Pendarahan antepartum
Induksi persalinan
Durasi persalinan
Lama kala I lebih dari 20 jam pdaa nulipara atau 14 jam pada multipara memiliki
1-1,6 k ali risiko perdarahan dibanding lama persalinan yang lebih singkat. Kala II
memiliki risiko 2,5 kali lebih besar bila berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan
demikian persalinan dengan kala II lama perlu mengantisipasi lebih awal akan
terjadinya perdarahan post partum. Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan
semakin meningkat bila durasi kala 3 meningkat dengan puncaknya 40 menit.
Risiko relatifnya berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala 3
berlangsung semakin lama. Titik potong perdarahan post partum terjadi pada lama
kala tiga lebih dari 18 menit.
Analgesia
Metode persalinan
Episiotomi
Korioamionitis
Hasil Susenas tahun 2007 menunjukkan angka kematian ibu di Propinsi DIY
dilaporkan sebesar 34 kasus kematian dengan perincian kematian pada ibu hamil
sebanyak 3 kasus, kematian ibu bersalin 16 dan kematian ibu nifas sebanyak 15
kasus. Salah satu penyebab kematian ibu yang mempunyai peringkat tertinggi
adalah perdarahan yaitu dengan persentase 28%.Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum pada ibu bersalin adalah atoni uteri (60%),
retensio plasenta (17%), sisa plasenta (24%), laserasi jalan lahir (5%) dan kelainan
pembekuan darah (0,8%)(Hidayat dan Sujiatini, 2010).Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 18 Februari 2013, total
jumlah perdarahan postpartum di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta tahun 2011-2012 adalah 144 kasus (2,93%) dari 4.915 persalinan
normal. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum pada
ibu bersalin adalah retensi sisa plasenta 48 kasus (33,33%),atonia uteri43 kasus
(29,86%),retensio plasenta31 kasus (21,53%),dan laserasi jalan lahir22 kasus
(15,28%).Faktor-faktor predisposisi yang berperan terhadap terjadinya atonia
uteriantara lain:usiadan paritas. Adapun faktor usia, yaitu usiayang lebih dari 35
tahun dan usiayang kurang dari 20 tahun berisiko terjadinya komplikasipada
kehamilan dan persalinan, yang akan menyebabkan perdarahan karena atonia
uteri. Faktor predisposisi lain yang mendukung adalah paritas, karena uterus yang
telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala
persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan
postpartumyang disebabkan oleh atonia uteri. Hal ini karenakondisi miometrium
dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan
kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi plasenta sehingga
mengakibatkan perdarahan postpartum.
Sumber: Aprilia D(2013). Karakteristik ibu bersalin yang mengalami perdarahan
postpartum primer di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2012.
Infeksi intrapartum
Infeksi merupakan bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus
lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri didalam cairan amnion
menembus amnion dan desisdua serta pembuluh korion sehingga terjadi
bakteremia , sepsis dan pneumonia pada janin akibat aspirasi cairan amnion yang
terinfeksi.
Ruptur uteri
Pada partus lama dapat timbul konstriksi atau cincin lokal uterus, tipe yang paling
sering adalah cincin retraksi patologis Bandl. Cincin ini disertai peregangan dan
penipisan berlebihan segmen bawah uterus, cincin ini sebagai suatu identasi
abdomen dan menandakan ancaman akan rupturnya segmen bawah uterus.
Pembentukan fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul tetapi tidak
maju untuk jangka waktu lama, maka bagian jalan lahir yang terletak diantaranya
akan mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi sehingga
dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan
dengan munculnya fistula.
3b Apa kemungkinan suntikan obat dan infuse yang diberikan oleh bidan dan
bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut?
Oksitosin
Farmakodinamik
Uterus. oksitosin merangsang frekuensi dan kekuatan kontraksi otot polos uterus.
Efek ini tergantung pada konsentrasi estrogen. Pada konsentrasi estrogen yang
rendah, efek oksitosin terhadap uterus juga berkurang. Uterus immature kurang
peka terhadap oksitosin. Pada percobaan in vitro, progesterone dapat
mengantagonis efek perangsangan oksitosin. Namun pengaruh ini sulit
diperlihatkan pada uterus wanita hamil. Progestin digunakan secara luas di klinik
untuk mengurangi aktivitas uterus pada kasus abortus habitualis meskipun
efektivitasnya tidak jelas. Pada kehamilan trimester I dan II aktivitas motorik
uterus sangat rendah, dan aktivitas ini secara spontan akan meningkat dengan
cepat pada trimester III dan mencapai puncaknya pada saat persalinan. Respons
uterus terhadap oksitosin sejalan dengan peningkatan aktivitas motoriknya.
Oksitosin dapat memulai atau meningkatkan ritme kontraksi uterus pada setiap
saat, namun pada kehamilan muda diperlukan dosis yang tinggi. Pemberian infuse
oksitosin, perlu disertai pengamatan yang sungguh-sungguh terhadapfrekuensi,
lama dan kekuatan kontraksi uterus. Caldeyro-Barcia dan Posiero (1959)
mendapatkan bahwa respons uterus terhadap oksitosin meningkat 8 kali pada
kehamilan 39 minggu dibandingkan dengan pada kehamilan 20 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian infuse secara lambat dengan beberapa unit
oksitosin saja, sudah cukup efektif dan aman untuk induksi persalinan aterm.
Meskipun ada perbedaan antar individu, umumnya persalinan berlangsung setelah
infuse oksitosin 25 mili unit. Soloff dkk (1977) telah memperlihatkan bahwa
reseptor oksitosin terletak dalam miometrium. Reseptor ini berlokasi pada
membrane plasma sel otot polos dan secara fisiologis merupakan reseptor yang
spesifik untuk oksitosin. Jumlah reseptor oksitosin berbeda pada setiap usia
kehamilan dan meningkat secara signifikan pada kehamilan lanjut, sejalan dengan
peningkatan sensitivitas miometrium terhadap oksitosin. Diperkirakan jumlah
reseptor oksitosin pada saat awal persalinan 30 kali lebih banyak dari saat awal
kehamilan. Penemuan antagonis oksitosin, atosiban yang efektif dalam menunda
persalinan preterm, juga menunjukkan pentingnya peranan oksitosin dalam
fisiologi persalinan. Oksitosin juga meningkatkan produksi local prostaglandin
yang juga merangsang kontraksi uterus. Oksitosin menyebabkan pengelepasan
prostaglandin pada beberapa spesies, tetapi tidak jelas apakah ini merupakan efek
primernya atau berhubungan dengan kontraksi uterus.
Efek ADH. Berlawanan denagn oksitosin, ADH lebih nyata efeknya pada uterus
tidak hamil. Beberapa peneliti berpendapat bahwa nyeri haid berhubungan dengan
peningiian tonus dan tekanan intrauterine timbul secara konsisten oleh ADH,
bukan oleh oksitosin.
Kelenjar mama. Bagian alveolar kelenjar mama dikelilingi oleh jaringan otot
polos, yaitu mioepitel. Kontraksi mioepitel menyebabkan susu mengalir dari
saluran alveolar ke dalam sinus yang besar sehingga mudah dihisap bayi. Fyngsi
ini dinamakan ejeksi susu. Mioepitel sangat peka terhadap oksitosin. Walaupun
katekolamin dapat menghambat ejeksi susu, kontraksi mioepitel tidak tergantung
pada saraf otonom, tetapi dikontrol oleh oksitosin. Sekresi oksitosin endogen
dipicu oleh rangsangan pada payudara, baik melalui isapan ataupun rangsangan
mekanik lainnya. Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar ejeksi susu, bila
oksitosin endogen tidak mencukupi. Juga berguna untuk emngurangi
pembengkakan payudara pasca persalinan.
Efek lain. Pada hewan coba, oksitosin meninggika ekskresi Na walaupun efek ini
tergantung adanya ADH di sirkulasi. Pada manusia perubahan ekskresi elektrolit
ini tidak berarti. Dosis besar oksitosin dapat menimbulkan efek antidiuretik
berupa intoksikasi air terutama pada pasie yang mendapat cairan infuse dalam
jumlah besar. Oksitosin dapat mensupresi sekresi ACTH.
Farmakokinetik