Sutisna Nisa
G1A218073
1
GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN DEBRIDEMENT DAN SKIN
GRAFT PADA DEGLOVING FEMUR CRURIS DEXTRA
Oleh :
Sutisna Nisa
G1A218073
Pembimbing,
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report
Session (CRS) ini dengan judul “General Anestesi Pada Tindakan
Debridement Dan Skin Graft Pada Degloving Femur Cruris Dextra”.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Anestesi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis saat mengikuti program
profesi dokter di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi,
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih terdapat banyak kekurangan. Sebagai penutup semoga kiranya Case
Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Organ tubuh yang paling luas dan terluar adalah kulit. Kulit memiliki
peranan yang sangat penting bagi tubuh manusia, yaitu sebagai pelindung
tubuh, ekskresi, sensorik, pengatur suhu tubuh, pembentukan pigmen,
pembentukan vitamin D, dan keratinisasi. Kulit melindungi bagian dalam
tubuh dari trauma, tarikan, maupun gesekan yang merupakan bentuk dari
gangguan fisik atau mekanik. Salah satu akibat dari trauma mekanik atau fisik
tersebut adalah terjadinya degloving injury.1,2
Degloving injury adalah suatu cedera yang melibatkan terlepasnya kulit
dan jaringan subkutan dari fascia dan otot yang berada di bawahnya.
Predileksi degloving injury paling sering terjadi pada daerah lengan dan
tungkai. Degloving injury disebabkan oleh berbagai macam trauma mekanik,
biasanya kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor dan kecelakaan industri
akibat trauma saat menggunakan alat berputar, namun tidak menutup
kemungkinan disebabkan oleh trauma tumpul. Terjadinya degloving injury ini
seringkali disertai cedera lain ataupun fraktur yang memungkinkan timbulnya
komplikasi dari yang paling ringan hingga menyebabkan kematian.2
Luka yang sering terjadi pada degloving injury biasanya bersifat terbuka,
meskipun ada juga yang bersifat tertutup. Saat degloving injury bersifat
terbuka, maka dokter harus melakukan penanganan segera. Tujuan pertama
dari penanganannya adalah mendekatkan kembali dua bagian yang terpisah,
berharap nantinya jaringan tersebut akan sembuh secara spontan. Kedua
adalah membuang jaringan yang sudah mati akibat kehilangan vaskularisasi,
kemudian menutup luka tersebut dengan skin graft. 2
4
BAB II
LAPORAN KASUS
b. Anamnesis
Keluhan utama :
Pasien post. KLL ± 2 jam SMRS
5
Primary Survey
a. Airway :
Snoring (-), Gargling (-), tidak terdapat sumbatan jalan napas baik berupa
cairan maupun benda asing.
Airway clear
Dipasangkan NGT
b. Breathing :
Look : Pernapasan cuping hidung (-), deviasi trakea (-), retraksi dinding
dada (-), pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding dada
yang tertinggal
RR : 20 kali/menit
Listen : Pernapasan Spontan
Feel : Pernapasan Spontan
Auskultasi : Vesikuler +/+
Breathing clear
Tindakan :
Pasang Pulse Oksimetri (saturasi O2 96%),
O2 nasal kanul 3L/menit.
c. Circulation :
TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 110 x/menit
Kulit : Pucat pada wajah dan ekstremitas (-)
Tindakan :
Pasang IV line dengan cairan RL 20 gtt/menit
Pasang kateter
d. Disability :
GCS : 15 (E4M6V5)
Pupil : isokor, RC +/+
e. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.
6
c. Pemeriksaan Fisik
Abdomen
Inspeksi : Datar, skar (-)
Auskultasi : Peristaltik normal
Palpasi : Nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-) (S)
Akral dingin, CRT>2 detik, edema (+) (D)
7
d. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11,6 g/dL 11-16
Trombosit 337 10^9/L 100-300
Leukosit 6,67 10^9/L 4-10
CT 4 menit 1-6
BT 2,5 menit 5-15
Faal Ginjal
Ureum 23 mg/dl 15-39
Kreatinin 0,5 mg/dl L 0,9-1,3
P 0,6-1,1
Elektrolit
Na 138,26 mmol/L 135-148
K 3,65 mmol/L 3,5-5,3
Cl 105,36 mmol/L 98-110
Ca 1,23 mmol/L 1,19-1,23
e. Radiologi
Rontgen Thorax
EXPERTISE
COR : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan
Pulmo : Dalam batas normal
tidak ditemukan kelainan
8
Rontgen Pelvic
9
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
- Intubasi : Insersi ETT no.5,0
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
Terapi cairan
Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam
M = 2 x 30 60 cc/jam
Pengganti Puasa (PP)
P = puasa x maintenance
P = 6 x 60 360 cc
Stres operasi (O)
O = 6cc/kgBB (Operasi Sedang)
O = 6 x 30 180 cc
EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 30 1950 cc
EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 1950 cc 390 cc
MONITORING
TD awal: 120/80 mmHg, N: 96 x/I, RR: 18x/i
Jam TD Nadi RR
09 : 30 110/70 98 18
09 : 45 100/65 96 18
10 : 00 110/65 102 18
10 : 15 110/70 110 18
10 : 30 115/75 104 18
10 : 45 110/75 116 18
11 : 00 100/70 102 18
11 : 15 112/70 102 18
10
11 : 30 115/75 108 18
11 : 45 115/70 112 18
12 : 00 120/75 102 18
Monitoring:
Jam TD Nadi RR
12.30 120/80 98 18 Skoring
12.45 110/80 96 18
Aldrete :
Aktifitas (0-2) :2
Pernafasan (0-2) :2
11
Warna Kulit (0-2) :2
Sirkulasi (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah : 10
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena.2,3
13
3.3 Stadium-stadium Anestesi
Stadium anestesi dibuat berdasar efek eter. Eter merupakan zat anestetik
volatil yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa penggunaan
eter yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai
anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Emest Guedel pada
tahun 1937, meliputi:2
- Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak
masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antar lain
ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
- Stadium 2 : disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul
eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi pasien
menahan nafas. Tejadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari,
seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan
jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil
dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini adalah
stadium yang beresiko tinggi.
- Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana,
yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks,
pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
- Stadium 4 merupakan stadium overdosis obat anestesi. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal. Potensi bahaya yang begitu besar mendorong
usaha-usaha untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern kini
berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.
Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang
14
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi, rumatan
dan emergensi. 2
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut,
kesakitan,keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas.
2. Tinggi dan berat badan. Untuk
memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah
urin selama dan sesudah pembedahan.
15
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan
frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa
untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi
palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi.
Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi
pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya
dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : palatum durum saja
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi
jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu,
ronki dan mengi
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi,
massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya
perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional
16
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
17
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.5
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.5
3.5 Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
diantaranya:2,4
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian
maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi
sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap
18
jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan2,4
3.6 Persiapan Induksi Anestesi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:2,3
S = Scope, Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop.
Pilih bilah atau dan yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukuop
terang.
T = Tube, pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S = Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
19
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat,
karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi
yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia
difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% :
30% atau 50% : 50%.7
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat,
dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
20
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
21
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik. Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
22
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula
kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh.
Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM
5 menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi
23
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5
mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb
IV.
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya
lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada
penderita dengan penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan
untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi.
Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.9 Dosis premedikasi
10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg
IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5
mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena
pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe.
24
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan
nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di
otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem
aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai
pula di pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah
(kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan
lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
25
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg
BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x
morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya
secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak
paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi
dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
26
Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan
bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.
27
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang.
28
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai
0,2-0,3 mg pada dewasa).
29
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted) atau dikendalikan (controlled).2,4
Komplikasi intubasi
Selama intubasi, meliputi:
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
30
g. Spasme bronkus
Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.
31
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
3.11 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.2,8
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.2,8
32
Degloving injury merupakan cedera avulsi dimana sebagian besar kulit dan
jaringan subkutan terlepas dari jaringan fasia dan otot dibawahnya. Cedera dapat
mengenai setiap bagian tubuh tetapi paling sering mengenai ekstremitas (atas
maupun bawah), tubuh, wajah, dan genitalia.2
Etiologi
Degloving injury ditandai oleh avulsi jaringan kutan dan subkutan dari
struktur yang lebih kaku oleh karena trauma. Degloving seperti itu dapat terjadi
pada deep fascia, otot atau permukaan tulang.5,6 Trauma dengan mekanisme
“tergilas” dapat menghasilkan degloving injury. Tergilas oleh kendaraan berat dan
bergerak lambat dengan ban besar diketahui sebagai penyebab yang paling
mungkin menyebabkan cedera ini, hal ini mungkin karena korban lebih mungkin
bersentuhan dengan ban daripada bagian lain dari kendaraan. Mekanisme penting
dari cedera ini, melibatkan avulsi kulit dan lapisan subkutan yang terpisah dari
lapisan lebih profunda serta kerusakan pembuluh darah musculo-cutaneous
perforantes menyebabkan viabilitas jaringan tersebut menjadi terganggu.5,7
Pada degloving, kulit dan jaringan subkutis terlepas secara paksa dari dasarnya
oleh kekuatan yang keras dan mendadak. Seperti pada bagian tubuh yang terlindas
atau tergilas diantara ban dan permukaan jalan, saat roda berputar diatasnya akan
menyebabkan tarikan kulit sehingga terjadi gaya puntir dari kulit dan
mengakibatkan kulit terputus kontinuitasnya, sebagian kulit melekat seperti flap.7
Klasifikasi
Hidalgo membagi degloving injury menjadi tiga kelompok utama. Berikut
pembagian menurut Hidalgo:8
33
1. Tipe 1 disebut sebagai cedera avulsi rata-rata. Tipe 1 ini merupakan tipe yang
paling umum yang ditandai oleh laserasi dan area avulsi yang terlihat.
2. Tipe 2 disebut sebagai cedera avulsi atipikal. Tipe ini tidak tampak adanya tanda
trauma serius, namun sebenarnya terdapat avulsi di area yang luas.
3. Tipe 3 disebut sebagai cedera avulsi di area tertentu. Jenis cedera meliputi area
plantar dan kulit kepala. Revaskularisasi dan replantasi diperlukan untuk sebagian
besar cedera tipe ini.
Terdapat dua jenis degloving injury, yaitu:
1. Trauma degloving partial
Trauma jenis ini ditandai dengan pengangkatan kulit tidak lengkap dan
beberapa bagian kulit mungkin masih menutupi struktur yang
mendasarinya. Jaringan yang terkena mengalami nekrosis akibat tidak
mendapat aliran darah. Jenis ini disebut partial atau physiological
degloving, karena tiga alasan berikut ini:
- Segmen kulit yang terkena mungkin tidak dapat hidup, karena telah
kehilangan semua suplai darah.
- Masalah ini mungkin tidak dikenali sejak dini, karena penampakan
klinisnya biasanya di permukaan kulit tampak utuh.
- Bahkan apabila kondisi tersebut telah dikenali, umumnya tindakan
rekonstruksi mungkin tertunda karena tingkat kerusakan tidak dapat
dikenali dengan jelas sejak dini.9
2. Trauma degloving complete
Trauma jenis ini ditandai dengan gambaran kulit yang terkena telah hilang
seluruhnya dan memperlihatkan struktur yang mendasari. Jenis ini disebut
sebagai degloving complete atau anatomical degloving. Trauma degloving
jenis ini memiliki gambaran terangkatnya kulit dari jaringan dibawahnya
yang disertai dengan luka yang terbuka.9
Gambaran Klinis
Pada degloving injury terbuka, lapisan kutis dan subkutis terlepas dari jaringan
dibawahnya dan terdapat luka terbuka, dapat juga masih ada bagian dari kulit
34
yang melekat. Pada degloving injury tertutup, gejala klinik yang dapat ditemukan
gambaran permukaan kulit yang normal atau dapat disertai dengan ekimosis.10
Penatalaksanaan
35
defat kulit, dan mengganti avulus kulit sebagai full-thickness skin graft. Jika luka
terlalu terkontaminasi atau terlalu bengkak, jaringan avulsi harus dibersihkan
dengan lavage pulsatil, dibiarkan terbuka, dan ditujukan pada eksplorasi kedua.
Untuk pasien dengan degloving injury non-circumferential, eksisi jaringan selalu
diperlukan. Tapi, baik dengan aplikasi skin graft atau rekonstruksi flap, luka
sembuh sesuai dengan tujuan. Untuk pasien dengan degloving injury single-plane,
flap dieksisi sementara untuk pasien dengan trauma multiplane degloving
sirkumferensial; rekonstruksi bertahap disarankan. Degloving injury yang
berhubungan dengan fraktur terbuka harus dikelola dengan eksisi yang
komprehensif dari jaringan keras dan lunak, diikuti oleh fiksasi skeletal yang
sesuai dan aplikasi penutupan jaringan lunak tervaskularisasi.16
Manajemen cedera anatomi spesifik
36
fungsional dan kosmetik yang baik. Selain itu, mengganti kulit degloved
dengan FTSG dan mengamankannya dengan perangkat VAC dapat
menyelamatkan kaki.10
2.5 Prognosis
Tingkat keparahan komplikasi tergantung pada mekanisme, cedera yang
bersamaan, dan bagian anatomi yang terkena serta apakah degloving injury
terbuka atau tertutup. Jika degloving injury yang parah tidak diidentifikasi
dengan segera dapat berlanjut menjadi infeksi atau bahkan menjadi nekrosis
fascilitis.10
37
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An.T usia 9 tahun dengan rencana operasi debridement + skin graft
pada tanggal 26 Juni 2019 dengan diagnosis operatif Degloving Femur Cruris
Dextra. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 25 Juni 2019. Dari anamnesis
terdapat keluhan nyeri pada tungkai, riwayat sakit asma (-), operasi sebelumnya
(+) Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 Nadi
86x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi, hasil: Hb 11,6 g/dl, leukosit 6,67 /uL, trombosit 337 ribu/u. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang,
tanpa pembatasan aktivitas.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgbBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 60 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi
yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan untuk mengganti puasa yaitu 360 cc.
Operasi dilakukan pada tanggal 26 Juni 2019. Pasien dikirim dari kelas II
ke ruang OK. Pasien masuk keruang OK 8 pada pukul 09.00 WIB dilakukan
pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil; Nadi 86x/menit, dan SpO2 99%.
Dilakukan injeksi Ondansetron 4 mg, Ranitidin 50 mg, Dexametason 10 mg.
Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya pasien ini diberikan fentanyl 50
mcg, propofol 100 mg dan atracurium 20 mg untuk merelaksasikan otot-otot
pernapasan.
39
Dilakukan intubasi endotrakeal supaya pasien tetap dianestesi dan dapat
bernafas dengan adekuat. Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
operasi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi anatra lain thiopental
dan propofol. Pada pasien ini diberi propofol. Propofol merupakan obat induksi
anestesi cepat dan bekerja pada reseptor GABA, yang didistribusikan dan
dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi
2-3 mg/kg. Efek samping propofol yaitu depresi pernapasan, bronkospasme, mual,
muntah, euphoria hingga epistotonus.
Pasen juga diberi fentanyl 5mcg yang merupakan sebagai suatu analgesic
yang lebih poten dari morfin. Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang
telah terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane)
dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 5 menit untuk menekan pengembangan
paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini
dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak
merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas
lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang
menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan.
Pemberian N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah namun poten ntuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan saat operasi selesai.
Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran dihentikan karena pasien
40
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal
secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 500 cc Ringer Laktat.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 200 cc. Pada pukul 11.30 WIB, sebelum
selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan.
Pada pukul 11.45 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir; TD 120/75mmHg, Nadi 102x/menit, dan SpO2 99%.
Pembedahan dilakukan selama 2 jam dengan perdarahan ± 200 cc. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis, dan dinilai menggunakan steward score.
41
DAFTAR PUSTAKA
42