Kejang bukan merupakan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit
yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan dari sel neuron otak
oleh karena terganggu fungsinya akibat kelainan anatomi-fisiologi, biokimia atau kedua.1
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama
hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut
merupakan keadaan darurat. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena
diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak
terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi
kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan
identifikasi kemungkinan penyebabnya.1
2.1 Definisi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan);
95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur.
Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan
individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 –
5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan
saluran pernafasan.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan yaitu area tertentu
dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset). Kategori
utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-
konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa.
d. Epilepsi
a. Bakteri
Tabel 1. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2
b. Jamur
Table 2. Patogen jamur yang sering2
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama
status epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana
kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang
mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan
neurologis atau kelainan metabolik yang lama.
Kejang demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak
yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling
lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian
antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan
status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang
tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi
yang menyertai cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap status
epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang lama dan status
epileptikus adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab lain mempunyai mortalitas
yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian biasanya secara langsung dapat dianggap
berasal dari kelainan yang mendasari. Ensefalopati anoksik berat datang dengan kejang
selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan
dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia, intoksikasi
obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor otak terutama pada
frontalis, merupakan penyebab tambahan status epileptikus.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.
Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan
cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit,
ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan
darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap
ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia
(suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang
irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini
diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi
kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium
dan kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal,
penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik,
trauma, tumor.
Patogenesis Meningitis
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah
algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Status epileptikus merupakan salah satu
kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik,
prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang
intensif (ICU). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium),
Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan
peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-
GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan
kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah
sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak
lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin
parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus
menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan
untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal.
LINI II
Tatalaksana Meningitis
a. Meningitis Bakterial
Diawalai dengan terapi empiris, kemudian disesuaikan dnegan hasil biakan dan
uji resistensi.
- Terapi empiric antibiotik :
Usia 1-3 bulan :
1. Ampisilin 200 – 400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim
200-300mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau
2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis
Usia > 3 bulan :
1. Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis atau
2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis atau
3. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotic disesuaikan dengan
hasil kultur dan resistensi.
Deksametason : 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari.
Injeksi deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian
antibiotik.
b. Meningitis Tuberkulosis
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering
offuntuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.
c. Meningitis Viral
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited.Biasanya hanya perlu terapi
suportif dantidak memerlukan terapi spesifik lainnya.Pada keadaan tertentu antiviral
spesifik mungkindiperlukan.Pada pasien dengan defisiensi imun ( seperti
agammaglobulinemia), penggantianimunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi
infeksi kronik enterovirus.
2.7 Prognosis
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau
mental atau meninggal tergantung :
a. umur penderita.
b. Jenis kuman penyebab
c. Berat ringan infeksi
d. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan.
e. Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
f. Adanya dan penanganan penyakit.
2.8 Komplikasi
Komplikasi Meningitis :
a. Komplikasi dini :
- Syok septik, termasuk DIC
- Koma
- Kejang (30-40% pada anak)
- Edema serebri
- Septic arthritis
- Efusi pericardial
- Anemia hemolitik
b. Komplikasi lanjut :
- Gangguan pendengaran samapi tuli
- Disfungsi saraf kranial
- Kejang multiple
- Paralisis fokal
- Efusi subdural
- Hidrocephalus
- Defisit intelektual
- Ataksia
- Buta
- Waterhouse-Friderichsen syndrome
- Gangren periferal