Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

PNEUMONIA

Penyusun:

dr. Ni Nyoman Githa Setiani

Pendamping :

dr. Helen Manorek, Mkes

dr. Venny Tiho

RSUD SAM RATULANGI TONDANO


2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi saluran nafas bawah masih merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Menurut
WHO (2009), Penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah
infeksi saluran nafas akut (influenza dan pneumonia). Pneumonia merupakan penyakit
infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru dan merupakan suatu proses
peradangan dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh
eksudat. Pneumonia merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, jamur, virus serta merupakan salah satu
penyakit infeksi saluran pernapasan yang terbanyak dan sering merupakan penyebab
kematian hampir diseluruh dunia.1

Pada masa lalu pneumonia dikenal sebagai pneumonia tipikal yang disebabkan
oleh Str. Pneumoniae dan atipikal yang disebabkan oleh kuman atipik seperti M.
Pneumoniae. Tapi istilah tersebut tidak lagi dipergunakan. Pada perkembangannya
pneumonia saat ini dikenal atas 2 kelompok utama yaitu pneumonia di rumah
perawatan atau nosokomial (PN) dan pneumonia komunitas (PK) yang didapat di
masyarakat. Disamping kedua bentuk utama ini terdapat pula pneumonia bentuk khusus
yang masih sering dijumpai.

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, protozoa). Pneumonia dapat
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa,
yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia adalah
bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi.

Salah satu kelompok beresiko tinggi untuk pneumonia komunitas adalah usia
lanjut dengan usia 65 tahun atau lebih (American Lung Association, 2015). Usia lanjut
dengan pneumonia komunitas memiliki derajat keparahan penyakit yang tinggi, bahkan
dapat mengakibatkan kematian (PDPI,2014; American Lung Association, 2015).
Kejadian pneumonia cukup tinggi di dunia, yaitu sekitar 15% - 20% (Dahlan, 2014).

2
Insiden pneumonia komunitas akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan
usia, dengan 81,2% kasus terjadi pada usia lanjut (Fung et al., 2010). Di Indonesia,
prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar 4,5% (Kementerian Kesehatan
RI, 2013). Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan.
Pneumonia bentuk khusus terdiri dari pneumonia aspirasi yang terjadi di Amerika pada
pneumonia komunitas sebanyak 1.200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan
pada pneumonia nosokomial sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per
tahun dengan insidensi tertinggi pada pria terutama usia anak atau usia lanjut;
pneumonia pada gangguan imunitas yang terjadi tergantung pada defek imunitas
tersebut; pneumonia pada usia lanjut terjadi pada usia diatas 60 terutama terjadi pada 2
kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di rumah perawatan;
dan pneumonia bentuk lain yang terdiri dari pneumonia rekurens atau berulang;
penyakit paru eosinofilik merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru
yang beragam yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil pada bronkus, alveoli dan
interstitium dari paru; dan pneumonia resolusi lambat yaitu bila pengurangan gambaran
konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50% dalam 2 minggu dan berlangsung
lebih dari 21 hari.2

Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari


untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila
tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika
secara empiris.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

3
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, protozoa).2,4

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.3

II. ETIOLOGI

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu


bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri.
Penyebab tersering pneumonia adalah bakteri gram positif, Streptococcus
pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan
distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi.

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus


(RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri
yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta
kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Communityy-acquired acute pneumonia
sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus, sedangkan
pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab umumnya adalah
Mycoplasma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan batang gram negatif seperti
Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering ditemukan
pada Hospital-acquired pneumonia. 3

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya


infeksi.3

Communityy-acquired acute pneumonia


Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
4
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A
and B (adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

III. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, prevalensi pneumonia tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5%.


Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk
semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan
8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan
Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Berdasarkan kelompok umur penduduk,
Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun,
kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada
kelompok umur berikutnya.5

IV. KLASIFIKASI

1. Menurut sifatnya
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang tersering pada orang yang tidak
mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu
Staphylococcus pneumoniae (pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga
Virus penyebab infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain
itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas ( “atypical”) yaitu mykoplasma,
chlamydia, dan legionella.

5
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,
selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi
mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV,
dan kanker,dll.6
2. Berdasarkan Kuman penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal, disebabkan oleh Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).7
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia
yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia
yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam.7
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan
pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam
berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di
temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif
lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa,
Proteus, dll.8
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Penyebab
terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti
aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan.7
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus
terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan
adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteri maupun virus.7
c. Pneumonia interstisial
6
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemukan pada infeksi virus dan mycoplasma.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi
perselubungan yang tidak merata.7

V. PATOFISIOLOGI

Bakteri penyebab pneumonia pada dasarnya ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena
penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat
berkembang biak dan merusak organ paru-paru.
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru
banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh
pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia
bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan, yaitu inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi
dipermukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang
paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru,

7
ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di
paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan
paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab
pneumonia.7,8

VI. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinik dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya
meliputi gejala mayor (batuk, sputum produktif, demam (suhu>38 0c) dan gejala
minor (sesak napas, nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, jumlah
leukosit >12.000/L). Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri
otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-
kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-
kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi
basah kasar pada stadium resolusi.7

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya >10.000/ul, kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.8

3. Gambaran Radiologis

8
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:
 Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anatomis.
 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau
di lobus medius kanan.
 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling
akhir terkena.
 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya
udara pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
penyebab pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.8
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Pengambilan dahak dilakukan pagi hari.
Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta
inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam
botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh
lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu
nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk
dan sel epitel < 10/lpk.7

9
VII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik


pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu penyakit yang berat dapat
mengancam jiwa, bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab pneumonia serta hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu, maka pada
penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.

Pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris yang ditujukan
pada patogen yang paling mungkin menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur
dilakukan penyesuaian obat. Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah
pemberian antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu dari infeksi saluran nafas
bawah akut baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan antibiotik ini dimaksudkan
sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab tersebut. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik sebagai berikut :

1. Faktor pasien, yaitu urgensi atau cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat
sakitnya dan keadaan umum, mekanisme imunologis, usia, defisiensi genetik atau
organ, kehamilan dan alergi.
2. Faktor antibiotik, tidak mungkin mendapatkan satu jenis antibiotik yang ampuh
untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang
antibiotik untuk efisiensi pemakaian antibiotik.

Cara pemilihan antibiotik dapat berupa :


 Antibiotik tunggal : dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien
pneumonia komunitas yang asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif
disebabkan oleh kuman tertentu yang sensitif.
 Kombinasi antibiotik diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum
kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum dan
pada infeksi jamak. Bila telah didapat hasil kultur dan tes kepekaan maka
hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk pemberian antibiotik yang lebih
terarah atau monoterapi.

10
3. Faktor farmakologis, farmakokinetik antibiotik mempertimbangkan proses
bakterisidal dengan kadar hambat minimal yang sama degan kadar bakterisidal
minimal, dan bakteriostatis dengan kadar bakterisidal minimal yang jauh lebih
tinggi daripada kadar hambat minimal. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat
yang tergolong mempunyai dose dependent perlu diberikan 3-4 pemberian per
hari sedangkan golongan consentration dependent cukup 1-2 kali sehari namun
dengan dosis yang lebih besar.

Terapi suportif terdiri atas :

a. Terapi oksigen untuk mncapai PaO₂ 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan analisis gas darah.
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan
napas dalam.
d. Pengaturan cairan harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi.
e. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.
f. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila
terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
g. Ventilasi mekanis.
h. Drainase empiema bila ada.

Bila terdapat gagal napas berikan nutrisi yang cukup kalori terutama lemak
(>50%), hingga dapat dihindari produksi CO₂ yang berlebihan.9,7

VIII. KOMPLIKASI
1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus,
terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram
negatif sebesar 60%, Staphylococcus aureus 50%, S. pneumoniae 40-60%,
kuman anaerob 35%. Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar
20%. Cairannya transudat dan steril. Terkadang pada infeksi bakterial
terjadi empiema dengan cairan eksudat.
2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau
bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan

11
hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peningguan ureum dan enzim
hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat
adanya kolestasis intrahepatik.
3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.
4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga
terjadi infeksi oleh kuman anaerob dan bakteri gram negatif.
5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia
berlangsung lebih dari 4-6 minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan
kuman Gram (-) seperti Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa
anak-anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal
pada cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau
pneumonia nekrotikans.4

IX. PROGNOSIS

Kejadian pneumonia komunitas di USA adalah 3,4-4 juta kasus pertahun, dan
20% di antaranya perlu dirawat di rumah sakit. Secara umum angka kematian
pneumonia oleh pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada
orang tua dengan kondisi buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan
penyebab kematian nomer 6 dengan kejadian sebesar 5%. Sebagian besar pada lanjut
usia yaitu sebesar 89%. mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan “faktor perubah”
yang ada pada pasien.

Angka mortalitas pneumonia nosokomial dapat mencapai 33-50%, yang bisa


mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya.
Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteremia terutama oleh Ps. Aeruginosa
atau Acinoacter spp.5

12
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Agama : Islam
Umur : 30 tahun
Alamat : Kampung jawa
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal MRS : 30 Maret 2020

13
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama :
Sesak napas sejak 1 minggu SMRS.
b. Keluhan tambahan :
Batuk berlendir sejak 3 minggu SMRS, Demam sejak 1 minggu
SMRS.
c. Riwayat penyakit sekarang :
Sesak napas dialami pasien sejak kurang lebih 1 minggu SMRS
dan memberat sejak 2 jam SMRS. Batuk berlendir dialami sejak 3
minggu yang lalu dengan dahak berwarna kekuningan. Biasanya batuk
hingga pasien sesak napas dan nyeri dada. Demam dialami sejak 1
minggu yang lalu, turun dengan obat penurun panas kemudian naik lagi.
Demam kadang disertai dengan menggigil. Selain itu pasien juga
mengalami sakit kepala. Sakit kepala dirasakan seperti tertusuk, hilang
timbul, membaik jika pasien beristirahat tetapi akan muncul kembali
ketika pasien bangun tidur. Nafsu makan menurun, kadang disertai mual
dan nyeri ulu hati, keringat malam tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
d. Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan batuk dan demam dialami sejak 3 minggu SMRS, demam
sempat membaik dan muncul kembali 1 minggu SMRS tetapi batuk tetap
ada hingga sekarang. Riwayat pengobatan TB disangkal.

e. Riwayat pengobatan :
Pasien sudah pernah berobat di puskesmas sebelumnya untuk
batuk berlendir dan sekarang batuk berlendir sudah agak berkurang.
f. Riwayat penyakit keluarga :
Nenek pasien sedang dalam perawatan TB.
g. Riwayat kebiasaan :
Merokok (-), alkohol (-), makan tidak teratur.

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 30 Maret 2020)


Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
14
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital : TD : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit, reguler
Suhu : 39,4 ºCelsius
Pernafasan : 24 kali/menit
SpO2 : 98%
Berat badan : 62 kg

Status Generalis

Kepala : Normocephal

Mata : Pupil bulat isokor ᴓ 3mm/3mm

Konjungtiva anemis(-/-) Sklera ikterik (-/-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks :

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru, nyeri


tekan (-)

Perkusi : Redup

Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler, ronkhi(+/+), wheezing(-/-)

Abdomen

Inspeksi : datar, lemas

Auskultasi : peristaltik (+) normal

15
Palpasi : turgor baik, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+)

Perkusi : timpani

Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium tanggal 30 Maret 2020

Darah Rutin Hasil Nilai rujukan Satuan


Leukosit 16.3 3.6 - 11.0 103/uL
Eritrosit 4.30 3.80 - 5.20 106/uL
Hemoglobin 12.7 11.7 – 15.5 g/dL
Hematokrit 36.1 35.0 - 47.0 %
MCV 73,8 80.0 - 100.0 fL
MCH 23,5 27.0 - 34.0 Pg
MCHC 35.1 32.0 - 36.0 g/dL
Trombosit 254 150 – 440 103/uL

Pemeriksaan sputum BTA (02 April 2020)

Sewaktu : negatif

Pagi : negatif

Sewaktu : negatif

Foto thorax (30 Maret 2020)

V. DIAGNOSIS KERJA

16
 PNEUMONIA dd TB Paru
 Cephalgia

VI. RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 30 tahun datang ke IGD RSUD
Sam ratuangi Tondano dengan keluhan sesak napas kurang lebih 3 jam
SMRS. Batuk berdahak dialami sejak 3 minggu yang lalu dengan dahak
berwarna kekuningan. Biasanya batuk hingga pasien sesak napas dan nyeri
dada. Demam dialami sejak 1 minggu yang lalu, turun dengan obat penurun
panas kemudian naik lagi. Demam kadang disertai dengan menggigil. Selain
itu pasien juga mengalami sakit kepala. Sakit kepala dirasakan seperti
tertusuk, hilang timbul, membaik jika pasien beristirahat tetapi akan muncul
kembali ketika pasien bangun tidur. Nafsu makan menurun, kadang disertai
mual dan nyeri ulu hari, keringat malam tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kompos mentis, suhu badan 39,4ºC dan SpO2 98%. Pada
pemeriksaan darah rutin, leukosit meningkat 16.300/uL.

VII. PENATALAKSANAAN
 O2 1-2 lpm via nasal kanul
 IVFD RL 20 tpm
 Ceftriaxone inj 2 x 1 gr (IV)
 Dexamethasone injeksi 3x1 ampul (IV)
 Ranitidin inj 2 x 1 (IV)
 PCT tab 3 x 1
 OBH syr 3 x CI
 Sucralfat syr 3 x CII

VIII. FOLLOW UP RUANGAN

Tgl Subjektif Objektif Assesment Planning


treatment
31/03/2 Sesak napas TD: 120/70 mmHg - Pneumonia - O2 1-2 lpm via
0 (↓), N: 86 x/menit dd TB Paru nasal kanul
17
batuk R: 22 x/menit - Cephalgia - IVFD RL 20 tpm
berlendir S: 37,8o C - Ceftriaxone inj
kekuningan KU: Sedang, 2 x 1 gr iv
(+), Kesadaran: Kompos - Dexamethasone
demam (+) Mentis inj 3 x 1 amp iv
nyeri kepala Kepala: konjungtiva - Ranitidin inj
2 x 1 amp iv
(+), nyeri ulu anemis-/- sklera
- PCT tab 3 x 1
hati (+), mual ikterik-/- - OBH syr 3x CI
(+), muntah Thorax: - Sucralfat syr
(-) Cor : SI-II normal 3 x CII
regular, bising (-)
Pulmo : Suara napas
bronkovesikuler,
Rh +/+ Wh -/-
Abd : datar, lemas,
bising usus (+) normal,
NT epigastrium (+)
Eks : akral hangat
edema (-)

01/04/2 batuk (+), TD: 120/80 mmHg - Pneumonia - IVFD RL 20 tpm


0 demam N: 89 x/menit dd TB Paru - Ceftriaxone inj
sumer- R: 22 x/menit - Cephalgia 2 x 1 gr iv
sumer(+) S: 37,1o C - Dexamethasone
nyeri KU: Sedang, inj 3 x 1 amp iv
kepala(+), Kesadaran: Kompos - Ranitidin inj
2x1 iv
nyeri ulu hati Mentis
- PCT tab 3 x 1
(+), mual (+), Kepala: konjungtiva - OBH syr 3x CI
muntah (-) anemis-/- sklera - Sucralfat syr
ikterik-/- 3 x CII
Thorax: - Cek Sputum
Cor : SI-II normal BTA 3x
regular, bising (-)
Pulmo : Suara napas
bronkovesikuler,
Rh +/+ Wh -/-
Abd : datar, lemas,
bising usus (+) normal,
NT epigastrium (+)
Eks : akral hangat
edema (-)

13/10/1 batuk (↓), TD: 120/80 mmHg - Pneumonia - IVFD RL 20 tpm


8 nyeri kepala N: 84 x/menit dd TB Paru - Ceftriaxone inj
(+), nyeri ulu R: 22 x/menit - Cephalgia 2 x 1 gr iv
hati (+), mual S: 36,8o C - Dexamethasone
(+), muntah KU: Sedang, inj 3 x 1 amp iv
(-) Kesadaran: Kompos - Ranitidin inj

18
Mentis 2x1 iv
Kepala: konjungtiva - PCT tab 3 x 1
anemis-/- sklera - OBH syr 3x CI
- Sucralfat syr
ikterik-/-
3 x CII
Thorax:
Cor : SI-II normal
regular, bising (-)
Pulmo : Suara napas
bronkovesikuler,
Rh +/+ Wh -/-
Abd : datar, lemas,
bising usus (+) normal,
NT epigastrium (+)
Eks : akral hangat
edema (-)

02/04/2 batuk (↓), TD: 120/80 mmHg - Pneumonia - IVFD RL 20 tpm


0 nyeri kepala N: 88 x/menit dd TB Paru - Ceftriaxone inj
(↓), nyeri ulu R: 22 x/menit - Cephalgia 2 x 1 gr iv
hati (-), mual S: 36,9o C - Dexamethasone
(-) KU: Sedang, inj 3 x 1 amp iv
Kesadaran: Kompos - Ranitidin inj
2x1 iv
Mentis
- PCT tab 3 x 1
Kepala: konjungtiva - OBH syr 3x CI
anemis-/- sklera - Rencana Rawat
ikterik-/- Jalan
Thorax:
Cor : SI-II normal
regular, bising (-)
Pulmo : Suara napas
bronkovesikuler,
Rh -/- Wh -/-
Abd : datar, lemas,
bising usus (+) normal,
NT epigastrium (-)
Eks : akral hangat
edema (-)

03/04/2 batuk (↓), TD: 120/80 mmHg - Pneumonia - Cefixime tab


0 nyeri kepala N: 82 x/menit dd TB Paru 2x1
(-), nyeri ulu R: 22 x/menit - Ranitidin tab
2x1
hati (-) S: 36,8o C
- OBH syr 3x CI
KU: Sedang, - PCT tab 3 x 1 k/p
Kesadaran: Kompos - Rawat Jalan
Mentis
Kepala: konjungtiva
anemis-/- sklera
ikterik-/-

19
Thorax:
Cor : SI-II normal
regular, bising (-)
Pulmo : Suara napas
bronkovesikuler,
Rh -/- Wh -/-
Abd : datar, lemas,
bising usus (+) normal,
NT epigastrium (-)
Eks : akral hangat
edema (-)

DAFTAR PUSTAKA

1. W. Sudoyo Aru, Setiohadi Bambang, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi

IV. Jakarta : Balai Penerbit Interna Publishing : Juni 2006.

2. Rani A.Aziz, Nafrialdi, dkk. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI. Jakarta :

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Agustus 2008.

3. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM.2007.

4. Soedarsono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK

UNAIR. Surabaya.2004.

20
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Riskesdas. 2013.

6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,

Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta. 2005.

7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti.2003.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial.2003.

9. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice

guidelines for management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin

infect Dis 2000; 31: 347-82.

21

Anda mungkin juga menyukai