PADA KEHAMILAN
INSIDENSI
Pada populasi umum kasus ini jarang terjadi, dimana dilaporkan kejadiannya 4
sampai 20 kasus per 100.000 penduduk, tergantung dari ras. Penyakit lebih sering
ditemukan pada orang Asia, dan hampir 90 % ditemukan pada wanita.
PATOGENESIS
Pada penderita terjadi hiperaktifitas sel T helper dan sel B, yang menyebabkan
stimulasi antigen spesifik kedua sel tersebut. Adanya hiperaktifitas ini disebabkan
oleh interaksi faktor host dan lingkungan serta kegagalan dari mekanisme "down
regulation" yang menghambat hiperaktifitas itu. Peningkatan respon imunitas
humoral menyebabkan munculnya otoantibodi, yang berinteraksi dengan antigen
tubuh sendiri seperti komponen inti sel, struktur sitoplasma,sel mononuklear, sel
polimorfonuklear, trombosit, eritorit dan fosfolipid yang mengakibatkan terbentuknya
kompleks imun, dimana kompleks imun ini merangsang aktifasi sistem komplemen.
Sistem komplemen yang teraktifasi itu kemudian melepaskan C3a dan C5a
yang merangsang sel basofil untuk melepaskan vasoaktif amin, yaitu histamin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, yang memudahkan terjadinya
pengendapan kompleks imun pada sel endotel arteri dan arteriola, yang merangsang
agregasi trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus pada membran basalis sel
endotel. Selanjutnya terjadi kegagalan fagositosis oleh sel sel radang terhadap
komplek imun tersebut sehingga dilepaskan ensim lisosomal yang menyebabkan
kerusakan vaskuler.
Selain adanya gangguan imunitas seluler dan humoral, pada lupus
eritematosus sistemik muncul juga beberapa atoantibodi lainnya seperti
antiantifosfolipid, yaitu antibodi terhadap membran fosfolipid sel, yang dikenal
sebagai antibdi antikardiolipin (ACA) dan anti koagulan lupus (aLA). Munculnya
antibodi ini berhubungan dengan kejadian abortus berulang, kematian janin dalam
kandungan serta preeklamsi yang muncul lebih awal.
Perubahan patologi plasenta pada Lupus eritematosus sistemik ini adalah
adanya vaskulitis desidua yang menyebabkan insufisiensi plasenta.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis lupus eritematosus sistemik bervarisi dari keluhan yang tidak
spesifik, mengenai satu organ, sampai tanda tanda khas penyakit ini dan melibatkan
banyak organ. Oleh karena keterlibatan banyak organ seperti kulit, jaringan saraf,
hematologi,mata dan lain lainnya maka seringkali penderita ini datang ke berbagai
disiplin ilmu seperti penyakit dalam, neurologi, kulit kelamin dan lain lain.
Keluhan tidak spesifik pada penderita ini yaitu , demam, malaise dan
penurunan berat badan . Sedangkan keluhan yang lebih berat melibatkan banyak
organ seperti :
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis lupus eritematosus sistemik digunakan kriteria
ARA (American Heart Asscoiation ) yang telah direvisi. Diagnosis ditegakkan bila
terdapat 4 atau lebih kriteria ARA, yaitu :
PENATALAKSANAAN
Penanganan lupus eritematosus sistemik pada wanita hamil, ada 2 yaitu :
1. Penanganan Medis
a. Kortikosterroid
Pada penyakit yang berat terutama yang disertai lupus nephritis diberikan
prednison dengan dosis 1-2 mg/kg/hari, sampai 6 bulan pasca persalinan.
Penggunaan prednison selama kehamilan relatif aman, namun kemungkinan
timbulnya gestasional diabetes harus dipikirkan. Pada kasus yang resisten
terhadap prednison diberikan metil prednisolon dengan dosis 1000 mg/24 jam
dengan cara PST (pulsed steroid therpy) selama 3 hari, kemudian bila
keaadaan membaik dilakukan tapering off.
Pada kasus yang ringan cukup diberikan kortikosteroid per oral saja.
b. Antiinflamasi non steroid :
Untuk mencegah tromboemboli, terutama pada penderita lupus yang disertai
dengan anti antifosfolipid maka diberikan antiinflamasi non steroid, yaitu
asam asetil salisilat (Aspirin) dengan dosis 80 mg/hari. Obat ini diberikan
selama kehamilan sampai 2 minggu sebelum perkiraan partus karena dapat
menyebabkan perdarahan akibta ganggua faktor pembekuan darah.
c. Imunosupresan
Obat golongan imunosupresan ini diberikan pada kasus kasus yang resisten
terhadap kortikosteroid. Penggunaan obat ini untuk lupus dengan kehamilan
harus dengan pertimbangan dan indikasi yang kuat sebab efeknya terhadap
bayi masih belum dapat dipastikan. Obat yang digunakan adalah Azathiprine
dengan dosis 2-3 mg/kg per oral.
Siklofospamid, bersifat teratogenik namun pada keadaan yang mengancam
jiwa dapat diberikan dengan dosis 700-1000 mg/m2 luas permukaan tubuh bersama
dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.
2. Penanganan Obstetri :
a. Selama hamil /ante natal care
1. Dilakukan pemantauan aktifitas penyakit bersama sama dengan bagian
lainya seperti Penyakit dalam ,Kulit kelamin, Neurologi dll.
2. Mewaspadai timbulnya pertumbuhan janin terhambat dan insufisiensi
plasenta dengan pemeriksaan klinis, pertambahan berat badan ibu,
pertambahan tinggi fundus uteri dan pemeriksaan serial USG setiap 2
minggu.
3. Monitoring munculnya tanda tanda preeklamsi/ superimposed preeklamsi.
4. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urinalisis, antibodi
antikardiolipin (ACA), lupus anti koagulan(aLA), Anti DNA antibodi,
Anti Ro SSA dan Anti Ro SSB, fungsi ginjal, dan komplemen.
b. Selama persalinan
Jenis dan cara persalinan tergantung dari indikasi obstetri. Kehamilan bisa
berlangsung sampai aterm dan diharapkan lahir spontan, seksio sesaria hanya
berdasarkan indikasi obstetri.
Untuk mencegah eksaserbasi pasca persalinan dipayungi dengan pemberian
metil prednisolon intra vena dosis tinggi samapi 48 jam pasca partus, setelah
itu dosis obta ditapering off.
c. Pasca persalinan
Semua obat yang diugunakan untuk pengobatan lupus eritemtosus sistemik
dapat melewati air susu ibu, oleh karena itu pemberiannya pada pasca partus
harus mempertimbangkan hal tersebut. Tingkat keamanan pemakaian obat
tersebut pada ibu yang menyusui sebagai berikut :
Kontrasepsi
Pemakaian kontrasepsi yang mengandung estrogen seharusnya dihindari sebab
dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit. Bila menggunakan kontrasepsi hormonal
maka pilihannya adalah kontraspsi hormonal yang mengandung Progesteron.
Penggunaan IUD dapat meningkatkan kejadian infeksi pada pemakai kortikosteroid
jangka panjang.Pada ibu yang sudah cukup anak disarankan untuk KONTAP
Untuk kehamilan berikutnya pada ibu yang masih menginginkan anak maka
sebaiknya menunggu masa remisi paling sedikit 6 bulan, sedangkan pada penyakit
yang disertai dengan kelainan ginjal yang berat disarankan untuk tidak hamil.