Anda di halaman 1dari 96

MAKALAH

MASALAH KESEHATAN WANITA PADA MASA REPRODUKSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah Maternitas

DISUSUN OLEH:

WENI SHELOMITA
1810105040

DOSEN PEMBIMBING:
BINARNI SUHERYUSI, M.Keb

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN 4A


STIKes ALIFAH PADANG
2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Gangguan Perdarahan 3
B. Infeksi Maternal 35
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 85
B. Saran 86
DAFTAR PUSTAKA 87
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang maha kuasa karena dengan limpahan
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah yang singkat ini, Shalawat dan
salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhamnmad Saw Nabi yang pembawa pelita
kepada umat yang berada dalam kegelapan rahmatan li’alamin.
Kemudian penulis banyak mengucapkan ribuan terima kasih kepada Dosen Pembimbing
yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang singkat ini,
yang mungkin masih banyak kekurangan serta kesalahan baik dari segi penulisnya maupun
kesalahan lainnya yang terdapat dalam makalah ini, untuk itu kami sangat membutuhkan
sekali kritik beserta saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang akan datang, akhir
kata penulis ucapkan ribuan terima kasih.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi ini kita sering mendengar dari orang ataupun media mengenai masalah
rehabilitasi. Namun masih sebagian kecil yang dapat mengerti apa itu mengenai rehabilitasi,
mengapa ada pusat rehabiltasi dan untuk apa rehabilitasi itu.
Wanita adalah sebutan yang digunakan untuk spesies manusia berjenis kelamin betina. Lawan
jenis dari wanita adalah pria. Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan
perempuan dewasa.
Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang memiliki penyakit kronis
baik fisik ataupun psikologisnya. Program Rehabilitasi Individu adalah program yang
mencangkup penilaian awal, pendidikan pasien, pelatihan, bantuan psikologis, dan pencegahan
penyakit.
Seseorang berada di pusat rehabilitasi karena memiliki suatu penyebab yaitu adanya masalah
sosial, masalah psikologis, dan masalah drug abuse. Masalah – masalah yang berkaitan ini
biasanya pengguna narkoba, PSK(Pekerja Sek Komersial), trauma pada korban kekerasan dan
penderita kanker payudara.
Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut dalam upaya melakukan pemulihan terhadap
korban secara komprehensif (baik medis maupun sosial) dan dalam prinsip untuk memanusiakan-
manusia.
Pemerintah telah mendirikan beberapa pusat rehabilitasi yang dapat membatu orang – orang yang
perlu rehabilitasi diantaranya yaitu pusat rehabilitasi pengguna narkoba, pusat rehabiltasi PSK
dan pusat rehabilitasi kanker payudara. Namun sebagian upaya pusat rehabiltasi pun dinilai
masih banyak memiliki kelemahan. Seperti kelemahan dari upaya rehabilitasi PSK itu adalah
kurang sesuai dengan kebutuhan pekerja seks, pekerja seka yg telah menjalani rehabilitasi
ternyata tidak menggunakan keterampilan yang di dapatkan. Kelemahan tersebut karena
pemerintah masih mendua. Di satu sisi, pemerintah mengambil keuntungan dengan menarik
pajak dari mereka. Di pihak lain, belum ada peraturan yang secara tegas melindungi pekerjaan
mereka, karena statusnya yang illegal.
Menurut Dr. Nafsiah Mboy, DSA, MPH, pemerhati kesehatan perempuan, memperkirakan
jumlah pekerja sek yang berada di lokalisasi hanya sekitar 10 % . hal ini berarti, jumlah pekerja
seks yang berada di luar lokalisasi masih jauh lebih besar.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Wanita dan Rehabilitasi?
b. Sebutkan macam – macam pusat rehabilitasi?
c. Apa saja tujuan dari pendirian pusat rehabilitasi?
d. Apa saja upaya rehabilitasi untuk para PSK?
e. Apa saja langkah – langkah yang harus di lakukan untuk pusat rehabilitasi kanker payudara?
BAB II
PEMBAHASAN

A. GANGGUAN PERDARAHAN
1. Perdarahan Awal Kehamilan Dan Kehamilan Lanjut
1) Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sedemikia rupa sehingga berdekatan atau menutupi ostium uteri internum secara
partial maupun total.
Seluruh plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus.Kadang-kadang bagian
atau seluruh organ dapat melekat pada segmen bawah uterus, dimana hal ini dapat
diketahui sebagai plasenta previa.Karena segmen bawah agak merentang selama
kehamilan lanjut dan persalinan, dalam usaha mencapai dilatasi serviks dan kelahiran
anak, pemisahan plasenta dari dinding uterus sampai tingkat tertentu tidak dapat
dihindarkan sehingga terjadi pendarahan.
2.3 Klasifikasi

Terdapat beberapa kemungkinan implantasi plasenta pada plasenta previa :


1. Plasenta previa totalis atau komplit Plasenta yang menutupi seluruh
ostium uteri internum
2. Plasenta previa parsialis Plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum
3. Plasenta previa marginalis Plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum Plasenta letak rendah
4. Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dimana tepi
plasenta berjarak < 2 cm dari ostium uteri internum.
2.4 Etiologi
Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor risiko
telah ditetapkan sebagai kondisi yang berhubungan dengan terjadinya plasenta previa.
Faktor risiko tersebut meliputi hamil usia tua, multiparitas, kehamilan ganda,
merokok selama masa kehamilan, janin laki-laki, riwayat aborsi, riwayat operasi pada
uterus, riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya dan IVF
1) Solusio Plasenta
Merupakan perdarahan yang terjadi karena lepasnya plasenta dari insersinya
di fundus uteri sebelum waktu persalinan.Solusio plasenta adalah terlepasnya
plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi
ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat
janin di at

2.5 Klasifikasi
Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta:
a. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian
c. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
1) Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan:
a) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
b) Solusio plasenta dengan perdarahan
tersembunyi, yang membentuk hematoma retroplacente
c) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam
kantong amnion .

2.6 Etiologi
Penyebab primer belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi
predisposisi, yaitu :
1) Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan
eklamsia.Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi
pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang
hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi
yang disebabkan oleh kehamilan.
2) Faktor trauma
a) Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
b) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan
c) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
3) Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Beberapa
penelitian menerangkan bahwa makin tinggi paritas ibu makin kurang baik
keadaan endometrium.
4) Faktor usia ibu
Makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
5) Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio
plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung
leiomioma
6) Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan
peningkatan pelepasan katekolamin yang bertanggung jawab atas
terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan berakibat terlepasnya
plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif
7) Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio
plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per
hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis,
diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya
8) Riwayat solusio plasenta sebelumnya
9) Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat
solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada
kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang
tidak memiliki riwayat solusio plasenta
10) Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada
vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya
kehamilan,dan lain-lain.

2.7 Manifestasi Klinik


a. Perdarahan kehamilan muda
b. Abortus
c. Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.
d. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemah atau kesadaran
menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau
cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
e. Pendarahan pervaginam, mungkin disertai hasil konsepsi.
f. Rasa mulas atau keram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus.
g. Pemeriksaan ginekologis.
1) Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam
2) Inspeksi perdarahan pada kavum uteri, ostium uteri terbuka atau
sudah tertutup.
3) Colok vagina porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau
tidak jaringan dalam kavum uteri.
a) Kehamilan ektopik
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat
berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba
dalam ronggaperut sampai terdapatnya gejala yang tidak
jelas sehingga sukar membuat diagnosanya.Gejala dan
tanda tergantung padalamanya kehamilan ektopik
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan,
derajat perdarahan yang terjadi dan keadaanumum
penderita sebelum hamil.Perdarahan pervaginam
merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu.Halini menunjukkan kematian janin.Kehamilan
ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik
dengan gejala perdarahanmendadak dalam rongga perut
dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang
samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya.
Secara umum, tanda dan gejala kehamilan ektopik adalah
 Nyeri abdomen bawah atau pelvic, disertai
amenorrhea atau spotting atau perdarahan vaginal
 Menstruasi abnormal
 Abdomen dan pelvis yang lunak
 Perubahan pada uterus yang dapat terdorong ke
satu sisi oleh massa kehamilan, atau tergeser
akibat perdarahan. Dapat ditemukan sel desidua
pada endometrium uterus.
 Penurunan tekanan darah dan takikardi bila terjadi
hipovolemi.
 Massa pelvis
 Kuldosentesis. Untuk identifikasi adanya
hemoperitoneum yang ditandai

Beberapa gejala berikut dapat membantu dalam mendiagnosis kehamilan


ektopik:
1. Nyeri: Nyeri panggul atau perut hampir terjadi hampir 100% kasus
kehamilan ektopik. Nyeri dapat bersifat unilateral atau bilateral ,
terlokalisasi atau tersebar.
2. Perdarahan: Perdarahan abnormal uterin, biasanya membentuk
bercak. Biasanya terjadi pada 75% kasus
3. Amenorhea: Hampir sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik
yang memiliki berkas perdarahan pada saat mereka mendapatkan
menstruasi, dan mereka tidak menyadari bahwa mereka hamil

Perdarahan kehamilan tua

1) Plasenta Previa

Menururt FKUI (2000), tanda dan gejala plasenta previa diantaranya adalah :
1. Pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya dan berulang.
2. Darah biasanya berwarna merah segar atau kehitaman dengan bekuan.

3. Terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas

4. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak


janin.
5. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal, kecuali bila
dilakukan periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding) biasanya
lebih banyak.

2) Solusio plasenta

Manifestasi klinis solusio plasenta dapat dibagi menjadi :

a) Anamnesis

Perdarahan biasanya pada trimester ketiga, perdarahan pervaginan berwarna kehitam-hitaman yang
sedikit sekali dan tanpa rasa nyeri sampai dengan yang disertai nyeri perut, uterus tegang perdarahan
pervaginan yang banyak, syok dan kematian janin intra uterin.
b) Pemeriksaan fisik

Tanda vital dapat normal sampai menunjukkan tanda syok.

c) Pemeriksaan obstetri

Nyeri tekan uterus dan tegang, bagian-bagian janin yang sukar dinilai, denyut jantung janin sulit
dinilai / tidak ada, air ketuban berwarna kemerahan karena tercampur darah.

2.8 Tes Diagnostik

a. Perdarahan kehamilan Awal

1) Abortus
a) Positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus

b) Pemeriksaaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih


hidup

c) Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion


2) Kehamilan ektopik

Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan
melihat :
a) Anamnesis dan gejala klinis

Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per
vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah.Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya
darah yang terkumpul dalam peritoneum.
b) Pemeriksaan fisik

Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.Adanya tanda-tanda syok
hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu
perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.

c) Pemeriksaan ginekologis.

Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
d) Pemeriksaan Penunjang

(1) Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan
jumlah sel darah merah dapat meningkat.
(2) USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri,Adanya kantung kehamilan di luar
kavum uteri,Adanya massa komplek di rongga panggul.
e) Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada
darah.
f) Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
g) Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.

b. Perdarahan kehamilan lanjutan

1. Plasenta Previa

a) Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan
berlangsung tanpa sebab.
b) Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum
masuk pintu atas panggul.
c) Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.

d) USG untuk menentukan letak plasenta. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan
perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya

2. Solusio plasenta

a. Pemeriksaan laboratorium darah : hemoglobin, hemotokrit, trombosit, waktu protombin,


waktu pembekuan, waktu tromboplastin, parsial, kadar fibrinogen, dan elektrolit plasma
b. Cardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin.

c. USG untuk menilai letak plasenta, usia gestasi dan keadaan janin.
2.9 Penatalaksanaan Medis

a. Perdarahan kehamilan muda


1. Abortus

2. Kehamilan ektopik

Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan
tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan
kehamilan abdominal.Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum
terganggu dari kehamilan ektopik terganggu.Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan
ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang,
memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis
dan penatalaksanaan bedah.
1. Penatalaksanaan Ekspektasi

Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% - hCG. pasien dengan
kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan
ektopik dini dengan kadar -hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu,
tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini.
Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada -hCG yang keadaan-keadaan berikut:
a. Kehamilan ektopik dengan kadar menurun

b. Kehamilan tuba

c. Tidak ada perdarahan intraabdominal atau rupture

d. Diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber -hCG awal harus kurang dari 1000
mIU/mL,lain menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
2. Penatalaksanaan Medis

a. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit
trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan
penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi
methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka
kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau
bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.
Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi
diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan.Selain itu,
tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai.Bila hal tersebut terjadi, pasien
harus sesegera mungkin menjalani pembedahan.Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain
gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor
keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron, disebutkan dalam literatur antara
lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam
rongga peritoneum.
Namun disebutkan dalam sumber -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya
kadar -hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama
setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang
diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma
yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik -hCG umumnya tidak
terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama
pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. -hCG masih perlu
diawasi setiap Setelah terapi berhasil, kadar minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel.Dosis tunggal yang
diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar
1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel
leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan
diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek
negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate
dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik
yang belum terganggu.

b. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil
menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate
sebelumnya.
c. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis
kehamilan tuba yang belum terganggu.Yeko dan kawan- kawan melaporkan keberhasilan injeksi
larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba.Namun pada umumnya injeksi
methotrexate tetap lebih unggul.Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa
tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
3. Penatalaksanaan Bedah

1) Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari
2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii.Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-
15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik.Setelah insisi hasil
konsepsi
segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati.Perdarahan yang terjadi umumnya
sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter.Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit
kembali) untuk sembuh per sekundam.Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun
laparoskopi.Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu.Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi
methotrexate per laparoskopi.Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi
pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang
lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah.Meskipun
demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah
kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
2) Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi
dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal
prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
3) Salpingektomi

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu,
dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada
keadaan-keadaan berikut ini:
a. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)

b. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif

c. terjadi kegagalan sterilisasi

d. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya

e. pasien meminta dilakukan sterilisasi

f. perdarahan berlanjut pasca salpingotomi

g. kehamilan tuba berulang


h. kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5cm.

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars
ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi
dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah
sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan
perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil
konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan.Tuba yang direseksi dipisahkan
dari mesosalping.
i. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa
melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor
atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi
dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan
cairan bertekanan.
b. Perdarahan kehamilan lanjutan

1. Plasenta Previa

Menurut Wiknjosastro (2005), penatalaksanaan yang diberikan untuk penanganan plasenta previa
tergantung dari jenis plasenta previanya yaitu :
a) Kaji kondisi fisik klien

b) Menganjurkan klien untuk tidak coitus

c) Menganjurkan klien istirahat

d) Mengobservasi perdarahan

e) Memeriksa tanda vital


f) Memeriksa kadar Hb
g) Berikan cairan pengganti intravena RL

h) Berikan betametason untuk pematangan paru bila perlu dan bila fetus masih premature
i) Lanjutkan terapi ekspektatif bila KU baik, janin hidup dan umur kehamilan

2. Solusio plasenta

a. Harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas operasi .

b. Sebelum dirujuk , anjurkan pasien untuk tirah baring total dengan menghadap ke kiri , tidak
melakukan senggama , menghindari peningkatan tekanan rongga perut .
c. Pasang infus cairan Nacl fisiologi . Bila tidak memungkinkan .berikan cairan peroral .
d. Pantau tekanan darah & frekuensi nadi tiap 15 menit untuk mendeteksi adanya hipotensi / syk
akibat perdarahan .pantau pula BJJ & pergerakan janin .
e. Bila terdapat renjatan , segera lakukan resusitasi cairan dan tranfusi darah , bila tidak teratasi ,
upayakan penyelamatan optimal . bila teratsi perhatikan keadaan janin .
f. Setelah renjatan diatasi pertimbangkan seksio sesarea bila janin masih hidup atau persalinan
pervaginam diperkirakan akan berlangsung lama .bila renjatan tidak dapat diatasi , upayakan tindakan
penyelamatan optimal .
g. Setelah syk teratasi dan janin mati , lihat pembukaan . bila lebih dari 6 cm pecahkan ketuban
lalu infus oksitosin . bila kurang dari 6 cm lakukan seksio sesarea .
Bila tidak terdapat renjatan dan usia gestasi kurang dari 37 minggu / taksiran berat janin kurang dari
2.500 gr .penganganan berdasarkan berat / ringannya penyakit
2.10 Komplikasi
a. Perdarahan kehamilan muda

1. Abortus

Komplikikasi utama dapat mencakup hemoragi, syok, renal failure (faal ginjal rusak), infeksi kadang-
kadang sampai terjadi sepsis
2. Kehamilan ektopik

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :

pengobatan konservatif,Pada yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.

b. Perdarahan kehamilan lanjutan

1. Plasenta Previa

Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena
perdarahan.Plasentitis, dan endometritis pasca persalinan. Pad janin biasanya terjadi persalinan
premature dan komplikasinya seperti asfiksia berat.
2. Solusio plasenta

1. Langsung (immediate)

• Perdarahan

• Infeksi
• emboli dan syok abtetric.

b. Tidak langsung (delayed)

• couvelair uterus, sehinga kontraksi tak baik, menyebabkan perdarahan post partum
• hipofibrinogenamia dengan perdarahan post partum.

• nikrosis korteks neralis, menyebabkan anuria dan uremi

• kerusakan-kerusakan organ seperti hati, hipofisis.

c. Tergantung luas plasenta yang terlepas dan lamanya solusio plasenta berlangsung.
Komplikasi pada ibu ialah perdarahan, koalugopati konsumtif (kadar fibrinogen kurang dari
150 mg % dan produk degradasi fibrin meningkat), oliguria, gagal ginjal, gawat janin,
kelemahan janin dan apopleksia utero plasenta (uterus couvelar). Bila janin dapat
diselamatkan, dapat terjadi komplikasi asfiksia, berat badan lahir rendah da sindrom gagal
nafas
2. Perdarahan pasca persalinan
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada penyebab langsung kematian ibu, yang terjadi
90% pada saat persalinan dan segera setelah persalinan, yaitu perdarahan (28%),
eklamsia (24%), infeksi (11%),
komplikasi pueperium (8%), partus macet (5%), abortus (5%), trauma
obstetrik (5%), emboli (3%), dan lain-lain 11% (Admin, 2011).
Menurut Prawirohardjo (2009, hlm.523). Perdarahan pasca persalinan dapat menyebabkan
kematian ibu 45 % terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu
setelah bayi lahir, dan 82- 88% dalam 2 minggu setelah bayi baru lahir. Yang terjadi pada
pada 24 jam pertama setelah bayi lahir disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan
lahir dan sisanya adalah sisa plasenta.
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati
batas fisiologis normal.Pritchard dkk.(1962) menggunakan metode pengukuran yang akurat
telah menemukan bahwa sekitar 5% ibu yang melahirkan per vaginam kehilangan lebih dari
1000 ml darah.Mereka juga melaporkan bahwa hasil perkiraan kehilangan darah umumnya
hanya sekitar separuh volume kehilangan darah yang sebenarnya.Karena itu, perkiraan
kehilangan darah yang melebihi 500 ml dikategorikan dalam perdarahan pasca persalinan
dan harus
diwaspadai.Sebab kondisi tersebut dapat menyebabkan gangguan homeostasis pada ibu
(Prawirohardjo, 2008).
Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan
kala III dan perdarahan setelah plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV, dan sering disebut
sebagai immediate postpartum bleeding. Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pasca
persalinan dibagi dua, yakni perdarahan pasca persalinan dini terjadi dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir dan perdarahan pasca persalinan lanjut terjadi setelah 24 jam sejak bayi
lahir (Campbell, 2006).
Efek perdarahan pada ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu hamil, yaitu seberapa
besar tingkat hipervolemia yang sudah tercapai dan kadar hemoglobin sebelumnya. Anemia
dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta fasilitas transfusi darah yang
masih terbatas menyebabkan PPP akan mengganggu penyembuhan pada masa nifas, proses
involusi, dan laktasi (Prawirohardjo, 2010). Perdarahan pasca persalinan bukanlahsuatu
diagnosis kerja, namun diagnosis awal di mana perlu segera dilakukan tindakan untuk
mencari penyebab atau etiologi yang mendasari.Kemampuan seorang wanita untuk
menangulangi akibat buruk pedarahan tergantung pada status kesehatan sebelumnya, ada
tidaknya anemia, ada tidaknya hemokonsentrasi seperti pada preeklamsia dan ada tidaknya
dehidrasi.Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml harus segera
mendapatkan penanganan.

Epidemiologi
Perdarahan pasca persalinan tetap menjadi penyebab kematian utama ibu hamil seluruh dunia
dengan angka kejadian sekitar 30% dari seluruh kasus kematian ibu, setara dengan 86.000
kematian per tahun atau sepuluh kematian setiap jam.Secara umum, angka kematian dari PPP
telah berkurang tajam seiring waktu. Di Inggris, angka kematian ibu yang disebabkan oleh
perdarahan (per 100.000 kehamilan) telah berkurang terus untuk 150 tahun terakhir, dari
sebesar 108 pada tahun 1847 menjadi sejumlah 50 pada tahun 1926, terus berkurang menjadi
11 pada tahun
1952, dan untuk saat ini mencapai 0.4 per 100.000 kehamilan (Royal College of Obstetricians
and Gynaecologists, 2014).
Di negara-negara industri, perdarahan pasca persalinan menduduki peringkat 3 dalam
penyebab utama kematian ibu, bersama dengan emboli dan hipertensi.Sedangkan pada negara
berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per
100.000 kelahiran hidup.Di mana 25% dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan pasca
persalinan, terhitung lebih dari 100.000 kematian maternal per tahun.AmericanCollege of
Obstetricians and Gynecologists memperkirakan angka kematian ibu sebesar 140.000
kematian per tahun atau 1 wanita setiap 4 menit (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2005).

Gambar 2.1 Angka Kematian Ibu (AKI) Tahun 1991 – 2012


Sumber: SKDI, 1991 – 2012
Pada Gambar 2.1 di atas dapat diketahui berdasarkan data SKDI bahwa selama periode tahun
1991–2007 AKI mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran
hidup.Namun pada SKDI 2012 AKI kembali meningkat menjadi 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Mengacu pada AKI hasil SKDI tahun 1990 dan 2012 yang tidak jauh berbeda, dapat
disimpulkan untuk mencapai target 102 pada tahun 2015 diperkirakan sulit tercapai. Angka
tersebut juga semakin jauh dari target MDGs 2015.
Gambar 2.2 Penyebab Kematian Ibu Tahun 2010 – 2013
Sumber: Direktorat Kesehatan Ibu, 2010 – 2013

Berdasarkan Gambar 2.2 terlihat bahwa penyebab terbesar kematian ibu selama tahun 2012–
2013 masih tetap sama, yaitu perdarahan. Sedangkan partus lama merupakan penyumbang
kematian ibu terendah.Sementara itu, penyebab lan-lain juga berperan cukup besar dalam
menyebabkan kematian ibu. Penyebab lain-lain adalah penyebab secara tidak langsung,
seperti kondisi penyakit kanker, ginjal, jantung, tuberkulosis, atau penyakit lain yang diderita
oleh ibu. Tingginya AKI akibat penyebab lain-lain menuntut peran besar rumah sakit dalam
mendeteksi dini adanya kelainan tersebut dan memberikan penanganan yang tepat (Infodatin,
2014).
Gambar 2.3 Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kerja Kesehatan
Berdasarkan Provinsi Tahun 2013
Sumber: Dirjen Bina Gizi dan KIA, 2013

Berdasarkan Gambar 2.3, terlihat bahwa sebagian besar provinsi (21 provinsi) telah dapat
mencapai target Renstra (89%) dan selebihnya yaitu sebanyak 12 provinsi belum dapat
mencapai target. Tiga provinsi dengan cakupan tertinggi adalah Jawa Tengah (99,89%),
Sulawesi Selatan (99,78%), dan Sulawesi Utara (99,59%). Sedangkan tiga provinsi dengan
cakupan terendah adalah Papua (33,31%), Papua Barat (73,20%), dan Nusa Tenggara Timur
(74,08%). Pada tiga provinsi dengan cakupan terendah tersebut, hanya Papua yang
cakupannya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 43,52% pada tahun
sebelumnya menjadi 33,31% pada tahun 2013 (Infodatin, 2014).
Gambar 2.4 Cakupan Pelayanan Kesehata Ibu Hamil K1, K4 dan Persalinan
Oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun 2004 – 2013
Sumber: Direktorat Kesehatan Ibu, 2004 – 2013

Gambar 2.4 di atas menunjukkan bahwa meskipun pelayanan ibu hamil K4 (kunjungan
antenatal terakhir saat usia kehamilan di atas 36 minggu) secara nasional mengalami
penurunan, namun cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami
peningkatan. Presentasenya bahkan melebihi cakupan K4.Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi Pemerintah.Pelayanan antenatal memiliki peranan yang sangat penting, di
antaranya agar dapat dilakukan deteksi dan tata laksana dini dari komplikasi yang dapat
timbul pada saat persalinan. Apabila seorang ibu datang langsung untuk bersalin di tenaga
kerja kesehatan tanpa adanya riwayat pelayanan antenatal sebelumnya, maka faktor risiko
dan kemungkinan komplikasi saat persalinan akan lebih sulit diantisipasi. Untuk k depannya,
diharapkan definisi operasional K1 (kunjungan antenatal dari ibu hamil baru saat usia
kehamilan kurang dari sama dengan 28 minggu) hanya menggunakan K1 murni, bukan K1
akses. Sehingga, cakupan K1 dan K4 tidak banyak berbeda. Kondisi saat ini di mana belum
seluruh kunjungan K1 adalah K1 murni, maka seandainya ditemukan kelainan pada saat Ante
Natal Care (ANC), selanjutnya tidak akan cukup waktu yang tersedia untuk melakukan
penanganan atas kelainan tersebut (Infodatin, 2014).
Berdasarkan hasil data yang di lakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara jumlah
ibu bersalin bulan Januari - Desember tahun 2011 adalah 12.932 jiwa, sedangkan cakupan
penanganan Ibu bersalin terhadap komplikasi obstetri oleh Dinas Kesehatan adalah sebanyak
1.294 jiwa orang (Dinkes Aceh Utara, 2011). Serta menurut data yang diperoleh dari
Puskesmas Tanah Jambo Aye, pada tahun 2011 dari bulan Januari- Desember jumlah ibu
bersalin di Puskesmas Tanah Jambo Aye adalah sebanyak 976 jiwa. Dan jumlah ibu bersalin
yang mengalami laserasi pada
persalinan normal sebanyak 120 orang (55,8%). Selain itu menurut data yang diperoleh dari
Puskesmas Tanah Jambo Aye pada tahun 2012 dari bulan Januari–Maret ibu bersalin yang
melahirkan sebanyak 140 orang, dari 140 orang tersebut yang mengalami laserasi pada
persalinan sebanyak 30 orang (Puskesmas Tanah Jambo Aye, 2011).
3. Syok hemoragi
Shock atau syok (rejatan) adalah kolaps akibat kegagalan sirkualisi perifer yang akut dan
biasanya terjai akibat trauma atau perdarahan hebat. Penyebab utama syok adalah hemoragia
antepartum dan postpartum.
Tanda-Tanda Syok
Syok Awal Syok Lanjut
Terbagun, sadar, cemas Bingung atau tidak sadar
Denyut nadi agak cepat (110 Denyut nadi cepat dan lemah
permenit atau lebih)
Pernapasa sedikit lebih cepat (30 Napas pendek dan napas cepat
tarikan napas permenit atau lebih)
Pucat Pucat dan dingin
Tekanan darah rendah-ringan Tekanan darah sangat rendah
(sistolik kurang dari 90 mmHg)
Pengeluaran urine 30 cc perjam Pengeluaran urine kurang dari 30
atau lebih cc perjam

PATOFISIOLOGI SINDROMA SHOCK


Semua macam syok, apa pun sebabnya, bersumber pada berkurangnya perfusi jaringan
dengan darah sebagai akibat gangguan sirkulasi mikro. Suatu kesatuan sirkulasi mikro terdiri
dari arteriol, metarteriol, kapilar dan venula. Darah dari arteriol memasuki metarteriol, dari
metarteriol darah memasuki kapilar. Metarteriol mempunyai struktur antara arteriol dan
kapilar. Pada ujung kapilar di metarteriol didapat otot polos yang melingkari kapilar
(precapillary sphincter). Darah dari kapilar kemudian memasuki venula.
Keterangan gambar di atas :
1. arteriol
2. sfingter prakapilar
3. metarteriol
4. venula
5. sfingter prakapilar
Jumlah darah yang mengalir ke jaringan ditentukan oleh besar kecilnya tahanan (resistence)
dari arteriol-arteriol sirkulasi mikro, sedangkan distribusi dan kecepatan darah dalam kapilar-
kapilar diatur oleh otot lingkar prakapilar (precapillary sphincters) yang menentukan jumlah
kapilar yang membuka. Besar kecilnya tahanan dalam pembuluh- pembuluh darah
pasacakapilar ditentukan oleh keadaan venula dan vena- vena kecil. Dalam keadaan normal
aliran darah dalam suatu kapilar adalah intermiten, hal ini disebabkan karena metarteriol dan
sfingter prakapilar mengadakan gerakan kontriksi dan dilatasi secara berganti-ganti
(vasomotion). Bila gerak pembuluh darah meningkat, maka konstriksi akan menonjol dan
aliran darah dalam kapilar akan mengurang.
Sebaliknya, bila gerak pembuluh darah mengurang, maka fase dilatasilah yang menonjol dan
aliran darah dalam kapilar akan bertambah.
Gerak pembuluh darah dalam sirkulasi mirko dikendalikan oleh unsur-unsur lokal kimiawi
dalam jaringan dan unsur-unsur yang datang dari saraf. Pembuluh darah arteriol terutama
dipengaruhi oleh unsur yang datang dari saraf melalui susunan saraf simpatik, sebaliknya
pembuluh- pembuluh darah prakapilar dan otot lingkar prakapilar terutama dipengaruhi oleh
keadaan lokal kimiawi dalam jaringan.
Bilamana metabolisme dalam jaringan meningkat, dan timbul suatu metabolisme yang
anaerob seperti dalam syok, terjadilah peningkatan tumpukan sampah metabolisme. Bahan-
bahan ini mempunyai pengaruh mengurangi tonus otot, pembuluh darah prakapilar dan dan
sfingter prakapilar. Dengan demikina timbul vasodilatasi, sehingga aliran darah kapilar
meningkat, sebaliknya bila aktifitas metabolic dala jaringan berkurang, metaboliter dapat
dalam konsentrasi yang lebih rendah, terjadilah vasokonstriksi pembuluh-pembuluh darah
prakapilar., sehingga aliran darah didalamnya menurun. Pembuluh-pembuluh darah
pascakapilar, seperti venula dan vena-vena kecil, terutama berada dibawah pengaruh susunan
saraf. Rangsangan simpatik yang meningkat akan menimbulkan kontraksi ototpolos dari
vena-vena kecildan venula darai sirkulasi mikro.
Dengan demikian, kapasitasnya berkurang, sehinggan meningkatkan pengaliran darah ke
jantung. Sebaliknya penurunan tonus pembuluh-pembuluh darah pascakapilar akan sangat
mengurangi pengisian jantung dan dapat mengakibatkan hipotensi yang berat.

DEFINISI SHOCK HEMORAGIC


Hemoragi adalah pengaliran darah keluar dari pembuluh darah yang bisa mengalir keluar
tubuh (perdarahan eksternal) atau ke dalam tubuh (perdarahan internal). Syok hemoragik
adalah syok yang terjadi akibat perdarahan dalam jumlah yang besar (500 ml). Banyak terjadi
dalam obsetri, disebabkan oleh perdarahan postpartum, perdarahan karena
abortus, kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, solusio plasenta, rupture uteri dan
perlukaan jalan lahir. Penanganannya adalah dengan menghilangkan penyebab dan
mengganti segera darah yang hilang.

SIRKULASI SHOCK HEMORAGIC


Setelah terjadi pendarahan yang berat, volume darah yang beredar menjadi sangat berkurang.
Hipovolumenya mengakibatkan hipotensi, sehingga penderita jauh ke dalam keadaan syok.
Setelah syok, terjadi peningkatan kadar catecholamine dalam darah yang disertai
vasokonstriksi arteriola-arteriola dan venula-venula dalam sirkulasi mikro. Vasokonstriksi
pada pembuluh-pembuluh darah ini berlangsung karena rangsangan simpatik. Akibatnya
terjadi hipotensi, susunana saraf simpatik mendapat rangsangan dari pusat-pusat vasomotor
dalam medulla yang lebih dahulu dirangsang oleh reseptor-reseptor regang (stretch receptors)
yang berada dalam sinus karotikus dan arkus aorta.
Dengan terjadinya vasokonstriksi arteriola-arteriola dan venula- venula karena rangsangan
simpatik, pembuluh-pembuluh tersebut seolah- olah terperas, terjadilah suatu sympathetic
squeezing. Pembuluh-pembuluh darah dalam alat-alat vital tidak turut serta dalam
sympathetic squeezing karena aliran darah didalamnya hampir sepenuhnya diatur oleh unsur-
unsur lokal. Akibat kejadian-kejadian ini adalah mengurangnya aliran darah dalam daerah
splangnikus, uterus, ginjal, otot-otot dan kulit, sedangkan aliran darah dalam jantung dan otak
tetap. Terjadi semacam autotranfusi pada alat-alat vital. Vasokonstriksi arteriola-arteriola dan
venula-venula dalam sirkulasi mikro menyebabkan tekanan hidrostatik dala kapilar-kapilar
menurun. Keadaan ini mengakibatkan perembesan cairan dari ruang ekstravaskular ke ruang
intravaskular, peristiwa ini menambah volume darah yang beredar. Berkat autotranfusi akibat
terjadinya iskemia selektif alat-alat tubuh dan berkat pengalliran cairan dari ruang
ekstravaskular ke ruang intravaskular, maka dalam tingkat syok yang masih
dikompensasikan, volume darah yang beredar curah jantung
(cardiac output) dapat dipertahankan, sehingga hipotensi dapat diatasi dan perfusi jaringan
terjamin. Dalam keadaan syok terjadi pula reaksi-reaksi lain, seperti peningkatan produksi
hormon antidiuretik oleh hipofisis dan peningkatan produksi aldensteron oleh glandula
surprarenalis, sehingga terjadi penyimpanan air dan garam oleh ginjal, hal ini
menguntungkan dalam mempertahankan volume darah dalam sirkulasi. Dalam stadium syok
hemoragi reversible yang masih dini pemberian cairan dan elektrolit intravena mempercepat
homeostatis. Bila perdarahan berlangsung terus dan tidak terkendalikan, maka volume darah
yang beredar makin berkurang dan tekanan darah tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan
makin mengurangnya perfusi dengan darah, hipoksia jaringan makin berat dan pengumpulan
metabolit makin banyak. Meskipun masih dalam pengaruh saraf simpatik, penumpukan
metabolit pada akhirnya menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh-pembuluh darah
prakapilar yang mengalami dilatasi, kemudian disusul oleh pembuluh-pembuluh darah
pascakapilar. Dengan terjadinya vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah dalam sikulasi mikro
ini, tertimbunlah darah didaerah kapilar. Dengan demikian, volume darah yang mengalir
kembali ke jantung makin berkurang. Disparitas antara volume darah yang beredar dengan
kapasitas daerah vascular (vascular bed) makin besar, sehingga hipotensi menjadi makin
berat. Akibat tekanan darah diastolic yang menurun, maka aliran darah dalam arteria
koronaria berkurang, sehingga menimbulkan anoksia pada otot jantung yang mengakibatkan
kelemahan jantung. Dalam perkembangan proses selanjutnya vena-vena kecil dan venula
pascakapilar tidak lagi menunjukan reaksi terhadap rangsangan simpatik. Sirkulasi mikro
dalam keadaan demikian sepenuhnya dalam pengaruh zat-zat vasodilator endogen. Dalam
fase terakhir dari syok hemoragi yang tidak reversible lagi terdapat tanda-tanda kegagalan
fungsi alat-alat tubuh vital.

SHOCK HEMORAGIC
a) Syok hemoragi reversibel dibagi dalam 2 stadium :
 Syok reversibel dini (early reversible shock), yang dapat dikompensasikan
Dalam tingkat ini kadar katekolamin meningkat ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh
darah perifer. Tekanan darah masih normal atau mulai turun. Penanganan segera dapat
mengatasi syok dengan mudah.
 Syok reversibel lanjut (late reversible shock), yang dalam keadaan dekompensasi.
Vasokonstriksi terus-menerus, bagian perifer tubuh dingin, tekanan darah turun, nadi cepat,
dan terjadi penumpukan darah dalm vena- vena didaerah tertentu. Jumlah darah yang
mengalir dalam peredaran darah umum dan yang ke jaringan berkurang. Untuk penanganan
diperlukan upaya dan jumlah cairan (atau darah) yang lebih banyak.
b) Syok hemoragi dalam obsetri dapat dijumpai pada :
 Antepartum : plasenta previa, solusio plasenta. Hemoragi antepartum adalah
perdarahan sebelum melahirkan yang biasanya diklasifikasikan sebagai perdarahan apapun
dalam kehamilan sesudah usia kehamilan 24 minggu.
Perbedaan solusio plasenta dan plasenta previa.

Solusio Plasenta Plasenta Previa


Perdarahan Merah tua s/d Merah segar, Berulang
coklat hitam. Tidak nyeri, Tak tegang
Terus menerus
Disertai nyeri

Uterus Tegang, bagian Tak tegang, Tak nyeri


janin tak tekan
teraba,Nyeri
tekan
Syok/Anemia Lebih sering, Jarang, Sesuai dengan
Tidak sesuai jumlah darah yang
dengan jumlah keluar.
darah yang
keluar.
Fetus 40% fetus sudah Biasanya fetus hidup,
mati, Tidak Disertai kelainan letak.
disertai kelainan
letak.
Pemeriksaan Dalam Ketuban menonjol Teraba plasenta atau
walaupun tidak perabaan fornik ada
his. bantalan antara bagian
janin dengan jari
pemeriksaan.

Penyebab hemoragi antepartum :

1. Pelepasan mendadak plasenta yang letaknya normal (solusio plasenta)


2. Perdarahan dari plasenta yang letaknya abnormal (plasenta previa)
3. Perdarahan otak yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah serebral, perdarahan
otak atau serebral ini dapat tejadi pada kehamilan yang berkaitan dengan hipertensi misalnya
eklampsia dan hipertensi esensial.
4. Perdarahan dengan jumlah kehilangan darah yang telihat jauh lebih sedikit dari pada
jumlah kehilangan , tanda-tanda klinis tidak sesuai dengan hasil pengukuran jumlah darah
yang hilang.
 Intrapartum : ruptura uteri
 Postpartum : perdarahan postpartum, luka-luka jalan lahir. Syok karena perdarahan,
infeksi, dan eklamsi adalah merupakan tiga hal utama pembawa kematian dalam kebidanan.
Hemoragi postpartum
adalah kehilangan darah sebanyak 500 ml atau lebih dari traktus genitalia setelah melahirkan.
Hemoragi postpartum ada 2 yaitu :
1. Hemoragi postpartum primer yaitu mencakup semua kejadian peradarahan
dalam 24 jam setelah kelahiran.
2. Hemoragi postpartum sekunder yaitu mencakup semua kasus PPH yang terjadi antara
24 jam setelah kelahiran bayi dan 6 minggu masa postpartum.

Penyebab hemoragi postpartum primer :

1. Uterus atonik (terjadi karena, misalnya plasenta atau selaput ketuban tertahan)
2. Trauma genital (meliputi penyebab spontan dan trauma akibat penatalaksanaan atau
gangguan, misalnya kelahiran yang menggunakan peralatan termasuk seksio sesarian,
episiotomy)
3. Koagulasi intravaskular diseminata
4. Inversi uterus

PENANGANAN SHOCK HEMORAGIC


Pada syok hemoragi tindakan esensial adalah menghentikan perdarahan dan menganti
kehilangan darah. Setelah diketahui adanya syok hemoragi, penderita dibaringkan dalam
posisi Trendelenburg, yaitu dalam poisi terlentang biasa dengan kaki sedikit tinggi (30˚).
Dijaga jangan sampai penderita kedinginan badannya. Setelah kebebasan jalan nafas
terjamin, untuk meingkatkan oksigenisasi dapat diberi oksigen 100% kira- kira 5 liter/menit
melalui jalan nafas. Sampai diperoleh persediaan darah buat tranfusi, pada penderita melalui
infus segera diberi cairan dalam bentuk larutan seperti NaCl 0,9%, ringer laktat, dekstran,
plasma dan sebagainya. Sebagai pedoman dala menentukan jumlah volume cairan yang
diperlukan, dipergunakan ukuran tekanan vena pusat (CVP) dan keadaan diuresia. CVP dapat
dipergunakan untuk menilai hubungan antara volume darah yang mengalir ke jantung dan
daya kerja jantung. Tinggi
CVP pada seseorang yang sehat yang berbaring adalah 5-8 cm air. Tekanan akan menurun
jika volume darah itu menjadi kurang dan akan menarik dengan berkurangnya daya kerja
jantung. Dengan demikian, CVP penting untuk memperoleh informasi tentang keseimbangan
antara darah yang mengalir ke jantung dan kekuatan jantung, serta untuk menjaga jangan
sampai pemberian cairan dengan jalan infus berlebihan. Selama CVP masih rendah
pemberian cairan dapat diteruskan akan tetapi jika CVP lebih dari normal (15-16 cm air), hal
itu merupakan isyarat untuk menghentikan atau saat untuk menggurangi pemberian cairan
dengan infus. Pemeriksaan hematokrit berguna sebagai pedoman pemberian darah. Kadar
hematokrit normal 40%, dan pada perdarahan perlu diberi darah sekian banyak, sehingga
hematokrit tidak kurang dari 30%. Jika dianggap perlu kepada penderita syok hemoragi
diberi cairan bikarbonat natrikus untuk mencegah atau meanggulangi asidosis. Penampilan
klinis penderita banyak member isyarat mengenai keadaan penderita mengenai hasil
perawatannya.
4. Gangguan pembekuan darah pada kehamilan
Pengertian
Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi karena
adanya kelainan pada proses pembekuan darah sang ibu, sehingga darah tetap mengalir.
2.2 Etiologi

Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk
mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah
memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada
daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi
dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit
sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis.
Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan
penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa
hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya
yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta,
sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada
saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak
hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC, yaitu gangguan mekanisme pembekuan darah yang umumnya disebabkan oleh hipo atau
afibrinigenemia atau pembekuan intravascular merata (Disseminated Intravaskular
Coagulation)
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang
menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat
peningkatan kadar D- dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu
trombin (thrombin time).
2.3 Patofisiologi

Kelainan koagulasi generalisata ini dianggap sebagai akibat dari lepasnya substansi –
substansi serupa tromboplastin yang berasal dari produk konsepsi ke dalam sirkulasi darah
ibu atau akibat aktivasi factor XII oleh endotoksin. Setelah itu mulailah serangkaian reaksi
berantai yang mengaktifkan mekanisme pembekuan darah, pembentukan dan pengendapan
fibrin dan, sebagai konsekuensinya, aktivasi sistem fibrinolitik yang normalnya sebagai
proteksi. Gangguan patofisiologi
yang kompleks ini menjadi suatu lingkaran setan yang muncul sebagai diathesis perdarahan
klinis dengan berubah – ubahnya hasil rangkaian tes pembekuan darah sehingga
membingungkan.

B. Infeksi Maternal
1. Penyakit Menular Seksual
a. Definisi

Infeksi Menular Seksual (IMS) didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan karena
adanya invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu kelamin yang sebagian besar menular
melalui hubungan seksual, baik yang berlainan jenis ataupun sesama jenis. (Aprilianingrum,
2002).
Terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba(bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan
melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,
chlamydia, syphilis,trichomoniasis, chancroid, herpes genital, infeksi human
immunodeficiensy virus (HIV) dan hepatitis B. HIV dan syphilis juga dapat ditularkan dari
ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui darah serta jaringan tubuh
(WHO,2009).
b. Epidemiologi

Penyakit kelamin (veneral diseases) sudah lama dikenal dan beberapa di antaranya sangat
populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan,
seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit
baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexually transmitted
disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS) (Hakim, 2009; Daili, 2009).
Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas
karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit kelamin (VD) yaitu
sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk
uretritis non gonore (UNG),
kondiloma akuminata, herpes genitalis, kandidosis, trikomoniasis, bakterial vaginosis,
hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis, dan lain- lain. Sejak tahun 1998,
istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat
menjangkau penderita asimtomatik (Hakim, 2009; Daili, 2009).
c. Etiologi
PMS pada umumnya disebabkan karena adanya penyebaran virus, bakteri, jamur dan
protozoa/parasit. Seperti beberapa penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus
antara lain HIV (Human Immunodeficiency Virus), Genital Herpes, Hepatitis B dan HPV
(Human Papilloma Virus).
- Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyakit menular seksual yang
merusak sistem kekebalan tubuh, sehinnga tubuh kehilangan kemampuan untuk melawan
inveksi. HIV menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan
berbagai penyakit yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh akibat HIV, yang saat ini
belum ada obat yang benar‐benar dapat menyembuhkan. Ada beberapa fase perkembangan
HIV/AIDS :
Pertama, penderita sudah terjangkit inveksi, tetapi ciri‐ciri terinveksi belum terlihat,
meskipun penderita melakukan tes darah. Pada fase ini antibodi terhadapHIV belum
terbentuk. Biasanya fase ini berlansung sekitar 1‐6 bulan dari waktu penderita terjangkit.
Kedua, berlangsung lebih lama, yaitu sekitar 2‐10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase ini
penderita sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit, tetapi sudah dapat
menularkan kepada orang lain.
Ketiga, sudah muncul gejala‐gejala awal penyakit yang HIV, tetapi belum dapat disebut
sebagai gejala AIDS. Pada fase ini penderita mengalami seperti gejala keringat yang
berlebihan pada waktu malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah
bening, flu yang tidak sembuh‐sembuh, nafsu makan berkurang, kekebalan tubuh menurun.
Keempat, sudah memasuki fase AIDS, dan baru dapat didiagnosa setelah kekebalan tubuh
sangat berkurang dilihat dari Sel‐Tnya. Timbul penyakit
tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik, yaitu kanker khususnya sariawan, kanker
kulit (sarcoma kaposi), infeksi paru‐paru dan kesulitan bernafas, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu‐minggu dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
mental dan sakit kepala.
- Genital Herpes atau lebih dikenal dengan herpes genitalis (herpes kelamin) adalah
PMS yang disebabkan oleh Virus Herpes Simplek yang ditularkan melalui hubungan seksual
baik vaginal, anal atau oral yang menimbulkan luka atau lecet pada bagian kelamin dan
mengenai pada bagian langsung pada luka, bintil atau kutil. Virus ini dapat meng hilang
sementara waktu, tetapi sesungguhnya tetap tidak dapat sepenuhnya dihilang kan, bahkan
obat cydofir (zovirox) saja yang biasa diresepkan untuk penderita genital herpes hanya dapat
meringankan gejala‐gejalanya, tetapi tidak benar‐benar menyem buhkan penderita. Walaupun
tanpa gejala dan tergantung pada daya tahan tubuh, kalaupun pada awalnya ada rasa seperti
terbakar atau gatal pada kelamin diikuti timbulnya bintil‐bintil berisi air di atas kulit dengan
warna dasar kemerahan, dalam beberapa hari bintil ini akan pecah dan menimbulkan luka
lecet yang terbuka dan sangat nyeri. Pada penderita perempuan biasanya timbul di sekitar
kelamin, dinding liang kemaluan dan kadang‐kadang disekitar anus. Sedang pada penderita
Laki‐laki biasanya pada batang atau kepala penis serta disekitar anus. Gejala pada serangan
pertama umumnya lebih berat dibandingkan ketika kambuh. Sebelum timbul lecet biasanya
diawali dengan keluhan pegal‐pegal pada otot disertai demam (terutama pada serangan
pertama), pembengkakan pada kelenjar lipatan paha, nyeri kadang gatal serta kemerahan
pada tempat yang terkena. Masa inkubasi 1‐26 hari, rata‐rata 6‐7 hari. Masa Inkubasi
merupakan rentang waktu sejak masuknya penyakit kedalam tubuh hingga timbulnya
penyakit tersebut.
- Hepatitis adalah penyakit menular yang menyebabkan peradangan hati
dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B merupakan satu‐satunya
penyakit menular seksual yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Hepatitis B dapat
menyebabkan penyakit kuning,
kelelahan yang teramat sangat, muntah‐muntah dan demam, dapat ditularkan dengan mudah
melalui kontak seksual. Sebagian penderita hepatitis B dapat kembali sehat dengan terapi anti
hepatitis, namun sebagian penderita terkadang penyakitnya justru bertambah kronis.
- Human Pappiloma Virus (HPV) atau juga dikenal dengan nama genital wart adalah
penyakit menular seksual yang banyak ditemukan dengan munculnya kutil genital, kutil
kelamin atau disebut candiloma akuminata yang dapat meningkatkan kanker serviks dan
penyakit ini sangat mengkhawatirkan di komunitas medis ada kampanye untuk mendorong
diadakannya vaksinasi terhadap HPV pada penderita untuk menekan angka penyebaran HPV
genital melalui aktivitas seksual. Virus HPV menimbulkan gejala seperti kelainan berupa
tonjolan kulit berbentuk jengger ayam yang berwarna seperti kulit, ukurannya bervariasi dan
sangat kecil sampai besar sekali. Pada penderita perempuan dapat mengenai kulit di daerah
kelamin sampai dubur, selaput lendir bagian dalam liang kemaluan sampai leher rahim. Pada
penderita laki‐laki dapat mengenai penis dan saluran kencing bagian dalam. Khusus
perempuan hamil, kutil dapat tumbuh besar sekali dan baru disadari setelah perempuan
melakukan papsmear. Jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan kanker leher rahim serta
kanker penis. Sebagian besarkuman penyakit ini menempel pada kulit, seperti skrotum, maka
kondom tidak 100% efektif dalam mencegah penularannya. Bahkan berdasar laporan
kesehatan, remaja memiliki persentase tertinggi pada virus ini dibanding kelompok umur
lainnya. Ada satu penelitian di Amerika menunjukkan sampai seperempat perempuan muda
yang aktif secara seksual terbukti terinveksi kutil kelamin melalui pengujian laboratorium,
walaupun bukti kasat mata seperti kutil kelamin dibagian luar lebih sedikit. Sekarang kita
bahas tentang PMS yang disebabkan karena penyebaran bakteri antara lain seperti Chlamydia
Trachomatis atau disebut Klamidia, Vaginosis Bakterial, Gonore, dan Sifilis.
- Chlamydia Trachomatis adalah penyakit menular melalui hubungan seks
vaginal, oral atau anal. Apabila tidak terdeteksi melalui diagnosa pada
tahap awal dan segera diobati dengan antibiotika, maka klamidia dapat menyebar dengan
sangat cepat dan menyebabkan penyakit radang panggul yang menyebabkan kehamilan
ektopik (diluar kandungan) dan kemandulan pada laki‐laki. Bakteri ini juga dapat menyerang
leher rahim. Gejala pada penderita berupa keluhan adanya keputihan yang disertai nyeri pada
saat kencing dan pendarahan setelah melakukan hubungan seksual. Cara penularannya tidak
disadari karena kebanyakan penderita yang terinfeksi tidak merasakan gejalanya. Pada infeksi
kronis dapat menyebar ke saluaran telur yang mengakibatkan kehamilan ektopik dan
kemandulan. Dapat menyebabkan kebutaan atau radang paru‐paru pada bayi yang baru
dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi bakteri ini. Masa inkubasi klamidia adalah 7‐12 hari. Hasil
laporan kesehatan menunjukkan bahwa remaja di seluruh dunia adalah proporsi terbesar
seluruhnya dalam infeksi klami dia, kurang lebih sepertiga. Termasuk di Haiti dan Nigeria
memiliki tingkat klamidia yang tinggi.
- Vaginosis Bakterial adalah penyakit menular yang disebabkan adanya infeksi
pada alat kelamin yang disebabkan adanya campuran bakteri Gardnella Vaginalis dan bakteri
Anaerop. Pada penderita gejalanya berupa keputihan tidak banyak, berwarna abu‐abu, lengket
dan berbau amis, biasanya akan tercium jelas setelah melakukan hubungan seksual dengan
lawan jenis.
- Gonore adalah penyakit menular serupa dengan klamidia, ditularkan melalui
hubungan seks vaginal, oral atau anal. Penyakit ini juga telah berhasil diobati dengan
antibiotika, namun gonore yang tidak segera diobati dapat menyebabkan nyeri panggul,
keputihan dan penyakit radang panggul. Pada penderita penyebabnya adanya kuman
Neisseria Gonorrhoeae. Pada penderita perempuan terkadang sering tanpa adanya gejala atau
gejalanya sulit dilihat, terkadang ada nyeri di bagian perut bawah, kadang disertai keputihan
dengan bau yang menyengat, alat kelamin terasa sakit atau gatal, adanya rasa sakit atau panas
pada waktu buang air dan pendarahan setelah melakukan hubungan seks. Akan tetapi Gonore
(GO) sering datang tanpa keluhan atau gejala apapun pada
perempuan. Pada penderita laki‐laki adanya gejala timbul pada waktu satu minggu, rasa sakit
pada saat buang air atau ereksi, keluar nanah dari saluran kencing utamanya pada pagi hari.
Sering tanpa gejala pada stadium dini.
- Sifilis atau dikenal dengan Raja Singa adalah penyakit menular yang disebabkan
kuman Treponema Pallidium. Gejala yang pertama kali muncul adalah rasa sakit di daerah
kontak seksual, timbul benjolan di sekitar alat kelamin, kadang‐kadang disertai pusing‐pusing
dan nyeri tulang seperti flu yang akan menghilang dengan sendirinya tanpa diobati, terjadi
bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6‐12 minggu setelah hubungan seks. Selama 2‐3 tahun
pertama penyakit ini tidak menunjukkan gejala apa‐apa. Setelah 5‐10 tahun penyakit ini akan
menyerang susunan syaraf otak, Pembuluh darah dan jantung. Pada perempuan hamil,
penyakit ini dapat menular pada bayi yang dikandungnya yang mengakibatkan kerusakan
kulit, hati, limpa dan keterbelakangan mental. Selanjutnya kita bahas PMS yang disebabkan
karena penyebaran jamur yaitu Kandidas Vagina.
- Kandidas Vagina adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jamur
Candida Albicans. Dalam keadaan normal biasanya jamur ini terdapat pada kulit ataupun
lubang kemaluan perempuan. Pada keadaan tertentu seperti penyakit (kencing manis,
kehamilan pengobatan steroid, anti biotik) jamur ini dapat meluas dan menimbulkan
keputihan. Penyakit ini sebenarnya tidak tergolong PMS, tetapi pasangan seksual perempuan
yang terinfeksi jamur ini dapat mengeluh gatal dengan gejala bintik‐bintik kemerahan pada
kulit kelamin. Gejalanya adalah keputihan yang tidak berbau atau berbau asam, berwarna
seperti keju atau susu basi disertai gatal, panas dan kemerahan di kelamin dan sekitarnya.
Yang terakhir kita bahas PMS yang disebabkan karena penyebaran protozoa/parasit yaitu
Trikomoniasis.
- Trikomoniasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Trichomonas
Vaginalis. Gejalanya antara lain terjadinya keputihan yang banyak. Kadang‐kadang berbusa
dan berwarna kehijauan dengan bau
busuk, terjadinya gatal‐gatal di kemaluan, nyeri pada saat berhubungan seks atau saat buang
air kecil. Masa inkubasi 3‐28 hari. Infeksi trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual
yang dapat disembuhkan dan yang paling biasa terjadi.
d. Faktor Resiko
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya pengidap Penyakit Menular Seksual
(PMS) antara lain :
1. Berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom).
2. Gonta-ganti pasangan seks.
3. Prostitusi.
4. Melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan luka atau
radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih mudah terluka disbanding epitel
dinding vagina.
5. Penggunaan pakaian dalam atau handunk yang telah dipakai penderita PMS
(Hutagalung, 2002).
6. Saat ini sudah terbuka lebar akses informasi yang membahas seksualitas termasuk
gambar‐gambar berkatagori pornografi, media masa, internet yang sudah banyak
dimanfaatkan oleh sebagian besar kalangan remaja secara tidak benar.
7. Adanya nilai ganda masyarakat dalam mensikapi permasalahan pornografi, disatu sisi
menentang, menganggap tabu, terlalu fulgar, seronok, jijik dan sebagainya, disisi lain ada
sikap apatis, membiarkan bahkan memanfaatkan pornografi sebagai tontonan masyarakat
bahkan masuk dalam lingkungan keluarga.
8. Nilai‐nilai cinta atau hubungan lawan jenis yang cenderung disalah gunakan,
menghilangkan nilai‐nilai sakral, budaya dan agama, malah cenderung melakukan hal‐hal
yang tidak terpuji, permisif (serba boleh) dan cenderung melonggarkan hubungan laki‐laki
dan perempuan.
9. Kurangnya pemahaman kalangan remaja terhadap perilaku seks bebas yang pernah
dilakukan ditambah kontrol keluarga serta masyarakat yang cenderung menurun.
10. Semakin banyaknya tempat‐tempat hiburan plus, prostitusi, baik yang terlokalisir
maupun di tempat/kawasan remang‐remang dan sebagainya. Bahkan ada yang beranggapan
bahwa dirinya merasa tidak akan mungkin terjangkit penyakit apapun, sehingga ada dorongan
untuk mencoba hal baru
e. Tanda dan Gejala
Pada anak perempuan gejalanya berupa:
a. Cairan yang tidak biasa keluar dari alat kelamin perempuan warnanya kekuningan-
kuningan, berbau tidak sedap
b. Menstruasi atau haid tidak teratur
c. Rasa sakit di perut bagian bawah
d. Rasa gatal yang berkepanjangan di sekitar kelamin Pada anak laki-laki gejalanya
berupa:
a. Rasa sakit atau panas saat kencing
b. Keluarnya darah saat kencing
c. Keluarnya nanah dari penis
d. Adanya luka pada alat kelamin
e. Rasa gatal pada penis atau dubur (Hutagalung, 2002).
f. Penatalaksanaan
Menurut WHO(2003), penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, bisa
dengan penaganan berdasarkan kasus(case management) ataupun penanganan berdasarkan
sindrom (syndrome management). Penanganan berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya
berupa pemberian terapi antimikroba untuk menyembuhkan dan mengurangi infektifitas
mikroba, tetapi juga diberikan perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Sedangkan penanganan berdasarkan sindrom didasarkan pada identifikasi dari sekelompok
tanda dan gejala yang konsisten, dan penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang
menimbulkan sindrom. Penanganan infeksi menular seksual yang ideal adalah penanganan
berdasarkan mikrooganisme penyebnya. Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi
menular seksual selalu diberi pengobatan secara empiris (Murtiastutik, 2008).
Antibiotika untuk pengobatan IMS adalah:
a) Pengobatan gonore: penisilin, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, spektinomisin,
kuinolon, tiamfenikol, dan kanamisin (Daili, 2007)
b) Pengobatan sifilis: penisilin, sefalosporin, termasuk sefaloridin,
tetrasiklin, eritromisin, dan kloramfenikol (Hutapea, 2001)
c) Pengobatan herpes genital: asiklovir, famsiklovir, valasiklovir (Wells et al, 2003)
d) Pengobatan klamidia: azithromisin, doksisiklin, eritromisin (Wells et al., 2003)
e) Pengobatan trikomoniasis: metronidazole (Wells et al., 2003).

C. INFEKSI TORCH
1. Definisi
Infeksi TORCH adalah suatu kelompok organisme yang mampu menembus plasenta dan
mempengaruhi perkembangan janin. Empat jenis penyakit infeksi yaitu Toxsoplasmosis,
infeksi lain (mis. Hepatitis), virus rubella, citomegalovirus, dan virus herpes simplex
2. Patofisiologi

3. Klasifikasi
1. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa parasit yang disebut
Toxoplasma gondii. Dari penelitian di jelaskan bahwa untuk penyakit bawaan atau kongenital
terjadi akibat infeksi primer selama
kehamilan, khususnya selama trimester ketiga. Tidak seperti infeksi kongenital lain yang
cenderung untuk terjadi sekitar 8-15 minggu kehamilan yang terjadi ketika masa
organogenesis, toksoplasmosis infektivitas terjadi sebaliknya dan bahkan dapat meningkat
sesuai usia kehamilan.
Toksoplasmosis timbul akibat mengkonsumsi daging mentah atau tidak mencuci tangan
sewaktu menyiapkan daging mentah atau terinfeksi kotoran kucing. Parasit ini memiliki
kemampuan shedding dalam saluran pencernaan kucing, dan ketika masuk ke tubuh manusia
dapat menyebar secara hematogenous ke pembuluh darah uterin akhirnya memasuki plasenta
dan menginfeksi janin. Setelah menyerang janin, parasit ini menyerang sel-sel otak dan otot,
membentuk kista yang dapat tetap hidup dalam host selama bertahun- tahun. Penyebaranya
sendiri diperkirakan Lebih dari 60 juta orang di Amerika Serikat terinfeksi, tapi sangat sedikit
memiliki gejala. Insiden Toksoplasmosis kongenital adalah 1 dalam 1000-8000 di AS
 Penyebaran virus:
a. Dari telur Toxoplasma yang berada dalam tanah masuk ke tubuh manusia.
b. Menelan mentah atau masak daging setengah matang, terutama daging babi, domba
atau daging rusa.
c. Kontak dengan kotoran kucing yang terinfeksi.
d. Plasenta (jika infeksi terjadi selama kehamilan).
e. Melalui transplantasi organ atau transfusi akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi.
f. Perempuan dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga beresiko untuk
reaktivasi infeksi sebelumnya.

 Manifestasi Klinis
- Sakit Kepala
- Lemah
- Sulit berpikir jernih
- Demam
- Mati rasa
- Koma
- Serangan jantung
- Perubahan pada penglihatan (seperti penglihatan ganda, lebih sensitif terhadap cahaya
terang, atau kehilangan penglihatan)
- Kejang otot, dan sakit kepala parah
 Efek Maternal
- Infeksi akut
- Menyerupai influenza
- Limfadenopati
 Efek pada janin
- Jika disertai infeksi akut maternal akan terjadi parasitemia
- Kemungkinan untuk terjadi bersama infeksi kronik maternal lebih kecil
- Cenderung terjadi abortus bila terdapat infeksi akut pada awal kehamilan
 Pemeriksaan dan penatalaksanaan

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan imunoglobulin spesifik


polymerase chain reaction (PCR). Jika tes ini terbukti negatif akan tetapi kecurigaan klinis
akan infeksi ini tinggi maka pengobatan harus tetap dilakukan. Selain itu juga dapat
dilakukan tes serum dan ELISA. Pengobatan alternatif untuk taksoplasmosis adalah
pyrimethamine ditambah sulfadiazin dan klindamisin(untuk wanita yang alergi terhadap
sulfadiazin).

2. Rubela (campak jerman)

Rubela adalah suatu infeksi virus yang ditransmisi melalui droplet. Demam, ruam dan
limfedema ringan biasanya terlihat pada ibu yang terinfeksi. Akibat pada janin lebih serius
dan meliputi abortus sepontan,
anomali kongenital dan kematian. Sebagian besar wanita usia subur kebal terhadap rubella,
baik melalui vaksinasi atau penyakit sebelumnya, namun 2 dar 10 dianggap rentan.
Pencegahan infeksi rubela maternal dan efek pada janin adalah fokus utama program
imunisasi rubela (ACOG, 1992c). Vaksinasi ibu hamil dikontraindikasikan karena infeksi
rubela bisa terjadi setelah vaksin diberikan. Sebagai bagian dari konseling prakonsepsi atau
masa nifas, vaksin rubela diberikan kepada ibu yang tidak imun terhadap rubela dan mereka
dianjurkan memakai kontrasepsi selama minimal tiga bulan setelah vaksinasi.
 Efek Maternal:
- Ruam, demam, kelenjar limfe di subokspital dapat membengkak, fotofobis

- Artritis atau ensefalitis kadang juga terjadi

- Abortus sepontan

- Risiko sindrom rubella bawaan tertinggi (hingga 90%) saat paparan adalah antara 11
dan 20 minggu kehamilan.
 Efek pada janin:
- Insiden anomali konginetal: bulan pertama 50%, bulan kedua 25%, bulan ketiga 10%,
bulan keempat 4%
- Sekitar 25 persen neonatus yang ibunya terkena rubella selama trimester pertama
dilahirkan dengan satu atau lebih cacat lahir - kebutaan, katarak, gangguan pendengaran,
cacat jantung, retardasi mental, gangguan gerak, dan pengembangan diabetes selama masa
kanak-kanak atau lambat.
- Pemaparan pada dua bulan pertama: malformasi jantung, mata, telinga, atau otak

- Pemaparan setelah bulan keempat: infeksi sistemik, hepatosplenomegali, retardasi


pertumbuhan intrauterin, ruam
- Pada usia 15 sampai 20 tahun anak bisa mengalami kemunduran intelektual dan
perkembangan atau bisa menderita epilepsi
- Beberapa bayi yang terinfeksi memiliki masalah kesehatan jangka
pendeksepertidiare,BBLR,masalahmakan,pneumonia,
meningitis, anemia, bintik-bintik merah-ungu pada wajah dan tubuh dan pembesaran limpa
dan hati.
 Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana
IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan
pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk
divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis
infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan. Selain itu dapat
dengan tes ELISA, HAI, Pasif HA atau tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella yang
mengindikasikan infeksi rubella telah terjadi.
 Penatalaksanaan
a. Pada Ibu - Analgesik ringan, istirahat dan dukungan.
b. Neonatal - Tidak ada pengobatan khusus untuk pengobatan rubella bawaan. Mata atau
cacat jantung dapat dikoreksi atau diperbaiki dengan pembedahan.
Pendidikan Kesehatan

a. Vaksinasi wanita non-imun sebelum kehamilan adalah pencegahan terbaik.


b. Rubella dan MMR (campak, gondok, rubella) vaksin tidak dianjurkan selama
kehamilan. Seorang wanita harus menunggu 28 hari setelah vaksinasi untuk hamil (meskipun
risiko kehamilan yang tidak disengaja selama ini sangat kecil). Ibu menyusui dapat
divaksinasi.
c. Wanita hamil yang tidak kebal untuk rubella harus menghindari kontak dengan orang
yang terinfeksi rubella atau gejala rubella.

3. Cytomegalovirus
Penyakit ini disebabkan oleh Humancytomegalovirus, subfamili
betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan,
sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan
lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada kehamilan infeksi pada janin
terjadi secara intrauterin. Pada bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan
gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa perinatal akan
mengakibatkan gejala yang berat. Setiap tahun sekitar 40.000 bayi di AS (1%) terinfeksi.
Untungnya, sebagian besar bayi tidak mengalami kematian, tapi sekitar 8.000 bayi per tahun
mengalami cacat yang berlangsung dari CMV.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar wanita telah
terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti.
Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan
menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy,
mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai
tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi
psikomotor maupun kehilangan pendengaran.
 Klasifikasi
CMV dapat mengenai hamper semua organ dan menyebabkan hamper semua jenis infeksi.
Organ yang terkena adalah:
- CMV nefritis( ginjal).
- CMV hepatitis( hati).
- CMV myocarditis( jantung).
- CMV pneumonitis( paru-paru).
- CMV retinitis( mata).
- CMV gastritis( lambung).
- CMV colitis( usus).
- CMV encephalitis( otak)
 Manifestasi Klinis
- Petekia dan ekimosis.
- Hepatosplenomegali.

- Ikterus neonatorum,hiperbilirubinemia langsung.


- Retardasi pertumbuhan intrauterine.
- Prematuritas.
Ukuran kecil menurut usia kehamilan.
- Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang lebih besar:
o Purpura
o Hilang pendengaran.
o Korioretinitis; buta.
o Demam.
o Kerusakan otak.
 Efek Maternal :
Penyakit pernafasan atau hubungan seksual yang asimptomatik atau sindrom seperti
mononukleosis: dapat memiliki rabas di serviks
 Efek pada janin :
Kematian janin atau penyakit menyeluruh anemia hemolitik dan ikterik: hidrosefalus atau
mikrosefalus, pneumonitis, hepatosplenomegali
 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan ini angat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski berulang,
dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang
silakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan pembagian seperti berikut:
a. Pada Ibu - ELISA, antibodi fluorescent (FA), fiksasi komplemen (CF), serokonversi
hingga + IgM, dan isolasi virus dengan kultur.
b. Sebelum melahirkan – efek pada bayi mungkin menunjukkan temuan berikut USG:
mikrosefali, hidrosefalus, lesi kistik atau kalsifikasi nekrotik di otak, hati atau plasenta, PJT,
oligohidramnion, asites, pleural efusi perikardial atau, hypoechogenic usus dan hidrops.
c. Newborn - isolasi virus adalah metode optimal mendokumentasikan infeksi CMV.
Spesimen dapat diambil dari urin, nasopharnyx, konjungtiva dan cairan tulang belakang.
 Potensi Efek Ibu dan Bayi
a. Pada Ibu - Kebanyakan infeksi asimtomatik.
b. Neonatal - Infeksi yang paling mungkin terjadi dengan infeksi primer ibu. Perkiraan
tingkat infeksi kongenital dari 1%. Dari jumlah tersebut, 10% akan gejala, dimana 25% akan
memiliki penyakit fatal dan 90% dari korban akan memiliki serius gejala sisa-IUGR,
mikrosefali, kelainan SSP, hidrosefalus, kalsifikasi periventrikular, ketulian, kebutaan, dan
keterbelakangan mental. Sebagian kecil bayi yang baru lahir tanpa gejala.
 Penatalaksanaan
a. Pada Ibu - mengobati gejala
b. Neonatal - ada pengobatan yang memuaskan tersedia. Bayi yang tertular harus
diisolasi.
Pendidikan Kesehatan

a. Perempuan dapat mengurangi risiko CMV dengan mempraktekkan kewaspadaan


universal dan hati-hati mencuci tangan, terutama setelah kontak dengan air liur, urin, feses,
darah dan lendir.
b. Hindari berbagi gelas atau peralatan makan dengan penderita CMV.
c. Tes sebelum kehamilan untuk menentukan apakah mereka memiliki CMV.
4. Virus Herpes Simpleks
Herpes disebabkan oleh virus herpes simpleks, yang mirip dengan virus yang menyebabkan
cacar air dan herpes zoster. Setelah infeksi awal, herpes simplex virus dapat bersembunyi
dalam sel saraf dan kemudian memulai serangan baru. Ada 2 jenis utama virus herpes
simpleks (HSV): tipe I, yang biasanya dikaitkan dengan luka dingin di sekitar mulut, dan tipe
2, yang biasanya dikaitkan dengan luka genital. Namun, jenis dapat menginfeksi baik mulut
atau alat kelamin dan keduanya dapat diteruskan kepada bayi yang baru
lahir. Sekitar 45 juta orang Amerika memiliki herpes genital dengan sekitar
1.1 infeksi baru lahir terjadi setiap tahun.
 Klasifikasi
- Virus herpes simpleks tipe 1 (HSA-1) merupakan infeksi yang paling banyak
ditemukan pada masa kanak-kanak. Virus ini ditransmisikan kontak dengan sekresi oral dan
menyebabkan cold sores(lepuhan-lepuhan kecil) pada mulut atau wajah, namun terkadang
dapat menyebabkan kelainan kelamin juga, terutama jika seseorang melakukan hubungan
seks secara oral dengan orang yang terinfeksi.
- Virus herpes simpleks tipe 2 (HSA-2) biasanya terjadi setelah masa puber seiring
aktivitas seksual yang meningkat. HSV-2 ditransmisikan terutama melalui kontak dengan
sekresi genetalia. HSV-2 menyebabkan kelainan di area kelamin menyebabkan herpes
kelamin.
 Manifestasi klinik
a. Timbul erupsi bintik kemerahan disertai rasa panas dan gatal pada kulit region
genitalis.
b. Kadang-kadang disertai demam seperti influenza dan setelah2 – 3 hari bintik
kemerahan tersebut berubah menjadi vesikel disertai rasa nyeri.
Bayi dengan kongenital tertular infeksi HSV biasanya akan terjadi gejala pada 6 minggu
setelah kelahiran. Gejala awal mungkin samar- samar dan termasuk lesu, vesikel kulit,
demam, dan kejang. Mungkin tidak ada tanda-tanda sama sekali. Sangat penting untuk
memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi, karena ada riwayat ibu yang diketahui memiliki
infeksi herpes hanya 12,5% bayi yang didiagnosis dengan HSV kongenital.
manifestasi herpes neonatal dapat diklasifikasikan dalam tiga cara: yang pertama kulit, mata,
dan keterlibatan mukosa (Penyakit SEM); yang kedua Penyakit SSP, dan yang ketiga adalah
penyakit yang disebarluaskan dengan keterlibatan beberapa organ. Namun, kategori- kategori
ini tidak terpisah satu sama lain dan bayi dapat memiliki tanda- tanda dari lebih dari satu.
Bayi yang didiagnosis Penyakit SEM juga mungkin memiliki okultisme SSP infeksi.
 Dampak pada kehamilan dan persalinan
a. Penularan pada janin dapat terjadi hematogen melalui plasenta

b. Penularan pada janin dapat terjadi akibat perjalanan dari vagina ke janin apabila
ketuban pecah.
c. Penularan pada bayi dapat terjadi melalui kontak langsung pada waktu bayi lahir.

d. Wanita dengan infeksi primer selama kehamilan akan meningkatan risiko untuk PTD
dan BBLR bayi.
e. Bayi dari ibu dengan infeksi primer yang terjadi selama kehamilan berada pada risiko
terbesar. Potensi gejala sisa meliputi: kulit, mulut atau mata lesi dengan potensi kerusakan
permanen pada saraf atau mata. HSV pada bayi baru lahir sering dapat menyebar ke otak dan
organ internal lainnya (perkiraan kematian 50%). Sekitar 50% dari korban mengalami
keterbelakangan mental, cerebral palsy, kejang, buta atau tuli.
 Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat penting untuk mendeteksi
secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah bahaya lebih
lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat kehamilan.
Seorang bayi dianggap terinfeksi herpes jika salah satu tes berikut positif: serum HSV IgM,
HSV PCR dari CSF, atau memiliki HSV setelah dilakukan culture lesi atau lainnya di
permukaan mukosa. Karena tinggi sensitivitas (berkisar 75% sampai 100%), HSV PCR
adalah ujian pilihan untuk evaluasi CSF. Hal ini penting untuk dicatat bahwa PCR CSF
mungkin negatif 5 hari pertama sakit. Jika HSV tetap diduga kuat, meskipun hasil negatif
awal, CSF PCR harus diulang. Untuk Penyakit SEM, culture HSV dari kulit yang atau lesi
mukosa adalah uji pilihan. Baik PCR maupun culture darah memiliki sensitivitas sangat
tinggi. HSV serologi mungkin berguna; antibodi IgG Ibu HSV juga dapat hadir dalam bayi.
 Penatalaksanaan
a. Wanita dengan gejala prodromal atau lesi aktif (masih dalam blister atau ulkus tahap)
akan diberi konseling untuk memiliki kelahiran sesar. Perlindungan terbesar bagi janin jika
ini dilakukan sebelum ROM lebih dari 4 jam.
b. Obat anti-virus dapat memperpendek durasi serangan herpes, meringankan gejala dan
mengurangi jumlah serangan. Acyclovir oral kadang-kadang digunakan pada akhir kehamilan
untuk mengurangi kebutuhan untuk kelahiran sesar.
c. Bayi baru lahir Dilakukan untuk pemeriksaan adanya herpes konginetal dan kalau
perlu kultus virus. kalau ibu aktif menderita herpes genitalis maka bayinya diberi acyclovir 3
dd 10 mg/kg B selama 5 – 7 hari
Pendidikan kesehatan
a. Mendorong wanita dengan riwayat herpes genital untuk menghindari "pemicu"
(panas, gesekan, hubungan, kacang, coklat, demam atau stress), terutama selama bagian akhir
dari kehamilan.
b. Merekomendasikan kondom atau merekomendasikan untuk tidak hamil pada wanita
hamil tanpa HSV yang memiliki pasangan dengan HSV.
c. Mengajari mencuci tangan yang benar untuk mencegah penyebaran HSV kepada
orang lain atau ke bagian lain dari tubuh.
d. Orang dengan lesi aktif harus menghindari mencium orang lain, terutama bayi baru
lahir.
e. Mendidik perempuan tentang pentingnya pelaporan gejala prodromal atau lesi ke
penyedia layanan kesehatan.

5. Infeksi Lain
Hepatitis B (hepatitis serum) adalah penyakit virus yang ditularkan seperti penularan HIV.
Cara transmisinya meliputi jarum terkontaminasi, produk darah atau jarum bekas, hubungan
seksual, dan pertukaran cairan tubuh. Apabila terjadi infeksi maternal pada trimester pertama,
jumlah
neonatus yanng menjadi seropositif untuk antigen permukaan hepatitis B bisa mencapai 10%.
Jika ibu terinfeksi secara akut pada trimester ketiga, 80% sampai 90% neonatus akan
terinfeksi (ACOG, 1992d).
Hepatitis B (HBV) adalah penyakit virus yang serius dan mengakibatkan 4.000-5.000
kematian setiap tahun di AS karena sirosis dan kanker hati. Infeksi akut terjadi dalam 1
sampai 2 kehamilan per 1000. Memperkirakan bahwa 300 juta orang di seluruh dunia secara
kronis terinfeksi HBV.
 Efek maternal
Hepatitis A :
a. Abortus penyebab gagal hati selama kehamilan

b. Demam, malaise, mual, dan rasa tidak nyaman di abdomen

c. Persalinan prematur, sirosis dan kanker hati.

Hepatitis B :

Ditransmisi melalui hubungan seksual, gejalanya adalah demam, ruam, artralgia, penurunan
nafsu makan, dispepsia, nyeri abdomen, sakit diseluruh badan, malaise, lemah, ikterik, nyeri
tekan dan pembesaran hati.
 Efek pada janin

Hepatitis A

Pemaparan selama trimester pertama : anomali janin, hepatitis janin atau neonatus, kelahiran
prematur, kematian janin di dalam rahim
Hepatitis B :

a. Infeksi terjadi pada waktu lahir


b. Vaksinasi maternal selama masa hamil harus tidak menimbulkan resiko pada janin,
namun tidak ada data yang tersedia.
c. Bayi yang terinfeksi pada saat lahir memiliki kesempatan 90
% menjadi kronis terinfeksi .
 Pemeriksaan
a. Temuan fisik - Low-grade demam, mual , anoreksia , sakit kuning , hepatomegali , dan
malaise .
b. Temuan Diagnostik - + HbsAg , HbeAg + ( 7-14 hari setelah paparan )
 Penatalaksanaan
a. Pada Ibu - Ibu hamil yang terpapar HBV harus menerima vaksin dan HBIG.
Wanita hamil yang sudah terinfeksi harus makan dengan baik, mendapatkan istirahat yang
cukup, menghindari stres dan menghindari alkohol. Alpha interferon dan lamivudine tidak
dianjurkan selama kehamilan.
b. Pada Neonatal - Bayi perempuan yang terinfeksi harus menerima vaksin HBV dan
HBIG .
Pendidikan kesehatan

a. Hepatitis B vaksinasi adalah pencegahan terbaik .


b. Penggunaan yang tepat dan konsisten kondom lateks dapat mencegah penularan
seksual .
c. Jangan menggunakan obat-obatan IV dan Jangan pernah berbagi jarum, jarum suntik ,
air.
d. Jangan berbagi barang pribadi yang mungkin memiliki resiko kontak dengan darah
penderita - pisau cukur , sikat gigi .
e. Mempertimbangkan risiko sebelum melakukan tato atau tindik.
f. Petugas kesehatan harus menggunakan BSP dan penanganan yang aman dari benda
tajam.
Pengobatan infeksi hepatitis virus pada kehamilan tidak berbeda dengan wanita tidak hamil.
Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai gejala icterus hilang dan bilirubin dalam
serum menjadi normal. Makanan diberikan dengan sedikit mengandung lemak tetapitinggi
protein dan karbohydrat. Pemakaian obat-obatan hepatotoxic hendaknya dihindari.Kortison
baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingatpada
hepatitis virus yang aktip dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi perdarahan post-
partum, karena menurun-nya kadar vitamin K. Janin baru lahir hendaknya tetap diikuti
sampai periode post natal dengan dilakukan pemeriksaan trans aminase serum dan
pemeriksaan hepatitis virus anti gen secara periodik. Janin baru lahir tidak perlu diberi
pengobatan khusus bila tidak mengalami penyulit-penyulit lain.
 Pencegahan
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan penderita hepatitis virus A
hendaknya diberi immuno globulinsejumlah 0,1 cc/kg. berat badan. Gamma globulin
ternyatatidak efektif untuk mencegah hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil hendaknya
dipertahankan seoptimal mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah penularan hepatitis
virus. Untuk kehamilan berikutnya hendaknya diberi jarak sekurang-kurangnya enam bulan
setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan tersebut semua gejala dan pemeriksaan
laborato-rium telah kembali normal. Setelah persalinan, pada penderita hendaknya tetap
dilakukan pemeriksaan laboratorium dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan
kemudian.
Gambaran umum penatalaksanaan infeksi TORCH

D. HUMAN PAPILOMA VIRUS


1. Definisi
HPV adalah jenis virus yang cukup lazim. Jenis yang berbeda dapat menyebabkan kutil atau
pertumbuhan sel yang tidak normal (displasia) dalam atau di sekitar leher rahim atau dubur
yang dapat menyebabkan kanker leher rahim atau dubur(Benchimol S dan Minden MD,
1998).
Kutil-kutil ini pada umumnya tumbuh di permukaan kulit yang lembab dan di daerah sekitar
alat kelamin sehingga disebut kutil kulit dan kutil kelamin. Infeksi HPV pada alat kelamin
dapat disebarkan melalui hubungan seks, sedangkan penularan kutil kulit pada tangan atau
kaki dapat terjadi tanpa hubungan seks (penularannya dapat melalui sentuhan atau
penggunaan barang secara bersama) (Benchimol S dan Minden MD, 1998).

2. Epidemiologi

Penyebaran HPV dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : letak geografis, genetik, status
sosial ekonomi rendah, nutrisi, sistem imun alami, banyak pasangan seks, usia, dan rokok
(nikotin). Tipe yang paling umum dijumpai justru yang paling berbahaya, yakni 16 dan 18.
Tipe 16 biasa ditemukan di wilayah seperti Eropa, Amerika Serikat, dan wilayah lainnya.
Sementara tipe 18 lebih banyak ditemukan di Asia(Andrijono, 2007).
c. Etiologi

Infeksi HPV dapat terjadi saat hubungan seksual pertama, biasanya pada masa awal remaja
dan dewasa. Prevalensi tertinggi (sekitar 20%) ditemukan pada wanita usia kurang dari 25
tahun. Pada wanita usia 25-55 tahun dan masih aktif berhubungan seksual berisiko terkena
kanker serviks sekitar 5-10 persen. Meski fakta memperlihatkan, terjadi pengurangan risiko
infeksi HPV seiring pertambahan usia, namun sebaliknya risiko infeksi menetap/persisten
malah meningkat. Hal ini diduga karena seiring pertambahan usia terjadi perubahan anatomi
(retraksi) dan histology (metaplasia). Selama serviks matang melebihi masa reproduktif
seorang wanita, maka cervical ectropion digantikan melalui suatu proses squamous
metaplasia, untuk membagi secara bertingkat epitel skuamosa. Epitel skuamosa bertingkat ini
diperkirakan lebih protektif pada banyak orang melawan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Selain itu, hasil imunitas dari paparan infeksi sebelumnya, juga diduga
sebagai biang dibalik penurunan insiden tersebut (Andrijono, 2007).
d. Faktor resiko
 Tidak adanya tes pap yang teratur
 System imun yang lemah
 Usia
 Sejarah seksual
 Merokok
 Terlalu lama menggunakan pil pengontrol kehamilan
 Mempunyai banyak anak

e. Pemeriksaan diagnostik

Jika dokter tidak menemukan adanya lesi atau kutil , tes diagnostik berikut mungkin
diperintahkan :
- Pap menguji - sampel sel-sel serviks atau sel vagina dikumpulkan dan dikirim ke
laboratorium . Tes ini dapat menentukan apakah sel-sel telah berubah struktur mereka
( menjadi abnormal ) . Sel abnormal biasanya berarti ada risiko lebih tinggi terkena kanker .
- Tes DNA - tes ini mendeteksi apakah varietas HPV risiko tinggi yang hadir , orang-
orang yang berkaitan dengan risiko kanker genital . Beberapa sel dari leher rahim diambil dan
dikirim ke laboratorium untuk analisis . Sebuah studi menemukan bahwa tes DNA yang
terbaik untuk wanita di atas usia 30 tahun . (Link ke artikel )
- Cuka tes solusi - solusi cuka diterapkan ke daerah genital . Jika ada infeksi HPV ,
daerah akan menjadi putih . Beberapa lesi datar sulit dideteksi , tes ini membantu dokter
dalam / nya diagnosisnya .

f. Patofisiologi (Lembar terlampir)


g. Manifestasi klinis
HPV bukan jenis virus baru namun, banyak orang tidak menyadarinya karena virus ini jika
menjangkiti manusia tidak manimbulkan gejala dan tidak menyebabkan masalah kesehatan
yang serius sampai infeksi virusnya menjadi parah. Setiap saat HPV dapat menginfeksi tanpa
menunjukkan gejala. HPV tidak seperti virus lainnya yang menunjukkan gejala fisik menurun
apabila terjangkit virus ini tetapi seseorang baik pria maupun wanita dapat terkena HPV
bertahun-tahun sebelum ia menyadarinya. Tanda-tanda terserang HPV sering hanya
ditunjukkan oleh tumbuhnya kutil. Kutil yang tumbuh mungkin berwarna merah muda, putih,
abu-abu ataupun coklat. Awalnya hanya berupa bintil-bintil kecil yang kemudian bersatu
membentuk kutil yang lebih besar. Semakin lama kutil dapat menjadi semakin besar.
Pertumbuhan kutil akan semakin besar dan banyak jika tumbuh di kulit lembab akibat
kebersihan kulit kurang dijaga. Kutil-kutil ini dapat menyebabkan rasa sakit dan gatal
sehingga membuat tidak nyaman dan sering kali baru disadari keberadaannya saat jumlahnya
sudah bertambah banyak dan besar. Kutil dapat bertumbuh dengan cepat segera setelah
terinfeksi atau pun beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah terinfeksi HPV, dan
bahkan tidak pernah tumbuh sampai dinyatakan kita terinfeksi HPV (atau sampai kita
menyadari bahwa kita terinfeksi HPV). Oleh karenanya, untuk menjaga segala sesuatu yang
tidak diinginkan maka dianjurkan untuk rutin melakukan Pap smear/ tes Pap minimal setahun
sekali bagi wanita di atas usia 21 tahun. Umumnya dokter dapat menentukan apakah kita
mempunyai kutil kelamin dengan melihatnya. Kadang kala alat yang disebut anoskop dipakai
untuk memeriksa daerah dubur. Jika perlu, contoh kutil dipotong dan diperiksa diperiksa
dengan mikroskop (biopsi) . HPV yang menyebabkan kutil kelamin tidak sama dengan virus
yang menyebabkan kanker. Tetapi jika kita mempunyai kutil, maka kita mungkin terinfeksi
jenis HPV lain yang dapat menyebabkan kanker(Andrijono, 2007).
Gejala fisik yang terlihat pada wanita :

1. Kutil pada organ kelamin, dubur atau anus atau pada permukaan vagina.
2. Pendarahan yang tidak normal.
3. Vagina menjadi gatal, panas atau sakit.
Gejala fisik yang terlihat pada pria :

1. Kutil pada penis, anus atau skrotum.


2. Kutil pada uretra (mungkin terjadi penurunan jumlah urin)

h. Penatalaksanaan medis

Pencegahan infeksi HPV kutil umum sulit untuk menghindari . Profesional perawatan
kesehatan mengatakan bahwa menggigit kuku meningkatkan risiko , jadi tidak menggigit
mereka secara logis mengurangi risiko . Kutil plantar , yang mempengaruhi kaki , dapat
dicegah dengan menjaga kaki bersih dan kering . Mengenakan kaus kaki bersih dan tidak
berjalan di sekitar kolam renang umum dan olahraga kamar ganti dengan kaki telanjang juga
dapat membantu.
E. INFEKSI TRAKTUS GENETALIA
1. Infeksi Vagina

1. Pengertian

Infeksi Vagina adalah salah satu penyakit yang umum diderita oleh kaum wanita diseluruh
dunia. Salah satu penyebabnya adalah infeksi jamur yang merupakan salah satu faktor
terpenting kedua penyebab infeksi vagina.
2. Etiologi
 Celana dalam ketat
Penggunaan celana dalam yang terlampau ketat atau terbuat dari bahan sintetis, bisa memicu
infeksi di sekitar vagina atau vulva.
 Pil kontrasepsi
Pil kontrasepsi bisa menyebabkan perubahan hormonal di dalam tubuh. Lebih jauh,
penggunaan pil kontrasepsi bisa berakibat pada timbulnya infeksi vagina.
 Hubungan intim
Kurang menjaga kebersihkan area intim setelah berhubungan seksual bisa menyebabkan
infeksi.
 Diabetes
Penderita diabetes memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita infeksi vagina.
 Antibiotik dan steroid
Penggunaan antibiotik dan steroid bisa membunuh bakteri-bakteri baik yang terdapat pada
vagina. Padahal, bakteri-bakteri baik tersebut berfungsi menjaga tingkat keasaman vagina,
sehingga mencegah pertumbuhan jamur dan mikroorganisme lainnya.
 Pentransferan infeksi
Infeksi bisa ditransfer dari tubuh lelaki ke tubuh perempuan melalui hubungan seksual, begitu
pula sebaliknya.
 Kekebalan tubuh rendah
Orang yang menjalani perawatan kanker atau AIDS mengonsumsi banyak antibiotik dan
steroid, sehingga memperlemah sistem kekebalan tubuh. Lemahnya sistem kekebalan tubuh
membuat orang lebih rentan terhadap infeksi.
 Perawatan hormonal dan kesuburan
Perempuan yang menjalani terapi hormonal dan perawatan kesuburan lebih berisiko
terinfeksi jamur
3. Klasifikasi
2 infeksi yang paling sering terdapat pada Infeksi Vagina :
a. Kandidiasis Vulvovaginalis
1. Pengertian

Kandidiasis Vulvovaginalis adalah infeksi mukosa vagina dan vulva ( mulut vagina ) yang
dapat disebabkan oleh jamur Candida. Ada 7 spesies yang diketahui dapat menyebabkan
infeksi namun tersering adalah Candida Albicans (80-90%), Candida Glabarta (10%),
Candida Tropicalis (5-10%).
2. Epidemiologi
Data yang dikeluarkan oleh Syarifuddin dkk (1995) menyatakan tingginya frekuensi kejadian
KVV seiring meningkatnya tahun, pada tahun 1987 Kandidiasis Vulvovaginialis ditemukan
sebanyak 40% dari seluruh infeksi saluran kemih, meningkat menjadi 60% pada tahun 1991
dan 65% pada tahun 1995. Pada tahun 1997 penelitian yang dilakukan Depkes melaporkan
angka prevalensi Kandidiasis Vulvovaginialis di Jakarta Utara adalah sekitar 22% di antara
wanita pengunjung klinik KB. Di RSUP Haji Adam Malik data tahun 2004 sampai dengan
2008 Kandidiasis Vulvovaginialis menempati urutan kedua terbanyak dari seluruh kunjungan
pasien ke poliklinik Infeksi Menular Seksual yaitu sebanyak 19,47.
3. Etiologi

Kandidiasis Vulvovaginalis sering disebabkan oleh Candida Albicans. Kandida albican


penyebab terbanyak yang dapat diisolasi >80% dari penderita kandidiasis vagina. Kandida
albicans dapat dijumpai pada kulit normal, vagina dan saluran pencernaan.
4. Faktor Risiko
1. Faktor Lokal
Mode pakaian ketat dan pakaian dalam yang dibuat dari serat sintetis menyebabkan panas,
kulit lembab, mengelupas dan permukaan mukosa genital sangat rentan terhadap infeksi
kandida. Efek ini diperberat oleh kegemukan. Hal ini ditambah dengan serbuk pencuci yang
gagal membunuh jamur yang mengkontaminasi pakaian dalam. Kulit yang sensitif terhadap
spray vagina, deodoran dapat menimbulkan kerusakan integritas epitel vagina dan merupakan
predisposisi dan infeksi. Kandidiasis vaginitis dapat ditularkan melalui hubungan seksual.
Apabila persiapan hubungan seksual tidak adekuat, vagina relatif kering merupakan
predisposisi terjadinya trauma mukokutaneus yang mempermudah terjadinya infeksi
2. Kehamilan
Koloni vagina rata-rata meningkat selama kehamilan dan insiden keluhan vaginitis meningkat
terutama pada trimester terakhir. Pedersen pada tahun 1969 menemukan 42% kandidiasis
vagina pada kehamilan trimester terakhir dan menurun menjadi 11% pada hari ke tujuh
setelah melahirkan. Kandungan glikogen pada sel – sel vagina meningkat dengan tingginya
kadar hormon dalam sirkulasi. Ini mempertinggi proliferasi, pengembangbiakan dan
perlekatan dari kandida albikan. Pertumbuhan jamur akan distimulasi dengan tingginya kadar
hormon estrogen, karena hormon ini dapat menurunkan PH vagina menjadi suasana yang
lebih asam
3. Imunosupresi
Pemberian obat dalam jangka waktu yang lama terutama kortikosteroid sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan kandida albikan, oleh karena obat ini bersifat imunosupresi.
4. Diabetes Militus
Glukose yang tinggi pada urine dan peningkatan konsentrasi sekresi vagina pada diabetes
melitus mempertinggi pertumbuhan jamur
5. Pengobatan Antibiotika
Penggunaan antibiotika dapat mengurangi pertumbuhan bakteri yang sensitif tetapi tidak
berpengaruh terhadap kandida. Antibiotika dapat membunuh bakteri gram negatif yang
memproduksi anti kandida komponen, sehingga dapat merangsang pertumbuhan kandida
6. Kontrasepsi Oral
Episode gejala dari kandidiasis vagina biasanya lebih banyak pada wanita dengan pemakaian
kontrasepsi oral daripada wanita yang tidak. Dikatakan bahwa kontrasepsi oral menyebabkan
perubahan- perubahan pseudogestasional pada epitel vagina. Penelitian yang dilakukan oleh
Caterall dengan pil estrogen dosis tinggi rnendapatkan hasil bahwa penderita kandidiasis
vagina gagal diobati dengan bermacam-macam obat dan segera sembuh setelah pemakaian
kontrasepsi oral dihentikan. Tapi penelitian lain tidak dapat
menunjukan perbedaan frekuensi kandidiasis vagina dengan pemakaian pil atau
cara KB yang lain
5. Manifestasi Klinis

Keluhan yang paling sering pada Kandidiasis Vulvovaginalis adanya rasa gatal pada daerah
vulva dan adanya duh tubuh. Sifat duh tubuh bervariasi dari yang cair seperti air sampai
tebal dan homogen dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret tampak seperti susu
yang disertai gumpalan-gumpalan putih sehingga tampak seperti susu basi/pecah dan tidak
berbau. Akan tetapi lebih sering sekret hanya minimal saja. Keluhan klasik yang lainnya
adalah rasa kering pada liang vagina, rasa terbakar pada vulva, dispareunia dan disuria. tidak
ada keluhan yang benar-benar spesifik untuk Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV).
6. Patofisiologi

Kandidiasis vulvovaginalis dimulai dari adanya faktor predisposisi memudahkan pseudohifa


candida menempel pada sel epitel mukosa dan membentuk kolonisasi. Kemudian candida
akan mengeluarkan zat keratolitik (fosfolipase) yang menghidrolisis fosfolopid membran sel
epitel, sehingga mempermudah invasi jamur kejaringan. Dalam jaringan candida akan
mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang akan menimbulkan raksi radang akut yang
akan bermanifestasi sebagai daerah hiperemi atau eritema pada mukosa vulva dan vagina. Zat
keratolitik yang dikeluarkan candida akan teus merusak epitel mukosa sehingga timbul ulkus-
ulkus dangkal. Yang bertambah berat dengan garukan sehingga timbul erosi. Sisa jaringan
nekrotik, sel-sel epitel dan jamur akan membentuk gumpalan bewarna putih diatas daerah
yang eritema yang disebut flour albus.
7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari kandidiasis vulvovaginitis dapat dilakukan baik secara umum maupun
secara khusus.
1. Penatalaksanaan secara umum :
 menanggulangi faktor predisposisi
 menjaga kelembapan kulit
 menjaga higyeni daerah genital
 memakai pakaian dalam yang ngaman tidak sempit dan terbuat dari bahan yang
menyerap keringat
2. Penatalaksanaan secara khusus :
a. Topikal
 larutan ungu gentian ½-1 % dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.
 Nistatin cream
 Amfoterisin B
 Derivat azole : mikonazole 2%, klotrimazole 1 %, tiokonazole, bufonazol,
isokonazol, siklopiroksolamin

b. Sistemik
 Ketokonazole 2x200mg selama 5 hari
 Itrakonazole 2x200 mg dosis tunggal atau 2x100 mg sehari selama 3 hari.
 Flikonazole 150 mg dosis tunggal

b. Trikomoniasis ( Trichomonas Vaginalis )

Pengertian

Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh parasit uniselluler
Trichomonas Vaginalis (T.Vaginalis). Trichomonas Vaginalis adalah protozoa yang tumbuh
subur di lingkungan yang bersifat basa, trikomoniasis terjadi pada sekitar 30% wanita yang
aktif secara seksual. Trikomonasis vaginalis mempunyai hubungan dengan peningkatan
serokonversi virus HIV pada wanita.
Terdapat pembengkakan vagina, merah dan terutama ada rasa gatal yang hebat disertai
dengan rasa nyeri. Ini terjadi pada mereka yang berbadan gemuk dan pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai penyakit kencing manis.
Faktor Predisposisi

a. pH lingkungan 4,9-7,5, seperti pada kondisi:


 haid
 hamil
 Pencucian vagina
b. Antibiotik kontrasepsi, hubungan seksual, stres dan hormon dapat merubah
lingkungan vagina tersebut dan memacu pertumbuhan bakteri patogen
c. Aktivitas seksual tinggi dan bergonta – ganti pasangan.
d. Wanita lebih banyak dari pria. Wanita setelah menopause
e. Sanitasi buruk

Faktor risiko untuk infeksi Trichomonas vaginalis meliputi:

 Pasangan baru atau multi pasangan


 Riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS)
 Infeksi Menular Seksual (IMS) yang sedang dialami sekarang
 Kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi
 Bertukar seks untuk uang atau obat-obatan
 Menggunakan obat injeksi
 Tidak menggunakan kontrasepsi penghalang (misalnya, karena kontrasepsi
oral)
Faktor risiko yang paling signifikan adalah aktivitas seksual selama 30 hari sebelumnya
(dengan 1 atau lebih pasangan). Wanita dengan 1 atau lebih pasangan seksual selama 30 hari
sebelumnya memiliki 4 kali lebih mungkin mengalami infeksi Trichomonas vaginalis.

Epidemiologi

Menurut perkiraan tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 7,4 juta
kasus trikomoniasis setiap tahun di Amerika Serikat, dengan lebih dari 180 juta kasus yang
dilaporkan worldwide. Dan jumlah sebenarnya penderita infeksi trikomoniasis mungkin jauh
lebih tinggi dari ini-
menurut Pusat Pengendalian Penyakit ''(Center for Disease Control)''. Tes diagnostik yang
paling umum digunakan hanya memiliki tingkat sensitifitas sebesar 60-70%.

Manifestasi Klinis

Infeksi ragi dapat muncul sebagai pustul-pustul yang meradang, terasa sangat gatal dan nyeri.
Infeksi di vagina menimbulkan rabas yang berwarna putih seperti keju

Patofisiologi

Pada gadis-gadis sebelum usia pubertas, dinding vagina yang sehat tipis danhypoestrogenic,
dengan pH lebih besar dari 4,7, pemeriksaan dengan pembiakan (kultur) akan menunjukkan
beberapa mikroorganisma. Setelah gadis menjadi dewasa, dinding vagina menebal dan
laktobasilus menjadi mikroorganisma yang dominan, PH vagina menurun hingga kurang dari
4,5. Laktobasilus penting untuk melindungi vagina dari infeksi, dan laktobasilus adalah flora
dari vagina yang dominan (walaupun bukan merupakan stau- satunya flora vagina). Masa
inkubasi sebelum timbulnya gejala setelah adanya infeksi bervariasi antara 3-28 hari. Selama
terjadinya infeksi protozoa Trichomonas vaginalis, trikomonas yang bergerak-gerak (jerky
motile trichomonads) dapat dilihat dari pemeriksaan dengan sediaan basah. PH vagina naik,
sebagaimana halnya dengan jumlah lekosit polymorphonuclear (PMN). Lekosit PMN
merupakan mekanisme pertahanan utama dari pejamu (host/manuasia), dan mereka merespon
terhadap adanya substansi kimiawi yang dikeluarkan trichomonas. T vaginalis merusak sel
epitel dengan cara kontak langsung dan dengan cara mengeluarkan substansi sitotoksik. T
vaginalis juga menempel pada protein plasma pejamu, sehingga mencegah pengenalan oleh
mekanisme alternatif yang ada di pejamu dan proteinase pejamu terhadap masuknya T
vaginalis.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya :


a. pH vagina
Menentukan pH vagina dengan mengambil apusan yang berisi sekret vagina pada kertas pH
dengan range 3,5 –5,5. pH yang lebih dari 4,5 dapat disebabkan oleh Trichomonas vaginalis
dan bacterial vaginosis
b. Apusan basah/Wet mount
Apusan basah dapat digunakan untuk identifikasi dari flagel, pergerakan dan bentuk teardrop
dari protozoa dan untuk identifikasi sel. Tingkat sensitivitasnya 40–60 %, tingkat spesifiknya
mendekati 100% jika dilakukan dengan segera
c. Pap Smear
Tingkat sensitivitasnya 40 – 60 %. Spesifikasinya mendekati 95–99%
d. Test Whiff
Tes ini digunakan untuk menunjukkan adanya amina-amina dengan menambahkan Potassium
hidroksid ke sampel yang diambil dari vagina dan untuk mengetahui bau yang tidak sedap
e. Kultur
Dari penelitian Walner – Hanssen dkk, dari insiden Trikomoniasis dapat deteksi dengan
kultur dan tidak dapat dideteksi dengan Pap Smear atau apusan basah.Kebanyakan dokter
tidak mengadakan kultur dari sekresi vagina secara rutin
f. Direct Imunfluorescence assay
Cara ini lebih sensitive daripada apusan basah, tapi kurang sensitive dibanding kultur. Cara
ini dilakukan untuk mendiagnosa secara cepat tapi memerlukan ahli yang terlatih dan
mikroskop fluoresesensi
g. Polimerase Chain Reaction
Cara ini telah dibuktikan merupakan cara yang cepat mendeteksi Trichomonas vaginalis

Penatalaksanaan

Trikomoniasis boleh diobati dengan Metronidazole 2 gr dosis tunggal, atau 2 x 0,5 gr selama
7 hari. Mitra seksual turut harus diobati. Pada neonatus lebih dari 4 bulan diberi
metronidazole 5 mg/kgBB oral 3 x /hari selama 5
hari. Prognosis penyakit ini baik yaitu dengan pengambilan pengobatan secara teratur dan
mengamalkan aktivitas seksual yang aman dan benar (Slaven, 2007). Pencegahan bagi
trikomoniasis adalah dengan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat yang dimulai
pada tahap persekolahan. Mendiagnosis dan menangani penyakit ini dengan benar.
Pencegahan primer dan sekunder trikomoniasis termasuk dalam pencegahan penyakit
menular seksual. Pencegahan primer adalah untuk mencegah orang untuk terinfeksi dengan
trikomoniasis dan pengamalan perilaku koitus yang aman dan selamat. Pencegahan tahap
sekunder adalah memberi terapi dan rehabilitasi untuk individu yang terinfeksi untuk
mencegah terjadi transmisi kepada orang lain
2. Streptokokus Grup B

Pengertian

Streptokokus Grup B (SGB) merupakan penyebab penting infeksi yang serius pada neonatus
antara lain menyebabkan pneumonia, septikemia dan meningitis neonatal. Infeksi neonatal
SGB menjadi penyebab utama kematian pada bayi baru lahir dan lebih dari 6000 kasus
infeksi ini terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Bakteri ini umumnya diperoleh bayi
melalui transmisi vertikal dari ibunya baik in utero maupun ketika ia melewati jalan lahir

Faktor Risiko

Prekehamilan
 Usia <20 tahun
 Keturunan Afrika-Amerika
 Keturunan Aborigin Australia
 Riwayat infeksi pada bayi sebelumnya

Antepartum
 Bakteria SGB pada kehamilan
 Kolonisasi Berat
 Kadar antibodi anti-GBS kapsular yang rendah
 Ketuban pecah dini Intrapartum
 Pelahiran preterm
 Demam >38ºC
 Ketuban pecah >18 jam

Manifestasi Klinis

SGB dapat menyebabkan penyakit neonatal invasif yang menimbulkan sepsis, pneumonia,
dan meningitis. Infeksi Streptokokus Grup B awitan lambat terjadi dalam 7 hari hingga
bebrapa bulan setelah bayi lahir dan melibatkan sepsis dan meningitis. Angka mortalitasnya
5- 20%. Infeksi ini terjadi penularan vertikal atau infeksi nosokomial atau infeksi yang
didapat dari lingkungan, 60% kasus bermanifestasi sebagai meningitis dan bayi berhasil
selamat kemungkinan mengalami sekuela neurologis serius.

Epidemiologi

20% wanita hamil terkena kolonisasi streptokokus grup B hanya 1 dari 100 ibu yang
terjangkit kolonisasi kelahiran ini melahirkan bayi juga terkena. Semakin beratnya kolonisasi
semakin besar resiko bayinya terkena juga. Pajanan pada streptokokus grup B menyebabkan
ketuban yang utuh menjadi meradang, melemah, dan ruptur sehingga terjadi persalinan
prematur.

Patofisiologi

Terjadinya infeksi streptokokus pada bayi

Bakteri streptokokus grup B dapat menyebabkan berbagai macam penyakit pada orang yang
rentan, termasuk bayi baru lahir, orang tua dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya seperti diabetes atau kanker. Awal-awal bayi baru lahir menunjukkan tanda-
tanda penyakit
lama setelah kelahiran atau dalam waktu satu sampai dua hari lahir . Penyakit GBS awal-awal
adalah jenis yang paling umum. Akhir-onset- bayi menunjukkan tanda-tanda sakit satu
minggu hingga beberapa bulan setelah lahir. Bentuk penyakit GBS relatif langka. Hanya
sekitar separuh dari semua bayi dengan akhir-onset GBS penyakit kontrak penyakit dari ibu
yang terinfeksi mereka. Untuk sisa kasus, sumber infeksi tidak diketahui .
3. Infeksi Saluran Kemih ( ISK )

Pengertian

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal
itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikrooerganisme. Sebagian besar ISK disebabakan oleh
bakteri seperti jamur dan virus. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escheriichia coli,
suatu kontaminan tinja yang sering ditemukan di daerah anus.

Epidemiologi

ISK merupakan keadaan yang sangat sering ditemukan pada praktik umum (biasanya
disebabkan oleh Escheriichia coli) dan 40% merupakan dari infeksi yang didapat di rumah
sakit (nosokomial) (sering disebabkan oleh Enterobacter atau Klebsiella).

Etiologi

Bakteri yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih adalah jenis bakteri aerob. Pada
kondisi normal, saluran kemih tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba lain, tetapi uretra
bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya makin
berkurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Infeksi saluran kemih sebagian
disebabkan oleh bakteri, namun tidak tertutup kemungkinan infeksi dapat terjadi karena
jamur dan virus. Infeksi oleh bakteri gram positif lebih jarang terjadi jika dibandingkan
dengan infeksi gram negatif. Lemahnya pertahanan tubuh telah menyebabkan bakteri dari
vagina, perineum (daerah sekitar vagina), rektum
(dubur) atau dari pasangan (akibat hubungan seksual), masuk ke dalam saluran kemih.
Bakteri itu kemudian berkembang biak di saluran kemih sampai ke kandung kemih, bahkan
bisa sampai ke ginjal.
Bakteri infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh bakteri-bakteri di bawah ini :
A. Kelompok anterobacteriaceae seperti :
1. Escherichia coli
2. Klebsiella pneumoniae
3. Enterobacter aerogenes
4. Proteus
5. Providencia
6. Citrobacter
B. Pseudomonas aeruginosa
C. Acinetobacter
D. Enterokokus faecalis
E. Stafilokokus sarophyticus

Faktor Risiko
 Obstruksi saluran kemih
 Pemasangan instrumen pada saluran kemih (kateter)
 Disfungsi kandung kemih (neuropatik)
 Imunosupresi
 Diabetes Mellitus
 Kelainan struktural ( refluks vesikoureter)
 Kehamilan

Manifestasi Klinis
 Sistitis biasanya memperlihatkan disuria (nyeri waktu berkemih), peningkatan
frekuensi berkemih, dan rasa desakan ingin berkemih
 Dapat terjadi nyeri punggung bawah atau suprapubis, khususnya pada pielonefritis
 Demam disertai adanya darah dalam urine pada kasus yang parah
 Gejala infeksi pada bayi atau anak kecil dapat nonspesifik dan termasuk iritabilitas,
demam, nafsu makan turun, muntah, dan bau popok yang sangat menyengat
 Gejala infeksi pada lansia dapat berupa gejala abdomen seperti mual atau muntah
harus dikaji apakah menderita ISK. Bisa muncul demam namun bisa tidak, terkadang hanya
peningkatan agitasi atau konfusi yang terjadi yang mengharuskan para perawat lansia
meningkatkan kewaspadaan khusus terhadap berulangnya dan kepastian terjadinya ISK pada
lansia. Infeksi asimtomatik pada lansia juga sangat sering terjadi .
Pielonefritis akut biasanya memperlihatkan :
 Demam
 Menggigil
 Nyeri punggung
 Disuria

Patofisiologi

Hampir semua Infeksi Saluran Kemih disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra
ke dalam kandung kemih. invasi mikroorganime dapat mencapai ginjal dipermudah dengan
refluks vesikoureter. Pada wanita mula‐mula kuman dari anal berkoloni di vulva, kemudian
masuk ke kandung kemih melalui uretra yang pendek secara spontan atau mekanik akibat
hubungan seksual dan mungkin perubahan pH dan flora vulva dalam siklus menstruasi

Pemeriksaan Penunjang

1. Biakan air kemih


Dikatakan infektif positif apabila :
 Air kemih tamping porsi tengah : biakan kuman positif dengan jumlah kuman >/=
105/ml, 2 kali berturut-turut.
 Air kemih tamping dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman pathogen yang
tumbuh pasti infektif. Pembiakan urin melalui pungsi suprapubik digunakan sebagai gold
standar.
Dugaan infeksi :
 Pemeriksaan air kemih : ada kuman, piuria, torak leukosit.
 Uji kimia : TCC, katalase, glukosuria, leukosit esterase test, nitrit test.
2. Urinalisis
 Leukosituria atau piuria : positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit / LPB sediment air
kemih.
 Hematuria : positif bila terdapat 5 – 10 eritrosit / LPB sediment air kemih.
3. Bakteriologis
 Mikroskopis
 Biakan bakteri
4. Hitung koloni : sekitar 100.000 koloni permililiter urine dari urine tamping aliran
tengah.
5. Metode Test
 Tes esterase leukosit positif : pasien mengalami piuria dan tes pengurangan nitrat,
GRIESS positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urine normal menjadi nitrit.
 Tes PMS : Uretritia akut akibat organime menular secara seksual (misal, klamidia
trakomatis, neisseria gonnorrhoeae, herpes simplek
6. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) ginjal untuk mengetahui kelainan struktur ginjal
dan kandung kemih.
7. Pemeriksaan Miksio Sisto Uretrografi / MSU untuk mengetahui adanya refluks.
8. Pemeriksaan Pielografi Intra Vena (PIV) untuk mencari latar belakang infeksi saluran
kemih dan mengetahui struktur ginjal serta saluran kemih

Penatalaksaan

1. Supportif / Non-farmakologi :
 Usahakan untuk buang air seni pada waktu bangun di pagi hari. Buang air seni dapat
membantu mengeluarkan bakteri dari kandung kemih yang akan keluar bersama urin
 Minum air putih minimal 8 gelas atau 2,5 liter setiap hari.
 Sementara, buah-buahan, sari buah, jus sangat baik untuk dikonsumsi sebab dapat
melancarkan peredaran darah.
 Hindari berbagai jenis makanan seperti : soto jerohan sapi, es krim, keju, milk shake,
kopi, cola dan lain-lain.
 Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing.
 Setiap buang air seni, bersihkanlah dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi
kemungkinan bakteri masuk ke saluran urin dari rectum.
 Membersihkan organ intim dengan sabun khusus yang memiliki pH balanced
(seimbang).
 Buang air seni sesering mungkin (setiap 3 jam).
 Pilih toilet umum dengan toilet jongkok.
 Jangan cebok di toilet umum dari air yang ditampung di bak mandi atau ember.
Pakailah shower atau kran.
 Ganti selalu pakaian dalam setiap hari. Gunakan pakaian dalam dari bahan katun yang
menyerap keringat agar tidak lembab.
2. Medikamentosa / Farmakologis
Pengobatan simtimatik terhadap keluhan sakit kencing dapat diberikan penazofiridin
(piridium) 7 – 10 mg/kgBB/hari. Disamping ISK perlu juga mencari dan mengurangi atau
menghilangkan factor predisposisi seperti obstipasi, alergi, investasi cacing dan memberikan
kebersihan perineum meskipun usaha-usaha ini kadang-kadang tidak selalu berhasil

E. INFEKSI PASCA PARTUM


1. Definisi
Sepsis puerperal atau demam setelah melahirkan adalah infeksi klinis pada saluran genital
yang terjadi dalam 28 hari setelah abortus atau
persalinan. D itandai kenaikan suhu sampai 38⁰ atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari
pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan 24 jam pertama. Diukur peroral sedikitnya
4 kali sehari disebut morbiditas puerperalis.
2. Epidemiologi
Sepsis puerperal terjadi pada sekitar 6% kelahiran di Amerika Serikat dan kemungkinan besar
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortilitas maternal di seluruh dunia.
3. Etiologi
Infeksi bisa timbul akibat akibat bakteria yang seringkali ditemukan di dalam vagina
(endogenus) atau akibat pemaparan pada agen patogen dari luar vagina (eksogenus).
Organisme yang paling sering menginfeksi ialah organisme streptokokus dan bakteri
anaerobik.infeksi Staphylococcus aureus, gonococcus, koliformis, dan klostridia jarang terjadi
tetapi merupakan organisme patogen serius yang menyebabkan infeksi pasca partum.
Episiotomi atau laserasi pada vagina atau serviks bisa membuka jalan timbulnya sepsis.
4. Faktor Resiko
a. Faktor resiko yang terjadi saat antenatal care :
- Keadaan anemia akibat malnutrisi
- Adanya kemungkinan infeksi parasit dalam abdomenal
- Terdapat bakteri komensalisme pada genetalia bawah :
o Serviks
o Vagina
o Infeksi alat perkemihan
b. Faktor resiko saat inpartu :
- Ketuban pecah pada saat pembukaan kecil (lebih dari 6 jam)
- Persalinan pervaginam operatif
- Persalinan yang lama dan melelahkan
- Kelahiran dengan bantuan alat
- Perdarahan
5. Manifestasi Klinis
Gejala infeksi puerperal bisa ringan atau berat. Suhu tubuh 38⁰ C atau lebih selama 2 hari
berturut – turut tidak terjadi 24 jam pertama setelah kelahiran, harus dianggap disebabkan
oleh infeksi pascapartum.
Ibu menunjukkan gejala :
- Keletihan
- Letargi
- Kurang nafsu makan
- Menggigil
- Nyeri perineum atau distres di abdomen bawah
- Mual
- Muntah
6. Klasifikasi
a. Syok bakteremia
- Syok bakteremia bisa terjadi karena infeksi kritis, terutama infeksi yang disebabkan
pleh bakteri yang melepaskan endotoksin.
- Faktor resiko yang berpengaruh pada syok bakteremia antara lain ibu yang menderita
diabetes melitus, konsumsi immunosupresan, dan mereka yang menderita endometritis
selama periode pasca partum
- Gejala – gejala yang ditimbulkan antara lain demam yang tinggi dan menggigil,
cemas yang menjadikan apatis, suhu tubuh yang seringkali menurun, kulit menjadi dingin dan
lembab, warna kulit pucat, nadi cepat, hipotensi berat, sianosis perifer, dan oliguria.
- Temuan laboratorium menunjukkan bukti – bukti infeksi. Biakan darah menunjukkan
bakteremia, biasanya konsisten dengan basil enterik gram-negatif. Perubahan EKG
menunjukkan adanya perubahan yang mengindikasikan insufisiensi miokard.
- Penatalaksanaan :
o Penatalaksanaan terpusat pada terapi antimikrobial, demikian juga dukungan oksigen
untuk menghilangkan
hipoksia jaringan dan dukungan sirkulasi untuk mencegah kolaps vaskuler.
o Fungsi jantung, usaha pernapasan, dan fungsi ginjal dipantau dengan ketat
b. Mastitis
- Mastitis atau infeksi payudara mempengaruhi 1% wanita segera setelah lahir, yang
kebanyakan adalah ibu yang baru pertama kali menyusui bayinya.
- Organisme penyebab utama ialah Staphylococcus aureus. Fisura di puting susu yang
terinfeksi biasanya merupakan lesi awal.
- Gejala yang timbul biasanya menggigil, demam, malaise, dan nyeri tekan pada
payudara.
- Peradangan edema dan pembengkakan payudara segera akan menyumbat aliran air
susu.
- Penatalaksanaan pada mastitis meliputi terapi antibiotik intensif, menyokong
payudara, kompres lokal (atau dingin), dan penggunaan analgesik.

F. INFEKSI UMUM

Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan


menjadi tiga penyebab, yaitu :
a. Infeksi Virus ; meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola, virus
pernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.
b. Infeksi bakteri ; meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Listeriosis,
Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.
c. Infeksi protozoa; meliputi Toksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis, infeksi jamur.
1. Varicella zoster.
Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah
selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang
terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan
ventilator dan satu meninggal.
Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau
mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).
Pencegahan : Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau
memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96
jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.
Efek pada janin : Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat
menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi
korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai. Resiko tertinggi terletak
pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih
belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami
herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat
sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius,
bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali
mematikan.

2. Influenza
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, meliputi influenza tipe A
dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam nyawa bagi
orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis menjadi serius. Haris
(1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar 27 %, yang meningkat menjadi
50% apabila terjadi pneumonia.
Pencegahan : Center for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi
terhadap influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia
gestasi, wanita dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung, divaksinasi.
Amantadin berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A apabila diberikan
dalam 48 jam setelah awitan gejala.
Efek pada janin : Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi
kongenital atau kelainan pada bayi.
3. Parotitis
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang disebabkan
oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga dapat
mengenai gonad, meningen, pancreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak lebi
parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat
teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin
MMR kontraindikasi bagi wanit haml.
Efek pada janin : Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian
janin maupun anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.

4. Rubeola (campak)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus dan
BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila seorang
wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi serius yang
cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat dicapai dengan
pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan. Vaksinasi aktif tidak
diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin divaksinasi postpartum.

5. Coxackievirus B
Infeksi virus ini dapat menyebabkan penyakit yang ringan pada ibuntetapi juga dapat
menyebabkan kematian anomaly kardiovaskuler, miokarditis, dan meningoensefalitis pada
janin.

6. Listeriosis
Organisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa memiliki lesteria
yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang terkontaminasi atau susu
yang busuk. Sering ditemukan pada penderita usia muda- tua, wanita hamil, penderita dengan
daya tahan yang turun. Pada
wanita hamil hanya berupa asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan
listeriosis dapat menyebabkan fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated granulomatous
lesion. Pada bayi kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50 persen. manifestasi pada
bayi setelah tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi ini serupa dengan dengan yang
disebabkan oleh grup B haemolytic.

7. Tuberculosis (TB)
Menurut Oster, 2007 jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko
terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman
bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga
menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan
perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami
masalah setelah lahir.
Risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin,
kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan
amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada
minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan
rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum
jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

8. Sindrom Syok Toksik (SST)


Toxic shock syndrome adalah suatu gangguan sistemik yang berpotensi mengancam jiwa,
yang memiliki tiga manifestasi uatam ; dmam mendadak, hipotensi, dan ruam. Sindrom ini
disebabkan oleh salah satu dari dua bakteri, baik bakteri Staphylococcus aureus (Staph)
bakteri atau kelompok A streptokokus (radang) bakteri. Bakteri ini dapat memasuki aliran
darah setelah operasi atau melalui kulit rusak. Setelah bakteri telah memasuki darah, toxic
shock syndrome (TSS) set cepat dan bisa berakibat fatal jika tidak segera diobati. Gejala TSS
datang dengan cepat dan biasanya
dikonfirmasi oleh darah atau urin di rumah sakit. Gejala yang paling umum dari TSS adalah
demam tinggi (lebih dari 102 derajat), tekanan darah rendah, hidangan ruam yang terlihat
mirip dengan luka bakar, sesak napas, disorientasi, muntah, atau diare.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikia rupa
sehingga berdekatan atau menutupi ostium uteri internum secara partial maupun total.
Seluruh plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus.Kadang-kadang bagian atau seluruh organ
dapat melekat pada segmen bawah uterus, dimana hal ini dapat diketahui sebagai plasenta
previa.Karena segmen bawah agak merentang selama kehamilan lanjut dan persalinan, dalam usaha
mencapai dilatasi serviks dan kelahiran anak, pemisahan plasenta dari dinding uterus sampai tingkat
tertentu tidak dapat dihindarkan sehingga terjadi pendarahan.
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit
trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan
penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi
methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka
kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau
bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.
Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi
diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan.Selain itu,
tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai.Bila hal tersebut terjadi, pasien
harus sesegera mungkin menjalani pembedahan.Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang
harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum
tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron,
disebutkan dalam literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan
ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum.
Namun disebutkan dalam sumber -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya
kadar -hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama
setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang
diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma
yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik -hCG umumnya tidak
terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama
pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. -hCG masih perlu diawasi setiap
Setelah terapi berhasil, kadar minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel.Dosis tunggal yang
diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar
1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel
leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan
diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek
negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate
dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik
yang belum terganggu.
B. Saran
Saran yang ingin kami sampaikan kepada para pembaca bahwa hal
yang paling penting bagi remaja yaitu memelihara kesehatan organ reproduksi remaja
mengingat pentingnya kesehatan. Di samping itu kita perlu mengingat pergaulan remaja saat
ini yang tidak terbatas sehingga pengetahuan tentang alat reproduksi remaja sangat
bermanfaat untuk mencegah dan menghindari terjadi hal-hal yang merugikan remaja,
mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan program yang mengajarkan perilaku sehat kepada
para remaja.Pembaca diharapkan bisa memahami pembahasan tentang kesehatan reproduksi
remaja.
DAFTAR PUSTAKA

Bley, Karen Adkins. 2003. Torch Infection. Women’s, Children and Behavioral Health
Nnursing Services University of Michigan Health System.
Del Pizzo, Jeannine. 2001. Focus on Diagnosis : Congenital Infections (TORCH).
American Academy of Pediatrics
Ratnayake, Ruwan P. Neonatal TORCH Infection. Medical University of South Caroline,
USA.
Sue G. Boyer, MN, RN, Kenneth M. Boyer, MD. 2004. Update on TORCH Infections in the
Newborn Infant.
Thapa, Narmaya. 2010. Diagnosis and Treatment of Sionasal Inverted Papilloma.Nepalese
Journal of ENT Head and Neck Surgery; Volume 1, No.1 (Jan-June 2010).
Netter F.H. Atlas of Human Anatomy. Available from:http://www.
Netterimages.com/image/4413.htm.
Woodruf W.W. dan Vrabec D.P. Inverted Papilloma of The Nasal Vault andParanasal
Sinuses: Spectrumof CT Finding. American Journal of RoentgenologyFebruary 1994: 419
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran
Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius. 2000
Sumadibrata, Marcellus. Pemeriksaan Abdomen Urogenital dan anorektal, Infeksi Saluran
Kemih. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UI. 2007. Hal : 51-55, 553-557.
Guyton, A.C dan Hall, J., E.Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. 2006
Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford
Universsity Press., 197-225.
Siregar, RS. 1991. Penyakit Jamur Kulit. Palembang: Lab Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNSRI/RSU Palembang.
Suprihatin, SD. 1982. Candidadan Kandidiasis pada Manusia.Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta
Manuaba, I.B.G dkk. 2003. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC Bobak, dkk. 2005.
Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai