Anda di halaman 1dari 63

MATA KULIAH

DASAR-DASAR MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM

Penyusun:
Dr. Asep Kurniawan, M.Ag

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2016
PENDAHULUAN

A. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Jurusan


1. Visi :
2. Misi :
3. Tujuan :
Pendidikan

B. Capain Pembelajaran Mata Kuliah


Capaian pembelajaran Jurusan Manajemen Pendidikan Islam sebagai berikut:

UNSUR SNPT CAPAIAN PEMBELAJARAN


DAN KKNI
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan
sikap relijius;
b. Menjungjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas
berdasarkan agama, moral, dan etika;
c. Menginternalisasikan nilai, norma, dan etika akademik;
d. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air,
memiliki nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada negara dan
bangsa;
Sikap e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain;
f. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan
Pancasila;
g. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan;
h. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara;
i. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan
kewirausahaan;
j. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang
keahliannya secara mandiri
UNSUR SNPT & CAPAIAN PEMBELAJARAN
KKNI
Penguasaan a. Menguasai konsep, teoritis, metode dan perangkat analisis
Pengetahuan manajemen pendidikan Islam, karakteristik, prinsip-prinsip dasar,
dan mekanisme membangun konsep manajemen pendidikan Islam.
b. Menguasai konsep manajemen aneka lembaga pendidikan Islam
yang meliputi pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam,
c. Menguasai konsep, teoritis, metode dan perangkat analisis
manajemen komponen-komponen dasar pendidikan Islam yang
meliputi manajemen kepegawaian, kesiswaan, kurikulum,
keuangan, sarana-prasarana.
d. Menguasai komponen penyempurnaan pendidikan Islam yang
meliputi manajemen masyarakat pendidikan Islam, layanan
pendidikan Islam, mutu pendidikan Islam, perubahan pendidikan

1
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
Islam, struktur pendidikan Islam, dan konflik pendidikan Islam.
e. Menguasai tehnik, kaidah, prinsip komunikasi lintas fungsi
manajemen pendidikan Islam.
f. Menguasai etika dan nilai-nilai relijius manajemen pendidikan
Islam.
g. Menguasai konsep, kaidah kepemimpinan pendidikan Islam.
h. Menguasai minimal salah satu bahasa internasional, terutama
bahasa Inggris.
a. Menerapkan pemikiran logis, kritis, sistimatis, dan inovatif dalam
konteks pengembangan dan implementasi ilmu pengetahuan
dan/atau teknologi sesuai dengan bidang keahliannya;
b. Mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan, teknologi, atau seni sesuai dengan keahliannya
Keterampilan berdasarkan kaidah tata cara dan etika ilmiah untuk menghasilkan
Umum solusi, gagasan, desain, atau kritik seni serta menyusun deskripsi
saintifik hasil kajiannya dalam bentuk laporan tugas akhir;
c. Mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian
masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis terhadap
informasi dan data;
d. Mengelola pembelajaran secara mandiri;
e. Mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan
pembimbing kolega, sejawat baik di dalam maupun di luar
lembaganya.
a. Mampu merumuskan fungsi manajemen pendidikan Islam pada
level operasional di berbagai lembaga pendidikan Islam;
b. Mampu melaksanakan fungsi organisasi dan kepemimpinan
Keterampilan pendidikan Islam;
khusus c. Mampu mengidentifikasi masalah manajerial pendidikan Islam
pada level operasional, serta mengambil tindakan solutif yang tepat
berdasarkan alternatif yang kewirausahaan yang berakar pada
kearifan lokal;
d. Mampu berkontribusi dalam penyusunan rencana strategis
organisasi dan menjabarkan rencana strategis menjadi rencana
operasional organisasi pada level fungsional;
e. Mampu mengambil keputusan manajerial yang tepat di berbagai
ragam lembaga pendidikan Islam pada tingkat operasional,
berdasarkan analisis data dan informasi pada fungsi manajemen
pendidikan Islam;
f. Mampu melakukan kajian empirik dan permodelan dengan
menggunakan metode ilmiah pada berbagai tipe organisasi
pendidikan Islam berdasarkan fungsi organisasi;
g. Mampu berkomunikasi efektif lintas fungsi dan level manajemen
pendidikan Islam.

2
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
INFORMASI MATA KULIAH

A. Nama dan Bobot SKS, Kode Mata Kuliah dan Semester Penawaran

1. Nama Mata Kuliah : Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam


2. Bobot SKS : 2 SKS
3. Semester : I

B. Ketercapaian Pembelajaran Berdasarkan Sikap, Penguasaan Pengetahuan,


Keterampilan Umum dan Keterampilan Khusus melalui Mata Kuliah yang
Bersangkutan
Capaian pembelajaran yang dimiliki oleh mahasiswa setelah mengikuti Mata Kuliah
Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam adalah:

SOFTSKILL
SIKAP 1. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik
2. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang
keahliannya secara mandiri.
3. Mengelola pembelajaran secara mandiri

HARDSKILL
PENGUASAAN Menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam
PENGETAHUAN konteks pengembangan atau sesuai dengan bidang keahliannya.

KETERAMPILAN Mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian


UMUM masalah di bidang keahliannya.

KETERAMPILAN 1. Mampu mengambil keputusan manajerial yang tepat di berbagai


KHUSUS tipe lembaga pendidikan Islam pada tingkat operasional,
berdasarkan analisis data dan informasi pada fungsi organisasi.
2. Mampu melakukan kajian empirik dan pemodelan dengan
menggunakan metode ilmiah pada berbagai tipe lembaga
pendidikan Islam berdasarkan fungsi organisasi.

C. Evaluasi
No Kegiatan % Aspek 95-100 A
1 Tatap Muka 15% Proses 90-94 A-
2 Keaktipan positif-akademik dan etika di 15% 85-89 B+
kelas 80-84 B
3 Diskusi (presentasi, respon) 10% 75-79 B-
4 Diskusi (Joyful, Moderator, 5% 70-74 C+
Compactness) 65-69 C
5 Tugas 10% Hasil 60-64 C-
6 Ujian Tengah Semester 20% 55-59 D
<54 E
6 Ujian Akhir Semester 25%
Total 100%

3
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
D. Kedisiplinan
1. Kehadiran
a. Minimal 75%
b. Tepat waktu dengan toleransi terlambat maksimal 15 menit, jika melebihi maka
mahasiswa boleh mengikuti kuliah tetapi dianggap tidak hadir.
2. Pakaian
a. Laki-laki
Sopan (pakaian pantas mengajar), tidak memakai sendal, jeans, dan kaos
b. Perempuan
Sopan (pakaian pantas mengajar), memakai rok, tidak memakai sendal, jeans, dan
kaos

4
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
C. Matrik Pembelajaran
Pert Kemampuan akhir yg Bahan Kajian Materi/Pokok Bahasan Strategi/Bentuk Kriteria Penilaian Refns
diharapkan Pembelajaran (indikator)
1 HARDSKILL 1. Kontrak belajar 1. RPS 1. Self Directed 1. Interaksi akrab 1,2
1. Mahasiswa mampu membangun 2. Penjelasan RPS 2. Pengertian dan lingkup Learning dalam dosen dgn mhsswa
hubungan baik antara dosen dgn 3. Pendahuluan praktik manajemen bentuk: antar mhssw.
mahasiswa serta mahasiswa dgn pendidikan Islam dan a. Ceramah 2. Motivasi mhssw utk
mahasiswa. implikasinya b. Brainstorming belajar mandiri.
2. Mahasiswa mengetahui bahan, c. Ice Breaking 3. Mahasiswa dpt
materi, dan jadwal perkuliahan. 2. Mahasiswa diminta mengikuti
3. Mahasiswa mengetahui dan untuk persiapan perkuliahan sesuai
memahami kompetensi yang materi minggu jadwal perkuliahan
akan dicapai pada mata kuliah. depan
4. Menerapkan pemikiran logis,
kritis, sistematis, dan inovatif
dalam konteks pengembangan
atau implementasi ilmu
pengetahuan dan/atau teknologi
sesuai dengan bidang
keahliannya.

SOFTSKILL
1. Mahasiswa memiliki
kemampuan membangun
hubungan interpersonal.
2. Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas
pekerjaan di bidang keahliannya
secara mandiri
2 HARDSKILLS Pendahuluan: Seputar 1. Karakteristik manajemen 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2
Menerapkan pemikiran logis, Manajemen Pendidikan pendidikan Islam instruction dalam 2. Keaktifan
kritis, sistematis, dan inovatif Islam 2. Prinsip-prinsip dasar bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau manajemen pendidikan a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan Islam b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan 3. Mekanisme membangun 2. Discovery Learning menyampaikan

5
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
bidang keahliannya. konsep manajemen pendapat
pendidikan Islam berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan
di bidang keahliannya secara
mandiri
3 HARDSKILLS Manajemen berbagai macam 1. Manajemen lembaga 1. Contextual 1. Partisipasi 1, 3,
Menerapkan pemikiran logis, lembaga pendidikan Islam pendidikan Islam instruction dalam 2. Keaktipan
kritis, sistematis, dan inovatif 2. Manajemen pesantren bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan 2. Small group menyampaikan
bidang keahliannya. discussion pendapat
berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan
di bidang keahliannya secara
mandiri
4 HARDSKILLS Manajemen berbagai macam 3. Manajemen madrasah 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2
Menerapkan pemikiran logis, lembaga pendidikan Islam 4. Manajemen perguruan instruction dalam 2. Keaktipan
kritis, sistematis, dan inovatif tinggi Islam bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan 2. Everyone is teacher menyampaikan
bidang keahliannya. here pendapat
berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan
di bidang keahliannya secara
mandiri
5 HARDSKILLS Manajemen Komponen- 1. Manajemen 1. Contextual 1. Partisipasi 1, 3,
Menerapkan pemikiran logis, komponen Dasar Pendidikan kepegawaian pendidikan instruction dalam 2. Keaktipan

6
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
kritis, sistematis, dan inovatif Islam Islam bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau 2. Manajemen kesiswaan a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan pendidikan Islam b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan 2. Small group menyampaikan
bidang keahliannya. discussion pendapat
berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan
di bidang keahliannya secara
mandiri
6 HARDSKILLS Manajemen Komponen- 3. Manajemen kurikulum 1. Contextual 1. Partisipasi 1, 3
Menerapkan pemikiran logis, komponen Dasar Pendidikan pendidikan Islam instruction dalam 2. Keaktipan
kritis, sistematis, dan inovatif Islam 4. Manajemen keuangan bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau pendidikan Islam a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan 5. Manajemen sarana b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan prasarana pendidikan 2. Ball game menyampaikan
bidang keahliannya. Islam pendapat
berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan
di bidang keahliannya secara
mandiri
7 HARDSKILLS Manajemen Komponen 1. Manajemen masyarakat 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,
Menerapkan pemikiran logis, Penyempurna Pendidikan pendidikan Islam instruction dalam 2. Keaktipan 3,4,5,6
kritis, sistematis, dan inovatif Islam 2. Manajemen layanan bentuk: 3. Kebenaran
dalam konteks pengembangan atau pendidikan Islam a. Ceramah penjelasan
implementasi ilmu pengetahuan 3. Manajemen mutu b. Brainstorming 4. Kemampuan
dan/atau teknologi sesuai dengan pendidikan Islam 2. Case study analysis menyampaikan
bidang keahliannya. pendapat
berdasarkan
SOFTSKILLS pengalaman
Menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan

7
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
di bidang keahliannya secara
mandiri
8 Evaluasi capaian pembelajaran Pemahaman komprehensif Ujian tertulis Soal pilihan ganda Ketepatan menjawab
(UTS) tentang seputar manajemen
pendidikan Islam dan
manajemen berbagai macam
lembaga pendidikan Islam
9 HARDSKILLS Manajemen Komponen 4. Manajemen perubahan 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4
Mampu mengambil keputusan Penyempurna Pendidikan pendidikan Islam Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai Islam 5. Manajemen struktur dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan pendidikan Islam a. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, b. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
1. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
2. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
10 HARDSKILLS Manajemen Komponen 6. Manajemen konflik 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4
Mampu mengambil keputusan Penyempurna Pendidikan pendidikan Islam Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai Islam dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan c. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, d. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
3. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
4. Menunjukkan sikap 8. Inovatif

8
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
11 HARDSKILLS Manajemen Komponen 7. Manajemen komunikasi 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2
Mampu mengambil keputusan Penyempurna Pendidikan pendidikan Islam Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai Islam dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan e. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, f. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
5. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
6. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
12 HARDSKILLS Kepemimpinan Pendidikan 1. Kepemimpinan 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4,5
Mampu mengambil keputusan Islam pendidikan Islam Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan g. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, h. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
7. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
8. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa

9
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
an bahasa Inggris
13 HARDSKILLS Kepemimpinan Pendidikan 2. Kepala madrasah 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4,5
Mampu mengambil keputusan Islam sebagai pemimpin Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai lembaga pendidikan dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan Islam i. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, j. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
9. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
10. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
14 HARDSKILLS Kepemimpinan Pendidikan 3. Keputusan-keputusan 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4,5
Mampu mengambil keputusan Islam pemimpin lembaga Instruction 2. Kerjasama
manajerial yang tepat di berbagai pendidikan Islam dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan k. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, l. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
11. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
12. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
15 HARDSKILLS Kepemimpinan Pendidikan 4. Produktivitas 1. Contextual 1. Partisipasi 1,2,4,5
Mampu mengambil keputusan Islam pendidikan Islam Instruction 2. Kerjasama

10
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
manajerial yang tepat di berbagai dalam bentuk: 3. Keaktifan
kondisi manajemen pendidikan m. Ceramah 4. Penguasaan materi
Islam pada tingkat operasional, n. Brainstorming 5. Ketepatan dlm
berdasarkan analisis data dan 2. Group pencarian kasus
informasi pada fungsi organisasi Discussion 6. Kemampuan dalam
menganalisis kasus
SOFTSKILLS 7. Keberanian dalam
13. Menginternalisasi nilai, norma, mengemukakan
dan etika akademik pendapat
14. Menunjukkan sikap 8. Inovatif
bertanggungjawab atas 9. Komunikasi yang
pekerjaan di bidang baik
keahliannya secara mandiri 10. Penguasa
an bahasa Inggris
16 Evaluasi capaian pembelajaran Pemahaman komprehensif Ujian tertulis Soal isian pilihan Ketepatan menjawab
(UAS) tentang manajemen ganda
komponen dan
kepemimpinan pendidikan
Islam

E. Buku Rujukan
1. Mujamil Qomar, 2008, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
2. Muhaimin, Suti’ah, dan Sugeng, 2009, Manajemen Pendidikan: Aplikasi dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
3. Asep Kurniawan, 2011. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Cirebon: IAIN SN Press
4. Khaliq Ahmad, Management from an Islamic Perspective, Selangor, Malaysia: Prentice Hall
5. Asep Kurniawan, 2010. Manajemen Pendidikan Islam: Upaya Menuju Penataan Pendidikan Islam yang Bermutu dalam Menjawab Tuntutan
Globalisasi. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati Press.
6. Edward Sallis, 2002, Total Quality Manajemet in Education, London: Kogan Page.

11
RPS Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam Dr. Asep Kurniawan, M.Ag
HANDOUT DASAR-DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
Dr. Asep Kurniawan, M.Ag

A. Pertemuan Ke-1
Materi: Pendahuluan
Manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam
secara Islami dengan cara menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien. Lebih lanjut definisi di
atas dapat dijabarkan sebagai berikut untuk mempermudah pemahaman dan implikasi yang
ada.
Pertama, proses pengelolaan lembaga pendidikan secara Islami. Dalam proses
pengelolaan ini aspek yang ditekankan adalah nilai keIslaman yang bersandar pada al-Qur‘an
dan al-Hadist. Misalnya terkait dengan pemberdayaan, penghargaan, kualitas, dan lain-lain.
Kedua, lembaga pendidikan Islam. Fokus dan manajemen pendidikan Islam adalah
menangani lembaga pendidikan Islam mulai dan pesantren, madrasah, perguruan tinggi dan
sebagainya.
Ketiga, proses pengelolaan pendidikan Islam secara Islami. Proses pengelolaan harus
sesuai dengan kaidah-kaidah Islam atau memakai kaidah-kaidah manajerial yang sifatnya
umum tapi masih sesuai dengan nilai-nilai keIslaman.
Keempat dengan cara menyiasati. Hal ini mengandung makna strategi, karena
manajemen penuh siasat atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Demikian pula
dengan manajemen pendidikan Islam yang selalu memakai strategi tertentu.
Kelima, sumber-sumber belajar dan hal-hal yang terkait. Sumber-sumber belajar di sini
memiliki cakupan yang luas, yaitu:
1. Manusia, yang meliputi: guru, murid, pegawai dan pengurus
2. Bahan, yang meliputi buku, perpustakaan, dan lain-lain
3. Lingkungan merupakan segala hal yang mengarah ke masyarakat
4. Alat dan peralatan seperti alat peraga, laboratorium, dan sebagainya
5. Aktivitas yang meliputi keadaan sosio politik, sosio kultural dalam masyarakat
Keenam, tujuan pendidikan Islam. Tujuan merupakan hal yang vital yang mengendalikan
dan mempengaruhi komponen-komponen dalam lembaga pendidikan agama Islam.
Ketujuh, efektif dan efisien. Artinya, manajemen yang berhasil mencapai tujuan dengan
penghematan tenaga, waktu dan biaya.
Lalu, dari sini muncul pertanyaan: Apa perbedaan manajemen pendidikan Islam dengan
manajemen lainnya misalnya dengan manajemen pendidikan umum? Memang secara general
sama. Artinya, ada banyak atau bahkan mayoritas kaidah-kaidah manajerial yang dapat
digunakan oleh kedua jenis manajemen tersebut, bahkan oleh seluruh manajemen. Namun,
secara spesifik terdapat kekhususan-kekhususan yang membutuhkan penanganan yang spesial
pula. Dalam hal ini, inti manajemen dalam bidang apa pun sama, hanya saja variabel yang
dihadapinya bisa berbeda, tergantung pada bidang apa manajemen tersebut digunakan
dan dikembangkan. Perbedaan variabel ini membawa perbedaan kultur yang kemudian
memunculkan berbagai perbedaan.

B. Pertemuan Ke-2
Materi: Pendahuluan
1. Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses penataan/pengelolaan lembaga
pendidikan Islam yang melibatkan sumber daya manusia muslim dan non manusia dalam
menggerakkannya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.
1
Pembahasan manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya
kaum muslimin, ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka
pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut.
a. Teks-teks wahyu baik al-Qur‘an maupun hadits yang terkait dengan manajemen
pendidikan.
b. Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama dan cendekiawan
muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
c. Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
d. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam.
e. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis; perkataan-perkataan para sahabat Nabi,
ulama, dan cendekiawan muslim sebagai sandaran rasional; realitas perkembangan
lembaga pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga
pendidikan Islam sebagai sandaran empiris; sedangkan ketentuan kaidah-kaidah
manajemen pendidikan sebagai sandaran teoritis. Jadi, bangunan manajemen pendidikan
Islam ini diletakkan di atas empat sandaran, yaitu sandaran teologis, rasional, empiris, dan
teoritis.
Sandaran teologis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu
karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran
berdasarkan pertimbangan akal-pikiran. Sandaran empiris menimbulkan keyakinan adanya
kebenaran berdasarkan data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis menimbulkan
keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus serta telah
dipraktekkan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.
Selanjutnya, penerapan manajemen pendidikan Islam dalam pengelolaan lembaga
pendidikan juga menghadapi berbagai kendala/hambatan, baik yang bersifat politis,
ekonomik-finansial, intelektual, maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Ideologi, Politik, dan Tekanan (Pressure) Kelompok-Kelompok Kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus negeri, acap
kali terjadi pertentangan ideologi antar organisasi sosial keagamaan utamanya, misalnya
antara Muhammadiyah dan NU, atau antar organisasi kemahasiswaan, terutama antara
HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau IMM dengan PMII. Lantaran pertentangan-
pertentangan ini, akhirnya politik kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan
dengan memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya Umar,
pernah mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN, IAIN, maupun
STAIN di seluruh Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya menghasilkan suatu
kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa di kalangan PTAIN tidak ada
civitas akademika, sebaliknya yang ada justru civitas politika. Kesimpulan ini
tampaknya memang benar karena nuansa politik di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan
karyawan sangat dominan, mengalahkan nuansa akademik. Oleh karenanya, kegiatan di
lingkungan kampus lebih mengarah pada gerakan-gerakan politik daripada
pemberdayaan intelektual.
Dengan demikian, menguatnya ideologi dari organisasi menyebabkan
kecenderungan ini memasuki wilayah pendidikan. Alhasil, proses pendidikan yang
semestinya diniatkan untuk membangun sumber daya manusia peserta didik agar
pandai, berakhlak, dan terampil pada akhirnya justru bergeser karena mereka dibentuk
untuk menjadi anak-anak yang militan dan fanatik dalam mengikuti organisasi sosial
keagamaan. Kasus ini telah melenceng jauh dari substansi misi pendidikan Islam.
Berbagai kasus ideologi, politik, organisasi, dan tekanan-tekanan kelompok
kepentingan tersebut sangat mewarnai lembaga pendidikan Islam negeri sehingga
2
membuat lembaga pendidikan Islam negeri berbeda dengan lembaga pendidikan umum.
Jika dilihat dari segi problem dan konsekuensinya, dibutuhkan strategi khusus untuk
mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.
b. Kondisi Sosio-Ekonomik Masyarakat dan Animo-Finansial Lembaga
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata berada dalam
kategori kelas menengah ke bawah. Ekonomi orangtua siswa lemah. Ini merupakan
kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu kemajuan yang
signifikan.
Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan pendapatan keuangan pada
lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan lembaga
pendidikan Islam swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP, sumbangan uang
gedung, dan iuran lainnya yang kesemuanya berasal dari orangtua siswa atau
mahasiswa. Ketergantungan sumber keuangan yang hanya berasal dari siswa atau
mahasiswa ini tergolong sumber keuangan yang lemah sekali. Sebab, mestinya sebuah
lembaga pendidikan didukung sumber dana yang lebih kuat, misalnya donator tetap,
pengusaha, pengembangan bisnis, dan lain-lain.
c. Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi Kebijakan Pemerintah
Diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam ternyata
bukan hanya terjadi pada lembaga pendidikan Islam swasta, tetapi juga pada lembaga
pendidikan Islam negeri. Pada zaman Orde Baru, anggaran untuk empat belas IAIN di
seluruh Indonesia sama dengan anggaran satu IKIP Negeri. Sekarang, zaman sudah
berganti menjadi Orde Reformasi, tetapi saying kebijakan pemerintah tentang anggaran
keseimbangan itu belum juga tereformasi. Anggaran untuk lembaga pendidikan Islam
masih tetap jauh di bawah lembaga pendidikan umum, meskipun ada sedikit
peningkatan. Hal ini berdampak negatif pada seluruh komponen lembaga pendidikan
Islam, baik pada guru/dosen, siswa/mahasiswa, maupun fasilitas yang dibutuhkan untuk
memajukan lembaga pendidikan Islam.
d. Keadaan Potensi Intelektual Siswa/Mahasiswa
Di samping secara ekonomi siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam
berada dalam kategori kelas menengah ke bawah, secara intelektual, potensi mereka
juga lemah. Rata-rata siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai lembaga pendidikan
Islam karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga pendidikan umum yang maju
dan terutama berstatus negeri. Sebagian dari mereka yang telah gagal masuk di lembaga
pendidikan umum negeri kemudian memilih lembaga pendidikan Islam. Dengan
demikian, lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa/mahasiswa yang
gagal masuk lembaga pendidikan umum negeri.
e. Keberadaan Motif Dakwah Pada Pendidirian Lembaga Pendidikan Islam
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah, berawal
dari inisiatif tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung oleh masyarakat sekitar.
Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut dengan motif dakwah, upaya
sosialisasi, dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat.
Dengan adanya motif dakwah tersebut, timbullah konsekuensi-konsekuensi yang
menjadi akibat. Misalnya, lembaga tersebut didirikan asal-asalan dan tanpa melalui
perencanaan matang untuk memenuhi berbagai komponen pendukungnya. Layaknya
gerakan dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah, dengan menggunakan
pendekatan pahala dan konsep lillahi ta’ala sehingga terkadang mengabaikan
kesejahteraan pegawai dan menerima semua pendaftar tanpa seleksi.
Berdasarkan lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik manajemen
pendidikan Islam bersifat holistik, artinya strategi pengelolaan manajemen pendidikan
Islam dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mepertimbangkan
keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual,
3
maupun teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam yang
dirumuskan haruslah:
a. Dipayungi oleh wahyu (al-Qur‘an dan hadits),
b. Diperkuat oleh pemikiran rasional,
c. Didasarkan pada data-data empirik,
d. Dipertimbangkan melalui budaya, dan
e. Didukung oleh teori-teori yang telah teruji validitasnya.
2. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam.
1. Surah al-Hasyr: 18:
‫ۖ َواتَّ ُقوا اللَّ َه ۚ إِ َّن اللَّ َه َخبِريٌ ِِبَا‬ ‫ت لِغَ ٍد‬
ْ ‫َّم‬ َّ
ٌ ‫ين َآمنُوا اتَّ ُقوا الل َه َولْتَ ْنظُْر نَ ْف‬
َ ‫س َما قَد‬
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
‫تَ ْ َ لُو َن‬
―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.‖
Ayat ini memberi pesan kepada orang-orang yang beriman untuk memikirkan masa
depan. Dalam bahasa manajemen, pemikiran masa depan yang dituangkan dalam
konsep yang jelas dan sistematis ini disebut perencanaan (planning). Perencanaan ini
menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai pengarah bagi kegiatan, target-target,
dan hasil-hasilnya di masa depan sehingga apapun kegiatan yang dilakukan dapat
berjalan dengan tertib.
2. Perkataan (qawl) sayyidina Ali bin Abi Thalib
‫َا ْل َا ُّق ِب َا ِب َا ٍما َا ْل ِب ُب ُب ْل َا ِبا ُب ِب ِّنل َا ِبا‬
―Kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebatilan yang
terorganisasi‖
Qawl sayyidina Ali ini menginspirasi pendidikan berorganisasi. Dari sisi wadah,
organisasi memayungi manajemen, yang berarti organisasi lebih luas daripada
manajemen. Akan tetapi, dari sisi fungsi, organisasi (organizing) merupakan bagian dari
fungsi manajemen, yang berarti organisasi lebih sempit daripada manajemen.
3. Hadits riwayat al-Bukhari
‫ي َّد ُب َاع ْلل ُب‬
‫ْل َا َا ٍما َاع ْل أَا ِبي ُب َا ْل َا َا َاا ِب َا‬ ‫َا َّد ُب ْل ُب ِب لَا ِبا َا َّد ثَالَا ِب َا ُب ْل ُب َاع ٍّي َاع ْل َاع َا ٍما َاع‬ ‫َا َّد ثَالَا ُب‬
‫ َا ْل َا‬: ‫ َا َا‬.‫اَا َا َا ُب َا ْل َا ِب ِب َّد َاع َا‬ ‫ ِبإ َاذ ُب ِّن َا ِب‬: ‫ص َّدى َّد ُب َاع َا ْل ِب َا َا َّد َا‬ ‫َاا ُب ْل ُب َّد ِب َا‬ ‫ َا َا‬: ‫َا َا‬
‫َا ْل َا ِب ِب َّد َاع َا‬ ‫ إِب َاذ أُب ْل لِب َا ْلاَا ْل ُب ِبإ َاى َا ْل ِب أَا ْل ِب ِب‬: ‫َا َاا ُب ْل َا َّد ِب؟ َا َا‬ ‫إِب َا َاع ُبهَا‬
―(Imam al-Bukhari menyatakan) Muhammad bin Sinan menyampaikan (riwayat)
kepada kami, Qulaih bin Sulaiman telah menyampaikan (riwayat) kepada kami,
Hilal bin ‗Ali telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari Atha‘,
dari Yasar, dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila
suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. (Abu Hurairah)
bertanya: Bagaimana meletakkan amanah itu, ya Rasulullah? Beliau menjawab:
Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya.‖
Hadits ini menarik dicermati karena menghubungkan antara amanah dengan
keahlian. Kalimat ―Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya
maka tunggulah saat kehancurannya‖ merupakan penjelas untuk kalimat pertama:
―Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.‖
Hadits ini ternyata memberikan peringatan yang perspektif manajerial karena
amanah berarti menyerahkan suatu perkara kepada seseorang yang profesional.
4. Hadits riwayat Ibnu Majah

4
‫ َا َّد ثَالَا َاع ْل ُب َّد ْل َا ِب ْل ُب‬.‫ْل ِب َاع ِب َّد َا َّد َا ِب ُّقي‬ ‫ َا َّد ثَالَا َا ْل ُب ْل ُب َا ِب ْل ِب‬.‫ْل ِب ُّقي‬ ‫ِب ِّن َا‬ ‫َا َّد ثَالَا ْل َا َّد اُب ْل ُب ْل َا ِب ْل‬
‫ أَا ْلع ُب ْل اَا ِب ْل َا أَا ْل َا ُب َا ْل َا أَا ْلا‬:‫َاا ُب ْل ُب َّد ِب‬ ‫ َا َا‬: ‫ َا َا‬، ‫َاع ْل ِب َّد ِب ْل ِب ُبع َا َا‬ ‫ َاع ْل‬،‫ِب‬ ‫ َاع ْل أَا ِب ْل‬، ‫َا ْل ِب ْل ِب أَا ْل َا َا‬
‫َا ِب َّد َاع َا ُب ُب‬
―(Ibnu Majah menyatakan), al-Abbas bin Walid al-Dimasyqiy telah menyampaikan
(riwayat) kepada kami, Wahb bin Sa‘id bin ‗Athiyyah al-Salamiy telah
menyampaikan (riwayat) kepada kami, ‗Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam telah
menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari ayahnya, dari Abdullah
bin Umar berkata, Rasulullah bersabda: Berikanlah gaji/upah pegawai sebelum
kering keringatnya.‖
Hadits tersebut berisi pendidikan penghargaan, dan dalam mengelola suatu
lembaga, termasuk lembaga pendidikan Islam, penghargaan ini sangat kondusif untuk
mewujudkan kepuasan pegawai yang selanjutnya mampu membangkitkan tanggung
jawab dan kedisiplinan.
5. Surah al-Nisa‘: 35:
‫َا َاك ً ِب ْل أَا ْل ِب ِب َا َا َاك ً ِب ْل أَا ْل ِبهَا ِبإ ْلا ُب ِب َا ِبإصْل َا ً ُب َا ِّن ِب َّد ُب َا ْللَاهُب َا‬ ‫ا َا ْل ِبل ِبه َا َا ْل َا ثُب‬
‫ِب َا َا‬ ‫َا ِبإ ْلا ِب ْل ُب ْل‬
ً ‫َا َاا َاع ِب ً َا ِب‬ ‫ِبإ َّدا َّد َا‬
―Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.‖
Intisari ayat ini adalah mekanisme manajemen konflik, model pengelolaan konflik
menurut ayat ini ditempuh dengan cara melibatkan pihak ketiga sebagai mediator.
6. Surah al-Shaff: 2-3:
‫ا‬ ‫ال ت‬ ‫أا ت‬ ‫عل‬ ،‫ا‬ ‫ا ال ت‬ ‫ت‬ ‫ا ل‬ ‫أه ذ‬
―Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.‖
Ayat ini menyentuh persoalan kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan yang
sekarang popular dengan istilah konsisten. Sikap konsisten bagi manajer adalah suatu
keharusan sebab dia adalah pemimpin yang dianut oleh bawahannya.
3. Mekanisme Membangun Konsep Manajemen Pendidikan Islam
Salah satu kelemahan umat Islam, bahkan para cendekiawannya adalah kebiasaan
berhenti pada konsep normatif sehingga mereka seakan telah puas hanya dengan hafal
dalil-dalil al-Qur'an dan hadis. Maka, wajar jika belakangan ini terjadi kelangkaan karya-
karya kreatif sebagai pembangkit peradaban Islam.
Untuk merespons gejala kelangkaan itu, harus ada agenda alternatif pemikiran
paradigmatik bagi cendekiawan muslim Indonesia. Agenda pertama adalah mengubah
tradisi berpikir normatif menjadi tradisi berpikir teoretis. Tradisi berpikir normatit
berorientasi pada dakwah. Hal yang paling tidak menguntungkan dari sifat berpikir
tersebut adalah bisa menimbulkan stagnasi. Sementara itu, tradisi berpikir teoritis
berorientasi pada keilmuan dan tentu memotivasi dinamika keilmuan dan dinamika
peradaban.
Secara materi, sebenarnva banyak sekali bahan keilmuan yang berserakan dalam
herbagai bidang keilmuan, termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam.
Selanjutnya, perlu dikenali dahulu posisi dan fungsi bahan-bahan keilmuan manajemen
pendidikan Islam tersebut untuk memudahkan pemahaman bagaimana mekanisme
membangun konsep-konsep teoretis tentang manajemen pendidikan Islam. Berikut ini
bahan-bahan keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut.

5
Teks-teks wahyu, baik al-Qur'an maupun hadis sahih sebagai pengendali bangunan
rumusan kaidah-kaidah teoretis manajemen pendidikan Islam.
Aqwal (perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama, dan cendekiawan muslim
sebagai pijakan logis-argumentatif dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoretis manajemen
pendidikan Islam seeara rasional.
Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam mendasari
perumusan kaidah-kaidah teo-retis manajemen pendidikan Islam.
Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam 1embaga pendidikan Islam sebagai
pijakan empiris dalam merumuskan kemungkinan strategis yang khas dalam mengelola
lembaga pendidikan Islam.
Ketentuan-ketentuan kaidah manajemen pendidikan sebagai pijakan teoritis dalam
mengelola lembaga pendidikan Islam.
Mekanisme ini mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan sekalipun, Islam
melalui wahyu hadir untuk memberikan inspirasi-kreatif dalam membangun konsep
ilmiah.Rincian detailnya tentu saja diserahkan pada para ahli pendidikan Islam berdasarkan
inspirasi-kreatif dari wahyu tersebut. Tetapi, dalam pembahasan ini, kita juga harus
bersikap adaptif-edukatif terhadap kaidah-kaidah manajemen pendidikan yang terdapat
dalam berbagai literatur dan dipengaruhi oleh pemikiran dan pengalaman orang-orang
Barat. Sikap adaptif ini didasarkan pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-kaidah
manajemen pendidikan itu bersifat general atau universal yang juga dapat diterapkan
dalam mengelola lembaga pendidikan Islam. Hanya saja, mungkin ada kaidah-kaidah
tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam atau realita yang dihadapi lembaga
pendidikan Islam lantaran faktor budaya tertentu yang unik dan khas, sehingga dibutuhkan
sikap selektif dengan mengkritisi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum itu,
untuk kemudian diganti atau disempurnakan.

C. Pertemuan Ke-3
Materi: Manajemen Berbagai Macam Lembaga Pendidikan Islam
1. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam, sekaligus aset
bagi pembangunan pendidikan nasional. Yang merupakan amanat sejarah untuk dipelihara
dan dikembangkan oleh umat Isam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai asset,
pendidikan Islam yang terbesar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa
Indonesia untuk menata dan mengelolanya sesuai dengan pendidikan nasional.
Upaya pengelolaan maupun pengembangan lembaga pendidikan Islam merupakan
keniscayaan dan beban kolektif bagi para penentu kebijakan pendidikan Islam. Mereka
memiliki kewajiban untuk merumuskan strategi dan mempraktikannya guna memajukan
pendidikan Islam. Perumusan strategi itu juga akan mempertimbangkan eksistensi lembaga
pendidikan Islam secara riil dan orientasi pengembangannya.
a. Esistensi Lembaga Pendidikan Islam
Esistensi lembaga pendidikan Islam di Indonesia terutama dalam bentuk pesantren
telah cukup tua, seiring dengan keberadaan para penyebar Islam. Lembaga tersebut
telah mengalami berbagai perkembangan dengan berdirinya madrasah, sekolah umum,
perguruaan tinggi, lembaga kursus serta pelayan umat.
Secara kuantitatif, lembaga lembaga tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Akan tetapi, secara kualitatif lembaga lembaga tersebut mengalami banyak
masalah, baik masalah internal maupun eksternal. Bahkan lembaga-lembaga yang
dinilai terkemuka juga masih jauh dari penilaian ideal. Jadi tidak heran jika bila kita
lihat kondisi pendidikan Islam yang hanya mapu bertaha beberapa tahun dan berakhir
dengan kondisi yang biasa disebut oleh slogan ―laa yahya walaa yamuutu‖, hidup

6
enggan matipun tak mau, tidak berdaya dan tidak bermutu, senagai cermin keadaan
yang memperihatinkan secara berkesinambungan.
Secara umum lembaga pendidikan Islam masih tertinggal secara kualitas. Kita
harus menerima kenyataan yang pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia
menempati posisi ―kelas ekonomi‖. Posisi ini melekat setelah bersanding dengan
lembaga pendidikan katolik dan lembaga pendidikan umum negeri. Ternyata dua
lembaga pendidikan tersebut lebih maju dan jauh meninggalkan lembaga pendidikan
Islam.
Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lembaga
pendidikan diidentifikasi, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan
masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan yaitu cita-cita atau gambaran
hidup masa depan, nilai-nilai (agama), dan status sosial. Faktor-faktor tersebut
menunjukan bahwa nlai-nilai agama hanya menjadi salah satu pertimbangan masyarakat
dalam memilih lembaga pendidikan. Sedangkan cita-cita atau gambaran hidup masa
depan merupakan pertimbangan yang utama.
Oleh karena itu para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu membaca
selera masyarakat tersebut caranya adalah dengan memiliki orientasi yang jelas dan
melakukan pembenahan-pembenahan melalui strategi-strategi baru untuk meningkatkan
kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjanjikan mesa depan
baik jaminan keilmuan, kepribadian, maupun ketrampilan.
b. Orientasi pengelolaan lembaga pendidikan Islam
Orientasi merupakan jalur yang harus dilalui untuk mencapai tujuan oleh karena itu
orientasi dapat membuat gerak pendidikan lebih terarah, teratur, dan terencana. Untuk
merumuskan orientasi tersebut perlu mempertimbangkan fenomena-fenomena yang
terjadi terkait dengan pendidikan. Sekurang-kurangnya ada empat hal yang harus dilihat
dalam gerak pendidikan, yaitu pertumbuhan, perubahan, pembeharuan, dan
keberlanjutan.‖
Pendidikan Islam harus memiliki orientasi visioner yang multidimensi. Orientasi
tersebut harus berlandasan pada pengadaan dari berbagai kemampuan yang harus
dimiliki oleh lembaga pendidikan sebagai jawaban terhadap berbagai tuntutan dan
tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi sekarang. Seorang lulusan dari lembaga
pendidikan apapun ketika memiliki keunggulan yang belum dimiliki lembaga yang lain,
pasti akan mengangkat derajat dan martabat tempat ia belajar.
Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa
prinsip orientasi strategi dalam mengembangkan pendidikan Islam, yaitu
1) Orientasi pengembangan sumberdaya
2) Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis
3) Mempertegas misi dasar buntuk menyempurnakan akhlak manusia
4) Mengutamakan spiritualisasi watak kebangsaan
Empat prinsip tersebut mewakili eampat dimensi yang terjalin secara intergral yang
menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu dimensi potensial, dimensi kultural, dimensi
etik, dimensi spiritual. Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada
pengembangan sumberdaya manusia menuju terbentuknya masyarakat madani. Dimensi
kultural mengarahkan gerak pendidikan supaya ramah terhadap budaya local sehingga
bersikap inklusif. Dimensi etik mengarahkan alur pendidikan agar benar-benar
mengemban misi menanamkan moral pada seluruh bangsa. Sedangkan dimensi spiritual
mengarahkan pendidikan agar mempunyai jiwa keimanan sebagai dasar dalam
mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh percobaan.
c. Strategi pengelolaan lembaga pendidikan Islam

7
Lembaga pendidikan Islam dalam semua bentuknya harus dikelola dengan strategi
tertentu yang mampu menyehatkan keberadaan lembaga-lembaga tersebut, bahkan
dapat mengantarkan pada kemajuan yang signifikan.
Namun, strategi yang dipilih harus mempertimbangkan berbagai kondisi yang
dirasakan lembaga pendidikan Islam itu, sehingga menjadi strategi yang fungsional.
Suatu strategi yang benar-benar mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sedang
dihadapi sehingga ia dapat berfungsi layaknya resep yang mujarab dalam mengatasi
berbagai masalah.
Strategi semacam itu harus berbentuk langkah-langkah operasional yang dapat
dipraktekan dengan suatu mekanisme tertentu yang memberikan jalan keluar. Ada
beberapa strategi yang perlu ditawarkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam
baik yaitu:
1) Merumuskan visi, misi dan tujuan lembaga secara jelas serta mewujudkannya
melalui kegiatan-kegiatan riil sehari-hari.
2) Membangun kepemimpinan yang benar-benar professional
3) Menyiapkan pendidik yang benar-benar berjiwa pendidika sehingga mengutamakan
tugas-tugas pendidikan dan bertanggungjawab terhadap kesuksesan peserta
didiknya
4) Menyempurnakan strategi rekrutmen siswa/santri/mahasiswa secar proaktif dengan
menjemput bahkan mengejar bola.
5) Berusaha keras untuk memberi kesadaran pada para siswa/satri/mahasiswa bahwa
belajar merupakan kewajiban dan kebutuhan paling mendasar yang menentukan
masa depan mereka
6) Meningkatkan promosi untuk membangun citra
7) Mempublikasikan kualitas proses dan hasil pembelajaran kepada publik secara
terbuka.
8) Membangun jaringan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang menguntungkan,
baik secara finasial maupun sosial.
9) Menjalin hubungan erat dengan masyarakat untuk mendapat dukungan secara
maksimal.
10) Beradaptasi dengan budaya lokal dan kebhinekaan
11) Menyingkronkan kebijakan-kebijakan lembaga dengan kebijakan-kebijakan
pendidikan nasional.
Sebaliknya ada juga keadaan yang harus dihindari dan sedapat mungkin berusaha
dikeluarkan dari lembaga pendidikan Islam yaitu:
1) Politik kepentingan
2) Kecenderungan bisnis pribadi
3) Pemborosan
2. Manajemen Pesantren
Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang
berarti tempat para santri. Sedangkan menurut Nurcholis Madjid terdapat dua pendapat
tentang arti kata ―santri‖ tersebut. Pertama, pendapat yang mengatakan berasal dari kata
―sastri‖, yaitu sebuah kata sansekerta yang berarti melek huruf. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Jawa ―cantrik‖ yang berarti seseorang
yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru ini pergi menetap. Selain itu,Yasamdi
mengatakan bahwa nama, ―pesantren‖ sering kali dikaitkan dengan kata ―santri‖ yang
mirip dengan istilah bahasa India ―shastri‖ yang berarti orang yang mengetahui buku-buku
suci agama Hindu atau orang yang ahli tentang kitab suci.
Mengenai pendiri pesantren pertama kali, Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur),
mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) sebagai peletak dasar
berdirinya pesantren, selanjutnya dilanjutkan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) dan
8
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia
pesantren di Jawa hampir sama dengan usia Agama Islam di Jawa sendiri.
Pondok Pesantren memiliki akar tradisi yang sangat kuat di lingkungan masyarakat
Indonesia. Pesantren merupakan salah satu simbol budaya pendidikan asli Indonesia
(Nusantara). Secara hitoris sistem pendidikan yang berkembang di pesantren memang
berakar pada tradisi pendidikan keagamaan semasa agama Hindu dan Budha yang
berkembang di Indonesia. Islamisasi yang berlangsung sangat intensif di Nusantara sejak
awal abad ke XIII telah mentransformasikan budaya pendidikan tersebut menjadi bentuk
pondok pesantren. Dalam hal ini, Islamisasi nusantara memberikan muatan pemaknaan
baru dari versi Islam terhadap sistem pendidikan keagamaan Hindu dan Budha tersebut.
Tentang ciri khas pesantren tradisional dari segi tradisi pendidikannya terdapat lima
unsur utama yang sangat mencolok terutama di daerah Jawa. Pertama, pondok (asrama
untuk para santri). Kedua, masjid (tempat melakukan kegiatan ritual dan sekaligus tempat
proses belajar). Ketiga, santri (murid-murid yang belajar ilmu agama). Keempat, Kiai
(tokoh utama yang memberikan pengajaran dan bimbingan agama yang dijadikan panutan
santri). Kelima, kitab kuning (kitab-kitab klasik tentang masalah pokok ajaran agama
Islam.
Kelima unsur pokok diatas merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren yang
membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lain.
a. Kelemahan Manajemen Pesantren Tradisional
Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam
menetralisir aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat
ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga
pendidikan pesantren. Sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi
bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak kesemuanya
sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat tua di Indonesai.
Keberadannya menjadi salah satu wadah dalam dakwah Islam yang dianggap cukup
efektif di dalam menggembleng para santri agar memiliki pengetahuan agama yang
luas. Peran pesantren dalam menciptakan generasi pelaku dakwah sangatlah menonjol,
sehingga pendidikan di pesantren sangat sangat terfokus pada pengajaran tentang dasar-
dasar ajaran Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik.
Tetapi, dalam perjalanannya yang sudah sangat tua itu, terdapat banyak kelemahan
dalam hal menegerialnya, sehingga hal ini menjadi kendala bagi pesantren tradisional
untuk dapat berkembang dan maju. Sistem tradisional yang digunakan menjadi
bomerang bagi pesantren, sehingga keberadaannya akan tetap stabil tanpa ada
peningkatan.
Dengan kondisi manajemen pesantren yang sangat memprihatinkan ini sangatlah
memprihatinkan, nampak jelas pada kondisi pesantren yang ala kadarnya itu, selain itu
juga banyak pesantren yang merosot jumlah santrinya. Kenyataan ini menggambarkan
bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan
profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill,
maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang,
distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik, dan sebagainya.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi kurangnya kemampuan pesantren mengikuti
dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang
dibawa pendidikan pesantren. Hal ini lebih banyak disebabkan bahwa pesantren tidak
memiliki tujuan yang jelas serta menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencanaa kerja
atau program.
Pelaksanan pendidikan dengan cara tradisional, dan kurang adanya sistem
kurikulum yang baik, mengakibatkan proses pendidikan dan pengajaran di pesantren
9
terhambat. Proses pengajaran yang simple dan tradisional tersebut berdampak kepada
kelemahan santri dalam mengembangkan dirinya. Tidak ada kesempatan bagi santri
pesantren untuk mengembangkan skill, bakat dan keahliannya, hal ini juga disebabkan
karena minimnya failitas pendidikan di lingkungan pesantren. Kegiatan di pesantren
kebanyakan hanya mengkaji karya-karya lama, tanpa dapat menghasilkan karya tulis.
Santri dan pengajar kebanyakan hanya dapat mengkaji, tanpa dapat, meneliti dan
mengembangkan teori keagamaan. Hal ini merupakan dampak dari lemahnya manajerial
pesantren selama ini.
Nurkholis madjid menambahkan, bahwa metode yang digunakan kiai dalam proses
belajar mengajar terlalu mengabaikan aspek kognitif yang dapat berdampak negatif
pada output pesantren sendiri. Seorang Kiai menggunakan metode pengajian, yang
mana hal ini kurang menekankan aspek kognitif santri. Santri hanya dapat
mendengarkan tanpa dapat menanggapi atau mengembangkannya, karena ada konsep
su’ul adab jika melanggar perintah atau tidak patuh pada perintah seorang kiai.
b. Ciri Khas Pesantren dan Posisi Kekuasaan Kiai
Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah dapat di
defininisikan sebagai berikut (Sulthon dan Ridlo, 2006:12-13):
1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat
memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan karena tinggal dalam satu
kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-
hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kiai (Khadam).
2) Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain
tidak sopan juga dilarang agama. Bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka
kepada sang guru.
3) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
Hidup mewah hampir tidak didapatkan disana.
4) Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri,
membersihkan kamar tidurnya, bahkan sampai memasak sendiri.
5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) sangat
mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang mereta
dikalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid, dan belajar bersama.
6) Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya
memberikan sanksi-sanksi edukatif.
7) Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebaai akibat kebiasaan puasa
sunnah, dzikir, dan i‘tikaf, shalat tahajjud, dan bentuk-bentuk riyadlah kainnya atau
menauladani kiainya yang terbiasa dengan kehidupan zuhud.
8) Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman nama dalam satu daftar mata rantai pengalihan
pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Hal ini
menandakan adanya restu kiai kepada santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab
yang dikuasai penuh.
Para santri menyadari bahwa kiai merupakan sosok insan yang hebat secara
pengetahuan, berakhlak mulia, dan bijaksana sehingga sangat disegani. Upaya santri
untuk berhubungan dengan kiai selalu diwujudkan dalam sikap hati-hati, penuh
seksama dan hormat. Kiai memiliki posisi tinggi di masyarakat, dan mendapatkan
kedudukan yang terhormat. Seorang Kiai berperan besar terhadap kemajuan dan nilai
suatu pesantren. Karena seorang Kiai dijadikan profil bagi pesantren tersebut.
Kebiasaan yang ada bahwa sebuah pesantren akan ternama sebagaimana nama
seorang kiai-nya.
Posisi kiai sebagai seorang tuntunan dan panutan, secara langsung akan
mempengaruhi pola pemikiran para santri. Seorang Kiai ahli Fiqih, akan
10
mempengaruhi pesantrennya dengan kajian Fiqih, demikian seterusnya, bahwa
keahlian seorang kiai akan berpengaruh terhadap idealisme fokus kajian di pesantren
tersebut.
Seorang Kiai dalam sebuah pesantren memiliki multi fungsi, yaitu; sebagai guru
yang mengajarkan ilmu agama, sebagai mubaligh yang menyampaikan dakwah, dan
manajer yang memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya. Dari tiga
fungsi tersebut, tampaknya fungsi sebagai mubaligh yang lebih mempengaruhi
performance-nya, termasuk juga penampilan ketika mengelola pesantren.
Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi lain: pertama, sebagai agen budaya.
Kiai berperan sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat. Kedua, sebagai
mediator, yakni menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen
masyarakat. Ketiga, sebagai penyaring makelar budaya dan mediator, mengajarkan
budaya Islami pada masyarakat, sekaligus penghubung berbagai kepentingan
masyarakat. Kiai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren,
karena memiliki karismatik.
Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan kerugain
pesantren akibat sikap dan penampilan kiai yang membentuk mata rantai kelemahan
nya. Nurkholis Madjid memaparkan sebagai berikut:
a) Karisma
Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratis,
sebab tidak rasional, hal ini terbukti dengan tindakan kiai yang menjaga jarak
dengan santri.
b) Personal
Karena kepemimpinan kiai merupakan kepemimpinan karismatik maka dengan
sendirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan ini mengandung
implikasi bahwa seorang kiai tidak dapat digantikan oleh orang lain serta sulit
ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren
c) Religio-Feodal
Seorang kiai selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan tradisional
mobility dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang terbungkus keagamaaan ini
bila disalah gunakan akan jauh lebih berbahaya dari pada feodalisme biasa.
d) Kecakapan Teknis
Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka faktor kecakapan
teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan inimenjadi salah satu sebab
pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan zaman.
Kelemahan-kelemahan kepemimpinan kiai tersebut membutuhkan solusi yang
strategis untuk mengatasinya. Meskipun terasa sulit diperbaiki karena telah begitu
membudaya dan berurat akar hingga sekarang ini. Hal ini khususnya terjadi di
pesantren salafiyah.
c. Strategi Pengelolaan Pesantren
Keberhasilan dan kemajuan sebuah pesantren tidak terlepas dari faktor manajerial.
Jika sebuah pesantren dikelola secara profesional dan dengan manajemen yang bagus,
maka sebuah pesantren akan menjadi berkembang dan menjadi maju. Sebaliknya, jika
sebuah pesantren yang dikelola dengan manajemen yang rendah dan tidak profesional,
maka dapat dipastikan bahwa sebuah pesantren akan kalah dalam menghadapi tantangan
multi dimensi.
Pola kepemimpinan karismatik dalam pesantren menjadi salah satu faktor
kelemahan pesantren, selain faktor lainnya. Perlu diadakan pembaharuan dalam
manajerial pesantren dan membutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dan
menyebar ke berbagai komponen pendidikan, untuk mengembangkan dan memperbaiki

11
kwalitas dan kwantitas pesantren. Solusi beserta langkah-langkah yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
Pertama, menerapkan manajemen secara profesional. Hal ini dapat ditempuh
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengusai ilmu dan praktik tentang pengelolaan pesantren.
2) Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan.
3) Mampu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren.
4) Memiliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai tentang
pengelolaan.
5) Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren.
6) Memiliki kemiripan yang tinggi terhadap kemajuan pesantren.
7) Memiliki kejujuran dan disiplin tinggi
8) Mampu memberi teladan dalam pelaksanaan dan perbuatan kepada bawahan.
Kedua, menerapkan kepemimpinan yang kolektif. Strategi ini dapat diwujudkan
melalui langkah-langkah berikut:
1) Mendirikan yayasan
2) Mengadakan pembagian wewenang secara jelas
3) Memberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai
4) Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuai dengan kewenangan masing-
masing pihak secara proaktif
5) Menanggung resiko bersama-sama
Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini dapat ditempuh
melalui langkah-langkah berikut:
1) Mengurangi dominasi kiai dalam penentuan kebijakan
2) Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan pilihannya sendiri
3) Keputusan-keputusan yang diambil kiai memnpertimbangkan usaha-usah dari bawah
4) Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pimpinan unit-unit
kelembagaan secara terbuka dan mandiri
Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat dilalui sebagai
berikut:
1) Menyusun sturktur organisasi secara lengkap
2) Menyusun deskripsi pekerjaan (job description)
3) Menjelaskan hubungan kewenangan antar pegawi dan pimpinan, baik secara vertikal
maupun horizontal
4) Menanamkan komitmen terhadap tugas masing-masing pegawai
5) Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai
Kelima, menanamkan sikap sosio-egaliterianisme. Strategi ini dapat ditempuh
melalui langka-langkah berikut:
1) Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama
2) Memandang semua orang memiliki derajat dan martabat sosial yang sama sesuai
amanat al-Qur‘an
3) Menghapus diskriminasi di kalangan santri antara kelompok putra dan putri kiai
dengan santri biasa
4) Menghapus sikap mengkultuskan para kiai
5) Menghapus penghormatan yang berlebih kepada kiai
6) Menghapus sikap mengistewakan seseorang atau kelompok tertentu
7) Membebaskan para santri dari perasaan sebagai ―hamba‖ dihadapan kiai sehingga
mereka dapat menjadi santri yang sopan tetapi penuh inisiatif.
Keenam, menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama (taqdis
afkar al-dini). Strategi ini dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
12
1) Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab
2) Membinasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama dalam proses
pembelajaran.
3) Membiasakan kritik konstruktif dalam proses pembelajaran
4) Menanamkan kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang terjdai sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang
terjadi pada saat penulisan kitab itu.
5) Menanamkan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seoarang penulis kitab, dia pasti
memiliki kelemahan tertentu.
Ketujuh, memperkuat penguasaan epistimologi dan metodologi. Strategi ini dapat
dirinci melalui langkah-langkah berikut:
1) Menyajikan pelajaran teori pengetahuan
2) Memotivasi santri senior untuk mengembangkan pengetahuan
3) Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq, perbandingan
madzhab, agama dan ilmu-ilmu al-Qur‘an
4) Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan atau metode, seperti ushul fiqh dan kaidah-
kaidah ilmu fikih
5) Mengajarkan metodologi penelitian
6) Mengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah
7) Mengajarkan metode berpikir ilmiah
8) Memberikan tugas-tugas penulisan ilmiah
9) Mendorong keberanian para santri-santri senior untuk menulis buku-buku ilmiah
Kedelapan, mengadakan pembaruan secara berkesinambungan, sebagai berikut:
1) Mengadakan pembaruan dan/atau penamabahan institusi
2) Mengadakan pembaruan sistem pendidikan
3) Mengadakan pembaruan sistem kepemimpinan
4) Mengadakan pembaruan sistem pembelajaran
5) Mengadakan pembaruan kurikulum
6) Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metodogi
7) Mempurkuat SDM para ustadz, perpustakaan, dan laboratorium.
Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian. Strategi ini dapat
dilakukan sebagai berikut:
1) Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri
2) Mengelola konsumsi para santri (tata boga)
3) Mendirikan koperasi
4) Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan
finansial
5) Membuat jaringan kerjasama dengan pihak lain yang saling menguntungkan
6) Mendirikan usaha-usaha produktif lainnya.

D. Pertemuan Ke-4
Materi: Manajemen berbagai macam lembaga pendidikan Islam
1. Manajemen Madrasah
Madrasah merupakan terjemahan dari istilah sekolah dalam bahasa Arab. Namun
konotasi madrasah dalam hal ini bukan pengertian etimologi tersebut, melainkan pada
kualifikasinya. Selam ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mutunya lebih rendah daripada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum,
walaupun beberapa madrasah justru lebih maju daripada sekolah umum.
1. Penyebab Kelemahan Madrasah

13
Adapun faktor-faktor yang membuat kualitas madrasah rendah adalah kualitas
pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultur masyarakat, kebijakan politik negara, dan
terlalu banyak beban yang harus dijalani siswa.
Perilaku pemimpin atau pengelola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
maju mundurnya sebuah madrasah perilaku positif dan proaktif dapat mendukung
kemajuan madrasah. Sebaliknya perilaku negatif dan kontra produktif justru
menghambat kemajuan perilaku negatif ini terkait dengan tradisi kurang baik yang
berlangsung dan berkembang di suatu madrasah.
Praktek manajemen di madrasah sering menggunakan manajemen tradisional yaitu
manajemen feodalistik. Penghormatan yang berlebihan pada senior justru menimbulkan
dua macam kelemahan. Pertama, kalangan senior tidak merasa tertantang sehingga
kreatifitasnya tidak terbangkitkan sama sekali. Kedua, kalangan junior merasa
gagasanya terbelenggu sehingga merasa pesimis dalam menghadapi tantangan-
tantangan lembaga pendidikan dimasa depan.
Selama ini madrasah dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan kelas ekonomi,
tidak bermutu, hanya mengajarkan agama, jurusan akhirat, tempat penampungan anak-
anak orang miskin, bersistem kolot dan tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum atau
perguruan tinggi umum negeri.
Ada banyak faktor lain yang juga menyebabkan mutu madrasah lemah termasuk
masalah yang berhubungan yang harus dijalani siswa. Beban yang diwajibkan pada
siswa madrasah jauh lebih berat daripada beban siswa umum. Apalagi madrasah yang
berada dalam pesantren, beban siswa lebih berat lagi karena disamping siswa mengikuti
pelajaran di madrasah juga mengikiti pelajaran pesantren.
2. Srategi mengatasi kelemahan madrasah
Mengingat banyaknya faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga pendidikan
madrasah maka perlu adanya strategi untuk mengatasi asalah tersebut. Sejumlah
pemerhati lembaga pendidikan mencoba menawarkan berbagai konsep untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan madrasah. Tawaran konseptual ini merupakan kepedulian
mereka untuk berpartisipasi dalam membentu mutu madrasah yang maju dan unggul.
Rahim menyatakan bahwa paradigm manajemen harus bergeser dari paradigma
lama ke paradigma baru. Dengan perubahan paradigma ini, pemimpin madrasah dituntut
untuk melakukan langkah-langkah ke arah perwujudan visi madrasah. Langkah-langkah
tersebut di antaranya:
1) Membangun kepemimpinan madrasah yang kuat dengan meningkatkan koordinasi,
menggerakan semua komponen madrasah, mensinergikan semua potensi,
merangsang perumusan tahapan-tahapan perwujudan visi dan misi madrasaah, serta
mengambil prakarsa yang berani dalam pembaruan.
2) Menjalankan manajemen madrasah yang terbuka dalam pengambilan keputusan
dan penggunaan keuangan madrasah.
3) Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
4) Mengupayakan kemandirian madrasah untuk melakukan langkah terbaik bagi
madrasah.
5) Menciptakan proses pembelajaran yang efektif, dengan ciri-ciri:
6) Proses itu memberdayakan siswa aktif dan partisipatif,
7) Target pembelajaran sampai dengan tahap pemahaman ekspresif,
8) Mengutamakan proses internalisasi ajaran agama dengan kesadaran sendiri,
9) Merangsang siswa untuk mempelajari berbagai cara belajar, dan
10) Menciptakan semangat yang tinggi dalamm menjalankan tugas.
3. Prospek Madrasah ke Depan
Mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya, mengantarkan kepada
penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan
14
strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai
individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun tidak hanya
untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinaan semacam ini perlu direncanakan
matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan teknis, yang tentu saja akan bisa
dicapai melalui satu pertumbuhan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-
aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-
kenyataan yang hidup ―di sini hari ini‖, sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi
pendidikan Islam yang perlu direalisasikan ―di hari esok‖. Segi pertama berjangka
pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat dibiarkan
berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan
dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua
secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah perlu
merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik dalam konteks
komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan
dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan
pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ―ke-akram-an‖
dalam arti ―kelebihtakwaan‖. Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang
semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika kemasyarakatan dan segala aspek
kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima kenyataan
hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama. Demikian juga
kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk
menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan kuat
antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan transformasi
kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak
mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa
proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku
pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik
yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus
menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang
dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh
berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan
konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata,
diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di
samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap
problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah Allah, yakni 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan
mampu rnencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yaitu sa'adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya,
menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional
dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal
yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan
sosial.
2. Manajemen Perguruan Tinggi Islam
1. Polarisasi PTAI dan Problematikanya
15
Pada umumnya, PTAIN lebih maju dari PTAIS karena PTAIN memperoleh
pendanaan yang lebih memadai, manajemen yang lebih profesional, control yang lebih
ketat, serta dukungan masyarakat yang lebih kuat dan luas. Namun, secara khusus,
dalam kasus-kasus tertentu, mungkin saja ada perguruan tinggi Islam swasta yang lebih
berkualitas daripada perguruan tinggi negeri. Perbedaan kualitas itu tidak hanya terjadi
dikalangan perguruan tinggi Islam, tetapi kecenderungan yang sama juga telah lama
terjadi di kalanan perguruan tinggi umum. Karena itu, kesan yang terbangun di
Indonesia adalah perguruan tinggi negeri, baik yang berlebel Islam maupun umum,
lebih berkualitas daripada perguruan tinggi swasta.
Pengembangan PTAIN menghadapi Kendala politis, kultural, sosial, dan
psikologis. Kendala politis itu terjadi misalnya menyangkut kelembagaan seperti yang
terjadi pada zaman orde baru. PTAIN juga mendapat perlakuan sangat diskriminatif
berkaitan dengan pendanaan, terutama pada masa orde baru. Di dalam PTAIN sendiri
juga terdapat kendala politis yang tentunya juga sangat mengganggu perkembangan
tradisi akademik yang baik dan mutu pendidikan.
Kendala lain yang dihadapi PTAIN adalah kendala kultural. Misalnya motifasi
dakwah mendomonasi langkah-langkah civitas akademika sehingga berimplikasi pada
munculnya kegiatan tanpa perencanaan yang matang, kecenderungan pada penampilan,
upaya konservasi lebih kuat, kecenderungan menjadi masyarakat yang suka mendengar
dan bercakap-cakap, lebih suka melakukan pendekatan doktrinal dan lain-lain.
Kendala selanjutnya berhubungan dengan dimensi sosial. Masyarakat memiliki
daya tarik yang rendah terhadap PTAIN mereka yang kuliah di PTAIN masih terbatas
pada masyarakat santri sedangkan masyarakat non santri belum tertarik pada PTAIN.
Hal ini disebabkan karena masyarakat menduga PTAIN hanya mengajarkan mata kuliah
agama sedangkan mata kuliah umum tidak diajarkan.
Kendala berikutnya adalah kendala psikologis masyarakat Indonesia secara
psikologis belum bisa diajak maju, baik masyarakat yang berasal dari level pejabat,
kalangan pendidikan, siswa atau mahasiswa, maupun para orang tua.
2. Solusi Penataan PTAI
Problem-problem serius yang dialami PTAI harus segera diatasi. Pihak yang
bertanggungjawab adalah para pemimpin perguruan tinggi agama Islam tersebut karena
mereka merupakan pengeandali, meskipun problem-problem itu bisa saja terjadi karena
ulah orang lain. Kemudian, seluruh civitas akademik harus merespon dengan kompak
untuk mendukung pimpinan dalam mengadakan pembenahan.
Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk menata PTAI adalah: Dalam
menyelesaikan kendala politis yang bersifat eksternal dapat dilakukan melalui cara
berikut:
1) Lobi-lobi dari pejabat yang dimulai dari tingkata dirjen pendidikan Islam, sekjen,
bahkan menteri agama.
2) Menggalang dukungan dari DPR
3) Menunjukan kesiapan konsep, fisik, dan mekanisme kerja.
4) Menunjukan keseriusan dan komitmen yang btinggi untuk mengembangkan lembaga
menjadi lebih besar.
Bagi kendala politis yang bersifat internal dapat diselesaikan dengan dua cara yaitu
cara kuratif dan preventif. Cara kuratif dapat dilaksanakan dengan cara:
1) Membawa dosen ke dalam suasana akademik
2) Memperkuat tradisi akademik dan
3) Mengkreasi kesibukan-kesibukan akademik yang melibatkan mereka sehingga
mereka tidak sempat bermain politik.
Sedangkan cara preventif diberlakukan dengan:

16
1) Melakukan penyaringan atau seleksi pada calon dosen yang benar-benar
mencerminkan sosok akademis
2) Menghindarkan diri dari calon dosen atau karyawan yang cenderung terlalu fokus
pada bisnis pribadi dan politik.
3) Membuat surat perjanjian yang harus ditanda tangani calon pegawai untuk bekerja
secara professional.
4) Membuat pernyataan yang harus ditanda tangani caln pegawai untuk tidak terlibat
dalam hal politik.
Dalam menghadapi kendala kultural bisa menempu beberapa cara:
1) Mengharuskan para bawahanya untuk mengadakan perencanaan, penorganisasian,
penggerakan, dan pengontrolan secara ketat.
2) Menggerakan bawahan pada orientasi kreasi dan kekaryaan.
3) Menggerakan terwujudnya reading-writing society pada civitas akademik.
4) Menanamkan semangt berprestasi unggul.
5) Membudyakan kritik konstruktif-argumentatif.
6) Mentradisikan penelitian penulisan karya ilmiah.
7) Mendorong keberanian untuk mempublikasikan hasil-hasil karya ilmiah ke ruang
publik.
Untuk mengatasi kendala sosial sebaiknya melakukan hal-hal berikut:
1) Penyebaran informasi secara memadai kepada masyarakat luas terutama melalui
radio kampus.
2) Membangun opini atau kesan tentang berbagai kelebihan perguruan tinggi Islam
3) Menggiring masyarakat agar memiliki persepsi yang benar pada perguruan tinggi
Islam sesuai dengan realitas yang ada.
4) Mengundang masyarakat ke kampus pada even-even tertentu.
5) Melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
6) Mengajak masyarakat untuk memasukan putra putrinya keperguruan tinggi Islam.
Adapun dalam mengatasi kendala psikologis dapat dilakukan hal berikut:
1) Menanamkan pendidikan berbasis kesadaran di kampus.
2) Mengondisikan lingkungan yang aman dan menyenangakan.
3) Melaksanakan proses pembelajaran secara ketat.
4) Menggunakan pendekatan, srategi, dan metode pembelajaran yang akseleratif.
5) Memiliki perhatian khusus pada mahasisiwa yang potensinya lemah melalui
penambahan pembelajaran dan strategi khusus.
6) Melakukan evaluasi secara objektif, ketat, dan menyeluruh

E. Pertemuan Ke-5
Materi: Manajemen Komponen-komponen Dasar Pendidikan Islam
1. Manajemen Personalia Pendidikan Islam
a. Pengertian Manajemen Personalia
Secara etimologi Manajemen Personelia terdiri dari dua kata, yaitu Manajemen
berasal dari bahasa inggris ―manage‖ yang artinya mengatur, dan Personalia yang
artinya anggota. Sedangkan secara terminologi personalia yang dimaksud disini adalah
semua anggota organisasi yang bekerja untuk kepentingan organisasi yaitu untuk
mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
Personalia organisasi pendidikan mencakup para guru, para pegawai, dan para
wakil siswa/mahasiswa. Termasuk para manager pendidikan yang mungkin dipegang
oleh beberapa guru (Made Sidarta, 2004:108). Tidak hanya mereka yang paling aktif
dalam proses pendidikan yaitu para guru dan karyawan namun wakil siswa seperti
anggota OSIS atau Senat Mahasisawa serta alumni juga dapat dimasukkan sebagai

17
personalia pendidikan karena paling tidak mereka dimintai umpan balik dalam
mengambil keputusan atau dapat berpartisipasi dalam lembaga pendidikan.
Manajemen personalia ialah manajemen yang memperhatikan orang-orang dalam
organisasi. Yang merupakan salah satu sebsusi manajemen, perhatian terhadap orang-
orang itu mencakup, merekrut, menempatkan sebagai fungsi manejemen personalia
(Made Sidarta, 2004:109).
Ada juga yang mengatakan manajemen personalia adalah manajemen yang
menitikberatkan perhatiannya kepada soal-soal pegawai atau personalia dalam suatu
organisasi.
Manajemen personalia ialah bagian manajemen yang memperhatikan orang-orang
dalam organisasi, yang merupakan salah satu sub sistem manajemen, perhatian terhadap
orang-orang itu mencakup merekrut, menempatkan, melatih dan mengembangkan dan
meningkatkan kesejahteraan mereka yang dikatakan sebagai fungsi manajemen
personalia fungsi ini menunjukkan apa yang harus ditangani oleh manajer pada segi
personalia
Jadi manajemen personalia adalah seni dan ilmu memperoleh, memajukan dan
memanfaatkan tenaga kerja sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi dapat direalisir
secara berdaya guna dan berhasil akan adanya kegairahan kerja dari para tenaga kerja.
b. Prinsip Dasar Manajemen Personalia
Kepala Sekolah sebagai top leader di sekolah wajib mendayagunakan seluruh
personel secara efektif dan efisien agar tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
tersebut tercapai secara optimal. Adapun efektif disini menyangkut hal-hal yang bersifat
ekstren yaitu kwalitas jasa pelayanan yang mempuyai pengaruh pada dunia luar yang
dilayani oleh organisasi tersebut. Dan untuk mengukur seberapa efektifkah organisasi
tersebut maka caranya dengan memperhatikan dua faktor yaitu seberapa besar
pencapaian sasaran dan bagaimana kualitas jasa pelayanan. Sedangkan efisien disini
berorientasi pada hal-hal yang bersifat intren yakni berkaitan dengan energi, kegiatan
dan vitalitas dalam organisasi. Adapun indikatornya yaitu kerjasama, motivasi,
prosedur-prosedurnya, dan supervise (Iwa Sukiswa, 1986:40-41). Untuk itu kepala
sekolah setidaknya mempunyai prinsip dasar yang harus dipegang dalam menerapkan
manejemen personalia agar tercapai tujuan penyelenggaran pendidikan, yaitu:
Dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling
berharga.
Sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik
sehingga mendukung tercapainya tujuan institusi/lembaga sekolah.
Kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta prilaku manajerial kepala sekolah
sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah.
Manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga
dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah (Hasbullah,
2010:113).
Dalam proses rekrutmen dan pembinaan struktural staf sekolahlah yang terlibat dan
harus bertanggung jawab. Sementara itu, pembinaan profesional dalam rangka
pembangunan kapasitas dan kemampuan kepala sekolah serta pembinaan ketrampilan
guru dalam mengimplementasikan kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya yang
dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah.
Personalia pendidikan yang kreatif dan berpartisipasi aktif dalam pengembangan
organisasi sangat dibutuhkan. Akibat tuntutan perubahan zaman maka merekalah orang
yang mampu mempertahankan kelangsungan organisasi dari kepunahan. Kemudian
untuk membina kreatifitas dan partisipasi maka dengan memberi kesempatan dan
tanggung jawab untuk melaksanakan tugas tertentu yang bersifat non rutin inilah
menjadi cara pembinaan tersebut.
18
c. Peran Manajemen Personalia
Suatu lembaga pendidikan dalam memajukan kualitas pendidikan yang sedang
ditanganinya untuk mencapai tujuan pendidikan maka membutuhkan peran dari masing-
masing menejemen sesuai dengan bidangnya. Manajemen personalia merupakan bagian
manajemen yang memperhatikan orang-orang dalam organisasi, yang menjadi salah
satu sub sistem manajemen (Made Sidarta, 2004:109).
Adapun tugas manajer dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan yakni ia harus
memperhatikan segala sesutu mengenai personalia mulai dari merencanakan, merekrut,
menyeleksi, meneliti untuk perbaikan hingga memberhentikan atau memberi pensiun
pegawai hal tersebut dilakukan karna merupakan kunci keberhasilan pendidikan.
Terkadang, meskipun secara konsep personalia pendidikan merupakan kunci
keberhasilan pendidikan namun faktanya mereka kurang mendapat perhatian dari
manajer. Pembahasan dalam rapat-rapat atau seminar hanya membahas mengenai
kurikulum mengenia proses belajar mengajar, namun pembahasan mengenai bagaimana
cara agar proses belajar mengajar dapat dilaksanakan oleh tenaga pengajar hampir tidak
pernah dibahas. Maka dari itu untuk menghindari penyebab kegagalan inovasi dalam
proses belajar mengajar sebaiknya para manager pendidikan memberikan perhatiannya
kepada personalia yang sama besarnya dengan sub sistem manajemen yang lain.
Diharapkan dengan perhatian yang sama besar, manajer dapat mewujudkan perilaku
organisasi pada setiap anggota organisasi.
Dalam manajemen personalia tidak hanya manager saja yang mendayagunakan
lembaga pendidikan namun tenaga kependidikan pun mempunyai peran dalam
memajukan sekolah yang mencakup perencanaan pegawai, pengadaan pegawai,
pembinaan dan pengembangan pegawai, promosi dan mutasi, pemberhentian pegawai,
kompensasi, dan penilaian pegawai. Agar apa yang diharapkan tercapai maka perlu
dilakukan dengan baik dan benar, dengan tenaga kependidikan yang diperlukan yaitu
tenaga yang mempunyai kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.
Perencanaan pegawai merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai,
baik secara kuantitatif dan kualitatif untuk sekarang dan masa depan dalam penyusunan
rencana yang baik dan tepat memerlukan informasi yang lengkap dan jelas tentang
pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan dalam organisasi. Untuk itu sebelum
menyusun rencana perlu dilakukan analisis pekerjaan dan analisis jabatan untuk
memperoleh diskripsi pekerjaan. Kemudian pengadaan pegawai merupakan kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun
kualitasnya. Untuk itu dilakukan kegiatan rekruitmen yaitu usaha untuk mencari dan
mendapatkan calon-calon pegawai yang memenuhi syarat sebanyak mungkin, untuk
kemudian dipilih calon terbaik dan tercakap (Made Sidarta, 2004:43).
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa manajemen personalia pendidikan bertujuan
untuk mendayagunakan tenaga kependididkan secara afektif dan efisien untuk mencapai
hasil yang optimal namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan
dengan itu selain peran pendidik di atas juga peran manager yang harus dilaksanakan di
antaranya menarik, mengembangkan, menggaji, dan memotivasi personil guna
mencapai tujuan sistem, membantu anggota mencapai posisi dan standar perilaku,
memaksimalkan pengembangan karier tenaga kependidikan, menyelaraskan tujuan
individu dan organisasi
Kebutuhan akan jumlah tenaga kependididkan memang sudah direncanakan oleh
pemerintah untuk jangka waktu tertentu dengan maksud pemerintah mencetak guru-
guru sementara yang disebut program diploma. Dalam hubungan ini para manager
pendidikan tinggal menerima rincian dari pemerintah yang menjadi masalah ialah belum

19
semua lembaga pendidikan menerima dan memiliki tenaga-tenaga kependidikan yang
mencukupi.
d. Tanggung Jawab Manajemen Personalia
Kaitannya dengan tanggung jawab manajemen personalia, hal ini yang paling
berperan adalah kepala sekolah. Ada tiga aspek penting yang perlu dilakukan kepala
sekolah sebagai tanggung jawab dalam pengembangan tenaga di sekolah yaitu
peningkatan profesionalisme, pembinaan karir, dan kesejahteraan.
1) Peningkatan Profesionalisme,
Peningkatan kemampuan guru dan staf administrasi dapat dilakukan melalui:
a) Mengikutsertakan guru/staf pada pelatihan yang sesuai. Mereka yang selesai
mengikuti pelatihan harus menularkan pengetahuannya kepada yang lain.
b) Sekolah perlu menyediakan buku atau referensi yang memadai bagi guru/staf.
c) Mendorong dan menfasilitasi guru/staf untuk melakukan tutorial sebaya. Kepala
sekolah juga perlu mendorong pertemuan berkala antar guru mata pelajaran sejenis
di sekolah.
2) Pembinaan Karir
Untuk pembinaan karir guru dan staf administrasi, kepala sekolah harus
membantu, mendorong, dan menfasilitasi agar mereka dapat meningkatkan karirnya
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999:79-80).
3) Pembinaan Kesejahteraan
Kesejahteraan harus diartikan material dan non material yang mengarah kepada
kepuasan kerja. Harus di ingat bahwa personelia sekolah merupakan orang terdidik,
sehingga kesejahteraan non material seringkali sangat diperlukan. Untuk itu perlu di
lakukan antara lain:
a) Memberikan apa yang menjadi hak guru dan staf administrasi.
b) Memberikan penghargaan baik berupa material mauun non material bagi yang
berprestasi atau telah mengerjakan tugas dengan baik.
c) Membina hubungan kekeluargaan diantara para guru/staf beserta keluarganya.
d) Jika kondisi memungkinkan mengupayakan kesejahteraan guru dalam RAPBS,
sepanjang tidak menyalahi aturan yang berlaku.
e. Manajemen Personalia Lembaga Pendidikan Islam
Kualitas pendidikan masih tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah
kualitas guru yang kurang optimal. Guru memainkan peranan penting dalam membina
generasi muda yang siap pakai, handal, terampil dan responsive menghadapi masa
depan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, pengembangan sumber daya manusia
merupakan suatu keharusan. Artinya Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat
dan martabat manusia, karena dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat.
Hal ini sesuai, dengan QS. al-Isra‘: 70.
‫اه ْم َعلَ ٰى‬ ِ ‫۞ ولََق ْد َكَّرمنا بِِن آدم و ََح ْلناهم ِِف الْب ِّر والْبح ِر ورزقْ ناهم ِمن الطَّيِّب‬
ُ َ‫ض ْلن‬
َّ َ‫ات َوف‬َ َ ْ ُ َ َََ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ
ِ ‫َكِ ٍري ِ َّن خلَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ض اًليي‬ َ ْ
―dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempuran atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan.‖
2. Manajemen Kesiswaan Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen kesiswaan adalah pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan peserta
didik mulai dari awal masuk hingga tamat dari lembaga pendidikan. Dalam konteks
pendidikan Islam, manajemen kesiswaan memiliki makna yang relatif sama dengan
20
manajemen kemahasiswaan dan manajemen kesantrian. Istilah yang terakhir ini khususnya
berlaku di kalangan pesantren dan berbeda dengan pengertian santri secara umum yang
orang yang menjalankan ibadah wajib terutama shalat,.
Manajemen kesiswaan bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang
kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar, tertib,
teratur, serta mampu mencapai tujuan pendidikan sekolah. Tujuan tersebut meliputi
dimensi waktu yang panjang seklai, sehingga manajemen kesiswaan tidak hanya terbatas
pada pengaturan siswa ketika mereka mengikuti proses pembelajaran di sekolah, tetapi
juga ketika mereka akan keluar untuk studi lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
ataupun jika mereka memilih masuk ke dunia kerja.

F. Pertemuan Ke-6
Materi: Manajemen Komponen-komponen Dasar Pendidikan Islam
1. Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum adalah rancangan segala kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan
pendidikan memiliki peran yang penting, setidaknya, dalam mewarnai kepribadian
seseorang. Oleh karena itu kurikulum perlu dikelola dengan baik.
Kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri-ciri tertentu. Al-Syaibani mencatat ciri-ciri
tersebut sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode alat,
dan tehniknya.
b. Memiliki keseimbangan antara kandungan kurikulum dari segi ilmu dan seni,
kemestian, pengalaman, dan kegiatan pengajaran yang beragam.
c. Berkecenderungan pada seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer,
pengetahuan tehnik, latihan kejuruan, dan bahasa asing untuk perorangan maupun bagi
mereka yang memiliki kesediaan, bakat, dan keinginan.
d. Keterkaitan kurikulum dengan kesediaan, minat, kemampuan, kebutuhan, dan
perbedaan perorangan di antara mereka.
Ciri-ciri ini menggambarkan adanya berbagai tuntutan yang harus ada dalam
kurikulum pendidikan Islam. Tuntutan ini terus berkembang sesduai dengan tantangan
zaman yang sedang dihadapi. Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang ini tentu
sangat berbeda dengan zaman klasik dulu. Tuntutan di di zaman sekarang ini lebih
komplek. Oleh karena itu, sebaiknya ada cirri-ciri permanen dan cirri-ciri responsif
terhadap tuntutan zaman di dalam kurikulum pendidikan Islam. Ciri-ciri permanen
merupakan ciri-ciri elementer yang melekat pada pendidikan Islam, misalnya dijiwai oleh
nilai-nilai ketauhidan., Sementara itu, ciri-ciri responsif merupakan sikap dalam
menghadapi tuntutan perkembangan zaman, seperti bersikap adaptif selektif terhadap
kecenderungan global.
Manajemen kurikulum sebenarnya menekankan pada strategi pengelolaan proses
pembelajaran secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil pendidikan secara maksimal.
Proses pembelajaran tampaknya memang menjadi penentu kualitas pendidikan melebihi
komponen-komponen lainnya. Namun demikian, semua komponen tetap diperlukan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan.

2. Manajemen Keuangan Pendidikan Islam


Pengertian manajemen keuangan dalam arti sempit adalah tata pembukuan. Sedangkan
dalam arti luas adalah pengurusan dan pertanggungjawaban dalam menggunakan
keuangan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Adapun Maisyarah menjelaskan bahwa
manajemen keuangan adalah suatu proses melakukan kegiatan mengatur keuangan dengan
menggerakkan tenaga orang lain. Kegiatan ini dapat dimulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengawasan. Dalam manajemen keuangan
21
di sekolah tersebut dimulai dengan perencanaan anggaran sampai dengan pengawasan dan
pertanggung jawaban keuangan (Sulistiyorini, 2009:130).
Keuangan nampaknya mempunyai peran yang signifikan dalam suatu lembaga
apapun, khususnya lembaga pendidikan. Mujamil Qomar mengatakan, ada dua hal yang
menyebabkan besarnya perhatian pada keaungan, yaitu: Petama, keuangan termasuk kunci
penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga pendidikan. Kenyataan ini mengandung
konsekuensi bahwa program-program pembaruan atau pengembangan pendidikan menjadi
gagal dan berantakan manakala tidak didukung oleh keuangan yang memadai; dan kedua,
lazimnya keuangan itu sulit sekali didapatkan dalam jumlah yang besar khususnya bagi
lembaga pendidikan swasta yang baru berdiri (2008:150-151).
Manajemen keuangan di sekolah Islam atau madrasah terutama berkenaan dengan kiat
sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan
dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan
cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan. Inti dari manajemen
keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping
mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun
kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan
transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat
dan sumber-sumber lainnya (Siagian, 2001:120).
3. Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan Islam
a. Pengertian
Sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar
mengajar baik yang bergerak maupun tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan
dapat berjalan dengan lancar, efektif, teratur dan efisien (Suharsimi Arikunto dan Lia
Yuliana, 2008:273). Misalnya: gedung, ruang kelas, meja kursi serta alat-alat media
pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah fasilitas yang secara tidak
langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Seperti halaman,
kebun, taman, jalan menuju madrasah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk
proses belajar mengajar, seperti taman madrasah untuk pengajaran biologi, halaman
madrasah sebagai lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.
Manajemen sarana prasarana dapat diartikan sebagai proses kerjasama
pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien
(Sulistyorini, 2009:85). Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa sarana dan prasarana
yang ada harus didayagunakan dan dikelola untuk kepentingan proses pembelajaran.
Pengelolaan sarana dan prasarana tersebut dimaksudkan agar penggunaannya bisa
berjalan dengan efektif dan efisien.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga
sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi pada proses
pendidikan secara optimal dan berarti. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan
perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi, dan penghapusan
serta penataan (Mulyasa, 2002:49-50). Sarana dan prasarana pendidikan itu dalam
lembaga pendidikan Islam sebaiknya dikelola dengan sebaik mungkin dengan
mengikuti kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut (Mujamil Qomar, 2008:171):
1) Lengkap, siap dipakai setiap saat, kuat dan awet.
2) Rapi, indah, bersih, anggun, dan asri sehingga menyejukkan pandangan dan perasaan
siapa pun yang memasuki komplek lembaga pendidikan Islam.
3) Kreatif, inovatif, responsif dan bervariasi sehingga dapat merangsang timbulnya
imajinasi peserta didik.
4) Memiliki jangkauan waktu yang panjang melalui perencanaan yang matang untuk
menghindari kecenderungan bongkar pasang bangunan.

22
5) Memiliki tempat khusus untuk beribadah maupun pelaksanaan kegiatan sosio-
religius seperti mushalla atau masjid.
Ketentuan ini ketika diterapkan pada jenjang pendidikan yang berbeda, akan
menghasilkan keputusan yang berbeda pula. Misalnya pada ketentuan harus kreatif,
inovatif, responsif, dan bervariasi antara lembaga madrasah Ibtidaiyah dengan madrasah
aliyah sangat berbeda, seperti penataan meja. Penataan ini pada madrasah Ibtidaiyah
bisa berbeda-beda antara semua kelas. Ada yang seluruh meja di depan papan tulis
seperti yang terjadi selama ini, ada kelas yang penataan mejanya dalam bentuk oval,
separuh oval, beberapa meja bulat, dan sebagainya. Tetapi untuk madrasah Aliyah tidak
perlu sevariasi itu.
Untuk penataan lingkungan dalam kompleks sekolah/madrasah/perguruan
tinggi/pesantren seharusnya rapi, indah, bersih, anggun dan asri. Keadaan ini setidaknya
menjadikan peserta didik merasa betah (kerasan) berada di lembaga pendidikan baik
sewaktu proses pembelajaran berlangsung di kelas, waktu istirahat, ketika berkunjung
ke sekolah, bahkan tamu-tamu dari luar juga diharapkan merasakan hal yang sama.
Kenyataan di lapangan kebanyakan lembaga pendidikan Islam kurang memperhatikan
kerapian, kebersihan, keindahan, keanggunan dan keasrian tersebut apalagi pesantren,
kecuali dalam jumlah yang amat sedikit seperti pesantren al-Nur Bululawang Malang
yang telah mengelola lingkungan dalam komplek pesantren cukup indah. Taman-
tamannya diatur bagus dan ada semacam kebun binatang mini. Nabi pernah bersabda:

‫َا َا ِب ْل ٌل ُب ِب ُّق ْل َا َا َا َا‬ ‫إَا َّدا‬


―Sesungguhnya Allah itu indah, Dia menyukai terhadap keindahan‖.
Gedung-gedung yang dibangun harus diupayakan melalui perencanaan yang
matang sehingga minimal digunakan dalam waktu 25 tahun. Untuk itu gedung harus
kuat, awet dan posisinya tepat sehingga tidak sampai dibongkar kemudian didirikan
gedung baru di tempat yang sama dalam waktu yang relatif cepat, karena cara itu adalah
pemborosan. Sebaiknya gedung itu dibangun bertingkat yang mengandung manfaat di
samping menghemat tanah juga terkesan kokoh. Bentuk gedung pun sebaiknya juga
indah dan memiliki gaya arsitektur yang khas yang menyebabkan orang yang
memandang merasa tertarik (Mujamil Qomar, 2008:172).
Di samping itu, suatu keharusan juga untuk membangun masjid atau setidaknya
mushalla. Bangunan ini bukan sekadar simbol bagi lembaga pendidikan Islam tetapi
memang merupakan kebutuhan riil untuk beribadah ketika pegawai dan peserta didik
berada di sekolah. Masjid atau Mushalla itu juga bisa dimanfaatkan sebagai
laboratorium ibadah bagaimana cara berwudhu yang benar, dan bagaimana
mempraktekkan shalat yang benar, keduanya bisa dilaksanakan di tempat tersebut.
Lebih dari itu, masjid atau mushalla diupayakan ikut mewarnai perilaku Islami warga
sekolah sehari-hari dengan mengoptimalkan kegiatan keagamaan maupun kegiatan
ilmiah yang ditempatkan di masjid atau mushalla (Mujamil Qomar, 2008:173).
Dalam mengelola sarana dan prasarana di sekolah dibutuhkan suatu proses
sebagaimana terdapat dalam manajemen yang pada umumnya, yaitu mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pemeliharaan dan pengawasan. Apa yang
dibutuhkan oleh sekolah perlu direncanakan dengan cermat berkaitan dengan semua
sarana dan prasarana yang mendukung terhadap proses pembelajaran.
Tujuan dari pada pengelolaan sarana dan prasarana sekolah ini adalah untuk
memberikan layanan secara profesional berkaitan dengan sarana dan prasarana
pendidikan agar proses pembelajaran bisa berlangsung secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan tujuan ini. Bafadal (2003) menjelaskan secara rinci tentang tujuan
manajemen sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut (Sulistyorini, 2009:86):

23
1) Untuk mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana sekolah melalui sistem
perencanaan dan pengadaan yang hati-hati dan seksama, sehingga sekolah memiliki
sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan.
2) Untuk mengupayakan pemakaian sarana dan prasarana sekolah secara tepat dan
efisien.
3) Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan, sehingga
keadaannya selalu dalam kondisi siap pakai dalam setiap diperlukan oleh semua
personil sekolah.
Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan
sekolah/sekolah Islam yang bersih, rapi, indah, sehingga menciptakan kondisi yang
menyenangkan baik bagi guru maupun untuk berada di sekolah Islam. Di samping itu
juga diharapkan tersedianya alat-alat fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif,
kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun
murid-murid sebagai pelajar.
b. Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
Dalam mengelola sarana dan prasarana sekolah terdapat beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan agar tujuan bisa tercapai dengan maksimal. Menurut Bafadal prinsip-
prinsip tersebut antara lain:
1) Prinsip pencapaian tujuan
Pada dasarnya manajemen perlengkapan sekolah di lakukan dengan maksud agar
semua fasilitas sekolah dalam keadaan kondisi siap pakai. Oleh sebab itu,
manajemen perlengkapan sekolah dapat di katakan berhasil bilamana fasilitas
sekolah itu selalu siap pakai setiap saat, pada sat seorang personel sekolah akan
menggunakannya.
2) Prinsip Efisiensi
Dengan prinsip efisiensi semua kegiatan pengadaan sarana dan prasarana sekolah di
lakukan dengan perencanaan yang hati-hati, sehingga bisa memperoleh fasilitas yang
berkualitas baik dengan harga yang relatif murah. Dengan prinsip efisiensi berarti
bahwa pemakaian semua fasilitas sekolah hendaknya dilakukan dengan sebaik-
baiknya, sehingga dapat mengurangi pemborosan. Maka perlengkapan sekolah
hendaknya dilengkapi dengan petunjuk teknis penggunaan dan pemeliharaannya.
Petunjuk teknis tersebut di komunikasikan kepada semua personil sekolah yang di
perkirakan akan menggunakannya. Selanjutnya, apabila di pandang perlu, dilakukan
pembinaan terhadap semua personel.
3) Prinsip Administratif
Yaitu manajemen sarana dan prasarana di sekolah harus selalu memperhatikan
undang-undang, instruksi, dan petunjuk teknis yang diberlakukan oleh pihak yang
berwenang.
4) Prinsip kejelasan tanggung jawab
Di Indonesia tidak sedikit adanya kelembagaan pendidikan yang sangat besar dan
maju. Oleh karena besar, sarana dan prasarananya sangat banyak sehingga
manajemennya melibatkan banyak orang. Bilamana hal itu terjadi maka perlu adanya
pengorganisasian kerja pengelolaan perlengkapan pendidikan. Dalam
pengorganisasiannya, semua tugas dan tanggung jawab semua orang yang terlibat itu
perlu dideskripsikan dengan jelas.
5) Prinsip kekohesifan
Dengan prinsip kekohesifan berarti manajemen perlengkapan pendidikan di sekolah
hendaknya terealisasikan dalam bentuk proses kerja sekolah yang sangat kompak.
Oleh kerena itu, walaupun semua orang yang terlibat dalam pengelolaan

24
perlengkapan itu telah memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing, namun
antara satu dengan yang lainnya harus selalu bekerja sama dengan baik.
c. Proses Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan disekolah berkaitan erat dengan
aktivitas-aktivitas pengadaan, pendistribusian, penggunaan dan pemeliharaan,
inventarisasi, serta penghapusan sarana dan prasarana pendidikan Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa perlu adanya suatu proses dan keahlian di dalam mengelolanya.
Dan tindakan prefentif yang tepat akan sangat berguna bagi instansi.
Dalam pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan agar dalam kondisi siap pakai,
diperlukan tugas khusus yang menanganinya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu
guru dalam mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan, utamanya yang berkaitan
erat dengan sarana dan prasarana yang menunjang.
1) Perencanaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan Islam merupakan suatu proses analisis
dan penetapan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran sehingga
muncullah istilah kebutuhan yang diperlukan (primer) dan kebutuhan yang
menunjang. Dalam proses perencanaan ini harus dilakukan dengan cermat dan teliti
baik berkaitan dengan karakteristik sarana dan prasarana yang dibutuhkan,
jumlahnya, jenisnya dan kendalanya (manfaat yang didapatkan), beserta harganya.
Perencanaan pengadaan perlengkapan pendidikan di sekolah harus diawali dengan
analisis jenis pengalaman pendidikan yang diprogramkan di sekolah menurut
Sukarna (1987) adalah sebagai berikut:
a) Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan oleh
setiap unit kerja dan atau mengiventarisasi kekurangan perlengkapan sekolah.
b) Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk periode tertentu.
c) Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang
tersediasebelumya.
d) Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang tersedia.
Dalam hal ini, jika dana yang tersedia tidak mencukupi untuk pengadaan semua
kebutuhan yang diperlukan, maka perlu diadakan seleksi terhadap semua
kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan dengan melihat urgensi setiap
perlengkapan yang diperlukan.
e) Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan yang urgen dengan dana
atau anggaran yang tersedia, maka perlu diadakan seleksi lagi dengan melihat
skala prioritas menngenai perlengkapan yang paling penting.
f) Penetapan rencana pengadaan akhir.
2) Pengadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Sekolah
Memilih sarana dan prasana pendidikan Islam bukanlah berupa resep yang lengkap
dengan petunjuk-petunjuknya, lalu pendidik menerima resep itu begitu saja. Sarana
pembelajaran hendakaya direncanakan, dipilih dan diadakan dengan teliti sesuai
dengan kebutuhan sehingga penggunaannya berjalan dengan wajar. Untuk itu
pendidik hendaknya menyesuaikan dengan sarana pembelajaran dengan faktor-faktor
yang dihadapi, yaitu tujuan apakah yang hendak dicapai, media apa yang tersedia,
pendidik mana yang akan mempergunakannya, dan yang peserta didik mana yang di
hadapi. Faktor lain yang hendaknya dipertimbangkan dalam pemilihan sarana
pembelajaran adalah kesesuaian dengan ruang dan waktu.
3) Inventarisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan
Inventarisasi dapat diartikan sebagai pencatatan dan penyusunan barang-barang milik
negara secara sistematis, tertib, dan teratur berdasarkan ketentuan-ketentuan atau
pedoman-pedoman yang berlaku. Hal ini sesuai dengan keputusan menteri keuangan
RI Nomor Kep. 225/MK/V/4/1971 bahwa barang milik negara berupa semua barang
25
yang berasal atau dibeli dengan dana yang bersumber baik secara keseluruhan atau
bagian sebagainya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun
dana lainnya yang barang-barang dibawah penguasaan kantor departemen dan
kebudayaan, baik yang berada di dalam maupun luar negeri.
4) Pengawasan dan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang harus dilaksanakan oleh
pimpinan organisasi. Berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah,
perlu adanya kontrol baik dalam pemeliharaan atau pemberdayaan. Pengawasan
(control) terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan usaha
yang ditempuh oleh pimpinan dalam membantu personel sekolah untuk menjaga atau
memelihara, dan memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan sebaik
mungkin demi keberhasilan proses pembelajaran di sekolah.
Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan
aktivitas yang harus dijalankan untuk menjaga agar perlengkapan yang dibutuhkan
oleh personel sekolah dalam kondisi siap pakai. Kondisi siap pakai ini akan sangat
membantu terhadap kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.
Oleh karena itu, semua perlengkapan yang ada di sekolah membutuhkan perawatan,
pemeliharaan, dan pengawasan agar dapat diperdayakan dengan sebaik mungkin.
5) Penghapusan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengahapusan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan meniadakan barang-
barang milik lembaga (bisa juga milik negara) dari daftar inventaris dengan cara
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

G. Pertemuan Ke-7
Materi: Manajemen Komponen Penyempurna Pendidikan Islam:
1. Manajemen Masyarakat Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam perlu menangani masyarakat atau hubungan lembaga
pendidikan Islam dengan masyarakat. Kita harus menyadari bahwa masyarakat memiliki
peranan yang sangat penting terhadap keberadaan, kelangsungan, bahkan kemajuan
lembaga pendidikan Islam. Setidaknya, salah satu parameter penetu nasib lembaga
pendidika Islam adalah masyarakat. Bila ada lembaga pendidikan Islam yang maju,
hamper bias dipastikan salah satu faktor keberhasilan tersebut adalah keterlibatan
masyarakat yang maksimal. Begitu pula sebaliknya, bila ada lembaga pendidikan Islam
yang bernasib memprihatinkan, salah satu penyebabnya bias jadi karena masyarakat
enggan mendukung. Sikap masyarkat ini bias jadi akibat dari hal lain dalam kaitannya
dengan lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Disini kepercayaan masyarakat menjadi salah satu kunci kemajuan lembaga
pendidikan Islam. Ketika masyarakat memiliki kepercayaan terhadap lembaga pendidikan
Islam, mereka akan mendukung penuh bukan saja dengan memasukkan putra-putrinya ke
dalam lembaga pendidikan tersebut, tetapi bahkan mempengaruhi orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Sebaliknya, ketika masyarakat tidak percaya, mereka bukan
hanya tidak mau memasukkan putra-putrinya ke lembaga tersebut, tetapi bahkan
memprovokasi tetangga atau kawannya. Ini bararti masyarakat merupakan komponen
strategis yang harus mendapat perhatian penuh oleh manajer pendidikan Islam.
Menurut Mulyasa (2003:173-174), ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan
untuk menggalang partisipasi masyarakat.
a. Melibatkan masyarakat dalam berbagai program dan kegiata di sekolah yang bersifat
sosial kemasyarakatan. Misalnya, bakti sosial, perpisahan, peringatan hari besar
nasional dan keagamaan, serta pentas seni.
b. Mengidentifikasi tokoh masyarakat, yaitu orang-orang yang mampu mempengaruhi
masyarakat pada umumnya.
26
c. Melibatkan tokoh masyarakat tersebut dalam berbagai program dan kegiatan sekolah
yang sesuai dengan minat mereka.
d. Memilih waktu yang tepat untuk melibatkan masyarakat sesuai dengan kondisi dan
perkembangan masyarakat.
2. Manajemen Layanan Pendidikan Islam
Layanan merupakan salah satu persoalan yang serius bagi manajemen pendidikan
Islam. Ini terutama ketika mereka menghendaki peningkatan di segala bidang sebagai
modal dasar dalam memajukan lembaga yang dikendalikannya. Jika suatu lembaga ingin
mengungguli lembaga lain, tentu pelayanan menjadi salah satu komponen pengelolaan
pendidikan yang harus mendapat perhatian khusus.
Allah berfirman dalam QS. al-Hasyr ayat 9:

‫اجةاًل ِ َّا أُوتُوا‬ ِ


َ ‫ص ُدوِره ْم َح‬
ِ
ُ ‫اجَر إِلَْي ِه ْم َوََل ََي ُدو َن ِِف‬
ِ ِ ِ ِْ ‫والَّ ِذين تَب َّوءوا الدَّار و‬
َ ‫اْلميَا َن م ْن قَْبل ِه ْم ُُيبُّو َن َم ْن َه‬ ََ ُ َ َ َ
‫وو ُ َّ نَ ْف ِس ِه فَُوٰلَِ َ ُه ُم الْ ُ ْفلِ ُحو َن‬
َ ُ‫اصةٌ ۚ َوَم ْن ي‬ َ ‫ص‬
ِِ ِ ِ
َ ‫َويُ ْؤثُرو َن َعلَ ٰى أَنْ ُفس ِه ْم َولَ ْو َكا َن ِب ْم َخ‬
Artinya: ―dan orang-orang yang telah menmpati kota madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka nuhajirin), maka mencintai orang yang hijrah
kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka kepada apa-
apa yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan
(muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung‖.
3. Manajemen Mutu Pendidikan Islam
Kriteria umum yang telah disepakati bahwa sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika
bernilai baik atau mengandung makna yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan
kepada sesuatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada
barang dan atau kinerjanya (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2008:9). Menurut B.
Suryobroto, konsep mutu mengandung pengertian makna derajat keunggulan suatu produk
(hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun intangible
(Suryobroto, 2004:210).
Mutu mempunyai makna ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas
sesuatu barang maupun jasa (produk) yang mempunyai sifat absolut dan relatif. Dalam
pengertian yang absolut, mutu merupakan standar yang tinggi dan tidak dapat diungguli.
Biasanya disebut dengan istilah baik, unggul, cantik, bagus, mahal, mewah dan sebagainya
(Edward Sallis, 2012:52). Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu
pendidikan adalah elit, karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman
pendidikan dengan mutu tinggi kepada anak didik. Dalam pengertian relatif, mutu
memiliki dua pengertian. Pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua,
memenuhi kebutuhan pelanggan (Edward Sallis, 2012:54). Mutu dalam pandangan
seseorang terkadang bertentangan dengan mutu dalam pandangan orang lain, sehingga
tidak aneh jika ada pakar yang tidak mempunyai kesimpulan yang sama tentang bagaimana
cara menciptakan institusi yang baik (Edward Sallis, 2012:29-30).
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen mutu adalah ilmu atau
seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-
sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. berdasarkan
ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa
(produk) sesuai dengan kepuasan pelanggan.
Manajemen mutu dalam pendidikan (Islam) lebih populer dengan sebutan istilah Total
Quality Education (TQE). Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara
konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam dunia
27
pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau
dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan pelayanan
(service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (custumer).
Manajemen pendidikan mutu berlandaskan kepada kepuasaan pelanggan sebagai
sasaran utama. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu; pelanggan internal dan
pelanggan eksternal (Edward Sallis, 2012:6). Pendidikan berkulitas apabila:
a. Pelanggan internal (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berkembang baik fisik maupun
psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finasial. Sedangkan secara psikis
adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar mengembangkan kemampuan,
bakat dan kreativitasnya.
b. Pelanggan eksternal:
1) Eksternal primer (para siswa): Menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator
yang baik, punya keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, integritas tinggi,
pemecah masalah, dan pencipta pengetahuan serta menjadi warga negara yang
bertanggungjawab.
2) Eksternal sekunder (orang tua, pemerintah, dan perusahaan): Para lulusan dapat
memenuhi harapan orang tua, pemerintah, dan perusahaan dalam hal menjalankan
tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
3) Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas): Para lulusan memiliki
kompetensi dalam dunia kerja dan pengembangan masyarakat, sehingga
mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan
sosial.
Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan Islam sebagai industri jasa
harus memenuhi standar mutu. Institusi dapat disebut bermutu, harus memenuhi spesifikasi
yang telah ditetapkan. Secara operasional, mutu ditentukan dua faktor, yaitu terpenuhinya
spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang
diharapkan menurut tuntutan dan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut, mutu
sesungguhnya, mutu yang kedua disebut mutu persepsi.
Standar mutu produksi dan pelayanan diukur dengan kriteria sesuai dengan spesifikasi,
cocok dengan tujuan pembuatan dan penggunaan, tanpa cacat, dan selalu baik sejak awal.
Mutu dalam persepsi diukur dari kepuasaan pelanggan atau pengguna, meningkatnya minat
dan harapan serta kepuasaan pengguna. Dalam penyelenggaraannya mutu sesungguhnya
merupakan profil lulusan institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi tujuan
pendidikan, yang berbentuk standar kemampuan dasar berupa kualifikasi akademik
minimal yang dikuasai peserta didik. Sedangkan pada mutu persepsi pendidikan adalah
kepuasaan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi
pendidikan.
Beranjak dari pembahasan tersebut dalam operasi manajemen mutu dunia pendidikan
Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
a. Perbaikan secara terus menerus
Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola pendidikan Islam
(manajemen personalia) senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan
terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah
mencapai standar mutu yang telah ditetapkan. Konsep ini juga berarti bahwa antara
institusi pendidikan senantiasa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan
tuntutan pelanggan. Jika tuntutan dan kebutuhan pelanggan berubah, maka pihak
pengelola institusi pendidikan Islam dengan sendirinya akan merubah mutu, serta selalu
memperbaharui komponen produksi atau komponen-komponen yang ada dalam institusi
pendidikan Islam.
Perbaikan terus-menerus ini dilakukan secara menyeluruh meliputi semua unsur-
unsur manajemen pendidikan Islam, seperti; manajemen pembelajaran dan kurikulum
28
pendidikan Islam, manajemen personalia di lembaga pendidikan Islam, perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia manajemen peserta didik di lembaga pendidikan Islam,
dan manajemen hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat (Mukhamad
Ilyas dan Nanik Nurhayati, 74-106).
b. Menentukan standar mutu
Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua
komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi
pendidikan Islam. Standar mutu pendidikan Islam misalnya, dapat berupa kepemilikan,
kemampuan dasar pada masing-masing pembelajaran dan sesuai dengan jenjang
pendidikan yang ditempuh. Selain itu, pihak manajemen juga harus menentukan standar
mutu materi kurikulum dan standar evaluasi yang akan dijadikan sebagai alat untuk
mencapai standar kemampuan dasar.
Standar mutu proses pembelajaran harus pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak
manajemen pendidikan Islam perlu menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang
diharapkan dapat berdayaguna untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk
melahirkan produk yang sesuai, yaitu yang menguasai standar mutu pendidikan berupa
penguasaan standar kemampuan dasar. Pembelajarn yang dimaksud sekurang-
kurangnya memenuhi karakteristik: menggunakan pendekatan pembelajaran aktif,
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran
tuntas.
Begitu pula pada akhirnya, pihak pengelola pendidikan Islam menentukan standar
mutu evaluasi pembelajaran. Standar mutu evaluasi yaitu, bahwa evaluasi harus dapat
mengukur tiga bentuk penguasaan peserta didik atas dasar standar kemampuan dasar,
yaitu penguasaan materi, penguasaan metodologi, dan penguasaan keterampilan yang
aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain penilaian diarahkan pada dua
aspek hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects. Instructional
effects adalah hasil-hasil yang kasat mata dari proses hasil pembelajaran, sedangkan
nurturant effects adalah hasil-hasil laten proses pembelajaran, seperti kebiasaan
membaca dan kebiasaan memecahkan masalah.
Bagi pendidikan Islam, mutu yang mengacu kepada output harus menghasilkan
minimal dua ranah yaitu, pertama terciptanya manusia yang dapat mengakomodasi
seluruh fenomena kehidupannya sesuai dengan ajaran atau dasar al-Qur‘an dan as-
Sunnah, kedua terbentuknya manusia yang mempunyai skill kompetitif di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi (ITC) sesuai dengan perkembangan zaman.
c. Perubahan kultur
Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan
menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasi. Jika manajemen ini
diterapkan di institusi pendidikan Islam maka pihak pimpinan harus berusaha
membangun kesadaran para anggotanya, mulai dari pemimpin sendiri, staff, guru,
pelajar, dan berbagai unsur terkait seperti yayasan, orang tua dan para pengguna lulusan
pendidikan Islam akan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan mutu
pembelajaran baik mutu hasil maupun proses pembelajaran. Disinilah letak penting
dikembangkannya faktor rekayasa dan faktor motivasi agar secara bertahap dan pasti
kultur mutu itu akan berkembang di dalam organisasi institusi pendidikan Islam.
Perubahan kultur ke arah kultur mutu ini antara lain dilakukan dengan menempuh cara-
cara rumusan keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai keagamaan Islam, yang
dilanjutkan dengan perumusan visi-misi organisasi pendidikan Islam sesuai dengan
ajaran sumber ajaran Islam.
d. Perubahan organisasi
Jika visi-misi serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan,
maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini
29
bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi
yang melambangkan hubungan-hubungan kerja struktur organisasi yang melambangkan
hubungan-hubungan kerja dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan ini
menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggungjawab. Misalnya, dalam
kerangka manajemen berbasis sekolah struktur organisasi dapat berubah terbalik
dibandingkan dengan struktur konvensional. Berdirinya yayasan dalam pendidikan
Islam merubah pola kepemimpinan manajemen organisasi di pesantren maupun
madrasah.
e. Mempertahankan hubungan dengan pelanggan
Karena organisasi pendidikan Islam berbasis mutu menghendaki kepuasan
pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi
sangat penting. Inilah yang dikembangkan dalam unit publik relations (Mukhamad
Ilyasin dan Nanik Nurhayati, 2012:117)
Berbagai informasi antara organisasi pendidikan dan pelanggan harus terus-
menerus dipertukarkan, agar institusi pendidikan senantiasa dapat melakukan
perubahan-perubahan atau improvisasi yang diperlukan terutama berdasarkan
perubahan sifat dan pola tuntutan serta kebutuhan pelanggan. Apalagi mengingat bahwa
pendduduk Indonesia mayoritas Islam, tentu pendidikan Islam harus mampu mengambil
―hati‖ masyarakat Indonesia.
Untuk itu, pelanggan juga diperkenankan melakukan kunjungan, pengamatan,
penilaian, dan pemberian masukan kepada institusi pendidikan Islam. Selanjutnya
semua masukan itu akan diolah dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu
proses dan hasil-hasil pembelajaran. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
manajemen berbasis sekolah, guru dan staff justru dipandang sebagai pelanggan
internal, sedangkan pelajar termasuk orang tua pelajar dan masyarakat umum masuk
pada pelanggan eksternal. Jerome S. Arcaro menyampaikan bahwa terdapat lima
karakteristik sekolah atau lembaga pendidikan yang bermutu yaitu: 1) fokus pada
pelanggan, 2) keterlibatan total, 3) pengukuran, 4) komitmen, dan 5) perbaikan
berkelanjutan (Jerome S. Arcaro, 2007:36). Maka, pelanggan baik internal maupun
eksternal harus dapat terpuaskan melalui interval kreatif pimpinan insititusi pendidikan
Islam.

B. Pertemuan Ke-8 UTS

C. Pertemuan Ke-9
Materi: Manajemen Komponen Penyempurna Pendidikan Islam
1. Manajemen Perubahan Pendidikan Islam
Perubahan adalah proses alamiah yang suatu ketika harus terjadi, baik disadari atau
tidak, karena merupakan suatu dinamika. Namun, tidak semua perubahan membawa
kemaslahatan. Adakalnya perubahan justru menjadi malapetaka dalam kehidupan
organisasi. Oleh karena itu, manajer pendidikan Islam harus mampu mengelola perubahan
agar mengarah pada upaya dan orientasi penyempurnaan yang terkendali.
Setiap perubahan hendaknya mengarah pada pembaruan. Kegiatan pembaruan
pendidikan, misalnya senantiasa berupaya melakukan pembenahan-pembenahan
pendidikan guna mencapai hasil yang lebih baik daripada hasil-hasil sebelumnya sehingga
parameter yang digunakan adalah efektifitas dan efisiensi. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan
pendidikan.

30
Perubahan sosial ini memiliki sandaran teologis dalam Islam. Di dalam al-Qur‘an
ditemukan firman Allah yang terkait dengan perubahan ini yaitu pada surah al-Ra‘d: 11
dan al-Anfal: 53.

‫َا ِب َا ْل ُب ِب ِبه ْل‬ ‫إ ِب َّدا َّد َا َاال ُب َا ِّن ُب َا ِب َا ْل ٍما َا َّد ٰىى ُب َا ِّن ُب‬
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

‫َا أَا َّدا َّد َا َا ِب ٌلي َاع ِب ٌل‬ ۙ ‫َا ِب َا ْل ُب ِب ِبه ْل‬ ‫ٰى َاذ ِب َا ِب َا َّدا َّد َا َا ْل َا ُب ُب َا ِّن ً ِب ْل َا ً أَا ْل َا َا هَا َاع َا ٰىى َا ْل ٍما َا َّد ٰىى ُب َا ِّن ُب‬
(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga
kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kedua ayat tersebut sama-sama membicarakan perubahan. Hanya saja pada surat al-
Rad: 11. Allah menekankan bahwa Dia akan mengubah kemunduran suatu kaum sehingga
mereka berusaha mengubah kemunduran tersebut menjadi kemajuan. Sementara itu, pada
surah al-Anfal: 53 Allah menekankan bahwa Dia akan mencabut nikmat kemajuan yang
telah dilimpahkan kepada suatu kaum selama mereka tetap taat dan bersyukur kepada
Allah. Hal ini berarti perubahan itu mengandung dimensi ganda, bahkan berlawanan. Ada
perubahan dari kemunduran menuju kemajuan atau dari kenikmatan menjadi kesengsaraan.
Perubahan perlu dikelola secara bertahap. Adapun tahapa-tahapan pengelolaan
perubahan meliputi:
a. Penemuan kasus
b. Pengomunikasian temuan
c. Pengkajian atas temuan
d. Pencarian sumber pendukung
e. Percobaan langkah perubahan yang akan ditempuh
f. Perluasan dukungan dari berbagai pihak, dan
g. Pembaharuan perubahan
2. Manajemen Struktur Pendidikan Islam
Manajemen struktur merupakan pengelolaan tugas-tugas yang diterima oleh setiap
personalia, kepada siapa mereka bertanggungjawab, kepada siapa mereka melaporkan hasil
kerjanya, dengan siapa mereka bekerja sama, dengan siapa mereka berinteraksi, terhadap
siapa mereka memiliki kewenangan untuk memerintah, dan pekerjaan apa saja yang
menjadi kewajiban mereka masing-masing.
Dalam pemetaan struktur tersebut, setiap personalia harus memerhatikan segitiga
interaksi, yaitu interaksi ke atas yang berarti interaksi dengan orang yang memberi
tanggungjawab dan pihak yang menerima laporan hasil kerjanya; interaksi ke samping,
yaitu mitra kerja atau pihak-pihak yang diajak bekerjasama; dan interaksi ke bawah, yaitu
hubungan seorang personalia dengan orang lain yang menjadi bawahannya sekaligus objek
perintah dan binaan.
Dalam lembaga pendidikan Islam, terutama di madrasah-madrasah lingkungan
pesantren, pemetaan tugas seperti itu sangat kacau. Banyak kasus kepala madrasah
31
dilangkahi oleh tenaga tata usaha hanya karena dia menjadi orang kepercayaan kiai.
Misalnya, tenaga tata usaha berani meliburkan para siswa sementara kepala madrasah
justru tidak tahu dan tidak diberi tahu. Acapkali kewenangan mereka semrawut dan
berjungkir balik. Kepala madrasah seakan hanya jabatan simbolis untuk menduduki
jabatan manajer, tetapi dalam praktiknya bekerja layaknya staf. Segala sesuatunya
ditentukan oleh kiai sehingga kepala madrasah hanya melaksanakan perintah kiai semata.
Sebaliknya, seringkali terjadi kasus seorang staf mengambil kebijakan padahal semestinya
hanya bekerja dalam wilayah operasional.
Hal demikian ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika dibiarkan bisa menyebabkan
hilangnya sinergi kerja, kewenangan yang tumpang tindih, bahkan tidak jarang menjadi
pemicu konfik. Banyak terjadi kasus kepala madrasah mengundurkan diri dari jabatannya
lantaran tidak kuat menghadapi kesemrawutan kewenangan dan pembagian tugas.
Walaupun dia memiliki pengetahuan manajerial yang cukup, tetapi pengetahuan tersebut
tidak mendapat penyaluran secara professional, fungsional, dan proporsional.
Ditinjau dari segi kelompok pekerjaan, harus dibedakan antara sekelompok pekerjaan
atau unit kerja (job), jabatan (posisition), dan tugas (task). Ketiga kelompok pekerjaan
tersebut merupakan suatu hirarki dalam organisasi. Hirarki yang paling tinggi adalah unit
kerja, kemudia disusul jabatan, dan terakhir adalah tugas. Pekerjaan-pekerjaan dalam
organisasi mula-mula dibagi menjadi unit-unit tertentu, kemudian setiap unit dijabarkan
lagi menjadi beberapa jabatan, dan setiap jabatan dijabarkan pula menjadi beberapa tugas.
Tugas-tugas inilah yang pada umumnya dikerjakan secara individual. Unit kerja
mencerminkan tempat kerja, jabatan mencerminkan fasilitas yang menimbulkan
kewenangan mengendalikan kerja, sedangkan tugas mencerminkan kewajiban yang harus
dijalani. Para pejabat harus menyadari bahwa di samping ada tempat kerja, ada
kewenangan, ada juga kewajiban. Ketiganya berangkat menjadi satu-kesatuan yang utuh.
Dari segi keterampilan manajerial, manajer puncak dituntut dominan memiliki human
skill (keterampilan-keterampilan keamnusiaan), manajer madya dituntut dominan pada
manajerial dan human skill, sedangkan manajer rendah dituntut berpikir secara holistik dan
integralistik, manajer madya dituntut berpikir secara departemental/inkremental, sedang
manajer terendah dituntut berpikir secara otomik.
Dari segi kerangka konseptual, manajer puncak dituntut memiliki kerangka konseptual
yang berkaitan dengan hal-hal yang strategis, manajer madya dituntut ahli pada taktik-
taktik yang perlu diciptakan, sedangkan manajer terendah dituntut dominan pada hal-hal
yang bersifat operasional. Sementara itu, dari segi sifat pengetahuan generalis, manajer
madya dituntut berpengetahuan spesialistik, sedngakn manajer terendah dituntut
berpengaetahuan teknis.
Ketiga manajer tersebut memiliki kewenangan masing-masing secara hierarkis.
Manajer puncak berwenang menentukan kebijakan lembaga dan manajer madya
menerjemahkan kebijakan itu menjadi kegiatan sehari-hari yang harus dikendalikan oleh
manajer rendah.

D. Pertemuan Ke-10
Materi: Manajemen Komponen Penyempurna Pendidikan Islam
Dalam setiap organisasi yang melibatkan banyak orang, disamping ada proses kerja sama
untuk mencatat tujuan organisasi, tidak jarang juga terjadi perbedaan pendangan,
32
ketidakcocokan, dan pertentangan yang bias mengarah pada konflik. Di dalam organisasi
manapun terdapat konflik, baik yang masih tersembunyi maupun yang sudah muncul terang-
tarangan. Dengan demikian, konflik merupakan kewajaran dalam suatu organisasi, termasuk
dalam lembaga pendidikan Islam.
Setidaknya ada dua pandangan yang bahkan telah menjadi semacam aliran ekstrim
berlawanan secara diametrical tentang koflik. Perbedaan pandangan ini bias jadi terkait
dengan akibat atau pengaruh ganda konflik tersebut. Pandangan pertama menganggap bahwa
konflik merupakan suatu gejala yang membahayakan dan pertanda instabilitas
organisasi/lembaga. Implikasinya, manakala suatu lembaga pendidikan memiliki konflik,
berarti lembaga tersebut semakin tidak stabil dan rentan akan bahaya sehingga haus segera
diatasi. Sebaliknya, pandangan kedua beranggapan bahwa konflik itu menunjukkan adanya
dinamika dalam organisasi/lembaga, yang bisa mengantarkan pada kemajuan. Apabila dalam
organisasi/lembaga tidak ada konflik, justru ini menunjukkan tidak ada dinamika sama sekali
yang berarti jauh dari trasdisi kemajuan, kendatipun konflik juga harus dikelola dengan baik.
Sebaiknya, manajer lembaga pendidikan Islam dapat menyelesaikan konflik saat baru
memasuki tahapan pertama, yakni tahap laten yang masih berupa perbedaan baik karena
faktor individu, organisasi, maupun lingkungan. Dengan begitu, konflik bisa dibendung
secepatnya sehingga masih relatif mudah diselesaikan. Penyelesaian pada tahapa perbedaan
ini meskipun tidak termasuk upaya preventif, tetapi merupakan penyelesaian cepat tanggap
yang berpengaruh secara signifikan dalam menekan terjadinya konflik yang sesunggunhnya.
Perbedaan pendapat sebenarnya tidak selalu jelek, bahkan ada ungkapan yang popular di
kalangan umat Islam:
‫ِب ْل ِب َا ُب أُب َّد ِبي َاا ْل َا ٌل‬

Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.


Idealnya perbedaan pendapat justru harus bisa menghasilkan hal positif. Bila terjadi
perbedaan pendapat tetapi mengarah pada konflik terbuka berarti ada hal-hal yang
kontraproduktif yang terkait dengan pendapat itu.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat yang mengarah kepada konflik, perlu
dikembangkan beberapa etika berikut ini:
1. Melihat perbedaan sebagai sesuatu yang harus diterima
2. Menyadari bahwa pendapat yang dikemukakan seseorang mungkin mengandung
kebenaran atau kesalahan.
3. Bersikap terbuka, mau menerima pendapat, saran, dan kritik orang lain karena mungkin
pendapat kita keliru.
4. Bersikap obyektif, lebih berorientasi mencari kebenaran, dan bukan mencari pembenaran.
5. Tidak memandang perbedaan pendapat sebagai pertentangan atau permusuhan, tetapi
sebaggai khazanah dan kekayaan yang amat berguna untuk memecahkan berbagai
masalah.
6. Menjungjung tinggi nilai-nilai luhur yang universal seperti persaudaraan, kejujuran,
keadilan, kebenaran, dan lain-lain.
Saran tersebut tidak bermaksud membenarkan seluruh pendapat yang dikemukakan setiap
orang. Kita harus berani mengatakan bahwa pendapat tersebut salah dan harus ditolak apabila
bertentangan dengan nilai-nilai kandungan al-Qur‘an dan al-sunnah, bertentangan dengan
akhlak yang mulia, megajak permusuhan, merusak akidah, bertentangan dengan akal sehat,
dan sebagainya. Namun penolakan itu harus dilakukan dengan etika yang luhur dan penuh
kesopanan.
Apabila perbedaan pendapat mengarah kepada konflik itu tidak dapat dibendung, maka
konflik yang sesungguhnya akan terjadi dan gejala ini harus segera diatasi. Dalam mengatasi
konflik itu, Allah berfirman al-Nisa 35:

33
‫ِبإ َّدا‬ ‫َا َاك ً ِب ْل أَا ْل ِب ِب َا َا َاك ً ِب ْل أَا ْل ِبهَا ِبإ ْلا ُب ِب َا ِبإصْل َا ً ُب َا ِّن ِب َّد ُب َا ْللَاهُب َا‬ ‫ا َا ْل ِبل ِبه َا َا ْل َا ثُب‬
‫َا ِبإ ْلا ِب ْل ُب ْل ِب َا َا‬
ً ‫َّد َا َا َاا َاع ِب ً َا ِب‬

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini memberi pemahaman bahwa: (1) Anjuran untuk segera mungkin menyelesaikan
konflik secara dini; (2) Cara menyelesaikan konflik adalah melalui mediator yang disebut
hakam; (3) Mediator (hakam) merupakan sosok pribadi yang beanr-benar bisa diteladani; (4)
Mediator (hakam) itu sebanyak dua orang yang mewakili masing-masing pihak (dalam
konteks ayat tersebut berarti suami-isteri); dan (5) Ada keinginan kuat untuk melakukan
ishlah (penyelesaian konflilk) dari masing-masing pihak.
Ayat tersebut mengandung pesan penyelesaian konflik yang terjadi dalam ―lembaga‖
pendidikan keluarga. Namun, pesan resolusi konflik dalam ayat ini bias diterapkan juga pada
lembaga pendidikan yang lebih luas/besar, yakni di lembaga pendidikan formal seperti
sekolah, madrasah, perguruan tinggi, atau pesantren. Di samping itu, ayat tesebut juga
memberi gambaran tentang penyelesaian konflik. Para manajer harus memperhatikan
berbagai prosees penyelesaian konflik, cara penyelesaian, syarat orang yang menyelesaikan,
dan niat baik dari pihak-pihak yang berkonflik.

E. Pertemuan Ke-11
Materi: Manajemen Komponen Penyempurna Pendidikan Islam: Manajemen Komunikasi
Pendidikan Islam
1. Komunikasi Pendidikan Islam
Komunikasi merupakan komponen yang sangat penting bagi seseorang dalam
pergaulan sosial maupun dalam hubungan kerja. Dari komunikasi itu bisa diperoleh
suasana yang akrab dan harmonis, bahkan terkadang bisa mendamaikan dua pihak yang
bertingkai. Namun, bisa juga sebaliknya, terjadi pertentangan, benturan, atau permusuhan
karena komunikasi yang salah. Kesalahan komunikasi bisa menyangkut isinya atau
caranya. Acapkali terjadi kasus salah paham baik dalam pergaulan sosial maupun
hubungan kerja. Misalnya, seseorang sedang berbicara dengan orang lain. Sebenarnya, dia
tidak memiliki keinginan menyinggung perasaan lawan bicaranya, tetapi ternyata lawan
bicaranya tersebut tersinggung lantaran komunikasi yang salah. Ada ungkapan dalam
bahasa Arab yang patut direnungkan,‖Salamat al-insan fi hifdhi al-lisan‖ (keselamatan
seseorang terletak dalam menjaga lisan).
Dengan begitu, bagi manajer pendidikan Islam, komunikasi harus mendapat perhatian
semaksimal mungkin. Manajemen komunikasi yang baik diharapkan tidak hanya berfungsi
menghindari salah paham, ketersinggungan, bahkan permusuhan, melainkan juga bisa
mengharmoniskan pergaulan sosial maupun hubungan kerja, sehingga tercipta kondusif
untuk memajukan lembaga pendidikan Islam. Harmonisasi ini menjadi salah satu pilar
kekompakkan dalam menjalankan roda organisasi apa saja, termasuk juga organisasi
pendidikan Islam.
Arikunto mengartikan komunikasi sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh pimpinan
lembaga untuk menyebarluaskan informasi yang terjadi di dalam maupun hal-hal di luar
lembaga yang ada kaitannya dengan kelancaran tugas mencapai tujuan bersama.
Komunikasi erat hubunganya dengan usaha pengarahan dan pengorganisasian karena
komunikasi yang baik bukan hanya terjadi satu arah dari atasan, melainkan juga datang

34
dari bawah ke atas atau antar-kawan kerja. Cara-cara yang digunakan untuk media
komunikasi dalam suatu lembaga dapat bersifat lisan maupun tulisan.
Komunikasi dalam perspektif psikologis memusatkan perhatian pada perilaku manusia
dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu.
Dalam perspektif ini, komunikasi didefinisikan sebagai pengungkapan respons melalui
simbol-simbol itu bertindak sebagai perangsang (stimuli) bagi respons yang terungkap tadi.
Sedangkan, komunikasi dalam perspektif sosiologis memandang komunikasi sebagai
interaksi sosial dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok. Komunikasi perspektif ini
didefinisikan sebagai usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan
menggunakan bahasa dan tanda. Komunikasi dalam perspektif sosiologis memiliki
serangkaian peraturan untuk berbagai kegiatan mencapai tujuan.
Untuk itu, komunikasi harus senantiasa dikelola dengan baik. Jalaluddin Rahmat
menuturkan, ―Para pakar komunikasi sepakat dengan para psikolog bahwa kegagalan
komunikasi berakibat fatal baik secara individual atau sosial.‖ Hubungan persahabatan bisa
berbalik permusuhan, dan ini bisa menjadi lebih fatal lagi, jika salah satu pihak tidak
menyadari kesalahanya, sehingga tidak ada upaya untuk melakukan pendekatan-
pendekatan yang mengarah pada rekonsiliasi (ishlah).
Sebagaimana dikutip Rakhmat, ―Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir, mengartikan al-
bayan sebagai kemampuan berkomunikasi.‖ Selain al-bayan, kata kunci untuk komunikasi
yang banyak disebut dalam al-Qur'an adalah al-qawl. Baik al-bayan maupun al-qawl,
keduanya mengarah kepada komunikasi. Melalui keduanya itu, terutama al-qawl terdapat
cara atau etika komunikasi yang bermacam-macam bentuknya.
Kata al-bayan, atau dalam bentuk isim nakirah (kata benda yang bersifat umum) yaitu
bayan, di dalam al-Qur'an terdapat dalam tiga ayat, yaitu Ali Imron: 138, al-Rahman: 4,
dan al-Qiyamah: 19. Misalnya, dalam surah al-Rahman berikut.
‫﴾ َاع َّد َا ُب ْل َا َا َاا‬٣﴿ ‫﴾ َا َا َا ْل ِبا َا َاا‬٢﴿ ‫﴾ َاع َّد َا ْل ُب ْل َاا‬١﴿ ‫َّد ْل َا ٰى ُب‬
Artinya: (Tuhan) Yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur'an, Dia
menciptakan mausia. Dia mengajarkanya (manusia) pandai berbicara/ berkomunikasi
(Q.S. al-Rahman:1-4).
Suatu pembicaraan adakalanya menimbulkan kesan psikologis yang berbeda padahal
materi pembicaraanya sama, hanya orang yang menyampaikan tidak sama. Adakalanya
penyampain sesuatu pada khalayak bisa menimbulkan rasa antusias sehingga para
pendengar tetap bersemangat, walaupun pembicaraan berlangsung dalam waktu yang
panjang. Mereka tidak merasa lelah atau jenuh dalam medengarkan penjelasan-penjelasan
yang disampaikan. Namun, sebaliknya, tidak jarang penyampain suatu informasi bisa
mengakibatkan para pendengar jenuh meskipun disampaikan hanya dalam waktu singkat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik komunikasi
Berdasarkan kenyataan ini, harus dicari metode agar komunikasi bisa menarik
perhatian orang lain. Kita perlu mengevaluasi dua kasus tersebut: Faktor-faktor apa saja
yang perlu terlibat mengkondisikan penyampaian oleh orang pertama sehingga
menimbulkan rasa antusias, dan ini perlu ditiru. Sebaliknya, faktor-faktor apa saja yang
turut menyebabkan penyampaian oleh orang kedua itu sehingga menjenuhkan dan
membosankan para pendengarnya, dan ini perlu kita hindari.
Tampaknya memang ada keterlibatan faktor-faktor tertentu yang memengaruhi daya
tarik komunikasi itu, yaitu sebagai berikut.
a. Pribadi komunikan. Pada aspek pribadi ini ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan, pribadi harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh, pribadi itu dinamis,
setiap pribadi mempunyai nilai sendiri, setiap pribadi itu unik, dan pribadi itu sukar
dinilai.

35
b. Arti kata atau kalimat. Setiap orang mengartikan kata sesuai dengan pengalaman
hidupnya. Maka dalam berkomunikasi, kata-kata kunci harus dijelaskan secara rinci
dengan disertai contoh.
c. Kosep diri. Ketepatan memahami konsep diri ini sangat membantu efektivitas
komunikasi.
d. Empati. Hal ini perlu diperoleh dari orang lain sehingga komunikasi bisa efektif karena
ada kesamaan sudut pandang antara komunikator dan komunikan.
e. Umpan balik. Komunikator dalam komunikasi perlu mendapatkan umpan balik dari
komunikan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kesalahan/perbedaan tafsir.
3. Prinsip komunikasi secara efektif
Di samping itu ada delapan prinsip yang perlu dilakukan agar komunikasi bisa
dikerjakan dengan efektif, yaitu sebagai berikut.
a. Berpikir dan berbicara dengan jelas.
b. Ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
c. Ada tujuan yang jelas.
d. Penguasaan terhadap masalah.
e. Pemahaman proses komunikasi dan penerapanya dengan konsisten.
f. Mendapatkan empati dari komunikan.
g. Selalu menjaga kontak mata, suara yang tidak terlalu keras atau lemah serta
menghindari ucapan pengganggu.
h. Komunikasi harus direncanakan (apa pesan yang ingin dikomunikasikan, siapa
komunikan yang dituju, buatlah skenario yang jelas, dan hendaknya mempersiapkan diri
agar menguasai masalah).
Apabila diamanati, delapan prinsip tersebut ada yang terkait dengan komunikator,
komunikan, dan komunikasi itu sendiri. Ketika prinsip itu dipenuhi, maka komunikasi akan
berjalan yang efektif. Ini membuktikan bahwa komunikasi yang berjalan mampu
mengubah perilaku komunikan sesuai dengan yang diharapkan komunikator. Perubahan
perilaku komunikan ini menjadi suatu target dalam komunikasi karena perubahan ini
menjadi harapan bagi komunikator. Keampuhan komunikasi itu ditentukan oleh perubahan
perilaku tersebut, yang berarti komunikan mengikuti apa yang disampaikan komunikator.
Semakin cepat komunikan berubah mengikuti keinginan komunikan, semakin efektif
komunikasi yang disampaikan. Bagaimana cara mengubah perilaku komunikan itu,
tentunnya tergantung bagaimana komunikator berusaha mempengaruhinya.
Oleh karena itu, dibutuhkan keahlian berkomunikasi. Menurut jamal Madhi, keahlian
komunikasi itu meliputi tujuh sikap, yakni cekatan (mubadara), kecepatan (sur'ah),
ketekunan (mutsabarah), fleksibilitas (murunah), penguasaan (saitharah), kemampuan
untuk memperhatikan (istgha'), dan meminimalisasi tenaga.
Menurut, Aristoteles seperti dikutip Rakhmat, ada tiga cara persuasi untuk
memengaruhi manusia yang efektif, yakni ethos, logos, dan pathos. Dengan ethos kita
merujuk pada kualitas komunikator. Bagi komunikator yang jujur, dapat dipercaya, dan
memiliki kemampuan yang tinggi, sangat mudah memengaruhi khalayaknya. Dengan
logos, kita menyakinkan orang lain tentang kebenaran argumentasi yang telah kita
sampaikan. Dengan pathos, kita bujuk khalayak untuk mengikuti kita. Kemudian kita
getarkan emosi mereka, kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka, serta kita redakan
kegelisahan dan kecemasan mereka. Kemudia kondisi yang terkait dengan komunikan,
misalnya, dia memiliki kebutuhan menyerap materi yang dikomunikasikan, dia sedang
memburu informasi yang dikomunikasikan, dia memiliki tingkat pengetahuan yang
memadai untuk menangkap substansi dari materi yang dikomunikasikan, dan dia harus
mampu menguasai bahasa yang dipakai oleh komunikator. Dalam dua hal terakhir ini
terdapat ungkapan yang terkait sehingga menjadi pertimbangan komunikator, yaitu: Kami

36
para nabi, diperintahkan untuk menempatkan seseorang sesuai posisi mereka, berbicara
dengan seseorang sesuai kapasitas akal mereka.
Dalam lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah/madrasah/perguruan
tinggi/pesantren dalam kapasitasnya sebagai manejer seharusnya berupaya menerapkan
komunikasi yang benar-benar efektif dengan terlebih dahulu mengondisikan kualitas
komunikator, komunikan, pesan-pesan dalam komunikasi, lingkungan komunikasi, media
komunikasi, dan sebagainya. Semua mengondisikan ini untuk melakukan komunikasi yang
benar-benar mampu mengubah perilaku komunikan, baik para tenaga pengajar/pendidik,
karyawan, siswa/mahasiswa/santri, atau siapapun yang sedang dalam posisi diajak
berkomunikasi, termasuk juga wali murid/ wali mahasiswa/ wali santri.

F. Pertemuan Ke-12
Materi: Kepemimpinan Pendidikan Islam
Ada hubungan antara manajemen dengan kepemimpinan. Siagian menegaskan bahwa inti
manajemen ialah kepemimpinan. Manifestasi yang paling nyata dari manajemen ialah
kepemimpinan (Siagian, 1989:8). Dengan pengertian lain, manajemen lebih luas daripada
kepemimpinan atau kepemimpinan berada dalam lingkup manajemen.
Dalam Islam, kepemimpinan bagitu penting sehingga mendapat perhatian yang sangat
besar. Begitu pentingnya kepemimpinan ini, mengharuskan setiap perkumpulan untuk
memiliki pimpinan bahkan perkumpulan dalam jumlah yang kecil sekalipun. Nabi
Muhammad saw bersabda:
‫ إ َاذ َا َا َا‬: ‫ع‬ ‫صى‬ ‫ َا َا َاا ُب ْل ُب‬:‫َا ال‬ ‫علله‬ ‫َاع ِب أ ِب ْلي َا ِب ْل ٍم َا ِب ْلي ُب َا ْل َا َا ا ي‬
‫ثَا َاثَا ٌل ِب ْلي َا َا ٍم َا ْل ُب َاؤ ِّن ُب ْل أَا َا َا ُب ْل‬
Dari Abu Sa‘id dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‗anhuma, mereka berdua berkata,
Rasulullah Shallallahu ‗alaihi wa sallam bersabda,‖Jika ada tiga orang yang keluar
hendak bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai
pemimpin.
Model keberadaan seorang pemimpin sebagaimana terdapat dalam hadis tersebut adalah
model pengangkatan. Model ini merupakan model yang paling sederhana karena populasinya
hanya tiga orang. Jika populasinya banyak, mungkin saja modelnya lebih sempurna karena
ada beberapa odel perwujudan pemimpin.
Kepemimpinan diperlukan untuk membawa perubahan-perubahan konstruksi dalam
program-program pengajaran sesuai dengan berbagai nilai dan tujuan para pembuat
keputusan. Ujung tombak pendidikan adalah pembelajaran. Gedung sekolah boleh sederhana,
demikkian juga fasilitas perkantoran, alat transfortasi, bangku, meja, dan lain-lian. Akan
tetapi, pembelajaran harus mendapat perhatian yang lebih besar daripada aspek lainnya.
Kualitas pendidikan akan dipertaruhkan melalui proses pembelajaran ini. Sementara itu,
kualitas proses pembelajaran melibatkan pengondisian baik profesionalisme guru, kesadaran
siswa untuk belajar dengan rajin, media pendidikan/pembelajaran, dan lingkungan
pembelajaran.
Kegiatan belajar hingga sekarang ini sebenarnya menyisakan teka-teki yang masih sulit
dijawab. Banyak teori atau aliran yang membicarakan belajar, tetapi belum ada satupun yang
telah berhasil memberikan pemecahan problem belajar secara tuntas. Meskipun belajar itu
kelihatannya hanya kegiatan sederhana, tetapi masih banyak masalah muncul akibat
penerapan belajar yang membutuhkan penyelesaian dengan segera, Maka, belajar
sesungguhnya merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Kegiatan ini dipengaruhi oleh
motivasi internal maupun eksternal dari peserta didik, cara-cara belajar, gaya belajar,
rintangan belajar, tujuan belajar, kesulitan belajar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, harus
ada bimbingan belajar di lembaga pendidikan sebagai bagian integral Dario tugas pimpinan
pendidikan.

37
Dari sini tentu hubungan antara kepemimpinan dan belajar. Kesempatan-kesempatan
belajar secara kolaboratif sebagai inti aktivitas perluasan dari kapasitas kepemimpinan, dan
sebagai kunci untuk mengembangkan komunitas-komuniktas belajar secara professional.
Realisasi komunitas belajar atau masyarakat belajar itu seharusnya dikondisikan terlebih
dahulu. Melalui komunitas atau masyarakat belajar itu terkadang peserta didik telah
melakukan kegiatan belajar yang sesungguhnya meskipun kurang disadari. Bahkan, dalam
Contextual Teaching and Learing (CTL), keberadaan komunitas belajar merupakan suatu
kondisi yang sangat penting, terutama dalam mewujudkan keberhasilan belajar.
Di dalam lembaga pendidikan Islam, pemimpin benar-benar harus dipersiapkan dan
dipilih secara selektif, mengingat peran yang dimainkan pemimpin dapat mempengaruhi
kondisi seluruh organisasi. Maju-mundurnya lembaga pendidikan Islam lebih ditentutkan oleh
faktor pemimpin daripada faktor-faktor lain.

G. Pertemuan Ke-13
Materi: Kepemimpinan Pendidikan Islam: Kepala madrasah sebagai pemimpin lembaga
pendidikan Islam
1. Pendahuluan
Para pakar pendidikan berpendapat, bahwa kepala sekolah merupakan tokoh kunci
keberhasilan suatu sekolah. Kepala sekolah sama dengan kepala madrasah. Dengan kata
lain, kepala madrasah adalah kunci keberhasilan pendidikan di madrasah. Karena itu,
Sudarwan Danim (2004:96) menyebut kepala sekolah (baca madrasah) sebagai the key
person — penanggungjawab utama atau faktor kunci – untuk membawa madrasah
menjadi center of excellence, pusat keunggulan dalam mencetak dan mengembangkan
sumberdaya manusia madrasah. Apakah madrasah itu menjadi efektif, menjadi madrasah
yang sukses atau sebaliknya, semua tergantung dengan peran seorang kepala madrasah.
Ini berarti, profesionalisme kepala madrasah menjadi sebuah keharusan. Keller
memperjelas pernyataan ini dengan ungkapan sebagai berikut: ―The key to the
educational cookie is the principal. The principal is the motivational yeast: how high the
students and the teachers rise to their challenge is the principal’s responsibility‖,
(Sudarwan Danim, 2006:97). Bahkan De Roche (1987) mengungkapkan bahwa tidak ada
sekolah yang baik tanpa kepala sekolah yang baik. Tegasnya, pemeran utama dan
penanggungjawab utama adalah kepala sekolah. Karena itu, Sergiovanni (1987) membuat
kesimpulan bahwa tidak ada siswa yang tidak dapat dididik. Yang ada adalah guru yang
tidak berhasil mendidik. Selanjutnya, tidak ada guru yang tidak berhasil mendidik, yang
ada adalah kepala sekolah yang tidak mampu membuat guru berhasil menjadi pendidik.
Secara operasional kepala madrasah adalah orang yang paling bertanggungjawab
mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya (resources)
madrasah. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan faktor pendorong untuk
mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran madrasah yang dipimpinnya menuju madrasah
yang bermutu. Bermutu di bidang pelayanan, di bidang pembelajaran, di bidang sarana
prasarana, pengembangan SDM, di bidang prestasi akademik dan non akademik. Itulah
tugas suci seorang kepala madrasah: menciptakan madrasah yang bermutu.
Karena tugas keseharian kepala madrasah bergelut dengan mutu, sudah seharusnya
pengangkatan kepala madrasah diprioritaskan untuk guru-guru senior yang paling
bermutu, yang memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan itu. Di Jepang, calon kepala
sekolah yang direkrut, selalu berasal dari kalangan guru yang dipandang terbaik untuk
menduduki jabatan itu.
Sedikit berbeda dengan kalangan madrasah di Indonesia. Walaupun sebagian
provinsi sudah memberlakukan rekrutmen calon kepala madrasah lewat tes lisan dan
tertulis, tetapi praktik finalnya masih banyak didominasi oleh aspek loyalitas dan
kedekatan dengan pejabat struktural, masih ada aroma kolusi dan nepotisme dengan
38
birokrat-birokrat pendidikan, sehingga mengabaikan aspek kompetensi dan
profesionalitas. Cara seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Karena menetapkan
seorang kepala madrasah berbeda dengan menetapkan kepala kantor urusan agama
kecamatan, atau kepala seksi di Kandepag dan lain sebagainya.
Ketika birokrasi pendidikan di Departemen Agama ingin menunjuk seorang kepala
madrasah, sebelumnya akan lebih bagus jika merujuk lebih dahulu kepada hasil studi
yang dilakukan oleh Gilberg Austin terhadap semua kepala sekolah di Amerika Serikat.
Hasil studi itu menunjukkan perbedaan yang tajam antara sekolah yang berprestasi tinggi
dengan yang berprestasi rendah, disebabkan oleh pengaruh yang besar dari kepala
sekolahnya. Sehingga Ruth Love menyatakan: ―I never seen a good school without a
good principals‖. Atau seperti yang dinyatakan oleh James B. Conant (1996), ―the
difference between a good and a poor school is often the difference between a good and a
poor principals‖ (Sudarwan Danim, 2006:97).
Dewasa ini, salah satu aspek yang paling lemah dalam dunia madrasah adalah aspek
manajemen. Banyak guru senior yang trampil dan berpengalaman dalam mengajar, tetapi
miskin dengan management ability. Padahal pemberdayaan madrasah hanya dapat
dilakukan apabila kepala madrasah memiliki kemampuan manajerial yang lebih dari pada
kemampuan yang dimiliki sekarang, untuk membawa madrasah menjadi madrasah yang
berkualitas.
2. Kepemimpinan Kepala Sekolah/Madrasah
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara
efektif dan efisien, perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam
hal ini pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar
mampu melakukan pilihan-pilihan. Pengertian ini memusatkan perhatian pada
pemerataan dalam peningkatan kemampuan manusia dan pemanfaatan kemampuan itu.
Paradigma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada kepala sekolah
dalam mengembangkan berbagai potensinya memerlukan peningkatan kemampuan
kepala sekolah dalam berbagai aspek manajerialnya, agar dapat mencapai tujuan sesuai
dengan visi dan misi yang diemban sekolahnya.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan
dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang diungkapkan Supriadi bahwa ada
kaitan yang erat antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah
seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta
didik (Mulyasa, 2003:24).
Dalam pada itu, kepala madrasah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan
secara mikro, yang secara lansung berkaitan dengan proses pembelajaran sekolah.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: ―Kepala
sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi
sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunakan serta
pemeliharaan sarana dan prasarana‖.
Apa yang diungkapkan di atas menjadi lebih penting sejalan dengan semakin
kompleksnya tuntutan kepala sekolah, yang menghendaki dukungan kinerja yang
semakin efektif dan efisien. Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
seni, dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak
maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaan secara professional.
Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk
melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan
berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam kerangka inilah
dirasakan perlunya peningkatan manajemen kepala sekolah secara professional untuk
menyukseskan program-program pemerintah yang sedang digulirkan. Yakni otonomi

39
daerah, desentralisasi dan sebagainya, yang ke semuanya ini menuntut peran aktif dan
kinerja profesionalisme kepala sekolah.
Kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi manajemen pendidikan
secara utuh dan berorientasi kepada manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi
kepada mutu. Startegi ini dikenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total
Quality Manajement (TQM).
Strategi ini merupakan usaha sistematis dan terkoordinasi untuk secara terus menerus
memperbaiki kualitas layanan, sehingga fokusnya diarahkan ke pelanggan dalam hal ini
peserta didik, orang tua peserta didik, pemakai lulusan, guru, karyawan, pemerintah dan
masyarakat.
Pengembangan profesionalisme kepala sekolah merupakan tugas dan wewenang para
pengawas yang berada di bawah dan tanggung jawab kepada Kepala Dinas Pendidikan
Nasional. Menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118
tahun 1996, tanggung jawab Pengawas Sekolah adalah:
1) Melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
2) Meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar, serta bimbingan peserta didik
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Sedangkan wewenang Pengawas Sekolah adalah:
1) Memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi,
menetapkan tingkat kinerja guru dan tenaga lain yang di awasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhi, dan
2) Menentukan dan atau mengusukan program pembinaan serta melakukan pembinaan.
Terkait dengan kepemimpinan madrasah, Wahjosumidjo mendefinisikan kepala
madrasah sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin
suatu madrasah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana
terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran‖ (Wahjosumidjo, 2005:83).

H. Pertemuan Ke-14
Materi: Kepemimpinan Pendidikan Islam: Keputusan-keputusan pemimpin lembaga
pendidikan Islam
1. Pendahuluan
Setiap tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya didasari oleh
keputusan yang diambil. Mulai dari aktivitas individual hingga aktivitas dalam organisasi,
semuanya didasari pada keputusan yang diambil. Akan tetapi, karena keputusan-keputusan
tersebut telah rutin diambil, maka biasanya seseorang atau kelompok organisasi tidak lagi
berlama-lama berfikir untuk menetapkan keputusan tersebut. Setiap tindakan seolah-olah
dilakukan begitu saja secara alami tanpa perlu pertimbangan. Padahal, sesungguhnya
tidaklah sepenuhnya seperti itu.
Diluar tindakan rutin tersebut, dalam kehidupan sehari-hari sering kali seseorang dan
organisasinya dihadapkan oleh permasalahan yang perlu dipertimbangkan matang-matang
sebelum mengambil keputusan. Karena semua keputusan yang dibuat tentunya didasari
pada pertimbangan matang dari berbagai kemungkinan yang ada agar dalam sebuah
organisasi mendapatkan pilihan yang baik.
Akan tetapi keputusan untuk memilih ini tidak selalu mudah, terutama karena kita
mempunyai berbagai keterbatasan. Bila keputusan dipaksa untuk mendapatkan sesuatu
yang sangat ideal, tidak jarang keputusan tersebut menjadi salah akibat keterbatasan-
keterbatasan tersebut. Akibatnya kita harus menanggung resiko memilih pilihan yang
kurang tepat sehingga merugikan diri sendiri maupun organisasi.
Dalam penyusunan makalah ini akan dibahas tentang:
40
a. Definisi keputusan dalam organisasi.
b. Dasar pengambilan keputusan
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
d. Proses pengambilan keputusan dalam organisasi
2. Pengertian Pengambilan Keputusan dalam Organisasi
Dilihat dari segi pengertian keputusan adalah suatu pemutusan atau pengakhiran dari
pada suatu proses pemikiran tentang suatu masalah atau problem, untuk menjawab
pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjadikan
pilihan pada salah satu alternatif tertentu (Prajudi, 1982:87).
Sedangkan dari pendapat lain, Keputusan merupakan pilihan yang dibuat dari jumlah
alternatif yang ada (Hafulyon, 2010:47).
Jadi dapat dikatakan bahwasanya keputusan merupakan suatu pemutusan atau
pengakhiran dari pada suatu proses pemikiran dari jumlah alternatif yang ada, untuk
menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut.
Pengambilan keputusan sangat erat hubunganya dengan seluruh kegiatan organisasi,
dan meliputi seluruh fungsi manajemen dalam organisasi, seperti lembaga-lembaga
pendidikan tidak akan terlepas dari pengambilan keputusan itu sendiri, baik pengambilan
keputusan pada tingkat yang sederhana maupun pada tingkat yang sulit sesuai dengan
alternative yang digunakan.
Keputusan bedasarkan berbagai pertimbangan merupakan tingkat keputusan yang
lebih banyak membutuhkan informasi dan informasi tersebut dikumpulkan serta dianalisis
untuk dipertimbangkan agar menghasilkan keputusan. Contohnya seseorang yang akan
membeli Handpone akan membandingkan antara beberapa merek. Ia membandingkan
harganya, kualitasnya serta modelnya dan untuk mengambil keputusan mungkin ia akan
memerlukan waktu beberapa jam bahkan beberapa hari sebelum menjatuhkan keputusan.
Sehingga memang pengambilan keputusan adalah melakukan penilaian dan
menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan
pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin
akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi
masalah utama, menyusn alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan
keputusan yang terbaik didalam organisasi tersebut.
Setiap organisasi, baik dalam skala besar maupun kecil, terdapat terjadi perubahan-
perubahan kondisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan eksternal dan internal
organisasi. Dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang terjadi maka diperlukan
pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Proses pengambilan keputusan yang cepat
dan tepat dilakukan agar roda organisasi beserta administrasi dapat berjalan terus dengan
lancar.
Pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh seorang pemimpin. Kegiatan
pembuatan keputusan meliputi pengindentifikasian masalah, pencarian alternatif
penyelesaian masalah, evaluasi dari pada alternatif-alternatif tersebut, dan pemilihan
alternatif keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang pimpinan dalam membuat
keputusan dapat ditingkatkan apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan teknik
pembuatan keputusan. Dengan peningkatan kemampuan pimpinan dalam pembuatan
keputusan maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang dibuatnya,
sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi.
Pembuatan keputusan diperlukan pada semua tahap kegiatan organisasi dan
manajemen. Misalnya, dalam tahap perencanaan diperlukan banyak kegiatan pembuatan
keputusan sepanjang proses perencanaan tersebut. Keputusan-keputusan yang dibuat dalam
proses perencanaan ditujukan kepada pemilihan alternatif program dan prioritasnya. Dalam
pembuatan keputusan tersebut mencakup kegiatan identifikasi masalah, perumusan
masalah, dan pemilihan alternatif keputusan berdasarkan perhitungan dan berbagai dampak
41
yang mungkin timbul. Begitu juga dalam tahap implementasi atau operasional dalam suatu
organisasi, para manajer harus membuat banyak keputusan rutin dalam rangka
mengendalikan usaha sesuai dengan rencana dan kondisi yang berlaku. Sedangkan dalam
tahap pengawasan yang mencakup pemantauan, pemeriksaan, dan penilaian terhadap hasil
pelaksanaan dilakukan untuk mengevalusai pelaksanaan dari pembuatan keputusan yang
telah dilakukan.
Hakikatnya kegiatan administrasi dalam suatu organisasi adalah pembuatan
keputusan. Kegiatan yang dilakukan tersebut mencakup seluruh proses pengambilan
keputusan dari mulai identifikasi masalah sampai dengan evaluasi dari pengambilan
keputusan yang melibatkan seluruh elemen-elemen dalam administrasi sebagai suatu
sistem organisasi.
Pada akhirnya, kegiatan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat merupakan
bagian dari kegiatan administrasi dimaksudkan agar permasalahan yang akan menghambat
roda organisasi dapat segera terpecahkan dan terselesaikan sehingga suatu organisasi dapat
berjalan secara efisien dan efektif dalam rangka mencapai suatu tujuan organisasi.
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil dari proses yang membawa
pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia, Setiap
proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan, Keputusan dibuat berguna
untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Dasar Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan sangat dibutuhkan dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi
dasar-dasar manajemen, seorang pemimpin tidak akan dapat menjalankan fungsi-fungsi
manajemen (Planing, Organizing, Actuating, dan Controling), tampa pengambilan
keputusan.
Menurut Terry di buku syamsir Torang, Bahwa ada 4 hal yang dapat dijadikan
dasaratau rujukan dalam mengambil keputusan, yaitu Instuisi, fakta, pengalaman, dan
kekuasaan.
a. Instuisi
Pengambilan keputusan yang didasarkan pada Instuisi adalah cara seorang pemimpin
mengambil keputusan dengan mengunakan ‗inner feeling‘ ada dua advantages yang
dapat diperoleh dengan mengunakan intuisi dalam mengambil keputusan, yaitu cepat
dan pengarunya dapat dibatasi.
b. Fakta
Pengambilan keputusan berdasarkan pada fakta adalah cara seorang pemimpin dalam
mengambil keputusan dengan mengunakan fakta-fakta yang cukup mendukung,
pengambilan keputusan yang didasarkan pada fakta lebih rasional dan objektif karena
menggunakan metodologi. Sebelum pengambilan keputusan, fakta tersebut dianalisa,
diklasifikasikan, dan diinterprestasikan.
c. Pengalaman
Kita tentu masih ingat peribahasa yang menjelaskan bahwa; ‗pengalaman adalah guru‘.
Pengambilan keputusan yang didasarkan pada ‗experience‘ adalah cara seorang
pemimpin mengambil keputusan dengan menjadikan peristiwa masa lalu (past events)
sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Namun pengambilan keputusan yang
didasari pada ‗experience‘ cenderung lebih bersifat ‗tradisional‘ dan menjaga ‗status
quo‘
d. Kekuasaan
Kekuasaan (authority) dan pengambilan keputusan saling berhubungan dan tidak dapat
dipisahkan. Kekuasaan (authority) adalah kekuatan/ kekuasaan yang dimiliki oleh
seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dan keputusannya dilaksanakan oleh
bawahannya. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa penerima keputusan memberikan
‗authority‘ kepada pembuat keputusan (decision maker).
42
Kelebihan pada keputusan yang didasarkan atas kekuasaan adalah karena keputusan
tersebut sangat mudah diikuti atau diterima. Namun kelemahan keputusan yang
didasarkan atas kekuasaan adalah karena keputusan tersebut akan menjadi sesuatu yang
sangat rutin dan gemanya/gaungnya tidak seperti mendikte.
e. Logika
Menurut Brinckloe di buku syamsir Torang, pengambilan keputusan yang didasarkan
pada ‗logika‘ adalah cara seorang pemimpin mengambil keputusan dengan melakukan
studi rasional terhadap setiap informasi yang yang terkait dengan keputusan yang akan
diambil. Agar keputusan yang akan diambil tersebut efektif, efisien, dan rasional, maka
tingkat reliabilitas informasi harus diperhitungkan.
f. Rasional
Menurut McGrew di buku syamsir Torang, proses pengambilan keputusan rasionl
mengutamakan hubungan antara ‗tujuan‘ keputusan yang akan diambil dengan ‗sasaran‘
keputusan (Torang, 2013:184).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan sebagai berikut :
a. Kondisi/kedudukan.
Dalam kerangka pengambilan keputusan, posisi/kedudukan seseorang dapat dilihat
dalam hal letak posisi; dalam hal ini apakah sebagai pembuat keputusan (decision
maker), penentu keputusan (decision taker) ataukah staf (staffer).
b. Masalah
Masalah atau problem adalah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan,
yang merupakan penyimpangan dari pada apa yang diharapkan, direncanakan atau
dikehendaki dan harus diselesaikan.
c. Situasi
Situasi adalah keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan, yang berkaitan satu sama lain,
dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang
hendak kita perbuat.
d. Kondisi
Kondisi adalah keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-sama menentukan
daya gerak, daya ber-buat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor-faktor tersebut
merupakan sumber daya-sumber daya.
e. Tujuan.
Tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), tujuan
organisasi, maupun tujuan usaha, pada umumnya telah tertentu/ telah ditentukan.
Tujuan yang ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara atau
objektif.
5. Proses Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi
Dalam arti mendasar sebenarnya pengambilan keputusan sudah mengandung arti
adanya pemecahan masalah. Setiap keputusan yang digunakan untuk memecahkan ataupun
mengurangi masalah dalam sebuah organisasi, dalam pemecahan masalah ada beberapa
langkah ataupun proses pengambilan keputusan dalam Organisasi yaitu:
a. Mengidentifikasi Masalah
Masala-masalah dalam sebuah organisasi biasanya cukup luas terkadang bercampur-
aduk dengan berbagai masalah lain sehingga terlihat sulit dan seolah-olah tidak dapat
terselesaikan ataupun mudah diatasi, untuk berbagai masalah yang muncul perlu adanya
urain masalah sehingga jelas masalah-masalah yang akan dikaji dan jelas batas-
batasnya.
b. Merumuskan masalah
Seorang pemimpin harus tanggap dan sensitif terhadap masalah yang muncul dalam
organisasinya. Langkah ini merupakan sesuatu yang paling kritis di dalam langkah-
43
langkah pengambilan keputusan karena baik tidaknya dan jelas tidaknya rumusan
masalah akan menentukan difahami dan diterimanya masalah tersebut oleh orang lain
sebagai masalah tersebut oleh anggota organisasi sebagai masalah yang perlu
dipecahkan. Bagi masalah tersebut lebih penting di spesifikasikan kesulitan-kesulitanya.
c. Menentukan Alternatif-alternatif
Untuk langkah-langkah ini, perlu diingat factor-faktor yang menyebabkan timbulnya
masalah dan hal-hal yang berkenan dengan hadirnya masalah yang akan dipecahkan.
Beberapa alternatif yang layak harus dipilih satu alternatif yang terbaik. Pemilihan
alternatif harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya, keefektifan alternatif
dalam memecahkan persoalan, kemampuan alternatif untuk mencapai tujuan dan
sasaran, dan daya saing alternatif pada masa yang akan datang.
d. Mengidentifikasi akibat atau konsekuensi dari pengambilan keputusan setiap alternatif.
Mengadakan antisipasi terhadap akibat dari pemilihan alternatif ini barangkali
merupakan aspek yang paling menyulitkan dalam pemecahan masalah, dan hal ini
disebabkan karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Setiap langkah
pengambilan keputusan tentu mengandung akibat, sebagai contoh seorang kepala
sekolah harus mempertimbangkan hasil keputusan yang akan diambil, dengan
mengambil keputusan pengadaan peralatan-peralatan sekolah untuk keperluan sekolah
apakah dengan adanya peralatan tersebut apakah nantinya dapatnya mendukung
kesuksesan kegiatan belajar yang maksimal.
e. Memilih alternatif yang baik
Apabila sudah dipertimbangkannya mengenai antisipasi terhadap akibat-akibat yang
mungkin timbul disebabkan karena pengambilan alternatif yang diajukan, seorang
pemimpin organisasi sebaiknya selalu membuat pertimbangan, untuk dijadikan sebagai
pemecah masalah. Bila orang yang menentukan pilihan ini tidak sendirian dan jumlah
alternatif yang di ajukan banyak dan memusingkan, maka dalam hal ini harus diadakan
penentuan berdasarkan skala perioritas sebuah lembaga ataupun organisasi.
Selama puluhan tahun terkhir dunia bisnis dan dunia pendidikan mengenal satu konsep
yang sangat popular dikenal dengan ―Management-by-Objektives‖ disingkat dengan
MBO, dimana telah diterima dikalangan luas sebagai suatu cara atau pendekatan di
dalam pengambilan keputusan.
Geoge Odiorne dalam buku Arikunto menjelaskan pengertian MBO adalah suatu proses
dimana pimpinan dan bawahan manejer di dalam sebuah organisasi bersama-sama
merumuskan tujuan, menentukan lingkup tanggung jawab untuk mencapai hasil tertentu
serta mengunakanya sebagai pedoman pelaksanaan dan ukuran hasil bagi setiap anggota
untuk mengukur keberhasilan tersebut (Arikunto, 1993:228).
f. Evaluasi
Setelah alternatif dilaksanakan, bukan berarti proses pengambilan keputusan telah
selesai. Pelaksanaan alternatif harus terus diamati, apakah berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Bila langkah-langkah pelaksanaan telah dilakukan dengan benar tetapi hasil
yang dicapai tidak maksimal, sudah waktunya untuk mempertimbangkan kembali
pemilihan alternatif lainnya.

I. Pertemuan Ke-15
Materi: Kepemimpinan Pendidikan Islam: Produktivitas pendidikan Islam
Produktivitas dalam dunia pendidikan merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang
diperoleh (output) dengan jumlah sumber yang dipergunakan (input). Produktivitas dapat
dinyatakan dengan kuantitas maupun kualitas. Kuantitas output merupakan jumlah lulusan,
sedangkan input merupakan jumlah tenaga kerja sekolah, dan sumber daya lainnya.
Sedangkan produktivitas dalam ukuran kualitas tidak dapat diukur dengan uang, ia
digambarkan dari ketetapan penggunaan metode dan alat yang tersedia sehingga volume dan
44
beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia serta mendapatkan respon
positif bahkan pujian dari orang lain atas hasil kerjanya.
Ada pula yang menekankan produktivitas pada sisi pemberian perhatian dan kepuasan
kepada pelanggan, sehingga semakin banyak dan banyak dan semakin memuaskan pelayanan
yang diberikan sebuah corporate atau lembaga terhadap customer, maka semakin produktif
lembaga tersebut.
Produktivitas dalam dunia pendidikan Islam berkaitan erat dengan keseluruhan proses
penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien. Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan dipadukan
dengan cara-cara yang berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya memproduksi
pakaian yang menggunakan teknik-teknik yang berbeda dalam memadukan buruh, modal, dan
pengetahuan. Untuk mengusai teknik-teknik tersebut diperlukan proses belajar.
Seiring dengan bertambahnya waktu, semakin besar pula modal untuk pendidikan.
Madrasah pun semakin berkembang seiring dengan besarnya tuntutan pendidikan yang harus
dikembangkan. Perubahan dalam intensitas tenaga kependidikan pun kemudian harus
dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga perlu diaplikasikan model
ketrampilan mengajar yang bervariasi.
Secara sederhana produktivitas pendidikan Islam dapat diukur dengan melihat indeks
pengeluaran riil pendidikan seperti dalam National Income Blue Book, dengan cara
menjumlahkan pengeluaran dari banyaknya peserta didik yang dididik. Namun cara ini
merupakan pengukuran cara kasar terhadap produk riil kependidikan. Cara ini pun tidak
menceritakan sama sekali tentang kualitas lulusan lembaga pendidikan, juga derajat efisiensi
berbagai sumber yang digunakan. Sehingga pengukuran output pendidikan dengan cara yang
rasional penting untuk dipertimbangkan, namun juga perlu disadari bahwa pengukuran ini
tidak dapat memberi indikasi langsung mengenai kuantitas pengajaran yang diterima setiap
peserta didik.
Produktifitas pendidikan dapat ditinjau dari 3 dimensi sebagai berikut:
1. Meninjau produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar dan
seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan, baik oleh guru
kepala sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
2. Meninjau produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai
yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran prestasi akademik yang telah
dicapainya dalam periode belajar tertentu di sekolah.
3. Melihat produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan
layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup ―harga‖ layanan yang diberikan
(pengorbanan atau cost) dan ―perolehan‖ yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut
―peningkatan nilai baik‖.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa pengukuran produktivitas pendidikan Islam erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, yang sangat bergantung pada akurasi kerangka yang
digunakan dalam analisis dan kualitas data. Dalam konteks ini agaknya tidak perlu
diperdebatkan bagaimana pengukuran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, sebab
umumnya riset mengenai ini membuktikan bahwa peranan pendidikan tetap substansial dalam
pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengetahui produktivitas
pendidikan dalam konteks peningkatan mutu pendidikan, antara lain dapat dilakukan dengan
analisis efektifitas dan efisiensi biaya, analisis biaya minimal, dan analisis manfaat.
Produktivitas terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan. Lebih lanjut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Efektivitas Pendidikan
Efektifitas merupakan sebuah fenomena yang mengandung banyak segi, sehingga
sedikit sekali orang yang dapat memaksimalkan keefektivitasan sesuai dengan
keefektivitasan itu sendiri. Atau dapat dikatakan bahwa efektivitas masih merupakan
45
sebuah konsepsi yang bersifat elusive (sulit diraih) yang harus didefinisikan secara jelas.
Sehingga efektivitas organisasi atau lembaga pendidikan memiliki arti yang berbeda bagi
setiap orang, bergantung pada kerangka acuan yang dipakai.
Bagi Etzioni, keefektifan merupakan derajat di mana sebuah organisasi mencapai
tujuaannya. Sedangkan menurut Sergiovani, keefektifan merupakan kesesuaian antara hasil
yang dicapai oleh organisasi dengan tujuan yang telah dirumuskan
Kemudian Scheerens mengemukakan bahwa efektivitas sebagai konsep kausal secara
esensial, di mana hubungan maksud-hingga-tujuan (means-to-end relationship) serupa
dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), terdapat tiga komponen utama
yang harus diperhatikan dalam studi tentang efektivitas organisasi pendidikan, yaitu: (1)
cakupan pengaruh; (2) kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu
(ditandai sebagai mode pendidikan); dan (3) fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari
yang menjelaskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa efektifitas organisasi merupakan
kemampuan organisasi untuk merealisasikan berbagai tujuan dan kemampuannya untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan mampu bertahan agar tetap eksis/hidup. Sehingga
organisasi dikatakan efektif jika organisasi tersebut mampu menciptakan suasana kerja
dimana para pekerja tidak hanya melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya,
tetapi juga membuat suasana supaya pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara
kreatif demi peningkatan efisiensi dalam mencapai tujuan.
Konsep efektivitas pendidikan mengacu pada kinerja unit organisasi, oleh sebab itu
maksud dari efektivitas sesungguhnya pencapaian tujuan, maka asumsi kriteria yang
digunakan harus mencerminkan sasaran akhir dari organisasi itu sendiri. Efektifitas
pendidikan dalam setiap tahapannya berproses pada das sollen dan dessein dengan
indikator-indikator sebagai berikut:
a. Indikator input, meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi
pendidikan serta kapasitas manajemen.
b. Indikator proses, meliputi prilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu
peserta didik.
c. Indikator out put, berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik meliputi hasil
prestasi belajar, sikap, keadilan dan persamaan.
d. Indikator out come, meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi
belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa efektifitas merupakan satu dimensi tujuan
manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Lembaga
pendidikan yang efektif adalah lembaga pendidikan yang menetapkan keberhasilan pada
input, proses, output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya indikator-indikator
tersebut. Sehingga dengan demikian, efektifitas lembaga pendidikan bukan sekedar
pencapaian sasaran dan terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi
berkaitan erat dengan syaratnya indikator tersebut dengan mutu, atau dengan kata lain
ditetapkannya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Mulyasa kemudian memberikan barometer terhadap efektifitas sebuah lembaga
pendidikan. Menurutnya barometer efektifitas dapat dilihat dari kualitas program,
ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi, semangat kerja, motivasi,
ketercapaian tujuan, ketepatan waktu, serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana,
dan sumber belajar dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa kajian tentang efektifitas pendidikan harus
dilihat secara sistemik mulai dari input sampai dengan outcome, dengan indikator yang
tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif. Sudah lama kita
mendambakan sebuah pendidikan yang berkualitas, sehingga tuntutan terhadap kualitas

46
sangat semarak dan perwujudannya sangat urgen karena mutu sudah menjadi a very
critical competitive variable dalam persaingan internasional.
2. Efesiensi Pendidikan
Efisiensi menurut Dharma dalam Mulyasa mengacu pada ukuran penggunaan daya
yang langka oleh organisasi. Efisiensi juga ditekankan pada perbandingan antara
input/sumber daya dengan out put. Sehingga suatu kegiatan dikatakan efisien bila tujuan
dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang
minimal. Efisiensi dengan demikian merupakan perbandingan antara input dengan out put,
tenaga dengan hasil, perbelanjaan dan masukan, serta biaya dengan kesenangan yang
dihasilkan. Apabila biaya dan tenaga yang dikerahkan tergolong tinggi sedangkan hasil
yang dicapai rendah berarti sangat tidak efisien, bahkan pemborosan.
Dalam pandangan Islam, pemborosan itu menjadi larangan karena mengarah pada
kerugian, bahkan kehancuran. Allah berfirman:

‫َّد َا ِبا ِب‬ ‫َّد ِب ِب َا ال تُب َا ِّنذاْل تَا ْل ِبذ ً إِب َّدا ْل ُب َا ِّنذ ِبا َا َا ُب إِب ْل َا َاا‬ ‫آ َاذ ْل ُب ْل َاى َا َّد ُب َا ْل ِب ْل ِبك َا َا ْل َا‬
‫َا ِب‬
‫ُب‬ ‫َا‬ ‫َّد‬
‫َا َا َاا ْل ُبا ِب َا ِّن ِب َا ًا‬
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros. 27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Ayat ini mengandung beberapa pesan yang dapat kita angkat: (1) Seseorang perlu
memiliki prioritas tertentu, (2) Prioritas itu diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan, (3) Anjuran bersikap hemat dalam mengatur ekonomi, (4) Larangan
bersikap boros (menjadi pemboros), (5) Pemborosan bikan hanya terkait dengan dimensi
ekonomi melainkan juga terkait dengan dimensi teologi.
Efisiensi dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai kegairahan atau motivasi
belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak, dan
pembiayaan, waktu, dan tenaga sekecil mungkin tetapi hasil yang didapatkan maksimal.
Dengan demikian, efisiensi merupakan faktor yang sangat urgen dalam rangka manajemen
peningkatan mutu pendidikan Islam. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam secara
umum dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, yang secara langsung
berdampak terhadap kegiatan manajemen.
Di atas telah dikemukakan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara input dan
output. Dalam pendidikan, input adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Sumber daya tersebut terkait dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Nilai
menggariskan tujuan serta isi pendidikan, faktor manusia merupakan pelaksana
pendidikan, dan faktor ekonomi menyangkut biaya dan fasilitas penyelenggaraan. Secara
operasional, masukan tersebut adalah peserta didik, guru, ruang kelas, buku teks, peralatan,
kurikulum serta sarana pendidikan. Masukan ini bisa dinyatakan dalam bentuk biaya
pendidikan per peserta didik setiap tahun . Sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi
pengelolaan lembaga pendidikan, dapat dihitung dari banyaknya tahun yang dihabiskan
peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan studinya. Efisiensi ini akan
menurun jika ada peserta didik yang mengulang atau DO.
Selain dianalisis dari perbandingan komponen input dan output, efisiensi juga bisa
ditinjau dari sisi proses pendidikan, dimana merupakan interaksi antara faktor manusiawi
dan non manusiawi dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan sesuai dengan rentang
waktu yang telah ditentukan. Sehingga pendidikan dikatakan efisien jika proses atau
kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

47
Aan Komariah dan Cepi Triatna mengklasifikasikan efisiensi menjadi efisiensi
internal dan eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output
pendidikan dan input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses atau menghasilkan
output pendidikan.
Menurut Coomb dan Hallak sebagaimana dikutip Aan Komariah, terdapat tiga
kategori teknik untuk memperbaiki efisiensi sistem pendidikan:
a. Efisiensi dapat diperbaiki dengan mengubah jumlah, kualitas, dan proporsi input atau
dengan menggunakan input-input yang ada secara lebih intensif, tanpa mengubah secara
mendasar kondisi dan teknologi yang ada atau fungsi produksi.
b. Tahap berikutnya, efisiensi dapat ditingkatkan dengan memodifikasi rancangan dasar
sistem secara substansial, meliputi pengenalan komponen-komponen dan teknologi baru
yang berbeda, seperti pengajaran tim, televisi pendidikan, dan laboratorium bahasa.
c. Pendekatan yang lebih radikal untuk memperbaiki efisiensi yang ada untuk merancang
alternatif baru ―sistem belajar mengajar‖ yang membedakan secara radikal dari yang
konvensional
Diatas telah dikemukakan bahwa efisiensi diklasifikasikan menjadi (1) efisiensi
internal dan (2) efisiensi eksternal. Dalam kajian sistem pendidikan, dengan
diberlakukannya school based management diharapkan mampu meningkatkan mutu
pendidikan melalui perbaikan serta peningkatan efisiensi internal pendidikan melalui
inovasi manajemen serta pembelajaran yang menyertainya, seperti peningkatan peran
dewan sekolah, penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dll. Sementara
itu efisiensi eksternal merujuk pada hubungan antara keuntungan kumulatif yang diperoleh
dari sistem lebih dari satu periode tertentu dan input-input yang sesuai digunakan dalam
menghasilkan keuntungan.
Dalam dunia pendidikan, upaya dalam rangka meningkatkan efisiensi pendidikan
dalam konteks peningkatan mutu, paling tidak dapat ditentukan oleh dua hal, yakni
manajemen pendidikan yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan pendidikan
yang meluas. Dalam hal ini, analisis terhadap efisiensi pendidikan juga dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan tidak memperhatikan secara terinci
unsur-unsur biaya yang digunakan dalam proses pendidikan (agregate approach), serta
pendekatan yang memperhitungkan kontribusi biaya secara terinci dalam proses
pendidikan untuk menghasilkan keluaran (ingredient approach). Kedua pendekatan
nampak berbeda dalam memperhitungkan biaya dalam proses pendidikan, yang satu
menggunakan total biaya dalam menilai kontribusi biaya terhadap pendidikan, sedangkan
yang satu memperhitungkan kontribusi per unsur. Namun demikian, tujuan yang ingin
dicapai kedua pendekatan tersebut sama, yaitu mengidentifikasi dampak mapun ekses
penggunaan biaya.
Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa perbedaan karaktersitik situasi dan input
yang terlibat mempunyai implikasi pada biaya pendidikan yang diperlukan. Karena itu
keputusan tentang efisiensi haruslah kontekstual dan proporsional. Keputusan kontekstual
dan proporsional ini sangat membutuhkan ketersediaan informasi tentang karakteristik
situasi dan input yang terlibat dalam proses pendidikan dalam jumlah dan mutu yang
memadai.
Dengan demikian, dalam menganalisis efektifitas mutu pendidikan sebagaimana juga
dalam efektifitas pendidikan harus diperhatikan aspek input dan proses pendidikan
tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka sistem pendataan yang akurat, tepat guna,
dan waktu perlu dikonstruks secara mendasar melalui peningkatan infrastruktur teknologi
informasi pada setiap lembaga pendidikan, yang meliputi kemampuan staf, arus data yang
melekat dalam proses manajemen, pusat pelatihan pendataan, serta sarana prasarana
pendukung.

48
Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan melalui efisiensi pengelolaan
pendidikan, analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara simultan,
terus-menerus, dan mendalam agar setiap unit kerja dalam lembaga pendidikan dapat
melaksanakan manajemen secara efisien.

J. Pertemuan Ke-16
UAS

DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jerome S., 2007, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata
Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arikunto, Suharsimi, 1993, Organisasi dan Administrasi Pendidikan dan Teknologi dan
Kejuruan, Jakarta: Rajawali Perss.
__________dan Lia Yuliana, 2008, Manajemen Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media.
Danim, Sudarwan, 2005, Visi Baru Manajemen, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik,
Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Manajemen Sekolah, Jakarta: Diknas.
Ellyasin, Muhammad dan Nanik Nurhayati, 2012, Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Aditya Media Publishing.
Hafulyon. 2010, Dasar-dasar Manajemen, Batusangkar: Batusangkar Press
Hasbullah, 2010, Otonomi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers
Ilyas, Mukhamad dan Nanik Nurhayati, 2012, Manajemen Pendidikan Islam: Konstruksi Teoritis
dan Praktis, Malang: Aditya Media Publishing
Komariah, Aan dan Cepi Triatna, 2008, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, strategi, dan Implementasi, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
________, 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan
KBK, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pidarta, Made, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Prajudi, Atmosudirdjo S. 1982, Beberapa Pandangan Umum Tentang Pengambilan Keputusan:
Decision Making. Jakarta : Ghalia Indonesia
Salim, Peter, 1987, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English
Press.
Sallis, Edward, 2012, Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riadi &
Fahrurozi, Yogyakarta: Ircisod.
Siagian, Sondang P., 2001, Audit Manajemen, Jakarta: PT Bumi Aksara.
________, 1989, Fungsi-fungsi Manajemen, Jakarta: Bina Aksara
Sukiswa, Iwa, 1986, Dasar-Dasar Umum Menejemen Pendidikan, Bandung: Tarsito

49
Sulistiyorini, 2009, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta:
Teras.
Suryobroto, B., 2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rieneka Cipta.
Torang, Syamsir, 2013, Organisasi dan Manajemen Prilaku, struktur, Budaya dan Perubahan
Organisasi, Bandung: Alfabeta.
Qomar, Mujamil, 2008, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Wahjosumidjo, 2005, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

50

Anda mungkin juga menyukai