Anda di halaman 1dari 42

CASE REPORT SESSION/CRS

* Kepaniteraan Klinik Senior/GIA218073/Juli 2019


**Pembimbing : dr. Sulistyowati, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN DEBRIDEMENT DAN SKIN


GRAFT PADA DEGLOVING FEMUR CRURIS DEXTRA

Sutisna Nisa
G1A218073

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019 LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

1
GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN DEBRIDEMENT DAN SKIN
GRAFT PADA DEGLOVING FEMUR CRURIS DEXTRA

Oleh :
Sutisna Nisa
G1A218073

Laporan Ini Telah Diterima Dan Dipresentasikan


Jambi, Juli 2019

Pembimbing,

dr. Sulistyowati, Sp.An

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report
Session (CRS) ini dengan judul “General Anestesi Pada Tindakan
Debridement Dan Skin Graft Pada Degloving Femur Cruris Dextra”.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Anestesi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis saat mengikuti program
profesi dokter di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi,
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih terdapat banyak kekurangan. Sebagai penutup semoga kiranya Case
Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.

Jambi, Juli 2019

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Organ tubuh yang paling luas dan terluar adalah kulit. Kulit memiliki
peranan yang sangat penting bagi tubuh manusia, yaitu sebagai pelindung
tubuh, ekskresi, sensorik, pengatur suhu tubuh, pembentukan pigmen,
pembentukan vitamin D, dan keratinisasi. Kulit melindungi bagian dalam
tubuh dari trauma, tarikan, maupun gesekan yang merupakan bentuk dari
gangguan fisik atau mekanik. Salah satu akibat dari trauma mekanik atau fisik
tersebut adalah terjadinya degloving injury.1,2
Degloving injury adalah suatu cedera yang melibatkan terlepasnya kulit
dan jaringan subkutan dari fascia dan otot yang berada di bawahnya.
Predileksi degloving injury paling sering terjadi pada daerah lengan dan
tungkai. Degloving injury disebabkan oleh berbagai macam trauma mekanik,
biasanya kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor dan kecelakaan industri
akibat trauma saat menggunakan alat berputar, namun tidak menutup
kemungkinan disebabkan oleh trauma tumpul. Terjadinya degloving injury ini
seringkali disertai cedera lain ataupun fraktur yang memungkinkan timbulnya
komplikasi dari yang paling ringan hingga menyebabkan kematian.2
Luka yang sering terjadi pada degloving injury biasanya bersifat terbuka,
meskipun ada juga yang bersifat tertutup. Saat degloving injury bersifat
terbuka, maka dokter harus melakukan penanganan segera. Tujuan pertama
dari penanganannya adalah mendekatkan kembali dua bagian yang terpisah,
berharap nantinya jaringan tersebut akan sembuh secara spontan. Kedua
adalah membuang jaringan yang sudah mati akibat kehilangan vaskularisasi,
kemudian menutup luka tersebut dengan skin graft. 2

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 LAPORAN PRA ANESTESI


a. Identitas Pasien
Nama : An. T
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 9 Tahun
NO RM : 920521
Alamat : Danau Sipin, Jambi
Ruangan : Kelas II
Diagnosis : Degloving Femur Cruris Dextra
Tindakan : Debridement + Skin Graft
Masuk RS : 23 Juni 2019

b. Anamnesis
Keluhan utama :
Pasien post. KLL ± 2 jam SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien merupakan rujukan dari RS HAM dengan post KLL. Pasien
dirujuk ke RSUD Raden Mattaher ± 2 jam SMRS. Pasien bersama ibunya
mengendarai motor dengan kecepatan sedang, pasien menggunakan helm
dengan posisi duduk dibelakang ibunya dan menabrak mobil truk yang
dalam keadaan berhenti, pasien menabrak dari sisi belakang mobil truk dan
terjatuh dengan posisi terseret masuk kedalam bawah truk. Kaki pasien
mengalami luka robek yang cukup luas pada kaki sebelah kanan. Pasien
tetap sadar tidak mengalami penurunan kesadaran dari awal kejadian hingga
masuk ke IGD. Mual muntah disangkal, keluar darah dari hidung, mulut dan
telinga disangkal. Nyeri dada disangkal.

5
Primary Survey
a. Airway :
Snoring (-), Gargling (-), tidak terdapat sumbatan jalan napas baik berupa
cairan maupun benda asing.
Airway clear
Dipasangkan NGT

b. Breathing :
Look : Pernapasan cuping hidung (-), deviasi trakea (-), retraksi dinding
dada (-), pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding dada
yang tertinggal
RR : 20 kali/menit
Listen : Pernapasan Spontan
Feel : Pernapasan Spontan
Auskultasi : Vesikuler +/+
Breathing clear
Tindakan :
 Pasang Pulse Oksimetri (saturasi O2 96%),
 O2 nasal kanul 3L/menit.

c. Circulation :
TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 110 x/menit
Kulit : Pucat pada wajah dan ekstremitas (-)
Tindakan :
 Pasang IV line dengan cairan RL 20 gtt/menit
 Pasang kateter

d. Disability :
GCS : 15 (E4M6V5)
Pupil : isokor, RC +/+

e. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.

6
c. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
THT : Perdarahan (-), gigi komplit, mallampati II
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-),ikterik (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+),ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi : batas jantung dbn
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, skar (-)
 Auskultasi : Peristaltik normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-) (S)
Akral dingin, CRT>2 detik, edema (+) (D)

7
d. Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11,6 g/dL 11-16
Trombosit 337 10^9/L 100-300
Leukosit 6,67 10^9/L 4-10
CT 4 menit 1-6
BT 2,5 menit 5-15
Faal Ginjal
Ureum 23 mg/dl 15-39
Kreatinin 0,5 mg/dl L 0,9-1,3
P 0,6-1,1
Elektrolit
Na 138,26 mmol/L 135-148
K 3,65 mmol/L 3,5-5,3
Cl 105,36 mmol/L 98-110
Ca 1,23 mmol/L 1,19-1,23

e. Radiologi
Rontgen Thorax

EXPERTISE
COR : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan
Pulmo : Dalam batas normal
tidak ditemukan kelainan

8
Rontgen Pelvic

EXPERTISE : Dalam Batas


Normal

f. Diagnosis : Degloving Femur Cruris Dextra


g. Penentuan status fisik ASA : I/II/III/IV
h. Persiapan Pra Anestesi:
- IVFD dipasang dari ruang rawat inap dengan abocath no. 18
- Siapkan Informed Consent dan SIO
- Puasa 6 jam sebelum operasi

2.2 LAPORAN TINDAKAN ANESTESI


- Metode : Anestesi umum
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Dexametason 10 mg
- Medikasi : Analgetik : Fentanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 100 mg
Relaksan : Atracurium 20 mg
- Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop anak
Tube : ETT Non Kinking no 5.0
Airway : Goodle No 4

9
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
- Intubasi : Insersi ETT no.5,0
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

Terapi cairan
 Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam
M = 2 x 30  60 cc/jam
 Pengganti Puasa (PP)
P = puasa x maintenance
P = 6 x 60  360 cc
 Stres operasi (O)
O = 6cc/kgBB (Operasi Sedang)
O = 6 x 30  180 cc
 EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 30  1950 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 1950 cc  390 cc

Kebutuhan cairan selama operasi (2 jam 15 menit) :


 Jam I :1/2 (360 cc) + 60 cc + 180 cc = 420 cc
 Jam II : 1/4 (360 cc) + 60 cc + 180 cc = 330 cc
 Total cairan  750 cc

MONITORING
TD awal: 120/80 mmHg, N: 96 x/I, RR: 18x/i
Jam TD Nadi RR
09 : 30 110/70 98 18
09 : 45 100/65 96 18
10 : 00 110/65 102 18
10 : 15 110/70 110 18
10 : 30 115/75 104 18
10 : 45 110/75 116 18
11 : 00 100/70 102 18
11 : 15 112/70 102 18

10
11 : 30 115/75 108 18
11 : 45 115/70 112 18
12 : 00 120/75 102 18

2.3 KEADAAN INTRA ANESTESI


- Letak penderita : Supine
- Airway : Single lumen ETT ukuran 5,0 dengan balon
- Lama anestesi : 2 jam
- Lama operasi : 2 jam
- Total asupan cairan :
- Kristaloid : 500 cc
- Koloid :-
- Darah :-
- Komponen darah : -
- Total keluaran cairan
- Pedarahan : 200 cc
- Diuresis : 100 cc
- Cairan lain :-
- Perubahan teknik anestesi selama operasi : -

2.4 KEADAAN PASCA ANESTESI DI RUANG PEMULIHAN


Masuk jam : 12.15 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/menit
RR : 18x/menit
SpO2 : 99 %

Monitoring:

Jam TD Nadi RR
12.30 120/80 98 18 Skoring
12.45 110/80 96 18
Aldrete :
Aktifitas (0-2) :2
Pernafasan (0-2) :2

11
Warna Kulit (0-2) :2
Sirkulasi (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah : 10

Skoring Steward : Pergerakan (0-2) :2


Pernafasan (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah :6

Jam keluar ruang pemulihan : 13.00 WIB

2.5 INSTRUKSI PASCA ANESTESI


1. Observasi tanda - tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
2. Posisi tidur tanpa bantal sampai sadar penuh
3. Puasa sampai sadar penuh dan BU (+)
4. Terapi lainnya sesuai dokter operator : dr. Prita, Sp.BP-RE

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena.2,3

3.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum


Keuntungan Anestesi Umum2
1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
3. Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
5. Dapat diberikan tanpa menggerakkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat menyesuaikan untuk prosedur operasi dengan durasi tak terduga
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

Kerugian Anestesia Umum2


1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

13
3.3 Stadium-stadium Anestesi
Stadium anestesi dibuat berdasar efek eter. Eter merupakan zat anestetik
volatil yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa penggunaan
eter yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai
anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Emest Guedel pada
tahun 1937, meliputi:2
- Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak
masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antar lain
ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
- Stadium 2 : disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul
eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi pasien
menahan nafas. Tejadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari,
seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan
jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil
dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini adalah
stadium yang beresiko tinggi.
- Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana,
yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks,
pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
- Stadium 4 merupakan stadium overdosis obat anestesi. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal. Potensi bahaya yang begitu besar mendorong
usaha-usaha untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern kini
berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.
Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang

14
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi, rumatan
dan emergensi. 2

3.4 Penilaian Pra Anestesi4


Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang,
narkotik
7. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut,
kesakitan,keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas.
2. Tinggi dan berat badan. Untuk
memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah
urin selama dan sesudah pembedahan.

15
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan
frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa
untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi
palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi.
Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi
pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya
dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : palatum durum saja
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi
jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu,
ronki dan mengi
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi,
massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya
perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain


 Pemeriksaan lab. Darah
 Urine : protein, sedimen, reduksi
 Foto rongten ( thoraks )
 EKG

16
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menentukan status fisik seseorang digunakan klasifikasi The
American Society of Anesthesiologists (ASA) yaitu:2,3
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Masukan Oral

17
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.5
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.5

3.5 Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
diantaranya:2,4
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian
maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi
sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap

18
jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan2,4
3.6 Persiapan Induksi Anestesi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:2,3
S = Scope, Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop.
Pilih bilah atau dan yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukuop
terang.
T = Tube, pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S = Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

3.7 Jenis Jenis Anestesi Umum4,6,7


3.7.1 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan
berupa gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan
diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-
paru (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi
gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.
a. N2O. Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat

19
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat,
karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi
yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia
difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% :
30% atau 50% : 50%.7
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat,
dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia

20
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.

3.7.2 Induksi Intravena


Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.2
a. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).9 Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
b. Propofol: Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi7.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk

21
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik. Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.

22
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula
kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh.
Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM
5 menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi

23
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5
mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb
IV.
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya
lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada
penderita dengan penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan
untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi.
Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.9 Dosis premedikasi
10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg
IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5
mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena
pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe.

3.7.3 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi4,6,7


a. Efek Analgesia

24
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan
nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di
otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem
aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai
pula di pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah
(kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan
lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.

25
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg
BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x
morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya
secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak
paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi
dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

b. Efek Relaksasi Otot

26
Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan
bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.

- Muscle Relaxant Golongan Depolarizing


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps
tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan
karena menghambat kerja pseudokolinesterase.

A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)


Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal
ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen

27
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang.

- Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.


Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat
pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial
cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).
Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil
mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh penurunan
konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan
tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume
distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau
perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang
lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat
diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.

Penawar Pelumpuh Otot

28
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai
0,2-0,3 mg pada dewasa).

3.8 Rumatan Anestesia


Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat.Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.2,4
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia
yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau
N20+O2.2,4
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau

29
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted) atau dikendalikan (controlled).2,4

3.9 Indikasi, Kontraindikasi dan Penyulit Intubasi Trakea7


Intubasi
Indikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Kontraindikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Penyulit intubasi trakea, meliputi:


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

Komplikasi intubasi
Selama intubasi, meliputi:
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi

30
g. Spasme bronkus

Selama Ekstubasi, meliputi:


a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, dan trakea

Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.

3.10 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk.8
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang
hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena
terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan dalam 24 jam

31
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.11 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.2,8
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.2,8

2.1 3 Degloving Injury

32
Degloving injury merupakan cedera avulsi dimana sebagian besar kulit dan
jaringan subkutan terlepas dari jaringan fasia dan otot dibawahnya. Cedera dapat
mengenai setiap bagian tubuh tetapi paling sering mengenai ekstremitas (atas
maupun bawah), tubuh, wajah, dan genitalia.2

Degloving merupakan cedera akibat dari penerapan kekuatan dengan


intensitas tinggi dengan vektor tangensial yang menentukan kompresi,
peregangan, twist dan gesekan jaringan sehingga menyebabkan avulsi kulit dan
jaringan subkutan dari permukaan fasia dan otot, dengan kerusakan pada
pembuluh darah musculocutaneus dan fasciocutaneus perforantes.3,4

Etiologi

Degloving injury ditandai oleh avulsi jaringan kutan dan subkutan dari
struktur yang lebih kaku oleh karena trauma. Degloving seperti itu dapat terjadi
pada deep fascia, otot atau permukaan tulang.5,6 Trauma dengan mekanisme
“tergilas” dapat menghasilkan degloving injury. Tergilas oleh kendaraan berat dan
bergerak lambat dengan ban besar diketahui sebagai penyebab yang paling
mungkin menyebabkan cedera ini, hal ini mungkin karena korban lebih mungkin
bersentuhan dengan ban daripada bagian lain dari kendaraan. Mekanisme penting
dari cedera ini, melibatkan avulsi kulit dan lapisan subkutan yang terpisah dari
lapisan lebih profunda serta kerusakan pembuluh darah musculo-cutaneous
perforantes menyebabkan viabilitas jaringan tersebut menjadi terganggu.5,7
Pada degloving, kulit dan jaringan subkutis terlepas secara paksa dari dasarnya
oleh kekuatan yang keras dan mendadak. Seperti pada bagian tubuh yang terlindas
atau tergilas diantara ban dan permukaan jalan, saat roda berputar diatasnya akan
menyebabkan tarikan kulit sehingga terjadi gaya puntir dari kulit dan
mengakibatkan kulit terputus kontinuitasnya, sebagian kulit melekat seperti flap.7

Klasifikasi
Hidalgo membagi degloving injury menjadi tiga kelompok utama. Berikut
pembagian menurut Hidalgo:8

33
1. Tipe 1 disebut sebagai cedera avulsi rata-rata. Tipe 1 ini merupakan tipe yang
paling umum yang ditandai oleh laserasi dan area avulsi yang terlihat.
2. Tipe 2 disebut sebagai cedera avulsi atipikal. Tipe ini tidak tampak adanya tanda
trauma serius, namun sebenarnya terdapat avulsi di area yang luas.
3. Tipe 3 disebut sebagai cedera avulsi di area tertentu. Jenis cedera meliputi area
plantar dan kulit kepala. Revaskularisasi dan replantasi diperlukan untuk sebagian
besar cedera tipe ini.
Terdapat dua jenis degloving injury, yaitu:
1. Trauma degloving partial
Trauma jenis ini ditandai dengan pengangkatan kulit tidak lengkap dan
beberapa bagian kulit mungkin masih menutupi struktur yang
mendasarinya. Jaringan yang terkena mengalami nekrosis akibat tidak
mendapat aliran darah. Jenis ini disebut partial atau physiological
degloving, karena tiga alasan berikut ini:
- Segmen kulit yang terkena mungkin tidak dapat hidup, karena telah
kehilangan semua suplai darah.
- Masalah ini mungkin tidak dikenali sejak dini, karena penampakan
klinisnya biasanya di permukaan kulit tampak utuh.
- Bahkan apabila kondisi tersebut telah dikenali, umumnya tindakan
rekonstruksi mungkin tertunda karena tingkat kerusakan tidak dapat
dikenali dengan jelas sejak dini.9
2. Trauma degloving complete
Trauma jenis ini ditandai dengan gambaran kulit yang terkena telah hilang
seluruhnya dan memperlihatkan struktur yang mendasari. Jenis ini disebut
sebagai degloving complete atau anatomical degloving. Trauma degloving
jenis ini memiliki gambaran terangkatnya kulit dari jaringan dibawahnya
yang disertai dengan luka yang terbuka.9

Gambaran Klinis

Pada degloving injury terbuka, lapisan kutis dan subkutis terlepas dari jaringan
dibawahnya dan terdapat luka terbuka, dapat juga masih ada bagian dari kulit

34
yang melekat. Pada degloving injury tertutup, gejala klinik yang dapat ditemukan
gambaran permukaan kulit yang normal atau dapat disertai dengan ekimosis.10

Penatalaksanaan

Pengobatan degloving injury mungkin kompleks dan memerlukan penilaian


yang cermat tentang sejauh mana jaringan yang rusak dan suplai darah ke jaringan
yang terkena. Prinsip-prinsip penanganan umum termasuk mempertahankan
sebanyak mungkin jaringan, menutup kulit yang terlepas secepat mungkin,
penutup kulit berkualitas baik, mengembalikan fungsi awal sedini mungkin, dan
melakukan prosedur sekunder sebisa mungkin.11
Untuk pasien dengan degloving injury yang lebih terbatas pada abrasi dan/
atau avulsi, prosedur transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk menutupi
setiap tendon, tulang, dan sendi yang terkena. Dianjurkan juga untuk melakukan
eksisi jaringan minimal. Rekonstruksi flap mengarah ke penyembuhan primer
yang cepat. Teknik transfer jaringan bebas termasuk teknik mikrovaskuler satu
tahap. Jaringan yang ditransfer bisa berupa flap paha anterolateral, 12 flap kulit,
atau flap otot latissimus dorsi,13 yang ditutupi dengan skin graft/cangkok kulit.
Sayangnya, hanya sedikit pusat di dunia yang dapat melakukan jenis jaringan
seperti itu yang dapat ditransfer; prosedur transfer jaringan bebas juga telah
dibatasi oleh kebutuhan keahlian dalam bedah mikrovaskular. Selain itu, setelah
rekonstruksi tangan atau jari degloved, prosedur sekunder tertentu mungkin
diperlukan (seperti revisi bekas luka, penipisan flap, atau pelepasan sindaktili).11
Kulit avulsi telah digunakan sebagai sumber cangkok kulit (split atau full
thickness). Ahli bedah sering perlu mengkombinasi penghilangan kulit avulsi
dengan fenestrasi diikuti dengan dressing tekanan negatif.14 Jika degloving sangat
luas, pilihan lain adalah eksisi serial sebelum rekonstruksi; kerugian teoritis
adalah potensi untuk pengerasan tulang dan infeksi nosokomial.15
Untuk pasien dengan avulsi luas kulit termasuk pedikel distal, dengan atau tanpa
keterlibatan jaringan subkutan superfisial - yang tidak memiliki kerusakan pada
jaringan yang lebih dalam, penanganan terbaik adalah untuk membagi pedikel,

35
defat kulit, dan mengganti avulus kulit sebagai full-thickness skin graft. Jika luka
terlalu terkontaminasi atau terlalu bengkak, jaringan avulsi harus dibersihkan
dengan lavage pulsatil, dibiarkan terbuka, dan ditujukan pada eksplorasi kedua.
Untuk pasien dengan degloving injury non-circumferential, eksisi jaringan selalu
diperlukan. Tapi, baik dengan aplikasi skin graft atau rekonstruksi flap, luka
sembuh sesuai dengan tujuan. Untuk pasien dengan degloving injury single-plane,
flap dieksisi sementara untuk pasien dengan trauma multiplane degloving
sirkumferensial; rekonstruksi bertahap disarankan. Degloving injury yang
berhubungan dengan fraktur terbuka harus dikelola dengan eksisi yang
komprehensif dari jaringan keras dan lunak, diikuti oleh fiksasi skeletal yang
sesuai dan aplikasi penutupan jaringan lunak tervaskularisasi.16
Manajemen cedera anatomi spesifik

 Cedera Ekstremitas Bawah


Pengelolaan cedera degloving ekstremitas bawah dapat menjadi rumit. Dalam
beberapa tahun terakhir, penggunaan perangkat vacuum assisted closure
(VAC) untuk persiapan dasar luka untuk pencangkokan telah menjadi praktik
standar.14,15,17 Kadang-kadang, degloving injury ekstremitas bawah
membutuhkan kriopreservasi split-thickness skin graft (STSG) yang diperoleh
dari flap degloved, pengganti dermal buatan, atau terapi VAC. Beberapa
penulis telah melaporkan menggunakan ring fiksator untuk mengelola
degloving injury ekstremitas bawah; fiksator akhirnya membantu persiapan
dasar luka untuk mencangkok, memudahkan penerapan jaringan cangkokan,
memfasilitasi perawatan graft, dan memungkinkan mobilisasi sendi secara
pasif.10 Namun, teknik yang lebih umum adalah debridemen radikal diikuti
dengan penerapan segera full-thickness skin graft (FTSG).
 Cedera kaki
Manajemen cedera kaki degloving kompleks dan harus melibatkan spesialisasi
yang berbeda. Pada anak-anak dan orang dewasa, cedera seperti itu dapat
berhasil ditangani dengan aplikasi defatted FTSG, diikuti oleh dressing
konvensional. Perawatan itu relatif sederhana, dan dapat memberikan hasil

36
fungsional dan kosmetik yang baik. Selain itu, mengganti kulit degloved
dengan FTSG dan mengamankannya dengan perangkat VAC dapat
menyelamatkan kaki.10

 Cedera ekstremitas atas


Pilihan utama dalam manajemen degloving injury ekstremitas atas termasuk:
1. Menyelamatkan segmen degloved melalui teknik revaskularisasi, seperti
anastomosis arteri langsung atau shunting arteriovenous, dan
2. Rekonstruksi segmen yang tidak dapat diubah dengan teknik mikro atau non-
mikro.20

Tujuan utama termasuk pembatasan kehilangan jaringan lunak sekunder,


pencegahan infeksi, debridemen serial sesuai kebutuhan, fiksasi antar sendi
sementara, rekonstruksi mikrosirkulasi, dermatofasciotomy dalam kasus
sindrom kompartemen, tutup jaringan lunak sementara, pengkondisian
sistematis jaringan lunak, dan rekonstruksi jaringan lunak sekunder.21
 Cedera tangan
Degloving injury pada tangan bisa sangat merusak. Untuk pasien dengan jari
degloved, replantasi harus dicoba karena tidak ada prosedur rekonstruksi lain
yang dapat mengembalikan karakteristik kosmetik dan fungsional kulit jari
asli.21 Berbagai pilihan perawatan replantasi termasuk operasi replantasi dengan
anastomosis vaskular; rekonstruksi dengan lipatan ibu jari dan sebagian dari
satu jari kaki kedua untuk flap kulit dorsal; rekonstruksi dengan jari kaki kedua
dari kedua kaki untuk flap kulit dorsal; atau perbaiki dengan flap perut.22

2.5 Prognosis
Tingkat keparahan komplikasi tergantung pada mekanisme, cedera yang
bersamaan, dan bagian anatomi yang terkena serta apakah degloving injury
terbuka atau tertutup. Jika degloving injury yang parah tidak diidentifikasi
dengan segera dapat berlanjut menjadi infeksi atau bahkan menjadi nekrosis
fascilitis.10

37
38
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien An.T usia 9 tahun dengan rencana operasi debridement + skin graft
pada tanggal 26 Juni 2019 dengan diagnosis operatif Degloving Femur Cruris
Dextra. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 25 Juni 2019. Dari anamnesis
terdapat keluhan nyeri pada tungkai, riwayat sakit asma (-), operasi sebelumnya
(+) Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 Nadi
86x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi, hasil: Hb 11,6 g/dl, leukosit 6,67 /uL, trombosit 337 ribu/u. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang,
tanpa pembatasan aktivitas.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgbBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 60 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi
yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan untuk mengganti puasa yaitu 360 cc.
Operasi dilakukan pada tanggal 26 Juni 2019. Pasien dikirim dari kelas II
ke ruang OK. Pasien masuk keruang OK 8 pada pukul 09.00 WIB dilakukan
pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil; Nadi 86x/menit, dan SpO2 99%.
Dilakukan injeksi Ondansetron 4 mg, Ranitidin 50 mg, Dexametason 10 mg.
Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya pasien ini diberikan fentanyl 50
mcg, propofol 100 mg dan atracurium 20 mg untuk merelaksasikan otot-otot
pernapasan.

39
Dilakukan intubasi endotrakeal supaya pasien tetap dianestesi dan dapat
bernafas dengan adekuat. Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
operasi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi anatra lain thiopental
dan propofol. Pada pasien ini diberi propofol. Propofol merupakan obat induksi
anestesi cepat dan bekerja pada reseptor GABA, yang didistribusikan dan
dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi
2-3 mg/kg. Efek samping propofol yaitu depresi pernapasan, bronkospasme, mual,
muntah, euphoria hingga epistotonus.
Pasen juga diberi fentanyl 5mcg yang merupakan sebagai suatu analgesic
yang lebih poten dari morfin. Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang
telah terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane)
dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 5 menit untuk menekan pengembangan
paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini
dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak
merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas
lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang
menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan.
Pemberian N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah namun poten ntuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan saat operasi selesai.
Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran dihentikan karena pasien

40
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal
secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 500 cc Ringer Laktat.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 200 cc. Pada pukul 11.30 WIB, sebelum
selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan.
Pada pukul 11.45 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir; TD 120/75mmHg, Nadi 102x/menit, dan SpO2 99%.
Pembedahan dilakukan selama 2 jam dengan perdarahan ± 200 cc. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis, dan dinilai menggunakan steward score.

41
DAFTAR PUSTAKA

42

Anda mungkin juga menyukai