan untuk terapi dapat
mempengaruhi prognosis dari penyakit kolitis ulseratif.8

RINGKASAN
Kolitis ulseratif merupakan salah satu dari inflammatory bowel disease yang
masih belum diketahui etiologinya. Adanya defek dari imunitas innate dan adaptif
pada mukosa usus diduga menjadi patofisiologi dari penyakit ini. Kolitis ulseratif
memiliki gejala utama pendarahan kolorektal serta adanya diare. Ciri khas dari
kolitis ulseratif apabila dibandingkan dengan Crohn’s disease atau gangguan
pencernaan lain adalah infeksi sedalam mukosa usus, penyebaran kontagius;

20
melibatkan rektum; menyisakan bagian proksimal jalur gastrointestinal. Diagnosis
utama dari penyakit ini adalah endoskopi serta tes darah. Tatalaksana dari kolitis
ulseratif berguna untuk mengatasi keparahan kolitis ulseratif dan meningkatkan
kemungkinan remisi dengan menggunakan tatalaksana farmakologis maupun non-
farmakologis berupa operasi (kolektomi). Bagi penderita kolitis ulseratif
disarankan juga untuk melakukan screening untuk pencegahan kanker kolorektal.

SUMMARY
Ulcerative colitis is one of the inflammatory bowel disease which etiology is
still unknown. The presence of a defect from an innate and adaptive defect in the
intestinal mucosa is thought to be the pathophysiology of this disease. Ulcerative
colitis has the main symptoms of colorectal bleeding and the presence of
diarrhea. The hallmark of ulcerative colitis when compared to Crohn’s disease or
other digestive disorders is infection as deep as the intestinal mucosa, contagious
spread involving the rectum; leaving the proximal part of the gastrointestinal
tract. The main diagnoses of this disease are endoscopy and blood tests.
Management of ulcerative colitis is useful for overcoming the severity of
ulcerative colitis and increasing the likelihood of remission using
pharmacological and non-pharmacological management in the form of surgery
(colectomy). For patients with ulcerative colitis it is also recommended to screen
for prevention of colorectal cancer.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Siti Setiati. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. FK UI. 2007.

2. Torpy JM, Lynm C, Golub RM. JAMA patient page. Ulcerative colitis.
JAMA. 2012;

3. Molodecky NA, Soon IS, Rabi DM, Ghali WA, Ferris M, Chernoff G, et al.
Increasing incidence and prevalence of the inflammatory bowel diseases
with time, based on systematic review. Gastroenterology. 2012;

4. Langan RC, Gotsch PB, Krafczyk MA, Skillinge DD. Ulcerative colitis:
Diagnosis and treatment. Am Fam Physician. 2007;

5. Roggenbuck D, Hausdorf G, Martinez-Gamboa L, Reinhold D, Büttner T,


Jungblut PR, et al. Identification of GP2, the major zymogen granule
membrane glycoprotein, as the autoantigen of pancreatic antibodies in
Crohn’s disease. Gut. 2009;

6. Matsuoka K, Kobayashi T, Ueno F, Matsui T, Hirai F, Inoue N, et al.


Evidence-based clinical practice guidelines for inflammatory bowel

22
disease. Journal of Gastroenterology. 2018.

7. Satsangi J, Silverberg MS, Vermeire S, Colombel JF. The Montreal


classification of inflammatory bowel disease: Controversies, consensus,
and implications. Gut. 2006.

8. Ford AC, Sandborn WJ, Khan KJ, Hanauer SB, Talley NJ, Moayyedi P.
Efficacy of biological therapies in inflammatory bowel disease: Systematic
review and meta-analysis. American Journal of Gastroenterology. 2011.

9. Mustika S, Triana N. The Prevalence, Profile, and Risk Factor of Patients


with Ulcerative Colitis at Dr . Saiful Anwar Malang General Hospital.
2016;2(17):5–9.

10. Jang ES, Lee DH, Kim J, Yang HJ, Lee SH, Park YS, et al. Age as a
clinical predictor of relapse after induction therapy in ulcerative colitis.
Hepatogastroenterology. 2009;

11. Sicilia B, López Miguel C, Arribas F, López Zaborras J, Sierra E,


Gomollón F. Environmental risk factors and Crohn’s disease: A
population-based, case-control study in Spain. Dig Liver Dis. 2001;

12. Hindryckx P, Jairath V, D’Haens G. Acute severe ulcerative colitis: From


pathophysiology to clinical management. Nat Rev Gastroenterol
Hepatology. 2016;

13. Almeida MG, Kiss DR, Zilberstein B, Quintanilha AG, Teixeira MG,
Habr-Gama A. Intestinal mucosa-associated microflora in ulcerative colitis
patients before and after restorative proctocolectomy with an ileoanal
pouch. Dis Colon Rectum. 2008;

14. Liu H, Hu B, Xu D, Liew FY. CD4+CD25+ Regulatory T Cells Cure


Murine Colitis: The Role of IL-10, TGF- , and CTLA4. J Immunol. 2003;

15. Himmel ME, Hardenberg G, Piccirillo CA, Steiner TS, Levings MK. The
role of T-regulatory cells and Toll-like receptors in the pathogenesis of
human inflammatory bowel disease. Immunology. 2008.

16. Park SK, Ye BD, Yang SK, Kim SO, Kim J, Kim JW, et al. Clinical
features and course of ulcerative colitis diagnosed in asymptomatic
subjects. J Crohn’s Colitis. 2014;

17. Sakata T, Niwa Y, Goto H, Hirooka Y, Hayakawa T, Ohmiya N, et al.


Asymptomatic inflammatory bowel disease with special reference to
ulcerative colitis in apparently healthy persons. Am J Gastroenterol. 2001;

23
18. Reinisch S, Schweiger K, Pablik E, Collet-Fenetrier B, Peyrin-Biroulet L,
Alfaro I, et al. An index with improved diagnostic accuracy for the
diagnosis of Crohn’s disease derived from the Lennard-Jones criteria.
Aliment Pharmacol Ther. 2016;

19. Danese S, Fiocchi C. Review Article: Ulcerative Colitis. The New England
Journal of Medicine. 2011;365:1712-25

20. Mowat C, Cole A, Windsor A, Ahmad T, Arnott I, Driscoll R, et al.


Guidelines for the management of inflammatory bowel disease in adults.
Gut. 2011.

21. File TM. Highlights from clinical practice guidelines by the infectious
Diseases Society of America for the treatment of methicillin-resistant
Staphylococcus aureus infections in adults and children. Infect Dis Clin
Pract. 2011;

22. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA,
et al. Diagnosis and management of the metabolic syndrome An American
Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute scientific
statement. Current Opinion in Cardiology. 2006.

23. Meier J, Sturm A. Current treatment of ulcerative colitis. World J


Gastroenterol. 2011;

24. Fell JM, Muhammed R, Spray C, Crook K, Russell RK. Management of


ulcerative colitis. Arch Dis Child. 2016;

25. Manz M, Michetti P, Seibold F, Rogler G, Beglinger C. Treatment


algorithm for moderate to severe ulcerative colitis. Swiss Medical Weekly.
2011.

26. Moss AC, Farrell RJ. Infliximab for induction and maintenance therapy for
ulcerative colitis. Gastroenterology. 2006;

27. Vaughn BP, Moss AC. Novel treatment options for ulcerative colitis. Clin
Investig (Lond). 2013;

28. Reinisch W, Sandborn WJ, Hommes DW, D’Haens G, Hanauer S,


Schreiber S, et al. Adalimumab for induction of clinical remission in
moderately to severely active ulcerative colitis: Results of a randomised
controlled trial. Gut. 2011;

29. RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. 2013.

24
30. McLean LP, Shea-Donohue T, Cross RK. Vedolizumab for the treatment of
ulcerative colitis and Crohns disease. Immunotherapy. 2012;

31. Monstad I, Hovde Ø, Solberg IC, Moum BA. Clinical course and prognosis
in ulcerative colitis: Results from population-based and observational
studies. Annals of Gastroenterology. 2014.

25

Anda mungkin juga menyukai