Anda di halaman 1dari 4

Nama :Natalia iting

Nim :4072017141
Kelas : btp 6 b
Matakuliah : kultur jaringan

Perbanyakan Kakao Secara Kultur Jaringan

Theobroma cacao L., atau yang lebih dikenal dengan tanaman kakao, merupakan
tumbuhan tropis yang berasal dari amerika latin yang dapat tumbuh hingga mencapai 10
meter (Argout et all., (2011), Winarsih (2002)). T.cacao telah dikenal di Indonesia sejak
tahun 1560. Negara Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga setalah Ghana
dan Pantai Gading. Selain itu, di Indonesia komoditas kakao merupakan komoditas
penghasil devisa negara nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet. Berdasarkan data
ICCO (International Cacao Organization) komoditas kakao di indonesia pada tahun
2009 total pendapatannya dapat mencapai sebesar US $ 1,8 milyar atau naik 20% dari
tahun sebelumnya (Jauhari dan Wirjodirdjo, 2010). T.cacao memiliki banyak manfaat,
tidak hanya sebagai komoditas penghasil devisa negara tetapi biji cacao juga merupakan
satu-satunya bahan utama dalam pembuatan coklat. Selain itu kakao pun banyak
digunakan sebagai bahan utama dalam beberapa produk kosmetik, industry farmasi dan
lain sebagainya. Meskipun demikian, Agrobisnis kakao di Indonesia masih menghadapi
berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat
serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk dan jumlah masih rendah
serta masih belum optimalnya pengembangan produk kakao serta penyediaan jumlah
bibit kakao yang unggul. Hal ini menjadi suatu tantangan untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi oleh perkebunan kakao sekaligus sebagai peluang untuk mengembangkan
usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Silva et al.,
2009., Argout et al, 2011., Veco, 2011).
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh perkebunan kakao
melalui rekayasa genetika. Keuntungan dari rekayasa genetika dalam perbaikan
tanaman genetik telah menyebabkan pengembangan metode transformasi DNA, dimana
diharapkan dapat memecahkan masalah dalam meningkatkan produktivitas suatu
tanaman (Figueira et al., 1991, Chantrapradist dan Kanchanapoom, 1995., Chaidamsari
et al., 1999, Purnamaningsi, 2002, Silva et al., 2009, Tsai and Kinsella, 1981.,).
Kinsella, 1981.,).
Menurut Winarsih et al., (2002) Salah satu cara yang paling efektif untuk
mengendalikan hama PBK dan penyakit pada kakao serta menghasilkan bibit unggul
dapat melalui teknik kultur jaringan yaitu induksi kalus dan rekayasa genetika.

Bibit kakao yang dapat meng-hasilkan tanaman yang sama baiknya dengan induk
unggulnya sangat diperlukan. Salah satu alternatif adalah dengan me-manfaatkan bibit
asal organ vegetatif yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan dengan proses
embriogenesis somatik.

Perbanyakan secara in vitro melalui embriogenesis menye-diakan sarana untuk


menghasilkan sejumlah besar tanaman yang identik secara genetik dan sering
merupakan tanaman yang bebas patogen. Teknik ini juga dapat digunakan untuk
mengembangkan sistem transformasi genetik atau untuk melestarikan plasma nutfah
melalui kriopreservasi embrio somatik. Namun, agar teknik ini dapat diaplikasikan dan
ekonomis, penting dilakukan optimalisasi variabel sistem untuk mendapatkan embrio
berkualitas dengan tingkat multiplikasi yang tinggi.
Beberapa penelitian kultur jaringan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia untuk
menghasilkan bibit kakao hasil kultur jaringan melalui proses regenerasi embriogenesis
somatik telah dilakukan (Winarsih & Priyono, 1995; Winarsih et al., 2002; Winarsih et
al., 2003). Peneliti dari Negara lain juga mengembangkan regenerasi kakao melalui
proses embriogenesis somatik (Mayolo et al., 2003; Alemanno et al., 2003; Traore et
al., 2003). Jenis eksplan kakao yang sudah diteliti daya regenerasinya adalah daun
muda, nuselus, embriozigotik muda biji genotipe dan seluruh bagian-bagian bunga
termasuk antera (Sondahl et al., 1993; Alemanno et al., 1997; Li et al., 1998).
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian di berbagai Negara tentang perbanyakan
kakao menggunakan teknik kultur jaringan dan induksi embrio somatik, akan tetapi
belum diperoleh hasil yang memuaskan. Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan
respon masing-masing genotipe terhadap media kultur yang digunakan. Oleh karena itu
produksi massal bibit kakao klon-klon baru dengan teknik kultur jaringan masih perlu
penelitian lebih lanjut. Keterbatasan bibit tanaman kakao merupakan permasalahan
dalam pengembangan tanaman kakao saat ini. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan
pengembangan teknologi pembibitan kakao dengan jumlah yang banyak dan waktu
yang singkat sehingga mampu memenuhi kebutuhan yang semakin besar yaitu melalui
teknik kultur jaringan tanaman kakao. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa organ, jaringan dan sel dalam
kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini didasari pada teori totipotensi sel dan
dicirikan oleh kondisi yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan
nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh (Yusnita, 2003). Perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan dapat dilakukan dengan organogenesis dan embriogenesis. Keunggulan
regenerasi melalui embriogenesis adalah mampu menghasilkan embrio bipolar dari sel
atau jaringan vegetatif (Sri Lestari, 2005 cit. Edy dan Pujisiswanto, 2008).

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik (baik haploid
maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan
embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embrio somatik dapat dicirikan dari
strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar
dan meristem tunas.
somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar
(Purnamaningsih, 2004). Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara
langsung maupun tidak langsung (melewati kalus). Embriogenesis langsung yaitu
terjadi diferensiasi jaringan eksplan membentuk embrioid tanpa melalui pembentukan
kalus. Sedangkan embriogenesis tidak langsung terjadi melalui pembentukan kalus,
keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik
yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-
kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2004). Faktor-faktor yang
mempengaruhi dan berperan dalam induksi embriogenesis somatik adalah komposisi
medium, zat pengatur tumbuh, jenis eksplan, ekspresi gen, dan cahaya (Trisnawati dan
Sumardi, 2000).

Penelitian-penelitian tersebut telah dapat menghasilkan planlet dari proses regenerasi


eksplan kakao menjadi embrio somatik melalui jalur somatik embriogenesis (SE).
Bahkan embrio somatik tersebut sudah dimanfaatkan untuk keperluan penyimpanan
plasma nutfah (Fang et al. 2004).
Hingga saat ini masih dijumpai kendala perbanyakan kakao dengan kultur jaringan,
terutama untuk klon-klon unggul Indonesia, diantaranya karena adanya produksi kalus,
fenol, dan lendir yang berlebihan dari eksplan jaringan vegetatif sehingga menghambat
proses regenerasi (Adu-Ampomsh et al. 1992, Winarsih & Priono 1995). Disamping itu
reprodusibilitas prosedur dan daya regenerasi masih tergolong rendah (Tahardi &
Mardiana 1995).
Perbanyakan kakao melalui kultur jaringan yang dipandang cukup berhasil adalah
perbanyakan dengan menggunakan eksplan bunga dan embrio zigot (Li et al. 1998,
Winarsih et al. 2002). Perbanyakan dengan eksplan embrio zigot secara genetis sama
dengan biji, dan dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak embrio hibrida hasil seleksi
tanpa menunggu buah masak untuk menghindari kegagalan panen akibat layu buah
muda (Winarsih & Prion 1995).

file:///C:/Users/user/Downloads/855-1571-1-SM.pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/59-1-112-1-10-20130502.pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/1484-3641-1-SM.pdf

https://pdfs.semanticscholar.org/e491/9d957958701cb5f4fde3da0e9f4ba7cfb7a1.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/249211-induksi-kalus-dua-klon-kakao-
theobroma-c-097ee22f.pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/855-1571-1-SM%20(2).pdf

Anda mungkin juga menyukai