Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Skizofrenia Hebefrenik

Pembimbing:

dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ

Disusun Oleh:

Yogi Adhitya Arganatha

112018074

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH DR. AMINO GONDOHUTOMO

PERIODE 25 NOVEMBER – 28 DESEMBER 2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi pikiran,
perasaan, dan perilaku individu. Istilah skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu schizo
(perpecahan) dan phren (jiwa). Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan terpecahnya
atau terfragmnetasinya pikiran individu dengan gangguan ini. Skizofrenia sendiri adalah
bagian dari gangguan psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman
terhadap realitas dan hilangnya daya tilik diri. Gangguan ini memiliki prevalensi seumur
hidup sebesar 0,3 – 0,7 %. Sumber lain menyebutkan prevalensi skizofrenia sebesar 1 % dan
insiden kasus baru sebesar 1,5 per 10.000 individu.1

Riset Kesehatan Dasar Indonesia pada tahun 2013 menyebutkan prevalensi


skizofrenia dan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 %. Eugene Bleuler (1857-1939)
adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah skizofrenia. Indonesia sebagai
negara dengan jumlah penduduk yang banyak dapat memiliki prevalensi skizofrenia yang
tinggi. Namun sangat disayangkan data prevalensi skizofrenia masih sangat kurang yang
telah dimiliki oleh Indonesia, oleh sebab itu perlu dilakukan kajian skizofrenia secara
komprehensif agar pencegahan penyakit skizofrenia dapat dilakukan dengan baik. Menurut
Bleuler, skizofrenia menggambarkan sebagai suatu gangguan yaitu adanya perpecahan
pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien. Eugene Bleuler juga memutuskan 4A, yaitu
asosiasi, ambivalensi, afek, dan autisme. Asosiasi menunjukkan gangguan asosiasi pikiran
terutama asosiasi longgar. Afek menggambarkan gangguan pada afek pasien dan gejala
tambahan skizofrenia menurut Bleuler yaitu adanya halusinasi dan waham.1

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan
phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku.
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta
disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga muncul
inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri,
ambivalensi dan perilaku bizar. Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian hari. Skizofrenia
adalah gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1
bulan gejala fase aktif.2

Sementara itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi


dan halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan
afek), dan gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial). Terdapat
beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, heberfrenik, katatonik, undifferentiated, dan
residual).2

II.2 Epidemiologi Skizofrenia Secara Umum

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk


di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun
dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan perempuan. Di Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian
psikiatri adalah karena skizofrenia. Data dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia pada tahun
2013 menyebutkan prevalensi skizofrenia dan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7
%.1,3

II.3 Faktor Predisposisi Skizofrenia Secara Umum

3
Gangguan jiwa skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya. Banyak faktor yang
berperan terhadap kejadian skizofrenia. Faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian
skizofrenia antara lain faktor genetik, biologis, biokimia, psikososial, status sosial ekonomi,
stress, serta penyalahgunaan obat. Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya
skizofrenia adalah sebagai berikut.3

II.3.a Umur

Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan umur 17-24 tahun.3

II.3.b Jenis kelamin

Proporsi skizofrenia terbanyak adalah laki laki (72%) dengan kemungkinan laki-laki
berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang
menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan
hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan
dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber lainnya mengatakan
bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk menderita stress psikologik dan juga
wanita relatif lebih rentan bila dikenai trauma.3

II.3.c Pekerjaan

Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85,3% sehingga
orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar
menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan
lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres
(kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja
memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.3

II.3.d Status perkawinan

Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk mengalami gangguan


jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital perlu untuk
pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju

4
tercapainya kedamaian.6 Dan perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi
pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.3

II.3.e Konflik keluarga

Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.3

II.3.f Status ekonomi

Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan
kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang
menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan
ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang
menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan sekadar stressor
psikososial melainkan juga stressor ekonomi. Dua stressor ini kaitmengait, makin
membuat persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.3

II.3.g Faktor genetik

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan
dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-
anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi
saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita
skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40- 68%; bagi
heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-86%. Diperkirakan bahwa yang
diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif.
Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.3

II.3.h Dopamin

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas pada


jaras dopamin mesolimbik yang berlebihan. Hal ini didukung oleh temuan bahwa
amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat menginduksi
psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama antipsikotik generasi

5
pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan memblok reseptor dopamine,
terutama reseptor D2.3

II.4 Jenis-jenis Skizofrenia

Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut


ICD-10 antara lain yaitu skizofrenia paranoid dengan ciri utamanya adalah adanya waham
kejar dan halusinasi auditorik namun fungsi kognitif dan afek masih baik, skizofrenia
hebefrenik ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku kacau dan afek yang
datar atau inappropiate, skizofrenia katatonik ciri utamanya adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi motoric immobility, aktivitas motorik berlebihan,
negativesm yang ekstrim serta gerakan yang tidak terkendali, skizofrenia tak terinci gejala
tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik maupun katatonik, depresi pasca
skizofrenia, skizofrenia residual paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia
sebelumnya dan saat ini gejala tidak menonjol, skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya,
skizofrenia yang tak tergolongkan.3

BAB III

6
SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

III.1 Definisi Skizofrenia Hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik merupakan gangguan kepribadian dengan kemunduran


perilaku dan prognosis buruk. Skizofrenia hebefrenik cenderung memiliki onset awal
dibandingkan tipe lain dan cenderung untuk berkembang sangat cepat secara tersembunyi.
Delusi dan halusinasi muncul relatif kecil, dan gambaran klinis didominasi oleh perilaku
aneh, asosiasi longgar, dan bizzare. Keseluruhan perilaku pasien tampak kekanak-kanakan.
Tanpa alasan mereka mungkin sibuk sendiri, tanpa tujuan, sering bertingkah konyol dan
tertawa dangkal. Di lain waktu mereka menarik diri dan tidak dapat diakses. Beberapa
mungkin menampilkan asosiasi longgar menuju inkoherensi.1

III.2 Diagnosis Skizofrenia Hebefrenik

Berdasarkan PPDGJ III, untuk mendiagnosis skizofrenia hebefrenik, harus memenuhi


kriteria diagnosis skizofrenia secara umum seperti ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang
jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):

- Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda.
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal).
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
- Delution of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar.
- Delution of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar.
- Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
kekuatan dari luar.
- Delution of perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

7
- Halusinasi auditorik = suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus
tentang perilaku pasien. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh. Waham waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus. Arus
pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme. Perilaku katatonik,
seperti gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Gejala harus berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan
bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi. Selanjutnya,
untuk mendiagnosis skizofrenia hebefrenik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:4

- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


- Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun)
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
- Untuk diagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan:
 Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecendrungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
 Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inapropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling), atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum

8
sendiri (self absorbed smilling), atau oleh sikap tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimace), mannerisme mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondriakal< dan ungkapan kata yang di ulang ulang
(reirated phrases);
 Proses pikir mengalami disorganisasi danpembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting ang fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive)
dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga
perilaku penderita memperlihatkan ciri khas yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.4

BAB IV

TATALAKSANA

9
IV.1 Tatalaksana Skizofrenia Secara Umum

Tujuan terapi pada skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien dan
mencegah kekambuhan. Sasaran terapi bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit.
Pada fase akut sasarannya mengurangi atau menghilangkan geja psikotik dan meningkatkan
fungsi normal pasien. Sedangkan pada fase stabilisasi sasarannya adalah mengurangi risiko
kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat.
Strategi terapi dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap yaitu:5

IV.1.a Terapi fase akut

Dilakukan saat terjadi episode akut yang melibatkan gejala psikotik intens. Tujuan
pengobatannya adalah mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pengobatan dengan obat merupakan terapi
utama pada fase ini. Jika digunakan dengan dosis yang tepat, pengguanaan
antipsikotik dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu 6 minggu.5

IV.1.b Terapi fase stabilisasi

Dilakukan setelah gejala psikotik dapat dikendalikan. Pada fase ini pasien sangat
rentan terhadap kekambuhan. Tujuan pengobatan adalah mencegah kekambuhan,
mengurangi gejala dan mengarahkan pasien ke dalam pemulihan yang lebih stabil.5

IV.1.c Terapi fase pemeliharaan

Merupakan terapi jangka panjang skizofrenia. Bertujuan untuk mempertahankan


kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko kekambuhan, dan mengajarkan
ketrampilan untuk hidup sehari-hari. Terapi pemeliharaan biasanya melibatkan
pengobatan dengan obat, terapi suportif, pendidikan keluarga dan konseling, serta
rehabilitasi pekerjaan dan sosial.5

IV.2 Terapi Non Farmakologi Skizofrenia Secara Umum

10
Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan
skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif dan
dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis. Intervensi
psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien. Pilihan
pendekatan dan intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan
keparahan penyakitnya.5

IV.2.a Program for Assertive Community Treatment (PACT)

PACT merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus dan
intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat terintegrasi.
Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya buruk dan bertujuan
untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan fungsi sosial dan pekerjaan.
Unsur-unsur kunci dalam PACT adalah menekankan kekuatan pasien dalam
beradaptasi dengan kehidupan masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan
konsultasi untuk pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan.
Laporan dari bebarapa penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk
memperbaiki gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan memperbaiki
kondisi kehidupan secara umum.5

IV.2.b Intervensi keluarga

Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien harus dilibatkan dan terlibat dalam
penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi untuk perawatan
pasien dan memerlukan pendidikan, bimbingan dan dukungan serta pelatihan
membantu mereka mengoptimalkan peran mereka.5

IV.2.c Terapi perilaku kognitif

Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap keyakinan (delusi), fokus
terhadap halusinasi pendengaran dan menormalkan pengalaman psikotik pasien
sehingga mereka bisa tampil secara normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terapi perilaku efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif.
Namun ada risiko penolakkan yang mungkin disebabkan oleh pertemuan mingguan
yang mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan gejala negatif yang berat.5

IV.2.d Terapi pelatihan ketrampilan sosial

11
Terapi ini didefinisikan sebagai pengguanaan teknik perilaku atau kegiatan
pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan interpersonal,
perawatan diri dan menghadapi tunutan masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki
kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien. Terapi ini tidak efektif untuk
mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala.5

IV.2.e Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan ECT dan kombinasi
dengan obat obat antipsikotik dapat dipertimbangkan sebagai pilihan bagi penderita
skizofrenia terutama jika menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala
yang cepat.5

IV.3 Terapi Farmakologi Skizofrenia Secara Umum

Obat antipsikotik dibagi menjadi dua macam yaitu generasi pertama dan generasi
kedua. Obat generasi pertama biasa disebut dengan obat antipsikotik tipikal sedangkan
golongan kedua disebut atipikal (tabel 1 dan 2). Contoh obat generasi pertama (antipsikotik
tipikal) adalah klorpromazin, flufenazin, haloperidol, loksapin, ferfenazin dan yang lainnya.
Sedangkan obat-obat antipsikotik atipikal seperti klozapin, olanzapin, quetiapin, risperidon
menunjukkan penurunan potensi efek samping ekstrapiramidal, mengatasi gejala negatif
skizofrenia, tidak ada peningkatan prolaktin setelah digunakan secara kronis dan efektif untuk
pasien yang resisten terhadap pengobatan.5

Tabel 1. Antipsikotik Tipikal

12
Tabel 2. Antipsikotik Atipikal

IV.3 Terapi Farmakologi Skizofrenia Hebefrenik

13
Terapi farmakologi utama yang digunakan pada skizofrenia hebefrenik adalah
antipsikotis atipikal atau antipsikosis golongan II. Antipsikosis golongan II merupakan
golongan obat yang memiliki efek untuk mengurangi gejala negatif maupun positif. Jika
dibandingkan dengan antipsikosis golongan I, antipsikosis golongan II mempunyai efektivitas
yang lebih baik dalam mengontrol gejala negatif dan positif. Sindrom psikosis berkaitan
dengan aktivitas neurotransmiter dopamine yang mengikat (hipereaktivitas system
dopaminergik sentral). Antipsikosis golongan II mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor
serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), α1 dan α2
adrenergik, serta histamin. Antipsikosis golongan II dapat memblokade reseptor pasca
sinaptik neuron di otak sehingga dopamin terblokade, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist). Antipsikosis golongan II contohnya
dapat pada tabel 3.5,7

Tabel 3. Obat Antipsikosis Atipikal

IV.4 Prognosis Skizofrenia Hebefrenik

14
Prognosis untuk skizofrenia hebefrenik pada umumnya kurang begitu baik. Insiden
kambuh pasien skizofrenia hebefrenik adalah tinggi, yaitu berkisar 60%-75% setelah suatu
episode psikotik jika tidak diterapi. Beberapa prediktor terjadinya kekambuhan antara lain:
pemberian neuroleptik, onset dan previous course (akut/kronis, manifestasi awal, upaya
bunuh diri, dan faktor presipitasi), psikopatologi (tipe residual, gejala afektif, sindrom
paranoid, halusinasi, gejala negatif), pengalaman hidup (pengalaman traumatik, gangguan
psikiatrik dan perkembangan saat anak), social adjustment (status perkawinan, pekerjaan,
pengalaman seksual, dan tingkat pendidikan), kepribadian premorbid, situasi emosi keluarga
(ekspresi emosi keluarga yang tinggi/rendah), faktor biologi (genetik, pria/ wanita, dan umur)
dari penderita.6

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir,
kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang
terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Salah satu dari subtipe dari
skizofrenia adalah skizofrenia hebefrenik dimana ciri utamanya adalah pembicaraan yang
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropiate. Terapi skizofrenia

15
hebefrenik lebih diutamakan menggunakan antipsikotik atipikal atau golongan II yang
mempunyai efektivitas yang lebih baik dalam mengontrol gejala negatif dan positif.

Daftar Pustaka

1. Yudhantara S, Istiqomah R. Sinopsis skizofrenia untuk mahasiswa kedokteran. Malang:


Penerbit UB Press; 2018. h.2-5.

2. Hendarsyah F. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan Gejala-Gejala


Positif dan Negatif. Lampung: FK Unila; 2016. h.2-3.

3. Zahnia S, Sumekar DW. Kajian epidemiologis skizofrenia. Lampung: FK Unila; 2016. h.2.

4. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III dan DSM
5. Jakarta: Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2013. H.44-8.

5. Prehaningrum A. Monitoring Efek Samping Penggunaan Obat Antipsikotik Tipikal


Terhadap Metabolisme Gula Darah dan Kolesterol Total Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi
Rawat Inap RSJ Grhasia. Yogyakarta: FK UGM; 2013. h.17-28.

6. Dewi R, Marchira C. Riwayat gangguan jiwa pada keluarga dengan kekambuhan pasien
skizofrenia di RSUP DR Sardjito. Yogyakarta: PPDS Psikiatri FK UGM; 2009. h.2-5.

7. Kementerian Kesehatan. Pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa. Jakarta: Menkes;


2015. h. 28.

16

Anda mungkin juga menyukai