Anda di halaman 1dari 49

KEKERASAN GURU TERHADAP SISWA DI TINJAU

DARI SEGI HUKUM DAN ETIKA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
MUHAMMAD YAMSI
NPM. 716.4.1.1634

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIRARAJA MADURA
2020
xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat Indonesia di

era globalisasi saat ini, yang bertujuan untuk membantu terciptanya manusia

secara utuh memperoleh penghidupan yang baik.1 Dengan pendidikan,

manusia dapat memperkuat identitas, aktualitas, dan integritas dirinya

sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang berkualitas, kritis, inovatif, humanis

dan bermoral.

Tanggungjawab negara akan penyelenggaraan pendidikan yang

berkualitas bagi setiap warga negaranya secara eksplisit diatur dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea keempat dan batang tubuh

Pasal 31. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4

menyatakan tujuan nasional Negara Indonesia salah satunya adalah

“...Mencerdaskan kehidupan bangsa”2

Pendidikan formal dilaksanakan di sekolah sebagai suatu lembaga yang

melibatkan guru dan peserta didik. Guru sebagai pribadi adalah panutan bagi

peserta didiknya. Guru tidak hanya mentranfer ilmu pengetahuan, namun juga

budi pekerti yang kemudian akan membentuk pribadi peserta didik yang

diharapkan menjadi generasi muda Indonesia yang berkualitas. Namun dalam

pemberian pendidikan kepada peserta didik, guru sering melakukan tindakan-

1
Ismail Rahmat, 2016, Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, Educatio, Jakarta, h. 3.
2
Alinea 4, Undang-Undang Dasar 1945

1
2

tindakan yang bersifat menghukum tidak mendidik baik itu berupa tindakan

fisik yang bisa menimbulkan bahaya terhadap kondisi peserta didik ataupun

kata-kata yang kasar dan tidak pantas diucapkan.Tindakan-tindakan tersebut

dalam hukum pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak bisa

dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang pendidikan.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen, Pasal 20 huruf d yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas

keprofesionalan guru berkewajiban, menjunjung tinggi peraturan perundang-

undangan, hukum, kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika”.

Selanjutnya ditegaskan pula dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f Kode Etik Guru

Indonesia menyatakan “Hubungan guru dengan anak didik: (f) Guru menjalin

hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan

menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang diluar batas kaidah

pendidikan”.

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35Tahun2014 tentang

Perlindungan Anak menyatakan “Anak di dalam lingkungan suatu pendidikan

wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis,

kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga

kependidikan, sesama peserta didik atau pihak lain”. Berdasar aturan tersebut

jelas tindakan kekerasan tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan

peraturan hukum yang berlaku.3

3
Hukum Online, “Langkah hukum jika Anak ditempeleng Guru?”dalam Klinik Hukum
Online, https://media.neliti.com/media/publications/248424-kekerasan-guru-terhadap-siswa-studi-
feno-66fa1d66.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2020
Sekolah merupakan tempat, sarana atau wadah belajar mengajar antara

guru dan murid. Sekolah bukan hanya tempat sarana belajar tapi juga tempat

untuk mendidik mental siswa-siswinya agar setelah lulus mereka mempunyai

ilmu dan mental yang kuat serta dapat dikembangkan lebih bagus lagi dan

juga bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang–orang di sekitarnya.

Di Madura sendiri khusunya di Kabupaten Sumenep memilik banyak

tempat untuk menimba ilmu di Sekolah, salah satu contohnya berada di

Kecamatan Lenteng, di Kecamatan tersebut terdapat beberapa nama-nama

sekolah yang berkualitas mulai dari sekolah Negeri dan sekolah Swasta, yang

tergolong menjadi Sekolah Dasar, Mengah Pertama hingga Menengah Atas,

adapula madrasah dan pondok pesantren. Ada berbagai jenis pilihan yang

dapat dipilih oleh pelajar untuk menempuh pendidikannya, sesuai kualitas

dan kuantitasnya serta minat dan bakat dari pelajar tersebut.

Sekolah yang berada di Kabupaten Sumenep dan sekolah yang berada

di Kecamatan Lenteng, juga memiliki zona yang disesuaikan dengan tempat

dimana mereka tinggal dan daerah-daerah yang mereka diami, tidak jauh

berbeda antara sekolah di Kabupaten Sumenep dengan di Kecamatan

Lenteng, dikarenakan saat ini sekolah di Kecamatan Lenteng tidak dapat

dianggap sebelah mata, bahkan sekolah yang ada di Kecamatan tersebut dapat

bersaing dengan sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Sumenep.

Sekolah di Kecamatan Lenteng mempunyai sistem aturan-aturan

tersendiri yang di atur oleh kepala sekolah dan dilaksanakan oleh semua

siswa-siswi di dalamnya, aturan-aturan tersebut berisi tentang larang-larangan


atau peraturan yang wajib dipatuhi oleh guru dan siswa–siswinya. Aturan

tersebut di dalamnya mengatur tentang bahan-bahan pelajaran, moral,

kedisiplinan, dan sikap saling menghormati dan saling mengayomi antara

guru dan murid.

Akan tetapi apabila aturan-aturan sekolah yang diterapkan di sekolah

tersebut dilanggar oleh siswanya, maka terdapat berbagai macam teguran dan

hukuman yang dilakukan oleh guru agar ketika melanggar peraturan itu tidak

akan diulangi kembali dan tidak menjadi suatu kebiasaan bagi siswa untuk

melanggar yang kedua kalinya. Peraturan seperti itu, juga diterapkan di

sekolah yang ada di kecamatan Lenteng. Peraturan tersebut telah terjadi di

Sekolah Menangah Atas, di sekolah tersebut yang telah menerapkan dengan

berbagai macam aturan yang ada.

Sekolah SMA di Kecamatan Lenteng mayoritas saat siswa–siswi

melanggar aturan seperti telat datang ke sekolah, tidak memakai pakaian yang

rapi serta melanggar aturan yang ada, para guru biasanya menegor untuk

pertama kali, akan tetapi apabila teguran itu terus berlangsung dan masih

tidak dihiraukan oleh siswanya, maka yang dapat guru lakukan adalah dengan

cara menghukum muridnya dengan cara-cara tertentu dan terkadang

menggunakan cara berupa kekerasan secara fisik, hal tersebut tentunya sangat

bertentangan dengan kode etik yang telah di diamanatakan kepadanya. Oleh

hal itu banyak siswa di sekolah mengeluh atas kelakuan yang di lakukan oleh

guru atas tindakan itu.


Hukuman yang dilakukan oleh guru tersebut biasanya berupa kekerasan

fisik seperti: mencubit, memukul, dan melakukan tindakan asocial lainnya,

maka efek yang akan ditimbulkan membuat siswa-siswi yang mengalami hal

tersebut mendapat tekanan terhadap fisik, sikologis serta traumatis yang

mendalam terhadap jiwa dan perasaan yang dialami. Bahkan tindakan berupa

kekerasan yang dilakukan oleh guru tersebut tidak akan mengurangi

perubahan sikap dan efek jera dari siswa-siswi, akan tetapi hanya akan

menimbulkan kerugian-kerugian yang dirasakan oleh kedua belah pihak.

Dampak yang dirasakan tidak hanya dialami oleh siswa tersebut, akan tetapi

dapat pula berdampak kepada kekhawatirannya kedua orang tua murid yang

mempercayakan anak-anaknya untuk di didik oleh para guru di sekolah

tersebut, sehingga membuat para orang tua ikut turut andil di dalamnya.

Para orang tua murid pada salah satu kasus di Kecamatan Lenteng

terkadang mempunyai kebiasan-kebiasaan tersendiri dalam bertindak akibat

dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan yang dilakukan oleh guru

disekolah tempat anaknya belajar, biasanya para orang tua condong tidak

peduli atau sudah menganggap hal itu sudah biasa dan lumrah terjadi di

sekolah manapun, bahkan yang lebih memprihatinkan adalah dengan adanya

suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada anakknya. Malah

kebanyakan orang tua bertambah balik memarahi sang anak dan mempertegas

bahwa ketika dihukum oleh gurunya tetap yang salah ada murid tersebut

karena telah nakal dan tidak mematuhi aturan yang telah di buat di dalam

sekolah, hal ini tentunya berbanding terbalik dengan keadaan nyata yang
dialami oleh murid, bukankah seharusnya prioritas utama yang harus di

jalankan di dalam sekolah mendidik murid dengan baik, bukan dengan cara

yang tidak di anjurkan sesuai dengan kode etika yang telah diemban oleh

sang guru.

Kode etik atau kode etika yang harus dimiliki oleh seorang guru di

salah satu Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Lenteng yaitu haruslah

sesuai dengan sumpah dan janji jabatan yang di dalamnya memuat aturan-

aturan tertulis serta larangan-larangan mana yang diperbolehkan dilakukan

dan mana yang tidak boleh dilakukan atau harus dihindari oleh guru tersebut,

agar tidak melanggar atau lalai dalam melakukan sebuah pekerjaan yang saat

ini tengah dijalaninya.

Seorang guru yang baik seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil

sebuah langkah dalam menyelaraskan mana yang baik untuk para muridnya

dan mana perbuatan yang kurang tepat untuk dilakukan dan diterapkan

kepada muridnya di dalam lingkup sekolah. Meskipun di dalam suatu kode

etik telah tertulis dengan jelas, akan tetapi seorang guru, juga layaknya

seorang manusia biasa yang tidak luput dari kehilafan dan salah, jadi ketika

guru dalam kondisi atau keadaan yang kurang baik biasanya dalam kehidupan

sehari-hari cenderung melampiaskan kekesalan kepada murid yang tidak

dapat diatur tingkah lakunya dengan baik.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalnya, menurut Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2005 tantang Guru dan Dosen, Pasal 20 huruf C dan D,

yang berbunyi “seorang guru memiliki kewajiban untuk bertindak objektif


dan tidak deskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, ras,

dan kondisi tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi

peserta didik dalam pembelajaran dengan menjunjung tinggi peraturan

perundang-undangan, hukum, serta nilai-nilai agama dan etika”.

Seperti halnya orang tua, Guru juga memiliki peran yang sama untuk

dapat mengayomi serta mendidik anak untuk menjadi pribadi yang baik.

Untuk itulah, Guru menggunakan kedisiplinan dalam mendidik anak

muridnya. Yang kerap sekali terjadi adalah Guru tidak dapat membedakan

sikap didik disiplin yang baik dan tidak baik.

Sedangkan anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak

membutuhkan orang lain untuk dapat mengembangkan kemampuannya,

karena anak lahir dengan segala kelemahan, sehingga tanpa orang lain anak

tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Augustinus,

yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan

bahwa anak tidaklah sama dengan dengan orang dewasa anak memiliki

kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita

kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang

diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.4

4
WN. Listia, 2012, “Pengertian Anak Sebagai Makhluk Sosial”, (online),
http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluk-sosial/, diakses pada tanggal 16
Juni 2020.
“Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang

berakibat hukum. Batasan terhadap anak sangat penting dilakukan untuk

melaksanakan kegiatan perlindungan anak”. 5

Banyak ahli menganggap masa anak sekolah sebagai masa tenang atau

masa latent, dimana apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa

sebelumnya akan berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya. Tahap usia

ini disebut juga sebagai usia kelompok, di mana anak mulai mengalihkan

perhatian dan hubungan intim dalam keluarga ke kerjasama antar teman dan

sikap-sikap terhadap kerja atau belajar. Pada masa sekolah, anak-anak akan

membandingkan dirinya dengan teman-temannya di mana mereka mudah

sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman. Dengan

memasuki dunia sekolah dan masyarakat, mereka dihadapi pada tuntutan

sosial yang baru.

Penyelesaian hukuman yang diberikan berupa kekerasan terhadap

murid yang dilakukan oleh oknum guru membuat hilangnya suatu

kesenjangan sosial yang diakibatkan dengan adanya tindakan tersebut, hal ini

tidak hanya terjadi di sekolah yang ada di Kabupaten Sumenep, akan tetapi

juga sama terjadi di sekolah yang ada di Kecamatan Lenteng. Kemiripan

tersebut sudah sepantasnya menjadi keresahan tersendiri dan menjadi suatu

kebijakan dari Pemerintah Daerah kabupaten Sumenep dalam menangani

suatu permasalahan yang terjadi di lingkup sekolah.

5
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h.3.
Hal berupa kekarasan yang terjadi di sekolah bukanlah suatu

permasalahan yang bisa dientengkan oleh pihak sekolah, para wali murid dan

juga peran dari pemerintah. Untuk menuntaskan adanya kekerasan fisik

kepada murid sudah seharusnya di selesaikan serta diberikan solusi berupa

jalan keluar yang tidak akan menyakiti, meghakimi, dan mengadili salah satu

pihak saja.

Akan tetapi yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan

permasalahan berupa kekarasan fisik dengan cara ikut serta berperan aktif

untuk menghindari dan mencegah adanya kekerasan yang tentunya bersifat

negatif serta merugikan kepada pihak manapun, dengan memberikan arahan

baik kepada guru dan arahan yang bijak kepada murid tentunya akan dengan

mudah menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Dikarenakan salah dan

benarnya didikan seorang guru merupakan suatu kebaikan dan ilmu bagi

muridnya dan cara yang terbaik dalam mendidik murid adalah tanpa adanya

kekerasan.

Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan diatas maka penulis

tertarik untuk membahas dalam bentuk penelitian hukum yang berjudul

tentang Kekerasan Guru Terhadap Siswa di Tinjau Dari Segi Hukum dan

Etika.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor apa yang membuat guru melakukan kekerasan terhadap siswa?


2. Bagaimana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru di tinjau dari

hukum dan etika?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa yang membuat guru

melakukan kekerasan terhadap siswa.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan kekerasan yang dilakukan

oleh guru di tinjau dari hukum dan etika.

1.4 Manfaat Penelitian

Selain tujuan daripada penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui

bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Secara teoritis, tinjauan pustaka terhadap masalah-masalah yang

telah dirumuskan mengenai Kekerasan Guru Terhadap Siswa di Tinjau

Dari Segi Hukum dan Etika.

b. Secara Praktis

Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan

masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi guru, pemangku

kebijakan, masyarakat, para remaja, mahasiswa, pelajar serta penegak

hukum, ataupun pada halayak ramai sehingga akan lebih mengetahui

hal-hal apa saja yang mengakibatkan perbuatan melawan hukum,

sehingga tidak dengan mudah melakukan suatu hal dan akan lebih
berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan. Maka dengan begitu

akan tercipta perilaku yang baik dan adil sehingga tercipta keamanan

dan kenyamanan bagi masyarakat.

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yuridis

normatif (Legal Reserch) yaitu penelitian hukum normatif bisa juga

disebut sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada metode ini, seringkali

hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan ( Law in Book ) atau hukum yang dikonsepsikan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas. Penelitian hukum

normatif merupakan penelitian yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan, dan mempunyai beberapa konsekuensi, dan sumber data

yang digunakan berasal dari bahan sekunder.6

1.5.2 Pendekatan Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan perundang-

undangan (Statute Approach), Pendekatan ini dilakukan dengan

menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut

dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan

perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan cara mempelajari

6
“Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, h. 13-14.
konsistensi/ kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.

1.6.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sarana untuk menganalisis atau

memecahkan masalah yang ada dalam suatu metode. Bahan hukum

yang diperoleh diharapkan dapat menunjang penulisan skripsi. Bahan

hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ada dua macam,

yaitu :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama

artinya mempunyai otoritas yang diutamakan.7 Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen

e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak

f. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan

7
Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grop,
Jakarta. h. 42.
Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan

Pendidikan.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang diambil sebagai

penunjang atau bahan pembanding guna memahami bahan primer,

seperti: Buku, jurnal, kamus, media online, internet, dokumen, media

cetak, hasil-hasil penelitian, dan bahan-bahan yang juga diperoleh

penulis pada berbagai literatur sebagaimana yang berhubungan

dengan penelitian ini.

1.6.4 Teknik Penelusuran Bahan Hukum

Teknik penelusuran bahan hukum yang dilakukan adalah dengan

cara menggali kerangka normatif menggunakan bahan hukum yang

membahas tentang teori-teori hukum. Baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik

permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasi menurut sumber

dan dikaji secara kompeherensif. Bahan yang diperoleh dalam studi

kepustakaan atas bahan hukum akan diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih

sistematis guna mencapai target yang diinginkan berupa jawaban atas

Kekerasan Guru Terhadap Siswa di Tinjau Dari Segi Hukum dan Etika.

Sesuai dengan jenis penulisan skripsi ini, maka teknik yang

digunakan untuk pengumpulan sebagai bahan hukum adalah sebagai

berikut :
a. Pengolahan bahan hukum dengan cara editing, yaitu memeriksa

kembali bahan hukum dari segi kelengkapan, kejelasan makna,

ataupun dari segi penyelarasan dean penyesuaian.

b. Pengorganisasian bahan hukum, yaitu dengan mengatur dan

menyusun bahan hukum yang diperoleh kedalam kerangka

paparan yang telah direncanakan sebelumnya.

c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil

pengorganisasian dengan cara menggunakan teori-teori dan

kaidah-kaidah untuk memperoleh kesimpulan.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu

menyusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang

akan dibahas dengan tidak menggunakan rumus maupun data

kuantitatif. Metode kualitatif merupakan bahan yang berbentuk kata-

kata, bukan berbentuk angka. Teknis analisis bahan hukum yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif, yatiu penulis memberikan suatu

rumusan konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah

yang dihadapi. Serta menjelaskan, menguraikan, menggambarkan

sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini,

kemudian menarik satu kesimpulan berdasarkan analisis yang telah

dilakukan.
1.6 Sistematika Penulisan

Adapun susunan dari sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : Pendahuluan, bab ini menguraikan tentang latar belakang yang

berisi tentang rumusan masalah, orisinilitas penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kemudian metode penelitian serta

sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka, dalam Bab ini diuraikan mengenai Kekerasan,

Kekerasan Pada Peserta Didik, Guru dan Etika.

BAB III : Bab ini memuat mengenai pembahasan yang menjelaskan

tentang Faktor apa yang membuat guru melakukan kekerasan

terhadap siswa.

BAB IV : Dalam bab ini berisi pembahasan yang menjelaskan tentang

tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru di tinjau dari

hukum dan etika.

BAB V : Penutup, dalam bab ini berisi uraian tentang kesimpulan dan

saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang

berkaitan atau berkepentingan dengan hasil penelitian.


17
BAB III

FAKTOR APA YANG MEMBUAT GURU MELAKUKAN KEKERASAN

TERHADAP SISWA

Suatu tindak kekerasan terhadap siswa tidak pernah diinginkan oleh

siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang seharusnya menyelesaikan masalah

secara edukatif. Kekerasan dalam dunia pendidikan adalah tindakan kekerasan

yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan siswa

dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya kekerasan fisik

tersebut tidak diperlukan. Saat ini banyak kasus yang terjadi dimana seorang guru

yang seharusnya menjadi teladan dan pemberi bekal ilmu bagi masa depan siswa-

siswa didiknya, justru menjadi sosok yang paling ditakuti karena adanya berbagai

kasus di sekolah, seperti kekerasan (abuse).

Maraknya kasus kekerasan terhadap siswa sejak beberapa tahun ini

menunjukkan bahwa siswa perlu dilindungi. Begitu banyak siswa yang menjadi

korban kekerasan keluarga, sekolah, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.

Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Siswa menyatakan bahwa: “Setiap siswa

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun pelaksanaannya masih

menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat.seperti yang diketahui bahwa

Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam Pasal tersebut.” Adanya

beberapa bentuk kekerasan dalam lembaga pendidikan yang masih merajalela

merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari

35
36

nilai-nilai kemanusiaan. Sampai sekarang hal-hal semacam ini akan menyebabkan

kondisi yang buruk bagi perkembangan hidup seorang siswa yang meliputi

perkembangan jasmani, rohani serta sosial siswa.

Adapun kekerasan yang banyak terjadi di lingkungan sekolah disebabkan

karena beberapa faktor diantaranya yaitu:

1. Pengawasan perilaku siswa yang kurang dari orangtua

Orang tua perlu mengawasi pendidikan siswa-siswanya, sebab tanpa

adanya pengawasan yang komitmen dari orang tua besar kemungkinan

pendidikan siswa tidak akan berjalan lancar. Pengawasan orang tua tersebut

berarti mengontrol atau mengawasi semua kegiatan atau aktivitas yang

dilakukan oleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengawasan orang tua terhadap siswanya biasanya lebih diutamakan dalam

masalah belajar. Dengan cara ini orang tua akan mengetahui kesulitan apa

yang dialami siswa, kemunduran atau kemajuan belajar siswa, apa saja yang

dibutuhkan siswa sehubungan dengan aktifitas belajarnya, dan lain-lain.

Dengan demikian orang tua dapat membenahi segala sesuatunya

hingga akhirnya siswa dapat meraih hasil belajar yang maksimal.

Pengawasan orang tua bukanlah berarti pengekangan terhadap kebebasan

siswa untuk berkreasi tetapi lebih ditekankan pada pengawasan kewajiban

siswa yang bebas dan bertanggung jawab. Ketika siswa sudah mulai

menunjukan tanda-tanda penyimpangan, maka orang tua yang bertindak

sebagai pengawas harus segera mengingatkan siswa akan tanggung jawab

yang dipikulnya terutama pada akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai


efek dari kelalaiannya. Kelalaiannya di sini contohnya adalah ketika siswa

malas belajar mereka lebih senang bermain game maka tugas orang tua

untuk mengingatkan siswa akan kewajiban belajarnya dan memberi

pengertian kepada siswa akan akibat jika tidak belajar, karena ketika main

game siswa merasa keasyikan, siswa menemukan hal baru, tantangan baru

bahkan game tersebut dirasakan menarik baginya sehingga siswa lebih

memilih bermain game ketimbang belajar.

2. Adanya Pelanggaran disertai Hukuman Fisik

Aturan beserta sanksi yang dibentuk dalam lembaga pendidikan sering

kali tidak disertai dengan adanya sosialisasi, maka hal tersebut akan memicu

munculnya tindak kekerasan oleh guru terhadap siswa. Hal ini bisa

ditunjukkan dengan tindakan yang terkait secara fisik. Kekerasan dalam

hukuman fisik adalah aplikasi rasa sakit fisik yang disengaja sebagai metode

pengubah perilaku, dengan memukul/menampar, mencubit, mengguncang,

menyorong, memakai benda atau aliran listrik, mengurung di ruang sempit,

gerakan fisik yang berlebihan, drill, melarang membuang air kencing, dan

lain-lain, dengan dalih penertiban terhadap sikap siswa.

3. Lingkungan Sekolah

Lembaga pendidikan adalah lingkungan yang dinilai masyarakat

sebagai tempat penanaman dasar-dasar nilai kemanusiaan serta lingkungan

yang dianggap sebagai pembentuk moral yang baik bagi siswa. Namun pada

kenyataannya saat ini banyak sekali ditemukan kasus di media massa yang

mempublikasikan kekerasan dalam lembaga pendidikan. Tidak dapat


dipungkuri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena

adanya faktor lingkungan, yaitu :

a. Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena


dirinya berada dalam suatu kelompok yang sering terjadi tindakan
kekerasan, sehingga memandang kekerasan adalah merupakan hal yang
biasa.
b. Adanya tradisi : Contoh, kekerasan yang terjadi antara senior dengan
junior, dimana senior tersebut meniru tindakan-tindakan yang dilakukan
seniornya terdahulu yang melakukan hal yang serupa terhadap dirinya.
Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan.8

Kekerasan akan muncul ke permukaan jika ada pemicu, dan akan mereda

jika ditemukan solusi atasnya. Kekerasan dalam pendidikan juga dipengaruhi oleh

lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini

kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan Kekerasan bisa merupakan

refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran

cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan

pintas. Tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya bukan hanya

sebatas membawa dampak buruk bagi siswa sebagai korbannya, namun hal ini

juga memunculkan respon dan dampak berbagai pihak, yaitu antara lain dari pihak

internal sekolah dan juga pihak keluarga siswa.

Dampak yang nyata ditimbulkan dari tindak kekerasan yang dilakukan guru

bagi keluarga siswa adalah berkurangnya kepercayaan terhadap keselamatan

siswa-siswa mereka di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah yang seharusnya

merupakan tempat bagi perempuan penanaman dasar-dasar moral dan perilaku

yang baik, namun sebaliknya malah menjadi tempat yang tidak aman bagi siswa-

8
Roestiyah NK, Op.Cit., h. 94
siswa mereka, karena tindak kekerasan terjadi di dalamnya dan dilakukan oleh

guru yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi siswanya.

Selain faktor yang telah dipaparkan diatas, kekerasan yang terjadi di sekolah

dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Faktor Internal

a. Diri Anak

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan dari sikap

anak itu sendiri. Sikap anak tidak bisa lepas dari dimensi psikologis dan

kepribadian. Contoh, anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah

yang memancing amarah, ataupun agresifitas. Sebaliknya, bisa juga

perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan

menindas pihak lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat. Anak

yang tempramen, aktif, dan impulsif lebih mungkin untuk melakukan

kekerasan dibandingkan dengan anak yang pasif dan pemalu. Kemudian,

anak yang mengalami kecacatan fisik, mengalami gangguan perilaku

ataupun gangguan mental emosional merupakan kelompok yang rentan

terhadap tindak kekerasan.

b. Keluarga/ orang tua

Orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap

terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang

memiliki pola asuh membesarkan anaknya dengan kekerasan atau

penganiayaan, keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat

tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan


keluarga yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan

melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres yang

dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki

kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak,

riwayat orang tua dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan

melakukan kekerasan pada anaknya.

2. Faktor Eksternal

a. Lingkungan

Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari anak

alami, juga membawa dampak terhadap munculnya kekerasan. Misalnya,

lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang

berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula lingkungan sekolah

yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas

yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak

adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang

melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Berteman

dengan teman yang terlibat atau bergabung dengan anak-anak yang nakal

dapat mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan.

b. Media Massa

Anak yang terlalu sering menonton tayangan televisi yang banyak

berbau kekerasan dapat mengakibatkan dirinya terdorong untuk

mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam

tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan


dengankesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam

pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai

jalan kekerasan.

c. Sistem Pengajaran

Sekolah bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik

siswanya menjadi sesuatu. Akan tetapi, sekolah terlebih dahulu harus

dinilai dari kualitas pengajarannya. Guru memainkan peranan paling

penting dalam hal ini. Sayangnya, guru lebih berperan sebagai

penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang

sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk

berbeda) dalam “mendidik” siswanya. Masih terdapat anggapan yang

keliru pada guru bahwa kekerasan baik fisik, verbal maupun psikis dapat

merubah perilaku siswa. Selain itu, muatan kurikulum yang menekankan

pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan

afektif tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi penuh dengan

tekanan, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana

belajar mengajar yang menarik.

Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, terlebih

didalam lembaga pendidikan yang seharusnya menyelesaikan masalah

secara baik dan musyawarah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa

didalam lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.

Seperti halnya contoh kasus yang ada dibawah ini:

Seorang guru agama di SMAN 1 Kalianget, Sumenep, Madura,


Jawa Timur,Sunarji diduga melakukan penganiayaan kepada siswanya
pada, Bambang Febri Hartono, kelas X-3, dan kini kasusnya dilaporkan
kepada penyidik Polres setempat. Menurut Bambang Febri Hartono,
penganiayaan itu bermula saat pelajaran agama berlangsung, karena
dirinya tidak mempunyai lembar kerja siswa (LKS) untuk pelajaran
agama.
Aksi penganiayaan itu terjadi pada Rabu dan kembali terulang,
pada hari Sabtu lalu. Bahkan, kata dia, dendam guru agama itu masih
dilampiaskan pada hari Senin dengan cara mengambil sepatunya dan
sempat mendorong korban sebelum pelajaran dimulai. Karena sikap
oknum guru agama itu dinilai tidak wajar, maka paman korban, Hasan
Jauhari melaporkan kasus tersebut kepada penyidik Polres setempat.
Kasat Reskrim Polres Sumenep, AKP Mualimin membenarkan adanya
laporan dugaan penganiayaan yang dilakukan guru kepada siswanya.
Sementara itu, Guru agama SMAN 1 Kalianget, Sumenep, Sunarji,
membantah melakukan kekerasan kepada siswanya. Ia mengaku akan
berusaha memberi pemahaman kepada siswa yang telah melaporkan
dirinya kepada polisi dan akan memanggil keluarganya, agar memahami
apa yang terjadi di sekolah.Kasus tersebut terjadi pada selasa 11 Maret
2008.9

Contoh kasus diatas menunjukan bahwa dilingkungan sekolah masih

seringkali terjadi penganiayaan oleh oknum guru terhadap anak didiknya. Hal ini

perlu perhatian serius dari pihak penegak hukum serta pihak pemerintah untuk

menanggulangi hal semacam ini. Tujuannya ialah memberikan perlindungan

hukum dan rasa nyaman kepada seorang murid saat menempuh pendidikan di

sekolah. Karena selama ini masih banyak terjadi tindak kekerasan dilingkungan

sekolah maka perlu metode baru bagi tenagapendidik untuk meminimalisir hal-hal

yang besifat pidana.

Kekerasan yang dilakukan guru dalam bentuk pemukulan terhadap siswa

dengan dalih penertiban siswa atas aturan yang berlaku di sekolah. Setiap sekolah

pasti memiliki tata tertib yang berlaku bagi seluruh siswa. Namun dalam

pelaksanaannya, terkadang masih belum efektif dalam membentuk kedisiplinan


9
Merdeka.com, (2008),Guru di Sumenep kalianget Aniaya Muridnya, diakses
dari:https://www.merdeka.com/peristiwa/guru-agama-sman-1-kalianget-aniaya-siswanya-
k9bayi0.html, pada tanggal, 26 Juni 2020
siswa. Sikap siswa yang kurang disiplin inilah yang menjadi alasan untuk

menertibkan siswa, sekalipun cara yang dipergunakan guru tersebut berlebihan

dan dapat digolongkan dalam tindak kekerasan terhadap siswanya.

Berdasarkan faktor-faktor diatas dapat dilihat bahwa siswa dalam posisinya

sebagai siswa di sekolah, juga perlu mendapatkan perlindungan dari pemerintah

mengingat kondisi mental siswa yang masih labil. Seringnya siswa sebagai siswa

menjadi korban kekerasan di dalam sekolah, baik itu dilakukan oleh teman

ataupun oknum guru tentu saja dapat menganggu perkembangan mental siswa.

Adanya rasa tertekan yang dialami oleh siswa akan membawa dampak negatif

bagi siswa itu sendiri, khususnya dalam pergaulannya di sekolah ataupun segala

jenis interaksi yang dilakukan siswa/siswa selama berada di lingkungan sekolah.

Menurut analisis penulis dari kasus kekerasan yang terjadi maka akan

berdampak pada rasa malu siswa terhadap tindakan guru yang memberikan

hukuman berlebihan, mengejek, dan mencaci-maki siswanya akan membawa

dampak lanjutan berupa hilangnya motivasi siswa untuk masuk sekolah. Hal ini

tidak hanya berdampak pada hilangnya motivasi siswa dalam belajar di sekolah,

namun juga mempengaruhi cara berperilaku siswa, yang berhubungan dengan

peran guru yang seharusnya menjadi contoh baik bagi siswa, namun tindakan guru

yang melakukan kekerasan fisik dan psikis akan menjadi contoh buruk bagi siswa

usia sekolah yang seperti masih membutuhkan bimbingan dalam bersikap dan

berperilaku.

Seharusnya sekolah yang idealnya menjadi tempat ramah bagi siswa didik,

dalam arti dapat memberi jaminan untuk melangsungkan proses pembelajaran.


Suatu tindak kekerasan seharusnya tidak terjadi di lembaga pendidikan.

Mengingat bahwa lembaga pendidikan seharusnya dapat menyelesaikan masalah

secara edukatif tanpa harus menggunakan tindak kekerasan. Karena fungsi utama

lembaga pendidikan adalah sebagai tempat untuk mendidik dan memberikan

ajaran yang baik oleh guru terhadap siswanya.

Maka seharusnya segala bentuk permasalahan yang menyangkut struktur

dan sistem lembaga pendidikan dapat diselesaikan dengan cara-cara yang

mendidik, bukan dengan tindak kekerasan. Agar pendidikan berjalan tanpa

kekerasan, maka perlu dipertimbangkan dalam sebuah lembaga pendidikan adalah

nilai yang efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis, dan

internalisasi nilai-nilai Islam, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan

proses pendidikan. Untuk itu, pemahaman yang cukup tentang pendidikan yang

humanis perlu diketahui semua pihak yang terlibat dalam pendidikan.

Padahal sudah sangat jelas bahwa dalam pasal 69 Undang-Undang 35

Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak, yang berbunyi : “Perlindungan khusus

bagi siswa korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi

kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : penyebarluasan dan

sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi siswa

korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh

melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1).”
Untuk melakukan perlindungan yang lebih menyuruh melakukan kepada

siswa sekolah yang dalam hal ini adalah siswa, telah diatur pula mengenai Komisi

Perlindungan Siswa Indonesia (KPAI) dalam Bab XI Undang-Undang ini. Sejalan

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, misi dari Komisi Perlindungan

Anak Indonesia sendiri adalah melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan siswa, melakukan

pengumpulan data dan informasi tentang siswa, menerima pengaduan masyarakat,

melakukan penelahanm pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan

perlindungan siswa, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan siswa,

memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam

rangka perlindungan siswa.

Pelayanan yang diberikan KPAI sesuai dengan Pasal 76 Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang PErlindungan Anak dicantumkan

bahwa : “Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas: melakukan sosialisasi

seluruh ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan

siswa, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat,

melakukan penelahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan siswa; memberikan laporan, saran, masukan, dan

pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan siswa.”

Ketentuan perlindungan hukum terhadap siswa korban kekerasan juga

dijelaskan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dicantumkan bahwa :


1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap siswa, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling

banyak Rp 72.000.000.00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/tahun

denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut

orang tuanya.

Kemudian lebih lanjut berdasarkan pasal 5 Bab II Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, dijelaskan mengenai

perlindungan hak asasi dan korban, yaitu saksi dan korban berhak :

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4) Mendapat penerjemah;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

8) Mengetahui dalm hal terpidana dibebaskan;

9) Mendapat identitas baru;

10) Mendapatkan tempat kediaman baru;

11) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

12) Mendapat nasihat hukum; dan/atau

13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Perlindungan terhadap siswa adalah segala upaya yang ditujukan untuk

mencegah, merehabilitasi, dan memberdayakan siswa yang mengalami tindak

perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan

hidup dan tumbuh kembang siswa secara hajar, baik fisik, mental, maupun

sosialnya. Perlindungan yang dibutuhkan seorang siswa tidak hanya terbatas pada

perlindungan yang diberikan orang tuanya di lingkungan internal keluarga, namun

seorang siswa juga membutuhkan perlindungan di lingkungan eksternal keluarga

yaitu di lingkungan masyarakat umum maupun di lingkungan sekolahnya. Hal ini

sangat penting mengingat bahwa saat ini banyak terjadi kasus kekerasan terhadap

siswa yang terjadi di dalam lembaga pendidikan.

Setiap sekolah selalu memiliki sistem yang berlaku di dalamnya. Sistem

pendidikan yang berlaku di sekolah yang merupakan lokasi tujuan dalam

penelitian ini tidak hanya mengarah pada penyampaian materi oleh guru kepada
siswa. Namun juga memiliki sistem tata tertib yang berlaku di dalamnya, yang

ditujukan bagi struktur utamanya yaitu guru dan siswa. Tata tertib yang dibuat

setiap sekolah dasar bertujuan untuk membentuk kedisiplinan, tidak hanya bagi

siswa namun juga guru.

Namun tata tertib yang dibuat di sekolah juga harus disesuaikan dengan

kondisi siswa dan guru, agar setiap peraturan yang dibuat dalam sekolah dasar

tidak memberatkan salah satu pihak, sehingga tidak menghambat proses belajar

mengajar di sekolah dan tidak menimbulkan ketimpangan antara sistem yang

berlaku di sekolah dengan kondisi struktur dalam lembaga pendidikan. Jika di

dalam lembaga pendidikan formal terdapat ketimpangan kondisi antara struktur

dan sistem maka hal ini akan dapat memicu adanya tindak kekerasan.

Tidak banyak upaya yang dilakukan pihak sekolah dalam menanggapi

permasalahan terkait kekerasan oleh guru terhadap siswa, karena sekolah

menganggap bahwa permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan

dengan pihak keluarga siswa. Sampai saat ini sekolah masih menganggap bahwa

kasus kekerasan yang melibatkan guru sebagai pelaku serta siswa yang menjadi

korban dianggap hal yang wajar, dan bukan merupakan bentuk kekerasan yang

harus ditangani dengan serius.

Upaya mewujudkan konsep pendidikan ramah siswa juga ditunjukkan

dengan dengan cara diskusi kelas antara guru dengan siswa atas permasalahan

yang dihadapi ketika proses belajar mengajar. Guru juga membuka peluang bagi

siswa untuk berdiskusi dengan siswa di luar jam pelajaran, tujuannya adalah agar

siswa mampu bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya di sekolah.


Diskusi di luar jam pelajaran dimaksudkan agar siswa tidak malu mengungkapkan

permasalahn terhadap guru, karena diskusi di luar jam pelajaran hanya melibatkan

guru dengan siswa secara pribadi dan tidak melibatkan semua siswa di kelas.

Upaya lain yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengatasi kekerasan

dalam lembaga pendidikan adalah dengan cara melakukan sosialisasi terhadap

siswa tentang tata tertib yang berlaku di sekolah, tujuannya untuk memperkecil

kemungkinan siswa melanggar tata tertib dan peraturan baik di dalam maupun di

luar kelas. Hal ini dilakukan pihak sekolah untuk mencegah terjadinya tindak

kekerasan oleh guru terhadap siswa dengan dalih penertiban.

Pentingnya perlindungan terhadap siswa adalah hal yang sangat wajar

mengingat bahwa seorang siswa masih belum dapat melindungi dirinya secara

maksimal seperti apa yang dapat dilakukan orang dewasa pada umumnya. Upaya

dalam menciptakan pendidikan yang harmonis tanpa unsur kekerasan memang

tidak mudah, mengingat bahwa saat ini banyak terjadi ketimpangan antara kondisi

internal yang menyangkut sistem dan kebijakan dalam lembaga pendidikan yang

tidak sesuai dengan kondisi guru sebagai bagian dari struktur dari sebuah lembaga

pendidikan (menyangkut masalah sosial ekonomi). Sejauh ini upaya-upaya yang

dilakukan sekolah dalam menciptakan pendidikan tanpa kekerasan masih sebatas

pada pembinaan serta membentuk wadah komunikasi antar guru.


BAB IV

TINDAKAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH GURU DI

TINJAU DARI HUKUM DAN ETIKA

Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk kebijakan, perbuatan dan

tindakan yang dilakukan oleh orang perseorangan, keluarga korporasi, lembaga

atau Negara yang mengakibatkan penderitaan fisik, mental maupun sosial bagi

anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini tidak memberi ketentuan apakah

yang diartikanpenganiayaan. Menurut yurisprudensi, pengertian penganiayaan

yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka.10Sedangkan

menurut KUH Pidana, disamakan dengan melakukan kekerasan membuat orang

menjadi pingsan atau tidak berdaya (lemah). Melakukan kekerasan artinya,

“mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah

misalnya memukul dengan tangan, atau senjata, menyepak, menendang dan lain-

lain (Pasal 89 KUHP).”11

Kekerasan fisik terhadap anak didik di lingkungan pendidikan (sekolah)

yang dilakukan oleh oknum pendidik (guru) merupakan hal yang melewati batas

kewajaran meskipun alasannya adalah memdidik siswa. Guru yang melakukan

kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikatakan penganiayaan sebagaimana yang

telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan yang

10
Syamsir Alam Nasution, 2012,Guru Versus Perlindungan Anak, artikel dalam
Mingguan Pilar Indonesia, Medan, h. 7
11
R. Soesilo, 2014, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 98

50
51

dilakukan oleh guru terhadap siswa yang merupakan anak dibawah umur dapat

dikenakan sanksi dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tindak kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan segala bentuk

perilaku orang lain baik itu guru, sesama siswa, maupun pihak lain yang berada di

sekolah yang mengakibatkan ketidaknyamanan fisik maupun non fisik dalam

lingkup sekolah. Ketidaknyamanan secara fisik terjadi akibat kekerasan fisik baik

dengan menggunakan senjata maupun dengan tangan kosong, yang sering terjadi

di sekolah misalnya : menendang, memukul dengan penggaris kayu, menampar,

mencubit dan sebagainya. Sedangkan ketidaknyamanan non fisik biasanya

berhubungan dengan tindak kekerasan psikis yang dilakukan terhadap anak di

sekolah yang sering terjadi yakni menghujat, berkata kasar, membentak dan

sebagainya.

Adapun sanksi yang dapat menjerat guru sebgai pelaku kekerasan fisik

terhadap siswa ialah:

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 170 ayat 1

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

Pasal 351

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak

Pasal 80

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh

puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat,

maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan

tersebut Orang Tuanya.

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula

bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau

tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau


tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 20 d yang menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas

keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan

perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan

etika.”

Pasal 6 ayat (1) huruf f yang menyatakan: “Hubungan guru dengan

peserta didik “Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi

rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang

di luar batas kaidah pendidikan”

4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan

di Lingkungan Satuan Pendidikan

Pasal 11

(1) Satuan pendidikan memberikan sanksi kepada peserta didik dalam

rangka pembinaan berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis; dan

c. Tindakan lain yang bersifat edukatif.

(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat

memberikan sanksi kepada pendidik atau tenaga kependidikan yang


diangkat oleh satuan pendidikan atau pihak lain yang bekerja di satuan

pendidikan berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis;

c. Pengurangan hak; dan

d. Pemberhentian sementara/tetap dari jabatan sebagai

pendidik/tenaga kependidikan atau pemutusan/pemberhentian

hubungan kerja.

(3) Dinas kabupaten/kota, provinsi memberikan sanksi kepada pendidik

dan tenaga kependidikan berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis;

c. Penundaan atau pengurangan hak;

d. Pembebasan tugas; dan

e. Pemberhentian sementara/tetap dari jabatan sebagai

pendidik/tenaga kependidikan.

(4) Dinas kabupaten/kota, provinsi memberikan sanksi kepada satuan

pendidikan berupa:

a. Pemberhentian bantuan dari Pemerintah Daerah;

b. Penggabungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan

c. Penutupan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

masyarakat.
(5) Kementerian memberikan sanksi berupa:

a. Rekomendasi penurunan level akreditasi;

b. Pemberhentian terhadap bantuan dari pemerintah;

c. Rekomendasi pemberhentian pendidik atau tenaga kependidikan

kepada Pemerintah Daerah atau satuan pendidikan; dan

d. Rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan

langkah-langkah tegas berupa penggabungan, relokasi, atau

penutupan satuan pendidikan dalam hal terjadinya tindak kekerasan

yang berulang.

Dari peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, telah diatur

dengan jelas bahwa kekerasan guru terhadap murid di sekolah tidak

diperbolehkan. Kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan oleh guru

terhadap murid di sekolah dapat menimbulkan dampak yang buruk. Oleh karena

itu pemberian sanksi terhadap oknum guru yang melakukan kekerasan perlu

dilakukan sebagai bentuk efek jera bagi yang lain. Dengan tujuan agar pendidikan

di Indonesia kedepan semakin baik tanpa adanya kekerasan dilingkungan sekolah.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan

guru di sekolah adalah solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan guru

pada siswa di sekolah diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah

2. Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan

3. Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak


4. Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan,

kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka.

5. Bukan murid saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab guru juga

mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau

bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan diatas, sekolah memiliki peranan

penting dalam meminimalisir kekerasan terhadap peserta didik di lingkungan

sekolah. Setiap sekolah selalu memiliki sistem yang berlaku di dalamnya. Sistem

pendidikan yang berlaku di sekolah yang merupakan lokasi tujuan dalam

penelitian ini tidak hanya mengarah pada penyampaian materi oleh guru kepada

siswa. Namun juga memiliki sistem tata tertib yang berlaku di dalamnya, yang

ditujukan bagi struktur utamanya yaitu guru dan siswa. Tata tertib yang dibuat

setiap sekolah bertujuan untuk membentuk kedisiplinan, tidak hanya bagi siswa

namun juga guru.

Namun tata tertib yang dibuat di sekolah juga harus disesuaikan dengan

kondisi siswa dan guru, agar setiap peraturan yang dibuat dalam sekolah dasar

tidak memberatkan salah satu pihak, sehingga tidak menghambat proses belajar

mengajar di sekolah dan tidak menimbulkan ketimpangan antara sistem yang

berlaku di sekolah dengan kondisi struktur dalam lembaga pendidikan. Jika di

dalam lembaga pendidikan formal terdapat ketimpangan kondisi antara struktur

dan sistem maka hal ini akan dapat memicu adanya tindak kekerasan.

Upaya mewujudkan konsep pendidikan ramah siswa juga ditunjukkan

dengan dengan cara diskusi kelas antara guru dengan siswa atas permasalahan
yang dihadapi ketika proses belajar mengajar. Guru juga membuka peluang bagi

siswa untuk berdiskusi dengan siswa di luar jam pelajaran, tujuannya adalah agar

siswa mampu bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya di sekolah.

Diskusi di luar jam pelajaran dimaksudkan agar siswa tidak malu mengungkapkan

permasalahn terhadap guru, karena diskusi di luar jam pelajaran hanya melibatkan

guru dengan siswa secara pribadi dan tidak melibatkan semua siswa di kelas.

Upaya lain yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengatasi kekerasan

dalam lembaga pendidikan adalah dengan cara melakukan sosialisasi terhadap

siswa tentang tata tertib yang berlaku di sekolah, tujuannya untuk memperkecil

kemungkinan siswa melanggar tata tertib dan peraturan baik di dalam maupun di

luar kelas. Hal ini dilakukan pihak sekolah untuk mencegah terjadinya tindak

kekerasan oleh guru terhadap siswa dengan dalih penertiban. Sosialisasi tersebut

dilakukan pihak sekolah ketika pemberian amanat kepala sekolah pada waktu

upacara bendera hari senin.

Upaya mengatasi kekerasan dalam lembaga pendidikan tidak hanya

dilakukan oleh pihak sekolah di lokasi penelitian namun dari pihak keluarga siswa

juga berusaha agar siswa-siswa mereka tidak menjadi korban atas tindak

kekerasan yang dilakukan oleh gurunya di sekolah. Upaya yang dilakukan pihak

keluarga antara lain berusaha melakukan proses terhadap pihak sekolah. Hal

tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak sekolah

tentang perlakuan kurang baik yang telah diakukan oleh salah seorang oknum

guru terhadap semua peserta didik.


Hal tersebut bertujuan agar guru dapat memahami bagaimana harus bersikap

terhadap siswa, tidak menganggap dirinya sebagai penguasa kelas, dapat

mengajak siswa untuk berdiskusi ketika dalam proses belajar mengajar, serta

memberikan motivasi kepada siswa dalam setiap mata pelajaran. Pentingnya

perlindungan terhadap siswa adalah hal yang sangat wajar mengingat bahwa

seorang siswa masih belum dapat melindungi dirinya secara maksimal seperti apa

yang dapat dilakukan orang dewasa pada umumnya. Upayadalam menciptakan

pendidikan yang harmonis tanpa unsur kekerasan memang tidak mudah,

mengingat bahwa saat ini banyak terjadi ketimpangan antara kondisi internal yang

menyangkut sistem dan kebijakan dalam lembaga pendidikan yang tidak sesuai

dengan kondisi guru sebagai bagian dari struktur dari sebuah lembaga pendidikan

(menyangkut masalah sosial ekonomi).

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid di

sekolah secara yuridis merupakan salah satu bentuk perbuatan pidana. Kasus

kekerasan seperti pemukulan, penghinaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh

oknum guru terhadap murid,secara yuridis bertentangan dengan peraturan

peraturan yang berlaku di Indonesia. Upaya yang dilakukan sekolah untuk

mencegah terjadinya tindak kekerasan guru terhadap murid di sekolah diantaranya

adalah membina serta memberikan pelatihan terhadap para guru tentang cara

mengajar yang baik. Pelatihan yang dimaskud adalah penataran agar guru dapat

melaksanakan proses pengajaran dengan profesional agar maksud darn tujuan dari

pendidikan dapat tercapai dengan baik. Dengan adanya pelatihan terhadap para

guru,diharapkan kasus kekerasan guru terhadap murid di sekolah dapat dicegah


BAB V

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pemaparan peneliti yang telah diuraikan pada pembahasan

sebelumnya, maka peneliti juga menyimpulkan bahwa:

1. Faktor penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh guru

terhadap muridnya di sekolah bermacam-macam yaitu pengawasan

perilaku siswa yang kurang dari orangtua, adanya pelanggaran disertai

hukuman fisik, dan lingkungan. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh

oknum guru terhadap murid di sekolah secara yuridis merupakan salah

satu bentuk perbuatan pidana. Kasus kekerasan seperti pemukulan,

penghinaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru

terhadap murid,secara yuridis bertentangan dengan peraturan peraturan

yang berlaku di Indonesia.

2. Kekerasan fisik terhadap anak didik di lingkungan pendidikan (sekolah)

yang dilakukan oleh oknum pendidik (guru) merupakan hal yang

melewati batas kewajaran meskipun alasannya adalah memdidik siswa.

Guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikatakan

penganiayaan sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan yang dilakukan oleh guru

terhadap siswa yang merupakan anak dibawah umur dapat dikenakan

sanksi dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

60
61

Tindak kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan segala bentuk

perilaku orang lain baik itu guru, sesama siswa, maupun pihak lain yang

berada di sekolah yang mengakibatkan ketidaknyamanan fisik maupun

non fisik dalam lingkup sekolah. Adapun sanksi yang dapat menjerat

guru sebgai pelaku kekerasan fisik terhadap siswa ialah: Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015

Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di

Lingkungan Satuan Pendidikan.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti juga memberikan saran

diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Penegak hukum harus tegas dalam memberikan sanksi kepada oknum

guru yang melakukan kekerasan kepada peserta didiknya dilingkungan

pendidikan. Selain itu pihak sekolah juga harus ikut mengawasi setiap

kegiatan para guru saat jam mengajar serta pihak sekolah memberikan

bimbingan khusus kepada seluruh guru agar tidak melakukan kekerasan

dalam proses belajar mengajar.

2. Pemerintah, penegak hukum, guru, lingkungan pendidikan serta

masyarakat harus saling mencegah agar kekerasan terhadap peserta

didik dilingkungan pendidikan tidak terjadi. Sinergisitas antara


62

beberapa elemen tersebut mampu meminimalisir terjadinya kekerasan

kepada peserta didik dilingkungan sekolah. Selain itu peran orang tua

sangatlah penting untuk selalu mengawasi atau memantau sikap seorang

anak.
DAFTAR BACAAN

BUKU:

Abdul Mujib, et al. Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Ad-Din, Juz I.

Abu Huraerah, 2017, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa, Jakarta.

Gunarsa D, Singgih . dan Yulia Singgih D. Gunarsa. 2018, Psikologi Praktis:


Anak, Remaja dan Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Ismail Rahmat, 2016, Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, Educatio,


Jakarta.

Ismail Sholihin, 2016, Pengantar Bisnis (Pengenalan Praktik dan Studi Kasus)
edisi Pertama, Kencana, Jakarta.

Istighfarotur Rahmaniyah, 2012, Pendidikan Etika Konsep Jiwa dan Etika


Prespektif Ibnu Maskawaih, Aditya Media, Malang.

Joni, Muhammad, 2019, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif


Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kasiram, 2010, Kapita Selekta Pendidikan, Biro Ilmiyah, IAIN Malang.

K Bertens, 2016, Etika, Gramedia, Jakarta.

Lorens Bagus, 2012, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Mahrus Ali, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

M. Jumali, dkk, 2015, Landasan Pandidikan, Balai Pustaka, Jakarta.

Nana Sudjana, 2016, Pedoman Praktis Mengajar, Dermaga Cet k IV, Bandung.
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grop,
Jakarta.

Poedjawiyatna, 2015, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta.


Roestiyah NK, 2011, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Bina Aksara, Cet k IV,
Jakarta.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.

R. Soesilo, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.

Sandono Sukirno, 2014, Pengantar Bisnis, Kencana, Jakarta.

Suparman Syukur, 2014, Etika Religius, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Syamsir Alam Nasution, 2012,Guru Versus Perlindungan Anak, artikel dalam


Mingguan Pilar Indonesia, Medan.

W.J.S Poerwadarminta, 1990, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N Balai


Pustaka, Jakarta.

Zakiyah Darajat, 2012, Kepribadian Guru, Bulan Bintang Edisi VI, Jakarta.

PERATURAN PEUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82


Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
di Lingkungan Satuan Pendidikan.
INTERNET:

JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 1, No. 2, Februari 2011

Hukum Online, “Langkah hukum jika Anak ditempeleng Guru?”dalam Klinik


Hukum Online, https://media.neliti.com/media/publications/248424-
kekerasan-guru-terhadap-siswa-studi-feno-66fa1d66.pdf, diakses pada
tanggal 10 Juni 2020

WN. Listia, 2012, “Pengertian Anak Sebagai Makhluk Sosial”, (online),


http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluk-
sosial/, diakses pada tanggal 16 Juni 2020.

http://www.masibied.com/search/pengertianartikatapenafsiranmenurutpara
ahli#_ftn2,Di akses pada 15 April 2020, pukul 12:22 WIB

Merdeka.com, (2008),Guru di Sumenep kalianget Aniaya Muridnya, diakses


dari:https://www.merdeka.com/peristiwa/guru-agama-sman-1-
kalianget-aniaya-siswanya-k9bayi0.html, pada tanggal, 26 Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai