Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN KOH TERHADAP DERAJAT

DEASETILASI KITIN DARI LIMBAH KULIT UDANG


Minda Azhar, Jon Efendi, Erda Syofyeni, Rahmi Marfa Lesi, dan Sri Novalina

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang, e-mail: minda@fmipa.unp.ac.id

ABSTRACT

Chitin is one of the most abundant polysaccharides found in nature. The objective of
this experiment were to find out: 1. The effect of 40%, 50% NaOH and 40%, 50% KOH on
chitin deacetylation degree; 2. The best of chitin deacetylation degree. The kind of this
experiment was two factor experiment. The factor one was the kind of base (NaOH and
KOH). The factor two was variation of base concentration (40% and 50%). The result of
experiment showed that KOH and NaOH in concentration 40%, 50% were no significantly
affected on chitin deacetylation degree. The best of chitin deacetylation degree was using
50% NaOH.

Keywords: chitin, deacetylation degree, KOH, NaOH, chitosan

PENDAHULUAN Limbah udang memiliki potensi yang


besar untuk diolah menjadi kitosan karena
Udang merupakan salah satu pangan
ketersediaan limbah udang sebagai bahan
yang banyak digemari masyarakat karena
baku cukup besar dan mudah diperoleh
mengandung gizi yang tinggi, memiliki
(W i dodo, 2006). Produksi udang
aroma yang khas dan rasa yang lezat.
Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4%
Bagian udang yang dimanfaatkan sebagai
pertahun. Pada tahun 2001 produksinya
pangan terutama adalah daging udang.
mencapai 633.681 ton. Jika diasumsikan
Daging udang mengandung asam amino
laju produksi tetap, maka pada tahun 2004
essensial seperti lisin, histidin, arginin dan
potensi udang diperkirakan sebesar
tirosin (Moeljanto, 1979 dalam
Purwaningsih, 2000). Bagian udang 785.025 ton. Dari jumlah itu, 60-70%
menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan
yang tidak dikonsumsi manusia dapat
ekor). Melalui proses demineralisasi dan
menjadi limbah udang.
deproteinisasi dengan rendemen 20% akan
Limbah udang berasal dari kulit,
dihasilkan kitin sebesar 157.005 ton. Pada
kepala dan ekor udang. Limbah kepala
proses deasetilasi kitin dengan rendemen
udang mencapai 35%-50% dari total berat
80% akan diperoleh kitosan sebesar
udang (Kompas, 2006). Di Indonesia
125.604 ton (Prasetyo, 2004). Dengan
sebagian limbah udang telah dimanfaatkan
demikian limbah udang sangat potensial
untuk pembuatan kerupuk udang, terasi,
untuk dimanfaatkan.
dan bahan pencampur pakan ternak. Pada
Limbah kulit udang terdiri dari tiga
negara maju seperti Amerika dan Jepang,
komponen utama yaitu protein (25%-
limbah udang telah dimanfaatkan antara
44%), kalsium karbonat (45%-50%), dan
lain pada industri farmasi, biokimia,
kitin (15%-20%) (Fohcher, 1992). Kitin
bi om edi kal , pangan, pert ani an, dan
mempunyai struktur yang sama
kesehatan (Lang, 1995). Hal ini karena
walaupun berasal dari sumber yang
limbah udang dapat dimanfaatkan sebagai
berbeda, tetapi assosiasinya dengan protein
zat pembuat kitosan.
dan kalsium karbonat berbeda kadarnya.

EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI Februari 2010 1


Kandungan kitin pada limbah kulit udang Proses penghilangan gugus asetil
sekitar 20%-50% berat kering. Kitin adalah dinamakan deasetilasi. Proses deasetilasi
kelompok karbohidrat yang tergolong bertujuan untuk memutuskan ikatan
structural homoglycans. Monomer kitin kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen
adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-Glukosa pada gugus asetamida kitin sehingga
(N-asetil glukosamin) (Horton, 2002). berubah menjadi gugus amina (–NH2 ).
Ikatan antara monomer kitin adalah Dengan demikian pelepasan gugus asetil
ikatan glikosida pada posisi (1-4). pada asetamida kitin menghasilkan gugus
Struktur molekul kitin berupa rantai lurus amina terdeasetilasi.
panjang. Kitin merupakan polimer alam
terbanyak di dunia setelah selulosa
(Yanming, et al. 2001).
Struktur molekul kitin mirip selulosa.
Persamaan antara selulosa dengan kitin
adalah ikatan antara monomernya yaitu Gambar 1. Penghilangan gugus asetil pada
ikatan glikosida pada posisi (1-4). gugus asetamida (Lee, 2004: 16)
Perbedaan antara kitin dengan selulosa
terletak pada atom C nomor 2 setiap Ukuran besarnya penghilangan gugus
monomernya. Pada selulosa terikat gugus asetil pada gugus asetamida kitin dikenal
hidroksil (–OH), sedangkan pada kitin dengan istilah derajat deaselitilasi (DD).
berupa gugus asetamida (–NHCOCH 3 ). Jika DD 40-100% (derajat asetilasi, DA
Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi keci l da ri 40%) d i sebut ki t osan
warna Van Wesslink. Pada cara ini kitin (Terbojevich, 2000), sedangkan Khan, et al
direaksikan dengan I 2 –KI memberikan (2002) menyatakan bahwa kitin dengan
warna coklat, kemudian jika ditambahkan DD 75% atau lebih umumnya dikenal
asam sulfat, warna berubah menjadi violet. sebagai kitosan. Derajat deasetilasi adalah
Perubahan warna dari coklat menjadi violet salah satu karakteristik kimia yang paling
menunjukkan reaksi positif adanya kitin. penting karena DD mempengaruhi
Kitin dapat diisolasi dari limbah udang performance kitosan pada banyak
dengan cara demineralisasi kemudian aplikasinya (Khan et al, 2002).
deproteinisasi. Untuk mempercepat proses Kitin dan kitosan merupakan nama dua
dem i neral i sasi dan deprot ei ni sasi kelompok senyawa yang tidak dibatasi
dilakukan pemanasan dan penggilingan. dengan stoikiometri pasti. Kitin adalah poli
Kitin yang diperoleh dapat diubah menjadi N-asetil glukosamin yang terasetilasi
kitosan dengan cara merubah gugus sedikit, sedangkan kitosan adalah kitin
asetamida (–NHCOCH 3 ) pada kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
menjadi gugus amina (–NH2) (Gambar 1). Kitosan dinamakan poliglukosamin jika
Ukuran besarnya penghilangan gugus asetil kitin terdeasetilasi sempurna (100%).
pada gugus asetamida dikenal dengan Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan
istilah derajat deasetilasi (DD). Jika DD adanya gugus-gugus fungsi amina, gugus
40%-100% (derajat asetilasi, DA kecil dari hidroksi primer dan hidroksi sekunder.
40%) disebut kitosan (Terbojevich, 2000). Adanya gugus ini menyebabkan kitosan
Proses penghilangan gugus asetil pada kitin mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi
tidak lain adalah untuk transformasi kitin dibandingkan kitin. Gugus-gugus fungsi
menjadi kitosan. Transformasi kitin tersebut menyebabkan kitosan dapat
menjadi kitosan digunakan basa kuat berinteraksi dengan zat-zat organik seperti
konsentrasi tinggi (Bastaman, 1989; Hang, protein, sehingga kitosan relatif lebih
1989). banyak digunakan pada berbagai bidang
i ndust ri t erapan dan keseh at an

2 Minda Azhar
(Purwantiningsih, 1992). Selain itu kitosan bahwa molekul memiliki frekuensi vibrasi
dapat dimodifikasi strukturnya melalui yang spesifik. Frekuensi ini terjadi dalam
gugus-gugus fungsi tersebut. spekt rum el ekt rom agn et i k daer ah
Kitosan merupakan senyawa yang inframerah pada bilangan gelombang 4000
tidak larut dalam air, larutan basa kuat, – 400 cm-1.
sedikit larut dalam HCl dan HNO3 dan Derajat deasetilasi kitin ditentukan
tidak larut dalam H2SO4. Kitosan mudah dengan metoda base-line. Metoda ini
mengalami degradasi. Kitosan dapat berdasarkan perbandingan nilai absorbansi
dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat pita serapan dari spektrum inframerah pada
organik seperti protein. Oleh sebab itu bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450
kitosan lebih banyak ada bidang industri cm-1. Absorbansi (A) dinyatakan sebagai
t erapan d an i ndu st ri kesehat an persamaan (1), sedangkan nilai DD
(Purwantingsih, 1992). Pelarut kitosan dinyatakan sebagai persamaan (2).
yang baik adalah asam asetat (Widodo,
P0
2006). A  log .............................................. (1)
Kitosan mempunyai banyak kegunaan P
dan keunggulan dibandingkan kitin Dimana:
sehingga kitosan dijuluki sebagai magic of P0 = % transmitan pada base-line
nature. Kitosan dapat digunakan pada (serapan maksimum)
pros es i ng m akan an , pen gobat an, P = % transmitan pada serapan
bioteknologi dan menjadi material yang maksimum
menarik pada aplikasi biomedical dan
pharmaceutical. Hal ini karena kitosan %DD = 100-[(A1665/A3450)x115]............ (2)
t i dak t oksi k, bi ol ogi cal act i vi t y, Nilai A1655 dan A3450 merupakan nilai A
biocompatibility, biodegradability, dan yang sesuai untuk pita serapan 1655 cm-1
dapat dimodifikasi secara kimia dan fisika dan 3450 cm-1. Pita serapan 1655 cm-1
(Lee, 2004). Lee (2004) memodifikasi merupakan pita serapan karbonil gugus N-
kitosan yang dapat digunakan untuk asetil sedangkan pita serapan 3450 cm-1
det oks i fi kasi . Mel l o et al (2006 ) merupakan pita serapan gugus NH2 (Khan
memodifikasi kitosan menjadi N-succinil- et al., 2002:3; Mello et al., 2006: 666).
kitosan yang merupakan turunan kitosan Proses deasetilisasi kitin dapat
yang lebih mudah larut dalam air. Sifat ini dilakukan dengan cara memanaskan kitin
sangat penting pada penggunaan kitosan dalam larutan basa kuat konsentrasi tinggi
pada sistem biologi. Pada prosesing (Bastaman, 1989; Hang, 1989). Fahmi
makanan kitosan dapat dimanfaatkan (1997) menggunakan NaOH 50% diperoleh
sebagai pengawet ikan dan tahu (Hardjito, kitosan dengan DD 73,5%. Ardiato (2007)
2006). Kitosan dapat juga digunakan menggunakan NaOH 40% diperoleh
sebagai bioabsorben logam-logam berat ki t osan dengan DD 72,28%. KOH
beracun pada limbah perairan. Dengan m erupakan b asa ya ng l ebi h kuat
demikian limbah kulit udang sangat dibandingkan NaOH. Keefektifan kedua
potensial untuk dimanfaatkan. basa ini untuk merubah gugus asetamida (–
Karakteristik kitosan yang penting NHCOCH 3 ) pada kitin menjadi gugus
adalah derajat deasetilasi (DD). Nilai DD amina (–NH2) belum pernah dilaporkan.
dapat ditentukan dengan FTIR (Fourier- Oleh sebab itu diteliti pengaruh NaOH dan
Transform Infrared). FTIR adalah suatu KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari
metoda karakterisasi gugus fungsi atau limbah kulit udang. Penelitian ini terbatas
senyawa berdasarkan pada serapan radiasi pada hal berikut:
inframerah oleh atom yang mengalami (a). Variasi konsentrasi basa adalah 40%
vibrasi. Analisa ini berdasarkan pada fakta dan 50%

EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI Februari 2010 3


(b). Limbah udang yang digunakan berasal Sebagai objek penelitian adalah kulit
dari limbah udang putih (Litopeneeus udang putih yang diperoleh di pasar pagi
vannemei); Purus Padang.
(c). Reaksi deasetilasi dilakukan pada suhu
1. Persiapan sampel
100 °C selama 5 jam. Limbah kulit udang dibersihkan dari
Penelitian ini bertujuan untuk menguji sisa kotoran dan daging udang yang
pengaruh pada DD kitin yang dideasetilasi tertinggal pada kulit. Kulit udang diicuci
dengan NaOH dan KOH pada variasi bersih dengan air berkali-kali. Kulit udang
konsentrasi 40% dan 50%; menentukan dikeringkan dalam oven suhu 40 °C selama
konsentrasi basa yang menghasilkan DD 3 jam dan digiling kasar.
kitin paling besar. Manfaat penelitian
adalah memberikan kontribusi pada 2. Isolasi kitin
perkembangan IPTEK dalam bidang Isolasi kitin dan proses deasetilasi kitin
biokimia, khususnya biopolimer yaitu dilakukan sesuai metoda Hang (Fahmi,
memberikan informasi pembuatan kitosan 1997). Isolasi kitin dari kulit udang
dari kitin limbah udang yang dapat m el i put i t ahap dep rot ei ni sasi dan
digunakan diantaranya sebagai pengawet demineralisasi dan dekolorisasi.
pangan. 3. Deasetilasi
Satu gram kitin ditambahkan 100 mL
METODE PENELITIAN KOH at au NaO H dengan va ri as i
Penelitian ini merupakan penelitian konsentrasi. Reaksi dilakukan pada suhu
eksperimen yang dilakukan di laboratorium 100 °C selama 5 jam. Larutan dipisahkan
Biokimia dan Laboratorium Penelitian dari residu dan residu dinetralkan melalui
FMIPA UNP dari bulan Juli sampai dengan pencucian dengan aquades berkali-kali.
September 2009. Pengukuran radiasi FTIR Residu dikeringkan dalam oven suhu 60 °C
ki t i n dan ki t osan di l akukan di selama 4 jam. Setelah kering, residu
Laboratorium Farmasi Universitas Andalas digiling halus dan diayak dengan ukuran 20
Padang. – 40 mesh. Residu tersebut dikarakterisasi
Penelitian ini menggunakan Rancangan dengan FTIR.
Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor dan
4. Pengukuran dengan spektrofoto-
2 kali ulangan. Faktor 1 adalah jenis basa
meter FTIR
yaitu KOH dan NaOH. Faktor 2 adalah Kitin atau kitosan disimpan dalam
variasi konsentrasi basa yaitu 40% dan
desikator selama satu hari sebelum dibuat
50%. Objek penelitian adalah kulit udang pelet KBr. Pembuatan pelet KBr dilakukan
putih yang diambil di Pasar Pagi Purus dengan mencampurkan sampel + 1 mg dan
Padang. KBr 10-100 mg. Campuran serbuk digerus
Alat-alat yang digunakan adalah sampai homogen dan ditekan dengan
peralatan gelas, blender, oven, kertas pH, pompa hidrolik. Pelet yang d i p e r o l e h
kertas saring, spektrofotometer FTIR, d i a n a l i s i s d e n g a n spektrofotometer
ayakan 40 – 60 mesh, neraca analitik, labu FTIR.
ukur (1 L, 100 mL, 10 mL), pipet mikro, DD kitin yang terdeasetilasi yang
gelas kimia (1 L, 250 mL, 50 mL), kaca diperoleh dari penelitian ini dianalisis
arloji, corong dan tabung reaksi. Bahan m enggun akan S i di k R agam unt uk
yang digunakan adalah kulit udang, NaOH,
menentukan adanya perbedaan pada taraf
KOH, aquades, aseton dan Na2 S 2 O4 . kepercayaan 95% (α: 0,05) dan dilanjutkan
Langkah utama penelitian ini adalah: dengan Uji Jarak Berganda Ducan (UJBD)
(a). Persiapan sampel kulit udang; (b). pada taraf kepercayaan (α: 0,05) (Wapolle,
Isolasi kitin dari kulit udang dan (c). 1992).
Deasetilasi.

4 Minda Azhar
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji Biuret kulit udang telah bebas
protein memberikan uji negatif yaitu tidak
P em bahasa n pene l i t i an i ni
t erbent ukn ya w arn a un gu aki bat
dikelompokkan tiga yaitu isolasi kitin dari
pembentukan komplek Biuret yang
limbah kulit udang, DD kitin hasil
merupakan komplek koordinasi dari atom
deasetilasi dan spektrum FTIR kitin dan
Cu+2 pada reagen Biuret dengan empat
kitin hasil deasetilasi.
atom nitrogen pada untai peptide/protein
1. Isolasi kitin dari limbah kulit udang dalam larutan alkalin (Clark, 1977).
Limbah kulit udang dipisahkan dari Proses penghilangan mineral dari kulit
kulit kepala, dan ekor udang. Kulit udang udang di k enal d engan i st i l ah
dibersihkan dan dikeringkan pada oven (40 demineralisasi. Mineral yang dihilangkan
– 45 °C) selama 3 jam. Kulit udang kering adalah CaCO3 dalam jumlah besar dan
digiling kasar. Kulit udang kering Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil. Mineral ini
dipisahkan dari protein dengan merendam dipisahkan dari kulit udang dengan cara
dalam larutan NaOH. Kulit udang bebas merendam kulit udang dalam larutan HCl.
protein dipisahkan dari mineral dengan cara Akibatnya adalah dilepaskan gas CO2 dan
merendam dalam larutan HCl. Dekloronasi terbentuk ion Ca+2 , ion H 2 PO4 - yang
pada kulit udang yang bebas protein dan terlarut dalam larutan berair. Persamaan
mineral dilakukan dengan cara merendam reaksi dapat ditulis seperti di bawah ini.
dalam larutan Na 2 S 2 O4 . Kitin yang
CaCO3(s) + 2HCl(aq) → CaCl2(aq) +
diperoleh 27,97 gram dari 135 gram kulit
H2O + CO2(g)
udang kering. Foto kitin dimuat pada
Ca3(PO4)2(s) + 4HCl(aq) → 2CaCl2(aq) +
Gambar 2.
Ca(H2PO4)2(aq)
Isolasi kitin dari kulit udang pada
prinsipnya adalah memisahkan kitin dari Warna pada kulit udang terutama
komponen-komponen protein dan kalsium disebabkan oleh senyawa karoten, beberapa
karbonat. Hal ini karena kulit udang terdiri kom ponen ast acen e , ast hax ant i n,
dari tiga komponen utama yaitu protein chataxanthin dan lutein (Robert, 1992: 58),
(25%-44%), kalsium karbonat (45%-50%), Senyawa ini dihilangkan dari kulit udang
dan kitin (15%-20%) (Fohcher, 1992). dengan bl e achi n g d engan N aS 2 O 4 .
Proses penghilangan protein dari kulit Selanjutnya gugus asetil pada kitin
udang dikenal dengan deproteinisasi. dilepaskan yang dikenal dengan deasetilasi.
Keef ekt i fan proses deprot ei ni sasi
2. DD Kitin Hasil Deasetilasi
tergantung pada kekuatan basa yang Kitin hasil isolasi dideasetilasi
digunakakan (Purwaningsih, 1993). Pada menggunakan larutan NaOH dan KOH
penelitian ini digunakan larutan basa NaOH masing-masing dengan konsentrasi 40%
3,5%. dan 50%. DD kitin diperoleh besar dari
45%. Dengan demikian proses deasetilasi
kitin dengan NaOH dan KOH konsentrasi
40% dan 50% telah diperoleh kitosan
(Gambar 3).

Gambar 2. Kitin yang diisolasi dari kulit


udang kering

EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI Februari 2010 5


A B C D
Gambar 3. Kitosan
A. Kitin yang dideasetilasi dengan NaOH 40%; B. Kitin yang dideasetilasi dengan NaOH
50%; C. Kitin yang dideasetilasi dengan KOH 40%; D. Kitin yang dideasetilasi dengan
KOH 50%
DD kitin sebelum deasetilasi dan DD dan 50% ditentukan dari spektrum FTIR
kitin setelah deasetilasi dengan larutan menggunakan persamaan 2 (Tabel 1).
NaOH dan KOH variasi konsentrasi 40%
Table 1. Persentase DD kitin pada variasi konsentrasi NaOH dan KOH
Konsentrasi larutan basa % DD % DD % DD
ulangan ke-1 ulangan ke-2 rata-rata
NaOH 40% 59,3136 55,3230 57.3183
NaOH 50% 66,6768 64,5960 65,6364
KOH 40% 62,4743 60,3572 61,4158
KOH 50% 63,3750 64,2735 63,8243
Kontrol (kitin hasil isolasi) 3,3165

Proses penghilangan gugus asetil (– semakin besar konsentrasi OH - dalam


CH3 COO - ) dari gugus asetamida (– larutannya. Dengan demikian kekuatan
NHCOCH 3 ) sehingga terbentuk gugus basa mempengaruhi proses deasetilasi
amina (-NH2) disebut juga deasetilasi. Jika gugus asetil dari gugus asetamida kitin.
gugus asetil lepas dari kitin maka disebut Oleh sebab itu pada penelitian ini
deasetilasi kitin. Mekanisme deasetilasi digunakan kelompok basa kuat yaitu NaOH
kitin terjadi pada larutan basa. Dalam dan KOH. KOH adalah basa yang lebih
larutan basa karbon karbonil suatu ester kuat dibandingkan NaOH.
dapat diserang oleh suatu nukleofil yang
3. Spektrum FTIR kitin dan kitin hasil
bai k t anpa prot ona si sebel um n ya
deasilasi
(Fessenden, 1982). Proses deasetilasi gugus Karaktristik pita pada spektrum FTIR
asetil pada asetamida kitin dapat dijelaskan kitin dimuat pada Tabel 2, sedangkan
sebagai berikut: gugus karbon karbonil karakteristik pita pada kitin terdeasetilasi
diserang oleh nukleofil OH-, akibatnya oleh larutan NaOH dan KOH dimuat pada
terjadi reaksi adisi sehingga terbentuk Tabel 3. Yang perlu diperhatikan adalah
zat antara. Zat antara ini selanjutnya perbandingan nilai absorbansi pita serapan
mengalami reaksi elimininasi sehingga dari spektrum inframerah pada bilangan
gugus asetil pada asetamida kitin lepas gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1. Pita
membentuk asetat.
serapan 1655 cm-1 merupakan pita serapan
Proses pelepasan gugus asetil dari karbonil gugus N-asetil sedangkan pita
gugus asetamida kitin berhubungan dengan serapan 3450 cm-1 merupakan pita serapan
konsentrasi ion OH - pada larutan. gugus NH2 (Khan et al.,2002: 3; Mello et
Konsentrasi OH- akan lebih besar pada al.,2006).
larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa
6 Minda Azhar
Tabel 2. Karakteristik pita pada spektrum dari KOH dibandingkan NaOH. Walaupun
FTIR kitin demikian perbedaan ini ternyata tidak
begitu berarti menurut analisa varians pada
Bilangan
α = 0,05.
gelombang Vibrasi
DD kitin dipengaruhi oleh beberapa
(cm-1)
faktor diantaranya kekuatan basa,
3437 Vibrasi ulur N–H amida
konsentrasi basa, waktu reaksi dan suhu.
sekunder
Variasi konsentrasi NaOH dan KOH
2890 Vibrasi ulur C–H alifatik
menunjukkan variasi jumlah OH- yang
1651 Vibrasi ulur C=O akan bereaksi selama proses deasetilasi dan
1559 Vibrasi tekuk N–H amina juga menunjukkan variasi konsentrasi ion
sekunder Na+ dan K + dalam medium. Semakin
1439 Vibrasi ulur C–N amina banyak OH- dalam larutan semakin besar
alifatik kemungkinan penyerangan gugus karbon
1315 Vibrasi ulur C–N karbonil pada asetamida sehingga lebih
Tabel 3. Karakteristik pita pada spektrum besar kemungkinan asetil dilepaskan.
FTIR kitin terdeasetilasi Proses penyerangan ini diduga dipengaruhi
pula oleh keberadaan ion-ion lainnya pada
Bilangan medium reaksi seperti ion Na+, ion K+. Hal
gelombang Vibrasi ini diduga terjadi pada konsentrasi NaOH
(cm-1) 50% dan KOH 50%, sehingga teramati DD
3435 Vibrasi ulur N–H amida yang lebih besar pada konsentrasi NaOH
primer 50%.
2875 Vibrasi ulur C–H alifatik
1651 Vibrasi tekuk N–H amida KESIMPULAN
sekunder
P enel i t i an pengaru h j eni s dan
1378 Vibrasi tekuk N–H amina
konsent rasi basa t e rhadap der aj at
alifatik
deasetilasi kitin dari limbah kulit udang
Berdasarkan persamaan 2, DD kitin dapat disimpulkan bahwa KOH dan NaOH
hasil isolasi yang diperoleh adalah dengan variasi konsentrasi 40% dan 50%
3,3165%. Angka ini menunjukkan bahwa tidak berpengaruh nyata terhadap DD kitin.
kitin hasil isolasi masih dikelompokan DD kitin paling tinggi dihasilkan pada
kitin. Jika DD 40 – 100% disebut kitosan NaOH 50%.
(Terbojevich, 200: 267). Proses deasetilasi
kitin hasil isolasi menggunakan larutan DAFTAR PUSTAKA
NaOH d an KOH 40% dan 50%
Anonim. Chitosan sebagai bahan
menghasilkan DD di atas 40% (Tabel 1).
pengganti formalin lebih aman
Hal ini dapat diartikan bahwa proses
sebagai pengawet makanan,
deasetilasi menggunakan larutan NaOH
Kompas.
dan KOH 40% dan 50% telah
menghasilkan kitosan. Ardiato, T. (2007). Upaya pemanfaatan
DD kitin terdeasetilasi lebih besar limbah kulit rajungan (Portunus
menggunakan larutan KOH dibandingkan pelagieus) sebagai membrane
larutan NaOH. Hal ini dapat dijelaskan kitosan crosslinked formaldehid.
bahwa KOH merupakan basa yang lebih FMIPA Airlangga.
kuat dibandingkan NaOH. Kekuatan basa Bastaman. (1989). Studies on degradation
berhubungan dengan jumlah OH- yang and extraction of chitin and
dapat ditambahkan ke dalam air. Jumlah chitosan from prawn shells.
OH- akan lebih banyak dilepaskan ke air

EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI Februari 2010 7


England: The Queen University of Collection of working papers,
Belfast. UKM.
Clark, J.M. and Switzer, R.L. (1977). Lee, D.W. (2004). Engineered chitosans
Experimental Biochemistry. 2nd for drug detoxification
edition. San Francisco: WH Freman preparation, characterization and
and Company. drug uptake studies. Dissertation.
University of Florida.
Fahmi, R. (1997). Isolasi dan
Transformasi Kitin menjadi Mello, KGPC, Bernusso, L.C., Pitombo,
Kitosan. Jurnal Kimia Andalas. R.N.M, dan Polakiewicz, B. (2006).
Vo.3. No.1. 61-68. Synthesis and physicochemical
Fessenden, R.J. and Fessenden, J.S. (1984). characterization of chemically
chitosan by succcinic anhydride.
Kimia Organik Edisi kedua.
Brazilian archives of biology and
Jakarta: Erlangga.
technology. Vol49.no4:665668.
Fohcher, B., Naggi, A., Tarri, G., Cosami,
Prasetyo, K.W. (2004). Khitosan,
A. dan Terbojevich, M. (1992).
Pengendali Rayap Ramah
Structural differences between
Lingkungan. LIPI Bogor.
chitin polymorhs and their
precipitates from solution Purwaningsih, S. (2000). Teknologi
evidences from CP-MAS 13 C- Pembekuan Udang. Jakarta:
NMR, FTIR and FTRaman Penebar Swadaya.
Spectroscopy. Carbohidrate Purwatiningsih. (1993). Isolasi Kitin
polymer. 17 (2):97-102.
Senyawaan Kimia dari Limbah
Hang, K. (1989). Isolation and Kulit Udang Windu (Panaeu
Characterization of chitin from monodon). Skripsi, Jurusan Kimia
crawfish shell waste. Journal ITB, Bandung.
Agriculture and Food Robert, G.A.F. (1992). Chittin Chemistry.
chemistculture and Food chemistry. London: The Macmillan Press Ltd.
Vol.37.no.3
Terbojevich, M. dan Muzzarelli, RAA.
Hardjito, L. (2006). Chitosan lebih awet (2000). Chitosan. University of
dan aman. (www.gramedia- Ancona.
majalah.com diakses tanggal 24
Desember 2007). Wapolle, R.E. (1995). Pengantar Statistik.
Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia.
Horton, R.H., Moran, L.A., Ochs, R.S.,
Rawn. J.D. dan Scrimgeour, K.G. Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A.,
(2002). Principles of (2006). Potensi kitosan dari sisa
Biochemistry. Third edition. New udang sebagai koagulan logam
York: Prentice-Hall,Inc. berat limbah cair industri tekstil.
ITS Surabaya.
Khan, T.A., Peh, K.K. dan Ching, H.S.
(2002). Reporting degree of Yanming, D., Congyi, X.U., Jianwei, W.,
deacetylation of chitosan : the Mian,W., Yusong, W.U.,
influence of analytical method. Yonghong, R. (2001).
Determination of degree of
Lang, G. (1995). Chitosan Derivatives-
substitution for N-acylated
preparatin and potential use. chitosan using IR spectra. Science
in Chine. Vol.44.No.2: 216-224.

8 Minda Azhar

Anda mungkin juga menyukai