Anda di halaman 1dari 12

Model-model dan Teknik Komunikasi Supervisi Klinis

OLEH NUFIFIFI

1. Model Pengembangan
Konsep dasar pada model ini adalah keyakinan bahwa individu tumbuh secara kontinyu ketika
tindakannya telah benar, menjalankan secara baik, dan menjalani pertumbuhan secara berpola.
Menurut Stoltenberg dan Delworth (1987) ada tiga level subyek yang disupervisi :
1. Tingkat Dasar
Seorang supervisor menemukan guru yang relative tergantung pada supervisornya, kemudian dia
melakukan diagnosis untuk kemudian diberikan terapi.
2.  Tingkat Menengah
Sering munculnya tipikal yang resistensi, penghindaran, dan konflik, karena konseo diri yang
disupervisi sangat mudah terganggu.
3.Tingkat Lanjut
Fungsi yang dijalakanoleh subjek yang disupervisi bersifat relatin independen, mereka
berkonsultasi pada saar memelukan dan merasa bertanggungjawab atas keputusan yang benar
atau salah.
 
2. Model terpadu
Model ini menekankan pada tiga area focus pengembangan keterampilan, yaitu proses,
konseptualisasi, dan personalisasi. Sesekali supervisor bisa tampil langsung selayaknya guru
yang memberi mata kuliah, pengajaran atau informasi kepada kliennya. Sesekali dia bertindak
sebagai konselor ketika harus melakukan tindakan konseling atau kepenasehatan khusus atas
jalin hubungan selayaknya sejawat, ko-terapis, atau memerankan diri sebagai konsultan.
 
3. Model orientasi spesifik
Model  ini mengadopsi beberapa model terapi, seperti yang pernah dikembangkan oleh Adlerian
dengan pendekatan solusi terfokus atau pendekatan perilaku. Diyakini bahwa proses supervise
yang terbaik didapatkan dari terapi yang baik pula. Menurut Danim dan Khairil (2010 : 185)
model ini diaplikasikan melalui beberapa tahap :
1. Tahap awal dimana ketika seorang supervisor bertatap muka dengan yang akan
disupervisi. Mereka harus menunjukkan keahlian dan kelemahannya. Artinya, keduanya ini
dapat saling mempengaruhi.
2. Pada tahap ini mungkin diantara mereka akan muncul konflik, sikap bertahan, dan
menghindar, atau bahkan menyerang. Pada tahap ini supervisor menunjukkan perannya
sebagai “pengendali” dalam kerangka supervise.
3. Pada tahap akhir supervisor lebih banyak diam dan mendorong subjek yang disupervisi
untuk tumbuh mandiri dengan caranya sendiri.
Akhmad Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa supervisi klinis dilakukan melalui tiga tahapan
yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan balikan. Hal
yang paling membedakan supervisi klinis adalah penekanannya pada interaksi langsung guru-
supervisor dan pengembangan professional guru.
Tahap pertemuan pendahuluan dimaksudkan sebagai langkah inventarisir masalah yang dihadapi
guru; tahap observasi kelas dimaksudkan sebagai tahap untuk melihat secara real pembelajaran
yang terjadi di dalam kelas; sedangkan tahap pertemuan balikan merupakan tindak lanjut dari
kegiatan yang kedua tadi.
1. Tahap pertemuan pendahuluan (tahap pertama); Pada tahap ini yang terpenting untuk
diperhatikan, terutama oleh supervisor, adalah harus dapat menciptakan suasana yang akrab,
terbuka dan penuh persahabatan. Jadi yang terjalin adalah hubungan kolegial dalam suasana
kerjasama yang harmonis. Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama
membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Menurut Soetjipto
dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:77), secara teknis diperlukan lima langkah dalam
pelaksanaan pertemuan pendahuluan yang meliputi:
1. Menciptakan suasana yang akrab antara supervisor dengan guru.
2. Melakukan kajian ulang rencana pembelajaran (tujuan, bahan, kegiatan, dan
evaluasinya) yang telah dibuat oleh guru.
3. Mengidentifikasi komponen keterampilan (beserta indikatornya) yang akan
diobservasi.
4. Memilih atau mengembangkan instrument observasi yang akan digunakan.
5. Mendiskusikan bersama untuk mendapatkan kesepakatan tentang instrument
observasi yang dipilih atau dikembangkan
2. Tahap observasi kelas (tahap kedua); pada tahap ini guru mengajar atau melakukan
latihan mengenai tingkah laku mengajar yang telah dipilih dan disepakati bersama pada
tahap pertemuan pendahuluan. Ketika guru praktik/berlatih, supervisor mengadakan
observasi dengan menggunakan alat perekam yang juga telah disepakati bersama. Aspek-
aspek yang diamati adalah segala hal yang telah disepakati yang tercantum dalam instrument
yang juga telah disetujui bersama dalam pertemuan pendahuluan.
Fungsi utama observasi kelas adalah untuk menangkap apa yang terjadi selama proses
pengajaran berlangsung secara lengkap agar supervisor dan guru dapat dengan tepat mengingat
kembali proses pengajaran dengan tujuan agar analisis dapat dibuat secara objektif. Ide pokok
dalam observasi ini adalah mencakup apa yang terjadi sehingga dengan catatan yang dibuat
dengan cermat dan lengkap serta kemudian tersimpan dengan baik, dapat bermanfaat untuk
kepentingan analisis dan komentar (Jayadi, 2002:77).
3. Tahap pertemuan balikan (tahap ketiga); Tahap ini merupakan diskusi umpan balik antara
supervisor dan guru berkaitan dengan kegaiatan yang baru saja diselesaikan yaitu, guru baru
saja selesai melakukan latihan suatu keterampilan, dan supervisor baru saja selesai
mengamati guru melakukan latihan. Yang menjadi acuan dalam pertemuan balikan ini
adalah kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan pendahuluan, dan pada akhir diskusi
balikan ini guru diharapkan dapat mengetahui dan menyadari seberapa jauh tujuan yang
telah disetujui bersama dapat tercapai (Jayadi, 2002:78-79).

Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:79-80) mengemukakan langkah-langkah


pembicaraan hasil supervisi klinis sebagai berikut :
1. Memberi penguatan dan menanyakan perasaan guru mengenai apa yang dialaminya
dalam kegiatan mengajar secara umum. Hal ini untuk menciptakan suasana santai agar guru
tidak merasa diadili
2. Mereview tujuan pelajaran
3. Mereviu target keterampilan serta perhatian utama guru dalam mengajar/latihan mengajar
4. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pengajaran berdasarkan target dan perhatian
utamanya
5. Menunjukkan data hasil rekaman dan memberi kesempatan kepada guru menafsirkan
data tersebut.
6. Menganalisis dan menginterpretasikan data hasil rekaman secara bersama-sama
7. Menanyakan kembali perasaan guru setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi
rekaman data tersebut
8. Menyimpulkan hasil dengan melihat atau membandingkan antara apa yang sebenarnya
merupakan keinginan atau target guru dengan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai
9. Menentukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu
dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.

Teknik Komunikasi dalam Supervisi Klinis


Dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya, supervisor pembelajaran
berkomunikasi dengan guru yang disupervisi. Ahli komunikasi umumnya sependapat bahwa
komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari pengirim kepada
penerima pesan, dimana pesan itu disampaikan melalui media atau tanda-tanda dengan
menggunakan bahasa tertentu yang saling dimengerti untuk mencapai suatu tujuan. Komunikasi
adalah segala penyampaian segala perasaan, sikap, kebijakan dan kehendak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan dua definisi diatas, maka dalam proses
komunikasi terlibat pelbagai unsur seperti, penyampaian informasi (sender atau informator),
penerima informasi (receiver), isi informasi (message), media atau tanda-tanda yang digunakan
(medium or symbols), dan bahasa yang saling dimengerti (mutual language system). Unsur lain
dari komunikasi adalah gangguan (noise), dan respon (response). Dalam konteks komunikasi
untuk supervisi klinis, kedudukan supervisor dan yang disupervisi sebagai pengirim dan
penerima pesan itu saling berganti. Karena memang dalam supervisi pembelajaran klinis, dialog
terbuka menjadi sangat penting.
Unsur-unsur tersebut tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Didalam proses komunikasi
antara supervisor dengan guru selalu melibatkan penyampai informasi (supervisor), penerima
informasi dan sebaliknya, pesan yang diinformasikan (pesan-pesan perbaikan, ajakan dan
sebagainya) media atau tanda-tanda yang digunakan, bahasa yang saling dimengerti,
kemungkinan gangguan dan pada saatnya respon adalah keharusan. Jika unsur lain ada, akan
tetapi penerima tidak memberikan respon, maka proses komunikasi antara supervisor dengan
menjadi tidak berarti.
Ada tiga tinjauan untuk memahami konsep dasar komunikasi antara supervisor dengan
guru yang disupervisi. Ketiga tinjauan tersebut dirumuskan berikut ini.
Pertama, bahwa komunikasi itu dipandang sebagai proses penyampaian informasi.
Keberhasilan proses komunikasi antara supervisor dengan guru terletak pada penguasaan materi
atau fakta dan pengaturan cara-cara penyampaiannya. Guru sebagai penerima pesan dan
supervisor sebagai pengirim atau sebaliknya tidak merupakan komponen yang menentukan
keberhasilan komunikasi.
Kedua, komunikasi itu suatu proses penyampaian gagasan-gagasan dari supervisor
kepada guru. Didalam konsep ini terkandung makna bahwa guru sebagai penerima pesan
dianggap sebagai bagian dari proses komunikasi, namun penekanan terletak kepada supervisor
atau message formulator. Kelemahan komunikasi yang bersifat “speaker-centered phylosophy
of communication”mini terletak pada beberapa hal. Pertama, penerima pesan dipandang sebagai
objek yang pasif dan bukan sebagai kekuatan aktif dalam proses komunikai. Kedua, konsep ini
tidak mengemukakan terjadinya proses pemahaman atau meaning yang tidak dapat dihindari
dalam proses komunikasi. Ketiga, terlalu parochial atau kurang mengungkapkan masalah
manusia yang suatu waktu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Ketiga, komunikasi dipandang sebagai suatu proses menciptakan arti, ide, gagasan atau
konsep. Pesan supervisor dapat diciptakan melalui orang, televisi, radio, memo, papan
pengumuman, suran dan sebagainya. Konsep ini tidak sepenuhnya tepat, mengingat bahwa
komunikasi itu bukan proses penyampaian arti atau gagasan dari seseorang kepada orang lain.
Apa yang disampaikan oleh penyampai pesan itu hanyalah simbol-simbol atau lambang-
lambang. Arti dari suatu pesan tidak dapat dipindah-pindahkan atau disampaikan secara apa
adanya. Pengertian atau pemaknaan atas pesan itu terjadi pada individu yang terlibat dalam
proses komunikasi itu. pengertian atau pemahaamn atas pesan yang disampaikan oleh supervisor
ditentukan oleh kemampuan guru sebagai penerima pesan itu. Dengan demikian, keberartian atas
pesan  atau sejumlah pesan itu ditentukan oleh kemampuan guru sebagai penerima pesan itu
sendiri. Tugas supervisor hanyalah menyampaikan ide atau informasi, beban pemahaman
terhadap apa yang disampaikan ada pada guru yang disupervisi.
Pada tingkat praksis, perbuatan mencela, mengkritik, memberi saran atau usul kepada
atasan yang lebih tinggi sangat jarang, sebagai hambatan psikologis itu. Dengan fenomena itu,
mereka segan mengemukakan ketaksenangan terhadap pekerjaan atau sikap negatifnya terhadap
tugas-tugas. Mereka bekerja dan berkomunikasi sangat hati-hati, sebab takut tergeser, tidak
dipercaya, dan tidak membangun rasa saling memiliki. Hal ini terjadi sebagai akibat beberapa
hal. Pertama, tidak ada keterbukaan antara kedua belah pihak, yaitu antara supervisor dengan
guru binaanya. Kedua, kurang dukungan fakta-fakta. Ketiga, pola manajemen kepengawasan
yang kaku, tidak memungkinkan komunikasi terjadi secara efektif.
Supervisor yang bijak akan membawa guru binaanya pada kondisi yang mereka inginkan,
yaitu menciptakan iklim yang sehat dan produktivitas pembelajaran yang tinggi.
Ketidakmampuan supervisor menimbulkan kepercayaan, kepatuhan, dan kesetiaan melalui
komunikasi yang baik dengan guru akan membawa dampak gagalnya program supervisi.
Komunikasi antar manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan menduduki posisi sentral, lebih
dari hanya sekedar berporos pada upaya mencapai tujuan organisasi. Munculnya permasalahan
itu dapat saja disebabkan oleh perbedaan status secara posisional atau karena tidak ada jaringan
komunikasi yang komunikatif.
Berhasil atau tidaknya komunikasi antara supervisor dan pengawas turut ditentukan oleh
keinginan mendengar antarsesama. Mendengarkan yang dimaksudkan  disini adalah kemampuan
menangkap pesan, bukan kepura-puraan. Pembicara yang tidak mau tau guru atau lawan bicara,
tidak akan menjadi supervisor pembelajaran yang baik. Untuk itu, manusia organisasional harus
memiliki sifat-sifat inovatif yang oleh Rogers dan Shoemaker (1981) digambarkan dengan ciri-
ciri sperti berikut ini.
1. Memiliki empati yang lebih besar. Empati adalah kemampuan seseorang
memproyeksikan diri kedalam peranan orang lain. Hal ini biasanya harus ditunjang oleh
kemampuan berpikir abstrak, berdaya khayal dan mengambil peran orang lain agar dapat
berkomunikasi lebih efektif dengan mereka.
2. Kurang dogmatis. Dogmatis adalah suatu variabel yang menunjukkan sistem
kepercayaan yang relatif tertutup yang pengaruhnya sangat kuat terhadap kepribadian
seseorang.
3. Mempunyai kemampuan abstraksi yang lebih besar, karena ide baru itu biasanya
pertama kali diperkenalkan dalam bentuk rangsangan yang abstrak.
4. Mempunyai rasionalitas yang besar, karena itu merupakan cara yang paling
efektif untuk menciptakan tujuan tertentu.
5. Cenderung lebih tinggi intelegensinya.
6. Memiliki sikap yang lebih berkenan terhadap perubahan.
7. Memiliki sikap yang mau mengambil resiko.
8. Memiliki sikap yang berkenan terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan.
9. Kurang percaya kepada nasib, artinya tidak menyerah begitu saja kepada nasib,
statisme.
10. Memiliki motivasi tinggi meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Kesebelas,
memiliki aspirasi tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan dan sebagainya lebih tinggi.
11.
 Komunikasi Klinis
Ada dua sikap supervisor pembelajaran yang mempengaruhi proses berkomunikasi, yaitu
sikap yang menghambat dan sikap yang membantu. Dua sikap pengirim pesan yang menghambat
dan membantu proses komunikasi menurut Jack R. Gibb (1970) dalam “Journal of
Communication” seperti berikut ini.
 
Evaluasi – Deskripsi
Supervisor yang cenderung memberi penilaian terhadap guru binaannya akan
menghadapi reaksi yang difensif dari penerima pesan itu. Sebaliknya supervisor yang memberi
penjelasan secara deskriptif akan memperoleh respon positif dari guru binaannya. Karena itu,
penyampaian pesan-pesan yang bersifat deskriptif akan lebih efektif dibandingkan dengan yang
bersifat evaluasi.
 
Penguasaan – Permasalahan
Supervisor yang bersikap sebagai penguasa atau pimpinan yang otoriter, akan membuat
guru binaanya menjadi imferior dan defensif. Supervisor yang berbicara bersifat ingin
memecahkan pelbagai masalah akan disambut secara positif dan konstruktif oleh guru yang
disupervisi. Manusia sesuai dengan hakekatnya, biasanya tidak suka terpojok atau tidak mau
berperan selalu sebagai bawahan. Mereka lebih menerima atasan yang senantiasa memecahkan
pelbagai problema yang mereka hadapi.
 
Manipulasi – Spontanitas
Supervisor selaku penyampai pesan yang bernada manipulatif atau bersikap “ ada udang
dibalik batu” akan disambut dengan sikap negatif oleh guru dan tidak mungkin menciptakan
suasana komunikatif antarsesama mereka. Jika komunikasi dilakukan oleh supervisor secara
jujur, spontanitas dan sungguh-sungguh, akan disambut dengan sikap positif oleh guru. Proses
komunikasi antara supervisor dengan guru binaannya akan berlangsung secara komunikatif.

Tidak memperhatikan – Memperhatikan


Sikap dingin seseorang supervisor atau penyampai informasi akan ditanggapi oleh guru
sebagai penerima informasi secara tidak penuh dan dengan demikian komunikasi tidak akan
berjalan secara efektif. Jika supervisor atau penyampai informasi penuh keseriusan, akan
ditanggapi oleh guru sebagai penerima informasi secara penuh perhatian. Dengan demikian
informasi yang disampaikan oleh supervisor kepada guru binaannya akan dapat diterima dengan
baik.
 
Bersikap super – Menyamakan diri
Penyampai pesan atau supervisor yang berlagak angkuh atau supervisor tidak akan dapat
menyampaikan informasi secara baik kepada guru sebagai penerima pesan, karena mereka akan
mempunyai kesan bahwa supervisor itu hanya menampakkan egonya. Supervisor yang
menghargai guru atau memposisikannya sama dengan dirinya, akan mampu menyampaikan
informasi secara efektif.
 
Kaku – Luwes
Supervisor yang hanya berusaha menawarkan keputusan-keputusan sendiri dengan dalih
mau dilihat bersikap demokratis akan membuat guru atau penerima informasi jadi negatif. Jika
supervisor bersikap luwes, akan diterima secara luwes pula oleh guru. Dengan demikian
komunikasi antarsesama mereka akan berjalan lebih lancar.
Ketidakmampuan supervisor pembelajaran akan menyebabakan dia maupun guru tidak
memperoleh kepuasan akibat tidak adanya perasaan saling mempercayai satu sama lain. Faktor-
faktor yang mempengaruhi komunikasi antara supervisor pembelajaran dan guru adalah
1. Faktor psikologis, yaitu persepsi dan penafsiran guru yang dibina terhadap stimulus yang
ada dari supervisor ditentukan oleh tingkatan emosi dan sifat pibadi seseorang supervisornya
2. Faktor biofisikal, yaitu penglihatan, keseimbangan biokimiawi, dan lain-lain yang ada
pada diri guru binaan supervisor
3. Faktor psikofisikal, yaitu status fisik dan mental yang saling berkaitan, seperti
penyalahgunaan obat dan kemampuan dalam mengekspresikan diri dan perubahan tingkat
kewaspadaan seorang guru yang dibina.
4. Faktor sosiokultural, yaitu hal-hal yang bersifat kultural, ras, klas sosial, nilai-nilai yang
dianut serta kepercayaan yang dianut oleh guru binaan supervisor.
Komunikasi yang efektif terutama terletak pada kemampuan supervisor pembelajaran
untuk “membaca” (mendengar, mengerti, dan memahami) guru secara individual, mampu
menilai kondisi guru, dan mampu menyampaikan pesan kepadanya sesuai dengan lokasi, waktu
dan maksud dari interaksi yang sedang berlangsung. Kemampuan melakukan komunikasi secara
efektif bukan semata-mata merupakan ciri khas atau pembawaan seseorang supervisor
pembelajaran, sebagian besar dari kemempuan tersebut merupakan perilaku yang dapat dipelajari
Ketrampilan komunikasi dapat dipelajari dengan lebih efisien bila seseorang telah mengetahui
pengetahuan dasar komunikasi yang berkaitan sebelum melakukan praktik ketrampilan. Saat ini,
seharusnya supervisor pembelajaran telah menyadari bahwa ketrampilan komunikasi pribadi
merupakan unsur dasar dalam memeperbaikai kualitas wawancara klinis dalam supervisi
pembelajaran. Kualitas komunikasi klinis ini diyakini berhubungan secara positif dengan
efektiviitas menumbuhkembangkan kemampuan profesional guru.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa komunikasi yang efektif akan membawa
supervisor pembelajaran pada pembuatan diagnosa yang lebih tepat, investigasi dan terapi yang
tepat dan meningkatkan derajat kepuasan serta pemenuhan kebutuhan dari guru. Dengan
demikian komunikasi yang efektif diharapkan akan dapat mengurangi penyimpangan dalam
komunikasi serta memberi keputusan bagi guru sebagai penerima jasa layanan supervisi
pembelajaran. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal.
 
Komunikasi Verbal
Komunikais verbal adalah penggunaan kata-kata dalam menyampaikan pikiran, perasaan,
dan informasi. Kesalahan utama dalam penyampaian kata-kata adalah digunakannya istilah
pendidikan dan pembelajaran yang hanya diketahui oleh supervisor dan tidak dimengerti sama
sekali oleh guru binaannya. Penggunaan istilah oleh supervisor hanya boleh jika dia yakin bahwa
guru benar-benar memahaminya.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pemahaman guru adalah volume informasi yang
disampaikan oleh supervisornya. Supervisor harus memberi kesempatan pada guru untuk
mengingat pesan-pesan yang telah disampaikan.pada umumnya guru hanya dapat mengingat
beberapa hal utama pada setiap kali pertemuan. Adalah hal yang sangat menguntungkan bila
supervisor dapat menyediakan informasi tertulis mengenai cara menegakkan “diagnose” dan
rekomendasi perbaikan bagi guru yang dibina.
 
Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah isyarat yang  berlangsung secara sadar atau tidak sadar
berupa tingkah laku yang menyatakan pikiran, perasaan, atau petunjuk. Komunikasi nonverbal
dapat berguna dalam:
 Menunjukkan emosi
 Menunjukkan sikap
 Membentuk dan mempertahankan hubungan sosial dan
 Mendukung komunikasi verbal
Komunikasi verbal dan nonverbal dapat membantu supervisor pembelajaran untuk
menunjukkan perhatian dan kepedulain terhadap guru. Dengan menunjukkan perhatian,
melakukan kontak mata, mendengarkan dan bertanya secara baik dan menunjukkan pengertian
dan empati akan membuat guru merasa diperhatikan dan dianggap penting. Sikap nonverbal
yang menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian terhadap guru antara lain adalah nada
bicara, sikap, perhatian, senyuman, mendengarkan dengan seksama, posisi duduk antara
supervisor pembelajran dan guru pada ketinggian yang sama.
 
Keputusan Berbasis Konsultasi
1. Hak guru untuk memperoleh informasi yang penting dari supervisor dan bernilai baik
baginya
2. Hak guru dalam membuat keputusan yang terbaik menurut pertimbangan nalar dan
pengalamannya
3. Keputusan berbasis informasi (informed decision) merupakan pernyataan mendasar dari
hak guru untuk mewujudkan eksistensi diri
4. Lima unsur dasar penting untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis konsultasi:
 Terjadinya pilihan layanan supervisi
 Proses pengambilan keputusan secara sukarela
 Guru memperoleh informasi yang benar
 Terjaminnya interaksi yang baik antara supervisor pembelajaran dengan guru
 Dukungan dalam membuat keputusan supervisis
 
Pendekatan GATHER
Pendekatan GATHER  sudah lama digunakan dalam konsultasi pelayanan keluarga
berencana (KB) untuk membentuk klien memilih metode kontrasepsi yang paling baik dan
sesuai. Pendekatan ini agaknya cocok dalam rangka pelaksanaan supervisi pembelajaran.
GATHER merupakan singkatan dari:
1. Greet (salam) – berikan salam dalam sikap bersahabat pada guru segera ketika berjumpa.
Buatlah guru merasa nyaman dengan menanyakan hal-hal yang sederhana.
2. Ask (tanya) – apa dan bagaimana seorang supervisor klinis dapat membantu guru.
Bertanyalah mengenai masalah guru, gunakan nada suara yang mengisyaratkan keperdulian,
perhatian, dan keakraban terhadap mereka.
3. Tell (tanggapan) – berikan tanggapan dan respon terhadap kebutuhan guru
4. Help (bantu) – bantulah guru dalam membuat keputusannya sendiri
5. Explain (jelaskan) – apa yang benar-benar perlu dijelaskan
6. Return (kembali) – ingatkan guru dengan memberikan pesan-pesan tertentu yang penting.
 
Pendekatan REDI
Pendekatan ini dikenal dengan 4 tahapan REDI yaitu:
Tahap 1: Rapport building (membina hubungan)
 Menyambut kedatangan guru, misalnya ketika dia berinisiatif menemui supervisornya
 Membuat pembicaraan awal yang menyenangkan
 Memeperkenalkan topik bahasan
 Menjanjikan kerahasiaan bersama
Tahap 2: Exploration (eksplorasi)
 Mendapatkan informasi mengenai kebutuhan guru, resiko kehidupan guru sebagai
penyandang profesi ketika berinteraksi dengan anak, kehidupan sosial, dan lingkungan
 Menggali tingkat pemahaman guru dan berikan informasi yang diperlukan
 Bantu guru dalam memahami kondisi kerja atau resiko kerja yang akan muncul
Tahap 3: Decision making (pengambilan keputusan)
 Identifikasi keputusan yang diperlukan guru
 Identifikasi pilihan-pilihan guru dalam mengambil keputusan
 Berikan penjabaran dari keuntungan, kerugian, dan konsekuensi dari setiap pilihan
 Bantu guru untuk mengambil keputusan yang realistik
Tahap 4: Implementing of decision  (pelaksanaan keputusan)
 Buatlah rencana nyata dan spesifik untuk menjalankan keputusan
 Idenifikasi ketrampilan yang diperlukan guru dalam menjalankan keputusannya
 Bantulah guru dalam memperoleh ketrampilan praktis yang diperlukan, jika dirasa perlu
 Buatlah rencana tindak-lanjut.

Profesi Supervisor Klinis untuk Perbaikan Pembelajaran


OLEH NUFIFIFI

Supervisi Klinis
Seorang supervisor pembelajaran yang professional mampu melakukan pendekatan klinis
dalam pelaksanaan tugasnya. Kajian dan diskusi mengenai supervisi klinis di bidang pendidikan
makin intensif akhir – akhir ini. Hal ini membersitkan kuatnya pengakuan atas status supervisor
klinis sebagai profesi atau setidaknya sub keahlian dari supervisor pembelajaran. Khusus
Indonesia, keharusan pengawas memenuhi angka kredit untuk naik jabatan fungsional tertentu
membuktikan pengakuan Negara atas profesi ini, meski sangat mungkin substantinya masih
layak diperdebatkan. Supervisi klinis untuk pembelajaran memang sangat kompleks. Karenanya,
masih perlu dicari mengenai teknik supervise yang paling cocok dalam rangka meningkatkan
kerja guru. Upaya untuk menemukan model atau teknik supervisi pembelajaran terbaik akan 
terus dilakukan, meski sangat mungkin tidak akan benar – benar berhasil menemukannya.
Tingkat kemandirian guru sangat tinggi seringkali menyebabkan mereka tidak merasa
perlu lagi kehadiran supervisor. Sementara pengawas, yang karena tugas pokok dan fungsinya,
merasa memiliki otonomi untuk mensupervisi guru seperti apapun. Pengawas memandang
aktivitas mensupervisi guru adalah haknya dan keputusan bertindak ada pada sisinya sementara
guru tertentu sangat mungkin merasa tidak memerlukan lagi, karena dia sudah memposisikan diri
sebagai tenaga professional sungguhan. Lalu, muncullah apa yang disebut sebagai konflik
otonomi sebagai kewenangan dengan otonomi sebagai persepsi atas kemampuan. Meski sabgat
mungkin sesekali di antara mereka muncul dependensi kondisional, ketika ada masalah khusus
yang memerlukan pemecahan.
Pelaksanaan supervisi klinis untuk menigkatkan kemampuan professional guru dilakukan
melalui tahapan – tahapan :
a. Praobservasi, yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru
mengenai apa permasalahan yang dihadapi oleh guru atau apa yang akan diamati dan
diperbaiki dari pengajaran yang dilakukan.
b. Observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan focus yang telah
disepakati.
c. Analisis permasalahan yang dilakukan secara bersama oleh supervisor dengan guru terhadap
hasil pengamatan.
d. Perumusan langkah – langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.
Perwujudan supervise klinis memang tidak terfokus pada pengembangan professional
guru, melainkan berkaitan juga dengan kesejahteraan, proteksi dan profesi, dan peningkatan hasil
belajar siswa. Karenanya, supervise klinis tidak hanya sekedar berkaitan dengan hubungan antara
supervisor dengan guru yang disupervisi, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari
proses pendidikan secara keseluruhan.

1.   Definisi Supervisi klinis.


Supervise klinis adalah bantuan professional kesejawatan oleh supervisor kepada guru
yang mengalami masalah dalam pembelajaran agar yang bersangkutan dapat mengatasi
masalahnya dengan menempuh langkah yang sistematis, dimulai dari tahap perencanaan,
pengamatan guru mangajar, analisis perilaku, dan tindak lanjut. Supervisi klinis adalah proses
bantuan atau  terapi professional yang berfokus pada upaya perbaikan pembelajaran  melalui
proses siklikal yang sistematis dimulai dari perencanaan, pengamatan dan analisis yang intensif
terhadap penampilan guru dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Istilah klinis (clinical) mengandung maksud bahwa dalam pelaksanaan supervisi
hubungan berlangsung secara tatap muka (face to face) antara guru dengan supervisor dan
difokuskan pada perilaku actual guru di depan kelas. Kata klinis juga mengandung arti berkenaan
dengan penyakit, seorang supervisor dalam melaksanakan layanan supervisi klinis, ibarat
seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya. Didahului dengan datangnya pasien,
kemudian dokter menanyakan keluhan apa saja yang dirasakan untuk mengetahui sebab-sebab
dan jenis penyakit yang diderita, kemudian setelah mendapatkan kepastian dari proses diagnosis
baru dokter memberikan obatnya. Hal yang terpenting dari analogi dengan pengobatan penyakit
adalah bahwa supervisi klinis menghendaki inisiatif datang dari guru, untuk penyembuhan suatu
aspek tertentu yang jelas, dan memang sangat dibutuhkan oleh guru itu sendiri.
2.  Ciri – ciri Supervisi Klinis
Perilaku supervisi memandang masalah klien sebagai masalah belajar. Karenanya, hal itu
memerlukan dua keahlian. Pertama, identifikasi masalah. Kedua, menyeleksi teknik belajar yang
tepat (Leddick & Bernard, 1980). Guru yang disupervisi dapat berpartisipasi sebagai ko-terapis
untuk melakukan penguatan. Supervisi klinis termasuk bagian dari supervise pembelajaran.
Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada
mencari sebab – sebab atau kelemahan yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran
dan kemudian langsung di usahkan perbaikan atas kekurangan dan kelemahan tersebut.

Ciri – ciri pelaksanaan supervise klinis yang baik adalah sebagai berikut:
1. Bimbingan supervisor pengajaran kepada guru bersifat hubungan pembantuan, bukan
hubungan perintah atau intruksi.
2. Kesepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan
yang paling penting merupakan hasil diskusi bersama.
3. Instrumen supervise klinis dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dan
supervisor.
4. Guru melakukan persiapan dengan mengidentifikasi aspek kelemahan  – kelemahan yang
dipandang perlu diperbaiki.
5. Pelaksanaan supervise klinis selayaknya teknik observasi kelas.
6. Umpan balik atau balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif.
7. Guru hendaknya dapat menganalisis penampilannya.
8. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau
mengarahkan guru.
9. Supervisor dan guru berada atau menciptakan kondisi dalam keadaan atau suasana akrab
dan terbuka.
10. Supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan
keterampilan pembelajaran.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui dan dibedakan antara supervisi pengajaran dan
supervisi klinis. Supervisi pengajaran lebih menekankan pada pengawasan dari supervisor
terhadap guru-guru tentang pengelolaan pembelajaran yang dikelolanya. Sedangkan supervisi
klinis lebih menekankan pada inisiatif guru untuk menyampaikan problem-problem pengajaran
yang dihadapinya untuk disampaikan kepada supervisor, dan selanjutnya dicarikan solusi
terbaiknya. Persamaannya adalah bahwa baik dalam supervisi pengajaran maupun dalam
supervisi klinis dituntut adanya kooperasi atau kerja sama yang harmonis antara supervisor
dengan guru itu sendiri, guru tidak boleh masa bodoh.

3.  Karakter Supervisi Klinis


a. Perbaikan proses pembelajaran mengharuskan guru mempelajari kemampuan intelektual
dan keterampilan teknis. Supervisor mendorong guru berperilaku berdasarkan kemampuan
intelektual dan keterampilan teknis yang dimilikinya.
b. Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa kemampuan dan
keterampilan, seperti :
 Kemampuan dan keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan hasil
pengamatan.
 Kemampuan dan keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama bahan
pembelajaran.
 Kemampuan dan keterampilan dalam proses pembelajaran
 Kemampuan dan keterampilan guru melakukan evaluasi dan tindak lanjut.

c. Berfokus pada :
1. Perbaikan mutu proses dan hasil pembelajaran
2. Perbaikan kinerja guru pada hal – hal spesifik yang masih memerlukan penyempurnaan
3. Upaya perbaikan didasari atas kesepakatan bersama dan pengalaman masa lampau.
4. Hubungan pembantuan antara supervisor dengan yang di supervisi mengedepankan
dimensi kolegalitas.
5. Tindakan supervisor menemukan kelemahan atau kekurangan guru semata – mata
diperuntukkan bagi upaya perbaikan, bukan untuk keperluan penilaian atas prestasi
individual guru.

4. Urgensi Supervisi Klinis


1. Menghindarkan guru dari jebakan oenurunan motivasi dan kinerja dalam melaksanakan
proses pembelajaran.
2. Menghindarkan guru dari upaya menutupi kelemahannya sendiri melalui cara – cara
dialog terbuka dengan supervisornya.
3. Menghindari ketiadaan respon dari supervisor atas praktik professional yang telah
memenuhi standar kompetensi dank ode etik atau yang masih di bawah standar.
4. Mendorong guru untuk selalu adaptif terhadap kemajuan Iptek dalam proses
pembelajaran.
5. Menjaga konsistensi guru agar tidak kehilangan identitas diri sebagai penyangang profesi
yang terhormat dan bermanfaat bagi kemajuan generasi.
6. Menjaga konsistensi perilaku guru, agar tidak masuk dalam jebakan kejenuhan
professional, bahkan meningkatkannya.
7. Mendorong guru untuk secara cermat dalam bekerja dan berinteraki dengan sejawat dan
siswa agar terhindar dari pelanggaran kode etik profesi guru.
8. Menghindarkan guru dari praktik – praktik melakukan atau mengulangi kekeliruan secara
masif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
9. Menghindarkan guru dari erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan
prajabatan selama studi di perguruaan tinggi.
10. Menghindarkan siswa dari praktik – praktik yang merugikan, karena tidak memperoleh
layanan yang memuaskan, baik secara akademik maupun non akademik.
11. Menjauhkan guru dari menurunnya apresiasi dan kepercayaan siswa, orangtua siswa,
masyarakat atas profesi yang mereka sandang.
 
5. Tujuan Supervisi Klinis
 
1. Menjaga konsistensi motivasi dan kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
2. Mendorong keterbukaan guru kepada supervisor mengenai kelemahan – kelemahannya
sendiri dalam melaksanakan pembelajaran.
3. Menciptakan kondisi agar guru teris menjaga dan meningkatkan mutu praktik
professional sesuai dengan standar kompetensi dank ode etik yang telah ditetapkan dan
disepakati.
4. Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan
pembelajaran yang berkualitas, baik proses maupun hasilnya.
5. Menciptakan  guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dengan jalan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,
wawasan umum, dan keterampilan khusus yang diperlukan dalam proses pembelajaran.
6. Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang ditemukan dalam
proses pembelajaran, baik di dalam maupun diluar kelas.
7. Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan masalah yang ditemukan
dalam proses pembelajaran, sehingga benar – benar memberikan nilai tambah bagi siswa
dan masyarakat.
8. Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif terhadap profesi dalam
mengembangkan diri secara berkelanjutan, baik secara individual maupun kelompok,
dengan cara yang dilembagakan atau atas insiatif sendiri.
 
6. Prinsip – prinsip Supervisi Klinis
 
1. Hubungan supervisor dengan guru didasari semangat kolegialitas yang taat asas.
2. Setiap kelemahan atau kesalahan guru semata – mata digunakan untuk tindakan
perbaikan, tanpa secdara eksplisit melabeli guru belum professional.
3. Menumbuhkembangkan posisi guru, mulai dari tidak professional sampai professional.
4. Hubungan antar supervisor dengan guru dulakukan secara objektif, transparan, dan
akuntabel.
5. Diskusi atau pengkajian atas umpan balik yang segera atau yang diketahui kemudian
bersifat demokratis dan didasarkan pada data hasil pengamatan.
6. Hubungan antar supervisor dengan guru bersifat interaktif, terbuka, obyektif, dan tidak
bersifat menyalahkan.
7. Pelaksanaan keputusan atau tindakan perbaikan ditetapkan atas kesepakatan atau kerelaan
bersama.
8. Supervisor tidak mempublikasikan kelemahan – kelemahan guru dan guru tidak
menjadikan kelemahan supervisor sebagai dalih untuk tidak menerima bimbingsn
professional darinya.
9. Focus utama dan pelengkap kegiatan supervise terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru
dan tetap berada di ruang lingkup tugas – tugas pembelajaran.
10. Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan atau
pengamatan, dan siklus balikan.

 https://profesikependidikan.wordpress.com/category/supervisi-klinis/ 21 nop

Anda mungkin juga menyukai