Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP APENDISITIS

1. Pengertian

Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks, yang bukan

merupakan organ esensial dalam proses pencernaan. Apendiks

adalah sebuah kantong kecil pada usus yang dapat terisi oleh materi

usus, menjadi terinflamasi dan kemungkinan rupture [ CITATION

Mal11 \l 1057 ].

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis,

apendisitis akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan

yang mendadak pada suatu apendiks [ CITATION Ded10 \l 1057 ].

Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada umbai cacing

(apendiks). Infeksi bisa mengakibatkan komplikasi apabila tidak

segera mendapatkan tidakan bedah segera untuk mencegah

komplikasi yang berbahaya.

2. Anatomi Fisiologi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya

kira-kira 10 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit dibagian

proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit

kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya

insidens apendisitis pada usia itu. Persarafan parasimpatis berasal

dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior


dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari

nerveus torakalis.

Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula sekitar

umbilkus. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya

kare thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren

[ CITATION SSj11 \l 1057 ].

Gambar 1 Apendiks

Sumber : [CITATION htt \l 1057 ]

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu

normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke

caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya

berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar

yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang

terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.

Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.


Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak

mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf disini

kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan

di seluruh tubuh [ CITATION DRd16 \l 1057 ].

3. Etiologi

Menurut Hariyanto dan Sulistyowati (2015) dalam [ CITATION

NsL19 \l 1057 ] penyebab appendisitis belum diketahui secara pasti.

Namun, ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang

apendiks, yaitu diantaranya :

a. Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya

apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi.

b. Faktor adanya bakteri yang bisa menyebabkan apendisitis yaitu :

bacterodes fragililis, E.Coli,Splanchicus, Lactobacilus, Pseumonas

dan bacteriodes splanicus.

c. Keturunan, pada radang appendiks diduga juga merupakan faktor

herediter. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan

keluarga yang kurang serat dan memudahkan terjadinya fekalith

dan mengakibatkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet, negara maju yang mengkonsumsi makanan

tinggi serat berisiko lebih rendah terkena appendisitis dari pada

negara berkembang yang tidak mengonsumsi tinggi serat.

4. Klasifikasi

Menurut Sjamsuhidajat (2005) dalam [ CITATION NsL19 \l 1057 ]

klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik.
a. Apendisitis akut

Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul

secara mendadak. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala

khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang

memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai

rangsangan peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut yaitu nyeri

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah

epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual

dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam jam

nyeri akan berpindah ke titik mcBurney. Disini nyeri dirasakan

lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri

somatik setempat.

Gejala apendisitis akut adalah demam, mual-muntah,

penurunan nafsu makan, nyeri sekitar pusar yang kemudian

terlokalisasi diperut kanan bawah, nyeri bertambah untuk berjalan,

namun tidak semua orang akan menunjukan gejala seperti ini,

bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja.

Apendisitis akut, dibagi atas :

1) Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah

sembuh akan muncul striktur lokal.

2) Apendisitis purulenta difusi yaitu yang sudah bertumpuk

nanah.

b. Apendisitis Kronik
Gejala apendisitis kronik sedikit mirip dengan sakit asam

lambung dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar

pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali

disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian

nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-

tanda yang khas pada apendisitis akut.

Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi /

letak apendiks itu sendiri terhadap usus besar, apabila ujung

apendiks menyentuh saluran kemih, nyerinya akan sama dengan

nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan berkemih.

Bila posisi apendiks ke belakang, rasa nyeri muncul pada

pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus

buntu yng lain rasa nyeri mungkin tidak spesifik. Apendisitis kronik

dibagi atas :

1) Apendisitis kronik fokalis atau parsial, setelah sembuh akan

timbul striktur lokal.

2) Apendisitis kronik obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya

ditemukan pada usus tua.

5. Manifestasi Klinis

Menurut [ CITATION Rob141 \l 1057 ], ada beberapa tanda dan

gejala yang mungkin muncul pada pasien dengan apendisitis yaitu

diantaranya :

a. Nyeri abdomen (awalnya bersifat umum, namun dalam beberapa

jam akan terlokalisasi pada perut kuadran kanan bawah (titik


Mc.Burney), bertambah sakit dengan perkusi ringan atau jika

pasien batuk).

b. Anoreksia

c. Mual

d. Muntah

e. Demam tidak terlalu tinggi

f. Malaise

g. Konstipasi

h. Jalan membungkuk untuk mengurangi nyeri kuadran kanan

bawah.

i. Tiduran atau berbaring terlentang, menjaga agar lutut kanan

ditekuk untuk mengurangi nyeri.

j. Bising usus normal

k. Nyeri tekan lepas (rebound tenderness) dan spasme otot

abdomen ( nyeri pada kuadran kanan bawah ketika dilakukan

palapasi pada kuadran kiri bawah).

l. Sama sekali tidak terjadi nyeri abdomen jika apendiks terletak

retrosekal atau pada pelvis, sebagai gantinya terjadi nyeri panggul

saat colok dubur atau pemeriksaan pelvis.

m. Abdomen yang kaku dan nyeri akan membruk dalam perjalanan

penyakit, hilangnya nyeri abdomen secara mendadak

mengindikasikan adanya perforasi.

6. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan obstruksi

lumen oleh fecalit (massa keras dari feses), tumor, benda asing,

bakterial, atau virus [CITATION Dim20 \l 1057 ].

Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran

limfe yang menyebabkan edema, diapedesis, bakteri dan ulserasi

mukosa. Pada saat ini terjadi apendisitis akut yang ditandai oleh nyeri

epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut tekanan akan terus

meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi, edema

bertambah dan bakteri akan menembus dinding peradangan yang

timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

dengan apendisitis supraktif akut.

Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah akan terjadi

apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus

yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu

massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan

apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang [CITATION

Cah \l 1057 ].

7. Penatalaksanaan

Menurut Sjamsuhidjat (2004) dalam [ CITATION Cah \l 1057 ]

penatalaksanaan pada pasien dengan apendisitis dibagi menjadi 2

yaitu surgical dan non surgical :


a. Surgical

Yaitu dengan apendiktomi. Operasi apendisitis dapat

dipersiapkan hal-hal sebagai berikut :

Insisi tranversal 5cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal

nyeri tekan atau massa yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan.

Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis. Mesentrium

apendikular dan dasar apendiks di ikat dan apendiks diangkat.

Tonjolan ditanamkan ke dindim sekum dengan menggunakan

jahitan purse string untuk meminimalkan kebocoran intra abdomen

dan sepsis.

Kavum peritoneum dibilas dengan larutan tetrasiklin dan

luka ditutup. Diberikan antibiotik profilaksis untuk mengurangi luka

sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria.

b. Non Surgical

Penatalaksanaan ini dapat berupa :

1) Batasi diet dengan makan sedikit tapi sering.

2) Banyak meminum air.

3) Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk mengubah

saliva pada makanan.

4) Hindari makanan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol,

kopi, coklat, dan jus jeruk.

5) Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk

mencegah masalah refluk nonturnal.

6) Tinggikan kepala untuk mencegah refluk nonturnal.


8. Pathway

Infeksi akibat virus, jamur, feses yang membantu, pola hidup dan benda asing

Obstruksi lumen apendiks

Menyumbat saluran mukosa

Peningkatan tekanan intraluminal

Apendisitis

Kronik Akut

Obstruksi vena dan perluasan peradangan Sekresi mukus meningkat

Aliran arteri terganggu Terjadi pembengkakan

Nekrosis, gangrene, perforasi Nyeri


Resiko Infeksi Penatalaksanaan Pembedahan (Apendiktomi)

Pembedahan Ansietas

Anestesi Luka bedah

Lokal General Anestesi Perdarahan terbuka Jaringan terbuka

Inkontinuitas jaringan terputus

Resiko Infeksi Pusat kesadaran Pusat pernafasan terganggu

Refleks batuk Pola Nafas Tidak Efektif

Akumulasi saluran pernafasan [ CITATION Dim20 \l 1057 ] dan [ CITATION

Cah \l 1057 ].

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas


9. Komplikasi

Menurut [ CITATION NsL19 \l 1057 ], komplikasi yang bisa terjadi pada

pasien apendisitis yaitu :

a. Komplikasi utama adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks.

b. Tromboplebitis supuratif.

c. Abses subfrenikus.

d. Obstruksi intestinal setelah nyeri. Gejala nyeri antara lain demam

suhu 37,5○C – 38,5○C atau lebih tinggi, meningkatnya nyeri,

spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda

peritonitis umum atau abses terlokalisasi ileus, demam, malaise

dan leukositosis.

10. Pemeriksaan Penunjang

Menurut [ CITATION Wij13 \l 1057 ], ada beberapa pemeriksaan yang

dapat dilakukan untuk pasien dengan apendisitis :

a. Sel darah putih : leukositosis diatas 12000/mm3, neutrofil

meningkat sampai 75%.

b. Urinalisis : Normal, tapi eritrosit/ leukosit mungkin ada.

c. Foto abdomen : adanya pergeseran material pada appendiks

(fekalis) ileus terlokalisir.

d. Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi pada kuadran

bawah kiri yang secara paradoksal menyebabkan nyeri yang

terasa dikuadran kanan bawah.


B. Konsep Laparatomi

1. Pengertian

Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang

melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas

abdomen [ CITATION SSj11 \l 1057 ].

Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan

mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding

abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang

mengalami masalah (perdarahan, perforasi, kanker, dan obstruksi)

[ CITATION Adi16 \l 1057 ].

2. Indikasi

Tindakan laparotomi biasa dipertimbangkan atas indikasi

appendicititis, hernia, kista ovarium, kanker servis, kanker ovarium,

kanker tuba falopii, kanker uterus, kanker hati, kanker lambung,

kanker kolon, kanker kandung kemih, kehamilan ektopik, mioma uteri,

periontitis dan pankreas [ CITATION Mul12 \l 1057 ].

3. Penatalaksanaan / Jenis Tindakan

Menurut Yenichrst (2008) dalam [ CITATION Dic18 \l 1057 ]. Ada 4 cara

insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain :

a. Midline incision

Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit

perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di

tutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian,

kerugian jenis insis ini adalah terjadinya hernia cikatrialis.

Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien


serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis,

rektosigmoid, dan organ dalam pelvis.

b. Paramedian

Yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang

(12,5 cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri,

dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas,

organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi.

Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan

bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan

saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah.

c. Transverse upper abdomen incision

Yaitu, insisi di bagian atas, misalnya pembedahan

colesistotomy dan splenektomy.

d. Transverse lower abdomen incision

Yaitu, insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas

anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy.

4. Perawatan Pasca Laparatomi

Menurut [ CITATION Tar13 \l 1057 ], tindakan keperawatan post

laparatomi yaitu :

a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output.

b. Observasi dan catat sifat dari drain (warna, jumlah) drainage.

c. Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati-hati,

jangan sampai drain tercabut.

d. Perawatan luka operasi secara steril.


e. Pemberian makan diberikan jika: perut tidak kembung, peristaltik

usus normal, flatus positif, bowel movement positif. Nutrisi yang

diberikan biasanya tinggi protein guna mempercepat

penyembuhan luka.

5. Komplikasi

Menurut [ CITATION Dic18 \l 1057 ], komplikasi yang terjadi pada

pasien pasca bedah laparatomi, yaitu :

Komplikasi post laparatomi diantaranya Stitch Abcess, Infeksi

Luka Operasi, Gas Gangrene, Hematoma, Keloid Scar, Abdominal

Wound Disruption and Evisceration. Stitch Abcess yang biasanya

muncul dihari ke-10 pasca operasi atau bisa juga sebelumnya,

sebelum jahitan insisi tersebut diangkat.

Abses ini dapat superfisial atau lebih dalam. Jika dalam ia

dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan terasa nyeri jika

diraba. Infeksi luka operasi biasanya jahitan akan terkubur didalam

kulit sebagai hasil dari edema dan proses inflamasi sekitarnya. Infeksi

luka sering muncul pada 36 jam sampai 48 jam pasca operasi.

Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus Aureus, E.Colli,

Streptococcus Faecalis Bacteriodes. Pasien biasanya akan

mengalami demam, sakit kepala, anorexia, dan malaise.

Gas Gangrene biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada

luka pasca operasi , biasanya 12 jam sampai 72 jam pasca operasi,

peningkatan temperatur (39○C sampai 41○C), takikardia dan syok yang

berat. Hematoma kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini

biasanya hilang dengan sendirinya. Keloid Scar merupakan penyebab


dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya memang sebagian

orag mempunyai kecenderunganuntuk mengalami hal ini lebih dari

orang lain. Abdominal Wound Disruption and Evisceration dapat

partial ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi antara 0% sampai

3% dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari 60 tahun.

Jika dilihat dari jenis kelamin, perbandingan laki-laki dan perempuan

adalah 4:1.

C. Luka

Menurut Sjamsuhidajat (1999) dalam [ CITATION Tar13 \l 1057 ]

adanya luka setelah dilakukan pembedahan akan mengalami proses

penyembuhan luka yang terdiri dari fase inflamasi, fase proliferasi dan

fase remodelling, dimana fase inflamasi dan fase proliferasi sirkulasi

aliran darah yang baik akan sangat membantu proses kesembuhan luka,

yang mana dengan sirkulasi akan membantu memenuhi proses

kebutuhan nutrisi sel dalam darah sehingga akan membatu mempercepat

pertumbuhan jaringan fibrinogen dan limfosit serta jaringan kolagen dan

makrofag yang akan membentuk jaringan granulasi.

1. Pengertian

Menurut Carville K (2007) dalam [ CITATION Roh15 \l 1057 ] luka

merupakan suatu kerusakan yang abnormal pada kulit yang

menghasilkan kematian dan kerusakan sel-sel kulit. Luka juga dapat

diartikan sebagai interupsi kontinuitas jaringan, biasanya dari suatu

trauma atau cedera.


2. Klasifikasi

Menurut Sumiardi (2007) dalam [ CITATION Tar13 \l 1057 ]

secara umum dibagi dua yaitu luka tertutup dan luka terbuka. Luka

tertutup yaitu luka dimana tidak terjadi hubungan dengan dunia luar.

Contohnya luka memar,vulnus traumaticum. Luka terbuka yaitu luka

dimana terjadi hubungan antara luka dengan dunia luar. Contohnya

luka lecet, luka sayatan, luka robek, luka tusuk, luka potong, dan luka

tembak. Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara

mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka.

Luka bersih yaitu luka yang tidak terdapat imflamasi dan

infeksi, tidak melibatkan saluran pencernaan, saluran pernapasan,

dan saluran perkemihan. Luka bersih terkontaminasi yaitu luka yang

melibatkan saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan saluran

perkemihan. Luka tidak menunjukkan terkontaminasi. Luka

terkontaminasi yaitu luka terbuka, segar, luka kecelakaan, luka bedah

yang berhubungan dengan saluran pencernaan, luka menunjukkan

tanda infeksi. Luka kotor yaitu luka lama, luka kecelakaan yang

mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti

cairan.

3. Penyembuhan Luka

Menurut Taylor (1997) dalam [ CITATION Tar13 \l 1057 ] tubuh

yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

memulihkan dirinya, peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,

membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler

baian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara


normal tanpa bantuan walaupun beberapa bahan perawatan dapat

membantu untuk mendukung proses penyembuhan luka. Seperti

mobilisasi dini dapat membantu memperlancar kerja pompa jantung

untuk mensuplai aliran darah dari dan ke area luka dapat tercapai.

Penyembuhan luka adalah faktor penting pasca operasi yang

selalu dihadapi dan merupakan fenomena kompleks yang

melibatkan berbagai proses meliputi inflamasi akut menyusul

terjadinya kerusakan jaringan, regenerasi sel parenkim, migrasi, dan

proliferasi sel parenkim, sintesis extra celluler matris (ECM),

remodelling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan

akusisi kekuatan luka.

4. Komponen Penyembuhan Luka

Menurut Black JM & Jakobs (1997) dalam [ CITATION Tar13 \l 1057 ]

menuliskan :

a. Kolagen

Kolagen secara normal ditemukan menghubungkan

jaringan, melintasi luka dengan bermacam sel mediatot. Kolagen

adalah sel yang paling penting pada penyembuhan fase imflamasi

dan proliferasi karena sintesisnya, kolagen sisa, elastin, dan

proteoglikan. Substansi ini membangun kembali pertumbuhan

jaringan.

b. Angiogenesis

Perkembangan dari pembuluh darah baru pada luka kotor

dapat didefinisikan selama pengkajian klinik. Tahap awal tepi luka

berwarna merah terang dan mudah berdarah, selanjutnya selama


beberapa hari berubah jadi merah terang menjadi merah gelap,

dan secara mikroskopis angiogenesis dimulai beberapa jam

setelah perlukaan.

c. Granulasi jaringan

Sebuah matrik kolagen, kapilarisasi, dan sel mulai mengisi

daerah luka dengan kolagen baru membentuk sebuah scar,

jaringan ini tumbuh dari tepi luka ke dasar luka. Granulasi jaringan

diisi dengan kapilarisasi baru yang berwarna merah, tidak rata

atau berbenjol halus, dan dikelilingi oleh fibroblast dan makrofag.

Makrofag melanjutkan untuk merawat luka dan merangsang

fibroblas dan proses angiogenesis, sebuah granulasi jaringan

mulai dibentuk dan proses epitalisasi terbentuk

d. Kontraksi luka

Kontraksi luka adalah mekanisme dimana tepi luka

menyatu sebagai akibat kekuatan dalam luka, kontrksi dihasilkan

dari kerja miofibroblast. Jembatan miofibroblast melintasi luka dan

menarik tepi luka untuk menutup luka.

e. Epitalisasi

Epitalisasi adalah migrasi dari epitalisasi sel dari sekeliling

kulit, epitalisasi juga melintasi folikel rambut di dermis dari luka

yang sembuh dengan secondary intention. Besarnya luka

kedalaman luka memerlukan skin graft, karena epidermal migrasi

secara normal dibatai kira-kira 3cm. Epitalisasi dapat dilihat pada

granulasi luka bersih, dan epitalisasi sel terbagi selanjutnya


migrasi epitelisasi bertemu dengan sel yang sama dari tepi luka

yang lain dan migrasi berhenti.

5. Fase Penyembuhan Luka

Fase penyembuhan luka menurut [ CITATION Tar13 \l 1057 ] ada 4 fase,

yaitu :

a. Fase inflamasi

Terjadi segera setelah luka 24 jam dan berakhir 3-4 hari,

dimana terjadi proses homeostasis (penghentian perdarahan),

akibat fase konstriksi pembuluh darah besar didaerah luka,

retraksi pembuluh darah, endapan fibrin dan platelet yang

menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi

pengambilan sel dan akan menghubungkan jaringan.

b. Fase proliferasi

Fase ini berlangsung dari hari ke 3 atau 4 sampai hari ke

21 setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel

jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama

setelah pembedahan, diawali dengan mensintesis kolagen dan

subtansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 7 hari setelah

terjadi luka. Kolagen dan substansi protein yang menambah

tegangan permukaan dari luka, sehingga jumlah kolagen yang

meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil

kemungkinan luka terbuka, selama waktu itu sebuah lapisan

penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka. Meningkatnya

aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang

diperlukan bagi kesembuhan luka. Fibroblast berpindah dari


pembuluh darah keluka membawa fibrin, seiring perkembangan

kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah dan disebut

sebagai granulasi jaringan lunak, tertutupnya permukaan luka,

epitalisasi atau tepi luka terkelupas. Menurut Schwarz (2000)

menuliskan tentang tahap penyembuhan luka pada fase proliferasi

dan fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai

oleh sintesis kolagen dimana sintesis kolagen dimulai dalam 24

jam setelah cedera, namun tidak akan mencapai puncaknya

hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesis kolagen akan

berkurang secara perlahan-lahan. Remodelling luka mengacu

pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi

kolagen, dimana pada sat serabut-serabut kolagen tua diuraikan

oleh kolagenese jaringan, serabut-serabut baru dibentuk dengan

kepadata pengerutan yang makin bertambah sehingga proses ini

akan meningkatkan kekuatan potensial jaringan.

c. Fase maturasi

Fase ini dimulai hari ke 21 dan berakhir 1 -2 tahun setelah

pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen dan kolagen

menjalin dirinya menyatukan dalam struktur yag lebih kecil,

kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.

D. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian pada pasien post operasi menurut [ CITATION Jit12 \l

1057 ] :
a. Identitas klien dan identitas penanggung jawab

Pengkajian ini meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku

bangsa, alamat, agama, status perkawinan, diagnosa medik,

nomor medical record, ruang rawat, dan alasan masuk.

b. Keluhan Utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan

kesehatan adalah nyeri pada abdomen.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pengembangan dari keluhan utama dan data yang menyertai

dengan menggunakan PQRST.

P : Nyeri bertambah saat aktivitas dan berkurang saat istirahat.

Q : Nyeri dirasakan seperti apa.

R : Nyeri terjadi pada daerah atau lokasi mana.

S : Berapa skala nyeri yang dirasakan klien.

T : Nyeri dirasakan intermitten atau continue.

d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada riwayat kesehatan masa lalu ini dikaji tentang faktor resiko

penyebab masalah kesehatan sekarang serta jenis penyakit dan

kesehatan masa lalu. Pada klien post operasi akibat peritonitis,

perlu dikaji mengenai riwayat penyakit saluran pencernaan

(Typhoid, Apendisitis, dll) dan riwayat pembedahan sebelumnya.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pada riwayat kesehatan keluarga ini dikaji tentang penyakit yang

menular atau penyakit menurun yang ada dalam keluarga.


f. Pola Aktivitas Harian

Pengkajian pada pola aktivitas ini adalah membandingkan antara

kebiasaan selama di rumah sakit sebelum sakit dan selama sakit

dirumah sakit, meliputi :

1) Pola nutrisi, dikaji mengenai makanan pokok, frekuensi

makan, pantangan makanan, alergi terhadap makanan dan

nafsu makan. Biasaya pada klien post operasi akibat

peritonitis, terdapat mual, muntah dan anoreksia.

2) Pola eliminasi, pada eliminasi yang harus dikaji meliputi

frekuensi buang air besar, konsistensinya dan keluhan selama

buang air besar. Frekuensi buang air kecil, warna, jumlah

urine tiap buang air kecil pada klien dengan post operasi

biasanya dijumpai penurunan jumlah urine akibat intake cairan

yang tidak adekuat akibat pembedahan.

3) Pola istirahat dan tidur, pada pola istirahat dan tidur yang

harus dikaji adalah lama tidur dalam sehari, kebiasaan pada

waktu tidur. Pada klien post operasi biasanya ditemukan

gangguan pola tidur karena nyeri.

4) Pola personal hygiene, pola personal hygiene yang harus

dikaji adalah kemampuan klien perawatan diri seperti mandi,

gosok gigi, keramas, gunting kuku, dll. Pada klien dengan post

operasi biasanya klien tidak dapat melakukan personal

hygiene secara mandiri karena keterbatasan gerak akibat

pembedahan dan nyeri.


5) Pola aktivitas, pada pola aktivitas meliputi kebiasaan aktivitas

sehari-hari. Pada klien dengan post operasi biasanya

ditemukan keterbatasan gerak akibat nyeri.

g. Pemeriksaan Fisik

1) Penampilan umum klien setelah dilakukan pembedahan

biasanya tampak lemah, gelisah, meringis.

2) Pemeriksaan fisik head to toe

a) Kepala : Bentuk kepala, kesimetrisan kepala, kebersihan

rambut dan kulit kepala, jumlah dan distribusi rambut,

adanya pembekakan/penonjolan, dan tekstur rambut.

b) Mata : Kesimetrisan mata, alis mata, bulu mata, warna

konjungtiva, warna sklera, respon terhadap cahaya,

ketajaman mata.

c) Telinga : Bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan,

ada/tidak pengeluaran serumen, ada/tidak nyeri tekan,

fungsi pendengaran, rinne, weber, swabach.

d) Hidung : Bentuk, kesimetrisan, ada/tidak lesi, ada/tidak

sumbatan, ada/tidak pembengkakan, ada/tidaknya

pernafasan cuping idung, ada/tidak nyeri tekan di area

sinus.

e) Mulut : Simetris, warna mukosa mulut dan bibir, ada/tidak

lesi, ada/tidaknya stomatitis, keadaan lidah, keadaan gigi,

ada/tidak karies gigi, keadaan palatum, ada/tidaknya

pembengkakan tonsil, refleks menelan.


f) Leher : Simetris, ada/tidaknya pembesaran kelenjar tiroid,

ada/tidak pembengkakan JVP, ada/tidak nyeri tekan.

g) Dada/thorax : Kesimetrisan, bentuk/postur, lesi,

penonjolan, ada/tidak retraksi dada, upaya

pernapasan/otot-otot bantu napas, nyeri, taktil fremitus,

perkusi suara paru, auskultasi paru.

h) Jantung : Ada/tidak pembesaran jantung, batas-batas

jantung, auskultasi bunyi jantung.

i) Abdomen : Keadaan abdomen, adanya luka operasi,

keadaan luka, tanda-tanda infeksi, auskultasi bising usus,

adanya nyeri tekan/lepas, perkusi abdomen.

j) Ekstremnitas atas : Kesimetrisan, pergerakan, tonus otot,

dan kekuatan otot, keadaan kuku, keadaan kulit, CRT,

refleks biceps dan triceps.

k) Ekstremnitas bawah : Kesimetrisan, keterbatasan

ambulasi, keadaan kulit, kekuatan dan tonus otot, keadaan

kuku, refleks patella.

h. Aspek Psikologis

a. Status Emosional, kemungkinan ditemukan emosi klien jadi

gelisah dan labil, karena proses penyakit yang idak diketahui /

tidak pernah diderita sebelumnya dan akibat pembedahan.

b. Konsep Diri yaitu :

1) Body Image / Gambaran Diri, mencakup persepsi dengan

perasaan terhadap tubuhnya, bagi tubuh yang disukai dan

tidak disukai.
2) Harga Diri, penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai

dengan menganalisa seberapa jauh memenuhi ideal diri.

Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan

dari orang lain.

3) Ideal Diri, harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas /

peran dan harapan terhadap penyakitnya.

4) Peran yang diemban dalam keluarga atau kelompok

masyarakat dan kemampuan klien dalam melaksanakan

tugas/peran tersebut.

5) Identitas, status dan posisi klien sebelum dirawat,

kepuasan klien terhadap status dan posisinya.

i. Aspek Sosial dan Budaya

Pengkajian ini menyangkut pada pola komunikasi dan interaksi

interpersonal, gaya hidup, faktor sosialkultural serta support

sistem yang ada pada klien.

j. Aspek Spiritual, aspek ini menyangkut tentang kepercayaan dan

keyakinan terhadap Tuhan dan cara untuk menjalankan ibadah.

k. Data penunjang, data penunjang ini terdiri dari farmakoterapi/

obat-obatan yang diberikan kepada klien, serta prosedur

diagnostik yang dilakukan kepada klien seperti pemeriksaan

laboratorium atau pemeriksaan Rontgen.

Analisis Data

Data Etiologi Masalah


DS : Insisi Bedah Nyeri Akut
Klien mengeluh nyeri
di abdomen.
DO :
Data Etiologi Masalah
Klien tampak Meringis Menyebabkan
Kesakitan perlukaan pada
abdomen

Terputusnya
kontinuitas jaringan

Merangsang stimulus
nyeri

Nyeri

[ CITATION Cah \l 1057 ]


DS : - Insisi Bedah Resiko Tinggi Infeksi
DO :
Tampak adanya luka
operasi, keadaan
balutannya, tanda- Menyebabkan
tanda infeksi. perlukaan pada
abdomen

Luka bedah

Resiko Infeksi

[ CITATION Cah \l 1057 ]


DS : Luka Insisi Gangguan Mobilitas
Klien mengatakan Fisik
nyeri jika bergerak
DO :
Tampak kesulitan Nyeri Akut
dalam berpindah
tempat.

Hambatan Mobilitas
Fisik

[ CITATION Cah \l 1057 ]


Data Etiologi Masalah
DS : Pembedahan Defisit Nutrisi
Klien mengatakan
tidak nafsu makan,
mual.
DO : Prosedur Anestesi
Adanya penurunan
berat badan 10%

Mual/Muntah

Defisit Nutrisi

[ CITATION Cah \l 1057 ]


DS : Luka Insisi Defisit Perawatan Diri
Klien mengatakan
tidak melakukan
mandi, keramas, sikat
gigi karena nyeri. Nyeri
DO :
Kulit klien lengket,
rambut berminyak,
bau badan, bau mulut. Defisit Perawatan Diri

[ CITATION Cah \l 1057 ]

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri Akut berhubungan dengan adanya luka post laparatomi

[ CITATION SDK17 \l 1057 ].

b. Resiko Infeksi berhubungan dengan destruksi pertahanan

terhadap infeksi [ CITATION SDK17 \l 1057 ].

c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan nyeri post operasi

laparatomi [ CITATION SDK17 \l 1057 ].

d. Defisit Nutrisi berhubungan dengan efek samping prosedur

anestesi [ CITATION SDK17 \l 1057 ].


e. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan hambatan mobilisasi

[ CITATION SDK17 \l 1057 ].


3. Perencanaan Keperawatan

No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238) a. Membantu dalam

adanya luka post Setelah dilakukan tindakan a. Observasi mengidentifikasi

laparatomi keperawatan selama ...x24 1) Identifikasi lokasi, derajat nyeri

jam diharapkan nyeri akut karakteristik, durasi, kebutuhan untuk

berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, analgetik.

hasil : intensitas nyeri. b. Mengkonfirmasi

a. Skala nyeri berkurang 2) Identifikasi skala skala nyeri yang

b. Sikap nyeri nonverbal nyeri. dirasakan klien.

tidak ada 3) Identifikasi respon c. Memperhatikan

c. Gelisah tidak ada nyeri non verbal. respon tubuh pasien

[ CITATION SLK19 \l 1057 ] b. Terapeutik ketika nyeri.

Berikan teknik d. Membantu

nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri


No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan mengurangi nyeri. yang klien rasakan.

c. Edukasi e. Membantu pasien

Ajarkan teknik untuk melakukan

nonfarmakologis untuk teknik

mengurangi nyeri. nonfarmakologis

d. Kolaborasi secara mandiri.

Kolaborasi pemberian f. Membantu

analgetik. mengurangi nyeri

[ CITATION SIK18 \l 1057 ] yang klien rasakan.


2. Resiko Infeksi b.d Tingkat Infeksi (L.14137) Perawatan Luka (I.14564) a. Memantau tanda

destruksi Setelah dilakukan tindakan a. Observasi infeksi.

pertahanan terhadap keperawatan selama ...x24 Monitor tanda-tanda b. Mengetahui keadaan

infeksi jam diharapkan infeksi tidak infeksi. luka dan mencegah

terjadi, dengan kriteria hasil: b. Terapeutik terjadinya infeksi.

a. Tanda-tanda vital 1) Mengganti balutan c. Mencegah terjadinya


No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan normal. pasien sesuai infeksi pada luka.

b. Tanda-tanda infeksi kondisi pasien. d. Mencegah terjadinya

tidak ada. 2) Pertahankan teknik infeksi.

[ CITATION SLK19 \l 1057 ] steril saat melakukan

perawatan luka.

c. Kolaborasi

Kolaborasi pemberian

antibiotik.

[ CITATION SIK18 \l 1057 ]


3. Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi a. Memantau hal yang

Fisik b.d Nyeri post Setelah dilakukan tindakan (I.05173) menghambat

laparatomi keperawatan selama ...x24 a. Observasi mobilisasi.

jam diharapkan mobilisasi 1) Identifikasi adanya b. Memantau keadaan

fisik meningkat, dengan nyeri atau keluhan klien saat mobilisasi.

kriteria hasil : fisik lainnya. c. Untuk membantu


No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan a. Pergerakan 2) Monitor kondisi proses

ekstremnitas umum selama penyembuhan luka

meningkat. melakukan operasi.

b. Kekuatan otot mobilisasi. d. Untuk memberikan

meningkat. b. Terapeutik dukungan pada

c. Rentang gerak 1) Anjurkan mobilisasi pasien dalam

meningkat. bertahap. penyembuhan luka.

[ CITATION SLK19 \l 1057 ] 2) Libatkan keluarga

untuk membantu

pasien dalam

meningkatkan

pergerakan.

[ CITATION SIK18 \l 1057 ]


4. Defisit Nutrisi b.d Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi ( I.03119) a. Memantau nutrisi

efek samping Setelah dilakukan tindakan a. Observasi klien.


No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
prosedur anestesi keperawatan selama ...x24 Memonitor asupan b. Untuk mengurangi

jam diharapkan defisit makanan. rasa mual.

nutrisi membaik, dengan b. Terapeutik

kriteria hasil : Anjurkan makan sedikit

a. Frekuensi makan tapi sering.

meningkat. [ CITATION SIK18 \l 1057 ]

b. Mual hilang.

c. Muntah tidak ada.

[ CITATION SLK19 \l 1057 ]


5. Defisit Perawatan Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri a. Memantau

Diri b.d hambatan Setelah dilakukan tindakan (I.11348) kemandiriaan pasien

mobilisasi keperawatan selama ...x24 a. Observasi dalam perawatan

jam diharapkan defisit Monitor tingkat diri.

perawatan diri teratasi, kemandirian. b. Memfasilitasi

dengan kriteria hasil : b. Terapeutik kebutuhan perawatn


No Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan a. Pasien mampu Fasilitasi untuk diri pasien

melakukan perawatan perawatan diri (mandi,

diri. sikat gigi, keramas).

b. Pasien mampu ke [ CITATION SIK18 \l 1057 ]

toilet.

c. Pasien memiliki

keinginan melakukan

perawatan diri.

[ CITATION SLK19 \l 1057 ]


DAFTAR PUSTAKA

Aditya, W., Zahari, A., & Afriwardi. (2016). Jurnal Kesehatan Andalas. Hubungan
Mobilisasi Dini dengan Proses Penyembuhan Luka pada Pasien Pasca
Laparatomi di Bangsal Bedah Pria dan Wanita RSUP Dr. M. Djamil
Padang, 725.

Ariestyan, D. (2014). Retrieved Februari 15, 2020, from PathwayAppendicitis:


https://www.academia.edu/7566857/Pathway_Appendicitis

Cahya, N. (2013). Retrieved Februari 29, 2020, from BAB II Tinjauan Teori:
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/103/jtptunimus-gdl-novinurcah-5123-
2-babii.pdf

Dermawan, D., & Rahayuningsih, T. (2010). Keperawatan Medikal Bedah


(Sistem Pencernaan). Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Dictara, A. A., Angraini, D. I., & Musyabiq, S. (2018). Efektivitas Pemberian


Nutrisi Adekuat dalam Penyembuhan Luka Pasca Operasi Laparatomi,
251.

DR.dr. Warsinggih, S.-K. (2016). Bahan Ajar Apendisitis Akut.

Hurst, M. (2011). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta:


ECG.

Jitowiyono, S., & Kristiyanasari, W. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Merdawati, L., & Malini, H. (2019). Keperawatan Medikal Bedah II. Depok: PT
Raja Grafindo Persada.

Mulyantari, A. I. (2012, Mei 8). Retrieved Februari 16, 2020, from Laparatomi:
https://www.slideshare.net/ayuinsafi/laparotomy

pinterpandai.com. (n.d.). Retrieved Februari 29, 2020, from


https://www.pinterpandai.com/usus-buntu-adalah-kantung-yang-
terhubung-pada-bagian-usus-besar/

Robinson, J., & Saputra, L. (2014). Buku Ajar Visual Nursing (Medikal Bedah).
Tangerang: Bina Rupa Aksara.

Rohmayanti, & Kamal, S. (2015). Implementasi Perawatan Luka Modern di RS


Harapan Magelang, 600.
SDKI, P. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat .

SIKI, D. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat.

Sjamsuhidajat, S., & Jong, D. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:
ECG.

SLKI, D. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat.

Tarmidzi, D. S. (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN POST
LAPAROTOMI YANG DIBERIKAN MOBILISASI DINI UNTUK
MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA OPERASI DI RSUPN CIPTO
MANGUNKUSUMO.

Wijayaningsih, K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan . Jakarta: Trans Info


Media.

Amalina, A., Suchitra, A., & Saputra, D. (2018). HUBUNGAN JUMLLAH


LEUKOSIT PRE OPERASI DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA
OPERASI APENDIKTOMI PADA PASIEN APENDISITIS PERFORASI,
492-493.

C.S, W., & Sabir, M. (2016). PERBANDINGAN ANTARA SUHU TUBUH, KADAR
LEUKOSIT DAN PLATELET DITRIBUTION WIDTH (PDW) PADA
APENDISITIS AKUT DAN APENDISITIS PERFORASI, 25-27.

Faridah, V. N. (2015). Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Post OP Apendisitis


Dengan Teknik Distraksi Nafas Ritmik, 69.

Fransisca, C., Gotra, M., & Mahastuti, N. M. (2019). Jurnal Media Udayana Vol 8.
Karakteristik Pasien Dengan Gambaran Histopatologi Apendisitis.

Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan .


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Hutahaean, S., Febriana, N., & Apifah, L. (2019). PENERAPAN PROSEDUR


TEKNIK RELAKSASI TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PASIEN
POST LAPARATOMI, 44.
Noviantoro. (2018). Retrieved Februari 10, 2020, from
http://repository.unimus.ac.id/2969/2/BAB%20I.pdf

Padmi, C. I., & Widarsa, T. (2017). Akurasi Total Hitung Leukosit dan Durasi
Simtom sebagai Prediktor Perforasi Apendisitis pada Penderita
Apendisitis Akut.

Pierce A, G., & Neil R, B. (2007). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga . In
Apendisitis Akut (p. 106). Jakarta: Erlangga.

Wulandari, D. (2017). Hubungan Kebiasaan Makan Makanan Rendah Serat


Dengan Kejadian Apendisitis Akut.

Yankes, D. (2018, September 13). Radang Usus Buntu.

Anda mungkin juga menyukai