Anda di halaman 1dari 40

16

BAB II
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM SECARA UMUM

A. Pengertian Sistem Pendidikan Islam


Sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling
berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan (Oemar Hamalik, 2009: 1).
Begitupun menurut Taqiyuddin (2011: 83) sistem adalah suatu unit yang
terdiri dari beberapa sub unit dan masing-masing sub unit tersebut saling
mendukung dan saling mempengaruhi. Pendidikan Islam sebagai sebuah
sistem, karena di dalamnya terdiri dari sub unit pendidikan Islam. Dari
pengertian tersebut, H.M. Arifin (2011: 90) menjelaskan bahwa pendidikan
Islam sebagai disiplin ilmu dapat dianalisis dari segi sistematis atau
pendekatan sistem. Dalam konteks ini, pendidikan Islam dipandang sebagai
proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling
berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.
Teori sistemik dikembangkan oleh para ilmuan muslim pada abad ke-
8 sampai dengan ke-13 M, masa itu merupakan periode keemasan sejarah
kebudayaan Islam. Daya kreativitas para ilmuan muslim pada prinsipnya
bersumber dari informasi al-Quran yang memberikan petunjuk tentang sistem
gerak benda-benda samawi dan kehidupan makhluk termasuk dalam diri
manusia sendiri secara biologis dan psikologis berjalan menurut mekanisme
hukum-hukum Tuhan. Dalam kehidupan jasmaniah dan rohaniah manusia,
Tuhan telah memberikan suatu sistem bekerjanya organ-organ yang teratur
dan berjalan koordinatif antara satu organ dengan organ lain sebagai suatu
kesatuan yang utuh. Kondisi yang bersifat sistematik dan mekanistik itu
merupakan sunatullah. Untuk melangsungkan, menumbuhkan dan
mengembangkan kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang paling mulia
dan paling baik struktur kejadiannya diantara makhluk-makhluk lainnya
(H.M. Arifin, 2011: 91).
Dengan mencontoh sistem mekanisme bekerjanya semesta alam dan
tubuh manusia sendiri, para ilmuan khususnya di bidang pendidikan dapat
17

menginspirasi dan memotivasi umatnya untuk maju sesuai kebutuhan umat


manusia yang mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidupnya masa
kini dan masa depan sampai hidup di alam akhirat.
Selanjutnya beralih kepada pengertian mengenai pendidikan Islam,
dalam membahas pendidikan Islam tidak terlepas dari pengertian pendidikan
secara umum, sehingga akan diperoleh batasan-batasan pengertian pendidikan
Islam secara jelas. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin
Nata (2003: 59) menyatakan bahwa pendidikan itu dapat dilihat dari dua segi,
yakni dari sudut pandang masyarakat dan dari sudut pandang individu.
Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau
nilai-nilai budaya baik bersifat intelektual, keterampilan, keahlian dari
generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat
memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya.
Dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan
potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat
teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu
tersebut dan juga masyarakat.
Dari pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidikan
mempunyai dua fungsi, yakni pada satu sisi pendidikan berfungsi untuk
memindahkan nilai-nilai dalam upaya memelihara kelangsungan hidup suatu
masyarakat dan peradaban. Sedangkan di sisi lain pendidikan berfungsi untuk
mengaktualisasikan fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dan mampu memikul
tanggung jawab, sehingga memperoleh kebahagiaan dan kehidupan yang
sempurna.
M. Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 60)
menyatakan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya yakni akal dan hatinya serta jasmani dan rohaninya, akhlak dan
keterampilannya karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk
hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk
18

menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan


pahit.
Adapun menurut salah satu pakar pendidikan Islam Naquib Al-Attas
yang dikutip oleh Taqiyuddin (2011: 18) menuliskan bahwa, kata ta’dib
merupakan istilah yang paling tepat dan cermat menunjukkan sebuah sistem
sebuah pendidikan dalam Islam yang di dalamnya ada tiga sub-sistem yaitu
pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Ini artinya bahwa, kata
tarbiyah merupakan salah satu sub sistem saja dari sistem ta’dib.
Selanjutnya Azyumardi Azra (2012: 6) menjelaskan tentang
pengertian-pengertian pendidikan Islam penekanannya pada “bimbingan”,
bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana
pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya dan guru hanya sebagai
fasilitator.
Berkaitan dengan hal tersebut, lebih lanjut Azyumardi Azra (2012: 10)
menjelaskan pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan sistem pendidikan lainnya, diantaranya:
Pertama, pendidikan Islam penekanannya pada pencarian ilmu
pengetahuan, penguasaan dan pengembangan. Ilmu ini merupakan suatu
proses yang berkesinambungan dan pada prinsipnya berlansung seumur hidup
(life long education) dalam sistem pendidikan modern. Sebagai sebuah ibadah
proses pengembangan ilmu tersebut sangat menekankan pada nilai-nilai
akhlak. Dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadlu, menghormati
sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang
perlu dipegangi setiap pencari ilmu.
Kedua, sikap pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang
untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang
sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-
potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
19

Karakteristik pendidikan Islam berikutnya yaitu pengamalan ilmu


pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat. Di
sinilah pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan
melainkan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian,
terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengalamannya
dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam, mengetahui suatu ilmu
pengetahuan sama pentingnya dengan pengalamannya secara konkret
sehingga dapat terwujud kemaslahatan (Azyumardi Azra, 2012: 10).
Setelah mengatahui pengertian mengenai sistem, pendidikan dan
pendidikan Islam secara terperinci, maka penulis dapat memberikan sedikit
simpulan bahwa sistem pendidikan Islam adalah satu kesatuan komponen
pendidikan Islam yang satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi
untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan yakni sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk menghindari kerancuan dalam penulisan serta lebih
memfokuskan pada pokok pembahasan ini, penulis hanya akan memaparkan
sub-sub sistem atau komponen-komponen pendidikan Islam yang meliputi:
tujuan pendidikan Islam, pendidik dalam pendidikan Islam, peserta didik
dalam pendidikan Islam, materi dalam pendidikan Islam, metode dalam
pendidikan Islam, sarana dan prasarana dalam pendidikan Islam serta evaluasi
dalam pendidikan Islam. Uraian selengkapnya akan dibahas pada poin
selanjutnya.

B. Tujuan Pendidikan Islam


Dilihat dari segi cakupan atau ruang lingkupnya, tujuan pendidikan
dapat dibagi dalam enam tahapan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan Secara Universal
Rumusan tujuan pendidikan yang bersifat universal dapat dirujuk
pada hasil kongres tentang pendidikan Islam sebagai berikut (Abuddin
Nata, 2012: 61).
20

“Pendidikan harus ditunjukan untuk menciptakan keseimbangan


pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara
melatih jiwa, akal pikiran, perasaan dan fisik manusia dengan
demikian. Pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh
potensi manusia. baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya
khayal, fisik, ilmu pengetahuan. Maupun bahasa, baik secara
perorangan maupun kelompok dan mendorong tumbuhnya seluruh
aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan
akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang
penuh kepada Allah, baik pada tingkat perorang, kelompok
maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya”.

Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal ini dirumuskan


dari berbagai pendapat para pakar pendidikan, seperti Al-Attas, Athiyah
al-Abrasy, Munir Musri, Ahmad D. Marimba, Muhammad Fadhil al-Jamil
Mukhtar Yahya, Muhammad Quthb dan sebagainya. Al-Attas,
menghendaki tujuan pendidikan Islam yaitu manusia yang baik, sedangkan
Athiyah al-Abrasyi menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam yaitu
manusia yang berakhlak mulia. Munir Mursi menghendaki tujuan akhir
pendidikan yaitu manusia sempurna. Ahmad D. Marimba berpendapat
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang
berkepribadian muslim (Abuddin Nata, 2012: 62).
Muhammad Fadhil al-Jamali merumuskan tujuan pendidikan Islam
dengan empat macam, yaitu:
a. Mengenalkan sesama manusia perannya di antara sesama makhluk dan
tanggung jawab dalam hidup ini;
b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya
dalam tata hidup bermasyarakat;
c. Mengenalkan manusia akan alam dan mengajak mereka untuk
mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan kepada
mereka untuk mengambil manfaat darinya; dan
d. Mengenakan manusia akan pencipta alam (Allah) dan menyuruhnya
beribadah kepada-Nya (Abuddin Nata, 2012: 62).
Menurut Mukhtar Yahya yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 62)
berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah memberikan
21

pemahaman ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk


keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah SAW sebagai
pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk memenuhi
kebutuhan kerja.
Kemudian menurut Muhammad Quthb berpendapat, bahwa tujuan
pendidikan adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga
mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah
(Abuddin Nata, 2012: 63).
Sebagaimana pendapat al-Abrasy yang dikutip oleh Abuddin Nata
(2003: 213) bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mendidik akhlak dengan
memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik dan mental, perasaan
dan praktek mempersiapkan manusia menjadi anggota masyarakat. Suatu
moral yang tinggi adalah tujuan utama dan tertinggi dari pendidikan Islam
dan bukan sekedar mengajarkan kepada anak-anak apa yang tidak diketahui
mereka, tetapi lebih jauh dari itu menanamkan fadilah, membiasakan
bermoral tinggi, sopan santun, islamiyah, tingkah perbuatan yang baik
sehingga hidup ini menjadi suci, kesucian yang disertai dengan keikhlasan.
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003:
211) tujuan pendidikan Islam adalah suatu istilah untuk mencari fadilah,
kurikulum pendidikan Islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik
jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat
kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah SWT
melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.
Lebih lanjut menurut Ahmad Tafsir (2012: 206) dalam pandangan
Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di
sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang
tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan
lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat
berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendi-sendi
kehidupan bersama bahkan dapat menghancurkan negara bahkan dunia.
22

Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi
kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak. Adapun tujuan
pendidikan Islam menurut Arifin (2014: 54) yakni penggambaran nilai-nilai
islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia didik pada akhir dari
proses tersebut.
Dengan istilah lain, tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-
nilai islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik
muslim melalui proses yang tercermin pada hasil yang berkepribadian Islam
yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup
mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.
Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal tersebut memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
a. Mengandung prinsip universal (syumuliyah) antara aspek kaidah, bidah,
akhlak, dan muamalah; Keseimbangan dan kesederahanaan (tawazul dan
iqtisyadiyah) antara aspek pribadi, komunitas, dan kebudayaan;
Kejelasan (tabayyun), terhadap aspek kejiwaan manusia (qalb, akal dan
hawa nafsu) dan hukum setiap masalah; Kesesuain atau tidak
bertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya; Realisme
dan dapat dilaksanakan, tidak berlebih-lebihan, praktis, realistik, sesuai
dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik dan sosiokultural
yang ada; Sesuai dengan perubahan yang diinginkan, baik pada aspek
rohaniah dan nafsaniyah, serta perubahan kondisi psikologi, sosiologi,
pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik
untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan; Menjaga
perbedaan individu, serta prinsip dinamis dalam menerima perubahan
dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta lingkungan
dimana pendidikan itu dilaksanakan.
b. Mengandung keinginan untuk mewujudkan manusia yang sempurna
(insan kamil) yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu
menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi
(Abuddin Nata, 2012: 63).
23

Apabila ciri-ciri tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan


hadits, maka tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut (Abuddin Nata,
2003: 213).
1) Tujuan pertama adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan
kepada Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT:

            

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan


sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan mati dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 102).
(Depag RI, 2000: 92)

2) Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah


sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, (Syekh Maulana Muhammad
Yusuf Al-Kandhawi Raha, 2005: 421):

‫ت ِالتَِم َم َم َكا ِرَم اْالَ ْخالَ ِق‬ ِ ِ


ُ ْ‫امَّنَا بُعث‬
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
(HR. Al-Baihaqi)

3) Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu
beribadah kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

      


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” (QS.Ad-Dzariyaat, 51: 56). (Depag RI, 2000: 862)

Dijelaskan lebih lanjut oleh Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin
Nata (2008: 265) bahwa pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan
memperhambakan diri kepada Allah sebagai tujuan pendidikan dan telah
disepakati pula oleh umumnya para pakar dalam pendidikan Islam.
Muhammad Natsir mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah tujuan
hidup manusia. Memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba
Allah, inilah tujuan hidup kita di dunia ini dan oleh sebab itulah pula tujuan
24

pendidikan yang wajib kita berikan kepada anak-anak yang sedang


menghadapi kehidupan (Susanto A, 2010: 122).
Dengan demikian, menghambakan diri kepada Allah dapat juga
berpengaruh kepada timbulnya akhlak yang mulia. Itulah sebabnya rumusan
lain dari tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Athiyah al-Abrasy
adalah mendidik akhlak dan jiwa anak didik. Menanamkan rasa fadhilah
(keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas
dan jujur.
Dengan dasar ini maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan
Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Athiyah lebih lanjut
menghimbau agar semua mata pelajaran harus mengandung nilai-nilai akhlak,
dan setiap guru harus memperhatikan akhlak, setiap juru didik haruslah
memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak
keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedang akhlak mulia adalah tiang dari
pendidikan Islam.
Senada dengan uraian di atas, Hasan Langgulung mengatakan bahwa
tujuan pendidikan itu berbicara tentang tujuan hidup manusia. rumusannya
didasarkan pada suatu prinsip bahwa pendidikan hanyalah suatu alat yang
digunakan oleh manusia untuk dapat memelihara kelanjutan hidupnya, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dengan bersandar pada surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 dengan berbagai
tafsirannya, nampaknya dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah
beribadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya yang tercermin dalam akhlak
yang keluar secara spontanitas dari aktifitas kehidupannya.
Aktifitas pengabdian kepada Allah selanjutnya dikombinasi dengan
peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Al-Qur’an dengan tegas
mengatakan:
25

           

           

      


“Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.’ Mereka berkata: ‘mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah, 2:
30). (Depag RI, 2000: 13)

Artinya manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan


atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang
menugaskan, yaitu Allah. Dengan kata lain yakni berupa pengabdian kepada
Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia.
Lebih lanjut mengenai khalifah, Quraish Shihab mengatakan bahwa
kekhalifahan mengharuskan adanya empat hal yang saling berkaitan:
1. Pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT.
2. Penerima tugas, dalam hal manusia, perorangan maupun kelompok.
3. Tempat atau lingkungan di mana manusia berada.
4. Materi-materi penugasan yang harus mereka lakukan.
Keempat materi inilah yang kemudian menjadi dasar penilaian tentang
kesuksesan manusia dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraish
Shihab lebih lanjut menjelaskan, bahwa tugas kekhalifahan tersebut tidak
akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tersebut tidak dilaksanakan
atau apabila kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak
diperhatikan.
Khusus menyangkut kaitan antara penerima tugas dan lingkungannya
harus digaris bawahi bahwa corak hubungan tersebut dapat berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lain. Karena itu penjabaran tugas
26

kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-
masing.
c. Tujuan Pendidikan Islam Secara Nasional
Tujuan pendidikan Islam nasional ini adalah tujuan pendidikan Islam
yang dirumuskan oleh setiap negara (Islam). Dalam kaitan ini, maka setiap
negara merumuskan tujuan pendidikannya dengan mengacu kepada tujuan
universal sebagaimana tersebut di atas. Tujuan pendidikan Islam secara
nasional di Indonesia, tampaknya secara eksplisit belum dirumuskan, karena
Indonesia bukanlah negara Islam.
Untuk itu tujuan pendidikan Islam secara nasional dapat dirujuk
kepada tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional sebagai berikut (Sukarno,
2003. 5).
“Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi,
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rsa seni, serata
bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.

Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, maupun secara eksplisit


tidak menyebutkan kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran
Islam. Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung
nilai-nilai ajaran yang telah terobjektivasi, yakni ajaran Islam yang telah
mentransformasi kedalam nila-nilai yang telah disepakati dalam kehidupan
nasional. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut memperlihatkan
tentang kuatnya pengaruh ajaran Islam ke dalam pola pikir (mindset) bangsa
Indonesia.
d. Tujuan Pendidikan Islam Secara Institusional
Tujuan pendidikan islam secara institusional adalah tujuan pendidikan
yang dirumuskan oleh masing-masing lembaga pendidikan Islam, mulai dari
tingkat taman kanak-kanak atau raudatul atfal, sampai dengan perguruan
tinggi.
27

e. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Program Studi (Kurikulum)


Tujuan pendidikan Islam pada tingkat program studi ialah tujuan
pendidikan yang disesuaikan dengan program studi.
f. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Mata Pelajaran
Tujuan pendidikan Islam pada tingkat mata pelajaran yaitu tujuan
pendidikan yang didasarkan pada tercapainya pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam yang terdapat pada bidang studi atau mata
pelajaran tertentu.
g. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Pokok Bahasan
Tujuan pendidikan Islam pada tingkat pokok bahasan yaitu tujuan
pendidikan yang didasarkan pada tercapainya kecakapan (kompetensi)
utama dan kompetensi dasar yang terdapat pada pokok bahasan tersebut.
h. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Subpokok Bahasan
Tujuan pendidikan Islam pada tingkat subpokok bahasan yaitu
tujuan pendidikan yang didasarkan pada tercapainya kecakapan
(kompetensi) yang terlihat pada indikator-indikatornya secara terukur.
Sebagaimana tujuan pendidikan yang dilihat dari segi ruang lingkup dan
cakupannya sebagaimana tersebut di atas, terdapat pula tujuan pendidikan yang
dilihat dari segi kepentingan masyarakat, individu peserta didik dan gabungan
antara keduanya.
1. Tujuan pendidikan dari segi kepentingan sosial, yakni tujuan pendidikan
yang diharapkan oleh masyarakat. Termasuk pula di dalamnya tujuan
pendidikan yang diharapkan oleh agama, msyarakat, negara ideologi,
organisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, maka pendidikan sering kali
menjadi alat untuk mentransformasikan nilai-nilai yang dikehendaki oleh
agama, masyarakat negara, ideologi dan organisasi tersebut.
2. Tujuan pendidikan Islam dari segi kepentingan individual yaitu tujuan yang
menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan
dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dengan tujuan ini, maka
pendidikan bukanlah mentransformasikan atau mentransmisikan nilai-nilai
yang berasal dari luar kepada diri peserta didik, melainkan lebih bersifat
28

menggali, mengarahkan dan mengembangkan motivasi, minat, bakat dan


potensi anak didik agar tumbuh, berkembang dan terbina secara optimal,
sehingga potensi yang semula terpendam itu menjadi muncul ke permukaan
dan menjadi aktual atau nyata dalam realitas.
3. Tujuan pendidikan dari segi perpaduan (konvergensi) antara bakat dari anak
dan nilai budaya yang berasal luar. Dengan pandangan ini, maka dari satu
sisi pendidikan memberikan ruang gerak dan kebebasan bagi peserta didik
untuk mengekspresikan bakat, minat dan potensinya yang bersifat khas
individualistik, namun dari sisi lain pendidikan memberikan atau
memutuskan nilai-nilai atau ajaran yang bersifat universal dan diakui oleh
masyarakat ke dalam diri anak (Abuddin Nata, 2012: 63-69).
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh pemikiran Islam di atas,
maka dapat disimpulkan bahawa tujuan pendidikan Islam mengorientasikan
pada tujuan hidup manusia di muka bumi serta pengaplikasian rasa
ketakwaannya kepada Allah SWT itu ditunjukkan dengan memiliki akhlak
yang mulia.

C. Pendidik dalam Pendidikan Islam


Pendidik ialah tenaga profesional yang diserahi tugas dan tanggung
jawab untuk menumbuhkan, membina, mengembangkan bakat, minat,
kecerdasan, akhlak, moral, pengalaman, wawasan dan keterampilan peserta
didik. Seorang pendidik adalah orang yang berilmu pengetahuan dan
berwawasan luas, memiliki keterampilan, pengalaman, berkepribadian mulia,
memahami yang tersurat dan tersirat, menjadi contoh dan model bagi
muridnya, senantiasa membaca dan meneliti, memiliki keahlian yang dapat
diandalkan, serta menjadi penasihat (Abuddin Nata, 2012: 165).
Selanjutnya, dalam konteks pendidikan Islam banyak sekali kata yang
mengacu pada pengertian guru, seperti murabbi, mu’allim dan mu’addib.
Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda-beda.
Disamping itu, guru kadang disebut melalui gelarnya, seperti al-ustadz dan
asy-syaikh. Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abuddin Nata yang dikutip
29

oleh Sri Minarti (2013: 108) yaitu kata ‘alim bentuk jamaknya adalah ‘ulama
atau mudarris yang berarti pengajar (orang yang memberi pelajaran). Namun
secara umum, mu’allim lebih banyak digunakan daripada kata mudarris.
Sementara itu, kata mu’addib merujuk kepada guru yang secara khusus
mengajar di istana. Lain halnya dengan kata ustadz yang mengacu kepada
guru yang khusus mengajar agama Islam. Terakhir, syaikh digunakan untuk
merujuk kepada guru dalam bidang tasawuf.
Setelah mengetahui pengertian pendidik dalam pendidikan Islam, jika
dilihat dari pengertiannya saja bahwa salah satu faktor yang paling
menentukan berhasilnya proses belajar mengajar dalam kelas adalah pendidik
atau guru. Karena itu, guru tidak saja mendidik melainkan bertugas
profesional memindahkan ilmu pengetahuan atau penyalur ilmu pengetahuan
yang dikuasai kepada anak didik.
Manusia memiliki potensi jiwa yaitu kekuatan yang tidak terlihat dan
tidak diketahui materi dan cara kerjanya yaitu alat untuk mengadakan kontak
dengan Tuhan. Potensi-potensi rohaniah tersebut antara lain pendengaran,
penglihatan dan hati sanubari.

         

      


“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl, 16: 78). (Depag RI, 2000:
413).
Potensi-potensi tersebut di samping sebagai alat yang menghubungkan
pengetahuan atau informasi dari luar ke dalam diri manusia, juga sekaligus
merupakan objek yang harus diisi dengan materi-materi pendidikan. Untuk
itu ada materi-materi pendidikan yang difokuskan kepada pembinaan rohani
yang antara lain penanaman nilai-nilai akhlak yang mulia, etika kesopanan
pergaulan serta nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Pembinaan rohani manusia itu penting, karena dari rohani yang sehat itu akan
muncul perbuatan yang sehat pula.
30

Berkaitan dengan pembinaan rohani tersebut, dalam al-Qur’an banyak


ayat-ayat yang menekankan pentingnya keimanan sebagai bagian yang amat
essensial bagi pangkal tolak ketakwaan dan timbulnya ketenangan batin.
Berikut adalah salah satu ayat yang menunjukkan kualitas iman yang
harus dipilih oleh seseorang serta sekaligus menunjukkan pengaruh positif
yang akan ditimbulkan dari keimanan yang berkualitas itu.

              

      


“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman
mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang
melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan
jika kamu adalah orang-orang yang benar’.” (QS. al-Hujurat, 49: 17).
(Depag RI, 2000: 848).

Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa iman adalah merupakan salah
satu karunia yang terbesar dari Allah dan kekuatan rohani yang diisi dengan
iman itulah yang kemudian dapat menjadi penuntun kepada kebenaran dan
merupakan penghubung antara manusia dengan Tuhan, ia merupakan
kekuatan yang paling besar, paling hebat dan paling kuat dalam berhubungan
dengan alam nyata.
Potensi berikutnya Abuddin Nata (2008: 275) menyebutkan potensi
yang dimiliki oleh manusia adalah potensi akal yang merupakan salah satu
kekuatan manusia yang paling besar dan merupakan pemberian Tuhan yang
tidak dapat dinilai harganya dengan apapun.
Dalam hubungan dengan potensi akal tersebut al-Qur’an menegaskan:

           

 
“Katakanlah: ‘Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati’, tetapi amat sedikit kamu
bersyukur’.” (QS. al-Mulk, 67: 23). (Depag RI, 2000: 957).
31

Kata ‘hati’ yang terdapat dalam ayat tersebut menurut Muhammad Quthb
adalah dipakai untuk pengertian akal atau kekuatan menangkap atau
mengindera pada umumnya. Dengan ayat tersebut menjadi jelas, bahwa akal
adalah pemberian Allah dan itu harus disyukuri dengan memelihara,
mendidik dan memakainya seoptimal mungkin.
Selanjutnya ayat yang menerangkan tentang akal yaitu sebagai berikut.

         

 
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab
(Taurat)?, maka tidakkah kamu berfikir?.” (QS. al-Baqarah, 2: 44).
(Depag RI, 2000: 16).

Dengan demikian akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. pengertian serupa ini sejalan
dengan keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an yang lebih menunjukkan
kepada aktifitas berfikir dan bukan pada mempermasalahkan substansi akal
itu sendiri.
Sehubungan dengan adanya akal itulah, maka pendidik dalam pendidikan
Islam hendaknya memiliki tingkat intelektual yang baik, sehingga memiliki
keterampilan berfikir dan memecahkan permasalahan. Kemampuan berpikir
dengan menggunakan akal secara cepat, tepat dan benar itu sangat dibutuhkan
oleh seorang hamba yang akan sekaligus menjadi khalifah di muka bumi.
Menurut Muzayyin Arifin (2011: 118) guru juga menjadi pemimpin atau
pendidik dan pembimbing di kalangan anak didiknya. Oleh karena itu sebagai
seorang pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan ide-
ide yang perlu dikembangkan guna tercapainya pembelajaran yang efektif,
pendidik pun harus mampu mengarahkan dan membina untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan anak didik serta meningkatkan
kejiwaan dan jasmaninya.
32

Adapun ketentuan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk


menjadi seorang tenaga pendidik profesional, yakni sebagaimana yang ada
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen: “Adalah berfungsi untuk meningkatkan martabat, dan peran guru
sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.”
Sementara itu pada Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2005 tersebut dinyatakan,
bahwa:
“Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk
meningkatkan martabat dan peran sebagai agen pembelajaran,
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdi
kepada masyarakat berfungsi untuk untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional.”

Al-Ghazali mengemukakan kriteria pendidikan yang dikutip oleh


Abuddin Nata (2012: 169) yaitu seorang pendidik hendaknya seorang yang
manusiawi, humanis, demokratis, terbuka, adil, jujur, berpihak pada
kebenaran, menjunjung akhlak mulia, toleran, egaliter, besahabat, pemaaf dan
menggembirakan. Dengan sifat-sifat yang demikian itu, maka seorang
pendidik dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dalam keadaan
yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Menurut al-Ghazali dalam bukunya Abdul Mujib (2006: 90)
menyebutkan bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
Sejalan dengan itu, Al-Abrasyi dalam kutipan Abuddin Nata (2012:
169) berpendapat bahwa seorang harus memiliki kriteria sebagai berikut.
1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik,
sehingga dapat menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi
anaknya sendiri.
2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik.
3. Memerhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya.
4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta
didik saja.
33

5. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian dan kesempurnaan.


6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal-hal
yang di luar kewajibannya.
7. Dalam mengajar selalu mengaitkan materi yang diajarkan dengan materi
lainnya.
8. Memberi bekal kepada peserta didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan
masa depan.
9. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat,
tanggung jawab dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta
mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Mengutip pendapatnya Roestiyah yang dikutip oleh Abdul Mujib
(2006: 91) fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program
pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta
mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada
tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan
Allah SWT. menciptakannya.
3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan
kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap
berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan
yang dilakukan.
Menurut Muhaimin (2015: 50) secara utuh mengemukakan tugas-tugas
pendidik dalam pendidikan Islam. Dalam rumusannya, Muhaimin
menggunakan istilah ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris dan
mu’addib.
34

Berikut karakteristik tugas pendidik dalam pendidikan Islam.


1. Ustadz: orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat
pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil
kerja, serta sikap continuous improvement.
2. Mu’allim: orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya
serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan,
internalisasi, serta implementasi (amaliah).
3. Murabbi: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitarnya.
4. Mursyid: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri
atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
5. Mudarris: orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta
memperbarui pengatahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan
berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan
mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
6. Mu’addib: orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di
masa depan.
Seorang pendidik yang bertanggung jawab tentunya harus memiliki
kompetensi-kompetensi tertentu yang memungkinkan kewajibannya
tertunaikan secara baik. Kompetensi secara sederhana berarti kemampuan
atau kecakapan. Kompetensi di sini berarti kemampuan dan kecakapan
seorang pendidik mengaplikasikan dan memanfaatkan situasi belajar
mengajar dengan menggunakan prinsip-prinsip dan teknik penyajian bahan
pelajaran yang telah disiapkan secara matang, sehingga dapat diserap oleh
anak didiknya dengan mudah (Mahmud dan Tedi, 2008: 126).
35

Menurut Muhaimin yang dikutip oleh Mahmud dan Tedi (2008: 126)
pendidik dalam pendidikan Islam paling tidak harus memiliki tiga kompetensi
dasar, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetensi personal religius; kemampuan dasar menyangkut kepribadian
agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai yang hendak
ditraninternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran,
keadilan, kebersihan dan sebagainya. Nilai tersebut harus dimiliki oleh
seorang pendidik untuk memudahkkan mentransinternalisasi (pemindahan
dan penghayatan nilai-nilai) terhadap anak didik.
2. Kompetensi sosial religius; kemampuan menyangkut kepedulian terhadap
masalah sosial selaras dengan ajaran Islam, seperti tolong menolong,
gotong royong dan sebagainya.
3. Kompetensi profesional religius; kemampuan dasar menyangkut
kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dalam arti
mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu
mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya
dalam perspekti Islam.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas maka penulis menarik
kesimpulan bahwa pendidik dalam pendidikan Islam itu harus memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani serta tugas-tugas
sebagai pendidik demi terlaksananya tujuan pendidikan pendidikan Islam.

D. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam


Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang
tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial dan religius
dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Abuddin Nata
(2012: 175) menyebutkan beberapa karakteristik peserta didik berdasarkan
tingkat usia, kecerdasan, bakat, hobi dan minat, tempat tinggal dan budaya,
serta lainnya.
1. Karakteristik peserta didik berdasarkan tingkat usia, yakni:
36

a. Tahap asuhan (uasia 0-2 tahun) neonatus, tahap ini individu belum
memiliki kesadaran dan daya intelektual. Pada tahap ini hanya mampu
menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air
susu ibunya.
b. Tahap jasmani (usia 2-12 tahun), pada tahap ini anak mulai memiliki
potensi biologis, pedagosis dan psikologis, sehingga seorang anak
sudah mulai dapat dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan
pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
c. Tahap psikologis (usia 12-20 tahun), pada fase ini anak mulai dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, yakni dimana pada
tahap ini anak sudah dapat dibina, dibimbing dan dididik untuk
melaksanakan tugas-tugas yang menuntut komitmen dan tanggung
jawab dalam arti yang luas.
d. Tahap dewasa (usia 20-30 tahun), yakni anak sudah disebut dewasa
dalam arti yang sesungguhnya. Pada tahap ini sudah memiliki
kematangan dalam bertinda, bersikap dan mengambil keputusan untuk
menentukan masa depannya sendiri.
e. Tahap bijaksana (30 sampai akhir hayat), pendidikan pada tahap ini
dilakukan dengan cara mengajak mereka agar mau mengamalkan
ilmu, keterampilan, pengalaman dan yang lainnya untuk kepentingan
bersama orang lain.
2. Karakteristik peserta didik berdasarkan teori fitrah
Di dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa:

           

            
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum, 30:
30). (Depag RI, 2000: 645).
37

Fitrah yang ada pada manusia ialah potensi dasar, yaitu berupa
kecenderungan untuk beragama dan menyukai kebaikan, kecenderungan
untuk berilmu dan menyukai kebaikan, kecenderungan untuk berilmu dan
menyukai kebenaran, kecenderungan untuk mengikuti nafsu biologis, nafsu
syahwat dan bakat bawaan yang diberikan oleh orang tua, serta naluri.
Semua potensi tersebut pada asalnya netral dan dapat menerima
pengaruh yang datang dari luar, yakni pengaruh orang tua, teman dekat,
informasi teknologi, lingkungan dan hidayah dari Tuhan. Karena demikian
adanya, maka pendidikan dan pengajaran dalam arti luas memiliki peranan
yang amat penting.
3. Karakteristik peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan
Memahami kecerdasan peserta didik dengan berbagai bentuk,
tingkatan dan variasinya maka sorang guru di samping dapat merancang
bahan pelajaran yang sangat cocok dan dapat menentukan metode serta
pendekatan yang paling tepat. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar mengajar
dimulai, setiap guru perlu memiliki data yang memadai tentang kondisi
setiap peserta didik yang akan mereka didik.
4. Karakteristik peserta didik berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya
Mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya tersebut, maka
seorang guru dapat menentukan metode dan pendekatan yang tepat dalam
memperlakukan mereka, serta membangun komunikasi yang tepat, wajar
dan proporsional, tanpa ada maksud untuk memberikan perlakuan yang
istimewa antara satu dan lainnya atau menampakkan sikap dan perlakuan
yang diskriminatif.
Dengan demikian tugas mendidik ialah tugas profesional yang antara lain
ditandai oleh kemampuan memahami keadaan pesserta didik dalam seluruh
aspeknya secara tepat, serta mampu menggunakannya untuk menentukan
desain atau rancangan materi pembelajaran, serta metode dan pendekatan yang
akan digunakan.
38

Menurut Al-Abrasy, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 183)
peserta didik harus memiliki akhlak mulia, antara lain:
1. Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
2. Memiliki sifat yang mulia
3. Meninggalkan kesibukan duniawi
4. Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru
5. Menyenangkan hati dan memuliakan guru
6. Menjaga rahasia dan menunjukkan sikap sopan santun kepada guru
7. Tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar
8. Memilih waktu belajar yang tepat
9. Belajar sepanjang hayat dan memelihara rasa persaudaraan dan
persahabatan.

E. Materi dalam Pendidikan Islam


Materi dalam pendidikan Islam merupakan isi dari kurikulum pendidikan,
syarat-syarat yang perlu diajukan dalam perumusan kurikulum, yaitu sebagai
berikut (Bukhari Umar, 2011: 172-176).
1. Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
2. Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagi upaya
mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT dengan penuh
ketakwaan dan keikhlasan.
3. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
4. Perlunya membawa peserta didik kepada objek empiris, praktik langsung
dan memiliki fungsi pragmatis, sehingga mereka mempunyai keterampilan-
keterampilan yang riil.
5. Penyusunan kurikulum bersifat integral, terorganisasi dan terlepas dari
segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya.
6. Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang
mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuannya.
7. Adanya metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran
dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu.
39

8. Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan


peserta didik.
9. Memperhatikan aspek-aspek sosial, misalnya dakwah Islamiyah.
10. Materi yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta
didik, sehingga menjadikan kesempurnaan jiwanya.
11. Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu
istirahat dan refreshing untuk menikmati suatu kesenian.
12. Adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, disusunlah isi kurikulum
pendidikan Islam. Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Abrasy
dalam (Bukhari Umar, 2011: 173), membagi materi pendidikan Islam dengan
dua tingkatan, yaitu sebagai berikut.
a. Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i)
Materi pemula difokuskan pada pembelajaran al-Qur’an dan as-
Sunnah. Ibnu Khaldun memandang bahwa al-Qur’an merupakan asal
agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan dan asas pelaksana pendidikan
Islam. Di samping itu, mengingat isi al-Qur’an mencakup materi penanaman
akidah dan keimanan pada jiwa peserta didik serta memuat akhlak mulia
dan pembinaan pribadi menuju perilaku yang positif.
b. Tingkat atas (manhaj ‘ali)
Pada tingkat ini mempunyai dua kualifikasi; Pertama,ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syariah yang mencakup fiqh,
tafsir, hadis, ilmu kalam, ilmu bumi dan ilmu filsafat. Kedua, ilmu-ilmu
yang ditujukan untuk ilmu-ilmu lain dan bukan berkaitan dengan dzatnya
sendiri, misalnya ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika dan ilmu mantiq
(logika).
Al-Ghazali dalam (Bukhari Umar, 2011: 174) membagi materi pendidikan
Islam dengan empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis dan
kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
a. Ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu fiqh, as-Sunnah,
tafsir dan sebagainya.
40

b. Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu
agama.
c. Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika,
industri, pertanian, teknologi dan sebagainya.
d. Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Klasifikasi materi tersebut berpijak pada klasifikasi ilmu pengetahuan
dengan tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
a. Ilmu pengetahuan menurut kuantitas yang mempelajari
1) Ilmu fardhu’ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim
yang bersumber dari kitab Allah.
2) Ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian
orang muslim, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi
misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik pertanian, industri dan
sebagainya.
b. Ilmu pengetahuan menurut fungsinya
1) Ilmu tercela (madzmumah), yaitu ilmu yang tidak berguna untuk masalah
dunia dan masalah akhirat, serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu
sihir, nujum dan perdukunan.
2) Ilmu terpuji (mahmudah), yaitu ilmu-ilmu agama yang dapat menyucikan
jiwa dan menghindarkan hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat
mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.
3) Ilmu terpuji dalam batasan-batasan tertentu dan tidak boleh dipelajari
secara mendalam, karena akan mendatangkan atheis seperti ilmu filsafat.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi ilmu model ini kepada lima macam,
yaitu:
a) Olahraga (riyadhiyah), seperti ilmu teknik, matematika dan organisasi.
b) Ilmu logika (mantiq) yang digunakan untuk mendatangkan pemahaman
dan bukti dari dalil syar’i.
c) Ilmu teologi (uluhiyah), yaitu ilmu yang digunakan untuk
memperbincangkan Tuhan, seperti ilmu kalam.
41

d) Ilmu alam (thab’iyyah), yaitu ilmu yang digunakan mengetahui sifat-sifat


jasmani, seperti psikologi dan sebagainya.
e) Ilmu politik dan rekayasa untuk kepentingan kemaslahatan dunia.
c. Ilmu pengetahuan menurut sumbernya
1) Ilmu syar’iyyah, yaitu ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu ilahi dan sabda
Nabi SAW.
2) Ilmu ‘aqliyyah, yaitu ilmu yang berasal dari akal pikiran setelah
mengadakan eksperimen dan akulturasi.
Materi atau isi kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas,
masih mencerminkan dikotomi keilmuan dan masih membeda-bedakan ilmu
dari Allah dan ilmu produk manusia. padahal, dalam epistemologi Islam
dinyatakan bahwa semua ilmu merupakan produk Allah semata, sedangkan
manusia hanya menginterpretasikannya. Sehubungan dengan itu, perlu
diperhatikan ayat berikut ini.

             

 
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku; dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit’.” (Q.S. Al-Israa’, 17: 85). (Depag RI, 2000: 437).

            

       


“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah
bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu
tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu?.” (QS. Fushilat, 41: 53). (Depag RI, 2000: 781).

Dalam ayat tersebut terkandung tiga materi atau isi kurikulum


pendidikan Islam (Abdul Mujib, 2006: 153-154), yaitu sebagai berikut.
1. Materi yang berorientasi pada “ketuhanan”. Rumusan materi yang
berkaitan dengan ketuhanan, mengenai zat, sifat, perbuatan-Nya dan
42

sebagainya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu
kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu
tentang al-Qur’an dan as-Sunnah (tafsir, mushthalah, linguistik, ushul fiqh
dan sebagainya).
2. Materi yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Rumusan materi yang
berkaitan dengan perilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian
ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi,
sejarah, linguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogi, biologi,
kedokteran, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika dan
sebagainya.
3. Materi yang berorientasi pada “kealaman”. Rumusan materi yang berkaitan
dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan
untuk kepentingan manusia. bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia,
pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa,
geologi, geofisika, botani, zoologi, biogenetik dan sebagainya.

F. Metode dalam Pendidikan Islam


Salah satu yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar tentunya
diperlukan sebuah metode yang tepat guna terlaksananya kegiatan
pembelajaran yang menyenangkan dan efektif. Kegiatan belajar mengajar
dapat diumpamakan proses pengembangan potensi yang dimiliki oleh peserta
didik.
Pencapaian keberhasilan dari suatu proses pembelajaran dapat dilihat dari
kualitas proses belajar mengajar itu terlaksana, yakni dalam menumbuhkan,
membina, membentuk dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik
atau sejauh mana mampu memberikan perubahan secara signifikan terhadap
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik.
Seperti yang dikemukakan oleh Abuddin Nata (2003: 108) bahwa salah
satu kualitas pendidikan itu tercermin proses pendidikan karena dalam proses
43

tersebut dapat menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis


serta konsisten dengan program dan target pembelajaran.
Dengan demikian, metode pendidikan Islam adalah cara-cara yang
digunakan dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam. Karena pengajaran adalah bagian dari pendidikan Islam,
maka metode mengajar itu termasuk metode pendidikan (Bukhari Umar, 2011:
181).
Di lihat dari pengertian metode pendidikan Islam di atas maka tujuan dari
menggunakan metode yang paling tepat dalam pendidikan yaitu untuk
memperoleh efektivitas dari kegunaan metode itu sendiri. Efektivitas tersebut
dapat diketahui dari kesenangan pendidik yang memakainya di satu pihak,
serta timbulnya minat dan perhatian dari anak didik di lain pihak, dalam proses
kependidikan dan pengajaran. Kedua belah pihak timbul rasa senang
mengerjakan suatu pekerjaan karena apa yang dikerjakan itu bermanfaat bagi
mereka (Muzayyin Arifin, 2011: 90).
Dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik, Abuddin
Nata (2008: 279) menegaskan bahwa tentunya perlu ditetapkan metode yang
didasarkan kepada upaya memandang, menghadapi dan memperlakukan
manusia sesuai dengan unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal dan jiwa
dengan mengarahkannya agar menjadi manusia seutuhnya. Karena itu materi-
materi pendidikan yang disajikan oleh al-Qur’an senantiasa mengarah kepada
jiwa, akal dan jasmani manusia itu, sampai-sampai ditemukan ayat yang
mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Allah SWT, yaitu ayat yang
berbunyi:

           

            
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
(Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan
44

yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha


mengetahui.” (QS. al-Anfal, 8: 17). (Depag RI, 2000: 263).

Khusus mengenai penyampaian materi yang berkaitan dengan afektif dan


psikomotorik, al-Qur’an menempuh berbagai cara, antara lain melalui teladan,
nasehat, qisah dan kebiasaan. Di sisi lain, pendidikan juga ditujukan pada segi
pengembangan kognitif. Metode mengajarkannya adalah sama dengan metode
mengajarkan fakta-fakta yang lain dalam ilmu-ilmu lain. Metode ini digunakan
untuk pendidikan bidang intelektual. Al-Qur’an melakukan pembinaan tenaga
akal dengan pembuktian dan pencarian kebenaran, yang diarahkan melalui dua
cara.
1. Dicapainya melalui bimbingan dan latihan.
2. Mengkaji aturan-aturan Tuhan yang terdapat di alam raya yang bentuknya
amat teratur. Dengan meneliti ini selain akan dapat mengetahui hukum-
hukum alam yang kemudian melahirkan teori-teori dalam bidang ilmu
pengetahuan (science) dan akan mendorong lahirnya riset atau kajian ilmiah
khususnya bidang fisika, biologi yang memungkinkan pemanfaatannya bagi
kehidupan manusia dan sekaligus akan dapat membawa kepada rasa iman
dan takwa kepada Allah.
Dengan demikian, dari cara yang pertama dan ke dua itu terciptalah
keseimbangan antara kemajuan di bidang keimanan dengan ilmu pengetahuan
yang antara satu dan lainnya saling mengisi dan membawa kepada
meningkatnya derajat seseorang, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an:

         

            

         


“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
“Berlapang-lapanglah dalam majlis,” maka lapangkanlah, niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan,
“Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
45

ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa


yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah, 58: 11). (Depag RI, 2000:
910).

Selanjutnya metode pendidikan selain dari yang telah disebutkan di atas


yakni afektif dan kognitif, ada pula metode pendidikan jasmani. Al-Qur’an
menempuh berbagai cara yang sifat integral dengan rohani. Pelaksanaan ibadah
shalat, puasa dan haji misalnya di samping mengandung dimensi pendidikan
kesehatan jasmani juga mengandung didikan rohani. Al-Qur’an menegaskan
sebagai berikut.

         
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun, 23: 1-2).
(Depag RI, 2000: 527).

Dengan demikian, ketiga ranah dalam materi dan metode pengajaran


tersebut dapat dipisahkan, tetapi dalam pengaplikasiannya saling berhubungan.
Setiap kegiatan pendidikan selalu mencakup aspek kognitif (intelektual),
afektif (perasaan/jiwa) dan psikomotorik (keterampilan/jasmani).
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012:
151) menyebutkan adanya metode diakronis yang menonjolkan aspek sejarah,
sinkronis analitis yang memberikan kemampuan analitis teoritis yang sangat
berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek, problem solving
yakni guna melatih peserta didik dengan cara menghadapkannya pada berbagai
masalah ilmu pengetahuan dengan solusinya, empiris yakni suatu metode guna
peserta didik mempelajari ajaran Islam melalui proses realisasi ataupun
interaksi sosial, sedangkan metode induktif dan dedukif yaitu mengajarkan
materi yang khusus menuju pada kesimpulan umum dan metode pengajaran
ajaran Islam dengan cara lebih spesifik hingga pada contohnya.
Adapun pendapat al-Nahlawi yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (2011:
135) mengemukakan metode untuk menanamkan rasa iman yang mencakup
metode hiwar (percakapan Qur’ani dan Nabawi), kisah Qur’ani dan Nabawi,
46

amtsal (perumpamaan), keteladanan, pembiasaan, ‘ibrah dan ma’uidzah dan


targhib dan tarhib.
Dengan demikian, maka macam-macam dari metode pendidikan Islam
yakni sebagai berikut.
1. Pendidikan dengan Hiwar Qurani dan Nabawi
Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau
lebih melaui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada suatu
tujuan. Hiwar Qurani merupakan dialog yang kepada suatu tujuan. Hiwar
Qurani merupakan dialog yang berlangsung antara Allah dan hamba-Nya.
Sedangkan hiwar Nabawi adalah dialog yang digunakan oleh Nabi dalam
mendidik sahabatnya.
2. Pendidikan dengan Kisah Qurani dan Nabawi
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak
dapat diganti dengan bentuk penyampaian lain dari bahasa. Hal ini
disebabkan kisah Qurani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang
membuatnya mempunyai efek psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi
dan jauh jangkauannya seiring dengan perjalanan zaman.
3. Pendidikan dengan Perumpamaan
Pendidikan dengan perumpamaan dilakukan dengan menyamakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain yang kebaikan dan keburukannya telah
diketahui secara umum, seperti menyerupakan orang-orang musyrik yang
menjadikan pelindung selain Allah dan laba-laba yang membuat rumahnya.
Hal tersebut seperti yang ada pada surat al-Ankabuut ayat 41.
Tujuan pedagogis yang paling penting yang dapat ditarik dari
perumpamaan adalah:
a. Mendekatkan makna kepada pemahaman.
b. Merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan makna yang tersirat
dalam perumpamaan tersebut.
c. Mendidik akal supaya berpikir benar dan menggunakan kias yang logis
dan sehat.
47

d. Menggerakkan perasaan yang menggugah kehendak dan mendorong


untuk melakukan amal yang baik menjauhi kemungkaran.
4. Pendidikan dengan Teladan
Pendidikan dengan teladan dapat dilakukan oleh pendidik dengan
menampilkan perilaku yang baik di depan peserta didik. Penampilan
perilaku yang baik (akhlak al-karimah) dapat dilakukan dengan sengaja
maupun dengan tidak sengaja.
Menurut Ahmad Tafsir dalam Bukhari Umar (2011: 191) keteladanan
yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh pendidik agar
diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan contoh membaca
yang baik dan mengerjakan shalat dengan benar. Keteladanan ini disertai
penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak disengaja ialah
keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan
sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut
sama pentingnya.
5. Pendidikan dengan Latihan dan Pengamalan
Salah satu metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam
mendidik para sahabatnya adalah dengan latihan, yaitu memberikan
kesempatan kepada para sahabat untuk mempraktikkan cara-cara melakukan
ibadah secara berulang kali. Metode seperti ini diperlukan oleh pendidik
untuk memberikan pemahaman dan membentuk keterampilan peserta didik.
6. Pendidikan dengan ‘Ibrah dan Mau’izah
Pendidikan dengan ‘ibrah dilakukan oleh pendidik dengan mengajak
peserta didik mengetahui inti sari suatu perkara yang disaksikan,
diperhatikan, diinduksi, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan oleh
manusia secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati.
Misalnya peserta didik diajak untuk merenungkan kisah Nabii Yusuf yang
dianiaya oleh saudara-saudaranya dan mengambil pelajaran dari kisah
tersebut.
Pendidikan dengan Mau’izhzah adalah pemberian nasihat dan
peringatan akan kebaikan dan kebenaran dengan cara menyentuh qalbu dan
48

menggugah untuk mengamalkannya. Mau’izhah dapat berbentuk nasihat


dan tazkir (peringatan).
7. Pendidikan dengan Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat
senang terhadap suatu maslahat, kenikmatan atau kesenangan akhirat yang
pasti dan baik serta bersih dari segala kotoran. Sedangkan Tarhib adalah
ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan
yang dilarang oleh Allah atau karena lengah dari menjalankan kewajiban
yang diperintahkan Allah.
Mendidik dengan targhib adalah menyampaikan hal-hal yang
menyenangkan kepada peserta didik agar ia mau melakukan sesuatu yang
baik. Mendidik dengan tarhib adalah menyampaikan sesuatu yang tidak
menyenangkan agar peserta didik melakukan sesuatu atau tidak
melakukannya.
Senada dengan pendapat H.M. Arifin (2014: 145) yang menjelaskan
prinsip-prinsip yang dijadikan landasan psikologi dalam memperlancar
proses kependidikan Islam:
1. Prinsip memberikan suasana kegembiraan.
2. Prinsip memberikan layanan dan santunan dengan lemah lembut.
3. Prinsip kebermaknaan bagi anak didik.
4. Prinsip prasyarat yakni untuk menarik minat peserta didik.
5. Prinsip komunikasi terbuka.
6. Prinsip pemberian pengetahuan yang baru.
7. Prinsip memberikan model perilaku yang baik.
8. Prinsip praktik secara aktif, yakni mendorong anak didik
mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh dalam proses belajar
mengajar dan pengalaman dari keyakinan dan sikap yang mereka hayati
dan pahami.
9. Prinsip-prinsip lainnya, seperti prinsip kasih sayang dan prinsip
bimbingan dan penyuluhan terhadap anak didik.
49

G. Sarana dan Prasarana dalam Pendidikan Islam


Sarana dan prasarana pendidikan Islam merupakan salah satu
komponen pendidikan yang sangat menunjang kualitas terlaksananya suatu
pendidikan. Seperti yang ditegaskan oleh Haidar Putra Dulay (2012: 87)
bahwa perlu adanya perhatian dalam meningkatkan hasil pembelajaran guna
peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu dari peningkatan kualitas
pendidikan yaitu sarana da fasilitas yang memadai, karena pengajaran akan
lebih sukses lagi apabila peserta didik terlibat secara fisik dan psikisnya.
Sarana dan prasarana juga mencakup aspek alat pendidikan karena alat
merupakan sesuatu yang digunakan oleh pelaksana pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam. Adapun menurut Ahmad Tafsir (2011: 90)
dalam sistem pendidikan, aspek alat dapat dimasukkan ke dalam aspek dana
atau pembiayaan. Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah
semua yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Secara garis
besarnya alat pendidikan ada dua macam, yaitu fisik dan non fisik.
1. Alat fisik, berupa segala sesuatu perlengkapan pendidikan berupa sarana
dan fasilitas dalam bentuk konkrit, seperti bangunan, alat-alat tulis dan
baca, dan sebagainya.
2. Alat non fisik, berupa kurikulum, pendekatan, metode dan tindakan berupa
hadiah dan hukuman serta uswatun hasanah atau teladan yang dari
pendidik (Mahmud dan Tedi, 2005: 103).
Dengan demikian, dalam penggunaan alat sangat dipengaruhi oleh
kondisi obyektif lembaga pendidikan tersebut, baik pada lembaga pendidikan
formal, non formal dan informal. Hal ini diperlukan kemampuan, kemahiran
dan keterampilan dari para pelaksana pendidikan Islam, sehingga alat yang
dimiliki dapat berdaya dan berhasil guna dalam rangka pencapaian tujuan
pendidikan Islam.

H. Pengelolaan dalam Pendidikan Islam


Pengelolaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan serangkaian
kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, penugasan, pelaksanaan,
50

pengawasan dan penilaian tentang berbagai masalah yang berkenaan dengan


pendidikan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Abuddin
Nata, 2012: 251).
Pendidikan sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan dan
berhubungan secara fungsional perlu diatur sedemikian rupa, sehingga tertata
dengan rapi, sistematik, teridentifikasi, mudah diawasi dan dapat digunakan
secara optimal. dalam pengaturan ini terdapat berbagai fungsi yang harus
dilaksanakan. Beberapa ahli pendidikan membagi fungsi tersebut ke dalam
lima fungsi, yaitu:
1. Perencanaan (planning), yakni suatu langkah persiapan dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Penataan (organizing), yakni salah satu fungsi yang di dalamnya terdapat
serangkaian kegiatan, berupa penyusunan struktur yang menempatkan
semua kegiatan yang direncanakan, menyeleksi dan menentukan kriteria
serta persyaratan yang telah ditentukan.
3. Pelaksanaan (actuating), yakni fungsinya terkait dengan pelaksanaan atas
sebuah perencanaan yang telah ditetapkan dan diserahkan kepada seorang
yang memenuhi persyaratan. Perencanaan dan pengorganisasian yang baik
baru akan terlihat manfaat dan hasilnya, apabila telah dilaksanakan.
4. Pengawasan (controling), yakni untuk mengetahui semua kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan perencanaan semula atau tidak. Selain itu,
pengontrolan juga dilakukan untuk mengetahui kesalahan atau
penyimpangan yang dilakukan oleh anggota organisasi sehingga dapat
dicarikan jalan pemecahannya.
5. Pembinaan (supervising), yakni kegiatan untuk menemukan sebab-sebab
terjadinya kesenjangan atau keberbedaan antara yang direncanakan dan
yang dilaksanakan.
6. Penilaian (evaluation), yakni kegiatan untuk meneliti dan mengetahui
tantang sudah seberapa banyak kegiatan yang telah dan belum
dilaksanakan (Abuddin Nata, 2012: 267).
51

I. Pembiayaan dalam Pendidikan Islam


Pembiayaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai
ongkos yang harus tersedia dan diperlukan dalam menyelenggarakan
pendidikan dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, sasaran dan strateginya.
Pembiayaan pendidikan tersebut diperlukan untuk pengadaan gedung,
infrastruktur dan peralatan belajar mengajar, gaji guru, gaji karyawan dan
sebagainya (Abuddin Nata, 2012: 219).
Menurut Ahmad Tafsir (2011: 90) dalam sistem pendidikan, aspek dana
atau pembiayaan dapat dimasukkan ke dalam aspek alat. Dalam pengertian
yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan
murid dalam proses pendidikan. Tanpa adanya pembiayaan pendidikan, maka
pendidikan akan sulit dilaksanakan untuk mencapai tujuannya yang
ditetapkan.
Menurut Ahmad Tafsir (2012: 160) bahwa gaji yang besar perlu bagi
guru dan juga karyawan sekolah, karena ini merupakan tuntutan yang
universal. Bagi guru yang menjalani pekerjaan secara profesional, uang amat
diperlukan dalam meningkatkan profesinya. Pemegang profesi harus belajar
terus, harus meneliti, harus berlangganan media profesi, harus bekerja full-
time. Itu semua tidak dilakukannya dengan baik bila gajinya kecil.
Adapun prinsip-prinsip pengelolaan dana pendidikan dalam Islam,
antara lain:
1. Prinsip keikhlasan, bisa berasal dari dana yang berasal dari wakaf.
2. Prinsip tanggung jawab kepada Tuhan, prinsip ini antara lain terlihat pada
dana yang berasal dari para wali murid yang dikeluarkan atas dasar
kewajiban mendidik anak yang diperintahkan oleh Tuhan.
3. Prinsip suka rela, terlihat pada dana yang berasal dari bantuan hibah
perorangan yang tergolong mampu dan menyukai kemajuan Islam.
4. Prinsip halal, terlihat pada seluruh dana yang digunakan untuk pendidikan
yang berasal dari dana yang halal dan sah menurut hukum Islam.
5. Prinsip kecukupan, terlihat pada dana yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang berasal dari kas negara.
52

6. Prinsip berkelanjutan, terlihat pada dana yang berasal dari wakaf yang
menegaskan bahwa sumber dana tersebut tidak boleh hilang atau dialihkan
kepada orang lain yang menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok
tersebut.
7. Prinsip keseimbangan dan proporsional, terlihat dari pengalokasian dana
untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan
(Abuddin Nata, 2012: 229-230).

J. Evaluasi dalam Pendidikan Islam


Kegiatan pendidikan diakhiri dengan evaluasi, yaitu suatu proses untuk
meneliti sampai di mana maksud-maksud dan tujuan suatu usaha dapat
dipenuhi. Lebih lanjut pula Bukhari Umar (2011: 194) menjelaskan bahwa
evaluasi pendidikan Islam dapat diberi batasan sebagai suatu kegiatan untuk
menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam.
Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam dalam mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan
yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan nilai-nilai
yang islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat
tercapai. Di samping evaluasi terdapat pula measurement, yang berarti
pebandingan antara data kualitatif dengan data kuantitatif lainnya yang sesuai
untuk mendapatkan nilai angkanya.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian
terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang
bersifat komprehensif dari seluruh aspek kehidupan mental-psikologis dan
spiritual-religius karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok
pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan
berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan
masyarakatnya (Bukhari Umar, 2011: 195).
53

Di dalam al-Qur’an, kegiatan evaluasi pendidikan ini antara lain


diisyaratkan dalam surat al-Baqarah, 2: 31-32.

         

           

       


“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar!’. Mereka menjawab: ‘Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah, 2: 31-32). (Depag
RI, 2000: 14).

Dari informasi tersebut, nampak bahwa evaluasi pendidikan dianjurkan


oleh al-Qur’an dengan tujuan untuk mengukur keberhasilan pengajaran.
Prestasi yang baik patut diberi nilai yang baik dan prestasi yang rendah patut
diberi nilai yang sesuai. Prinsip dalam evaluasipun harus senantiasa mengacu
pada penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Abuddin Nata, 2008:
294).
1. Jenis-jenis evaluasi pendidikan Islam
Jenis-jenis evaluasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut:
a. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang menetapkan tingkat penguasaan
manusia didik dan menentukan bagian-bagian tugas yang belum
dikuasai dengan tepat.
b. Evaluasi sumatif, yaitu penilaian secara umum tentang keseluruhan
hasil dari proses belajar mengajar yang dilakukan pada setiap akhir
periode belajar mengajar terpadu.
c. Evaluasi diagnostik, yaitu penilaian yang dipusatkan pada proses
belajar mengajar dengan melokalisasikan suatu titik keberangkatan
yang cocok. Evaluasi diagnostik ini juga bertujuan untuk membentuk
54

dan mengembangkan suatu pengertian yang telah dikuasai peserta didik


serta untuk menetapkan tahap-tahap program berikutnya.
d. Evaluasi penempatan yang menitik beratkan pada penilaian tentang
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan:
1) Ilmu pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang diperlukan
untuk awal proses belajar mengajar.
2) Pengetahuan peserta didik tentang tujuan pengajaran yang telah
ditetapkan di sekolah.
3) Minat dan perhatian, kebiasaan bekerja, corak kepribadian yang
menonjol yang mengandung konotasi kepada suatu metode belajar
tertentu. (Bukhari Umar, 2011: 204).
2. Syarat-syarat evaluasi pendidikan Islam
Syarat-syarat yang dapat dipenuhi dalam proses evaluasi pendidikan
Islam adalah sebagai berikut:
a. Validity
Tes harus dilakukan berdasarkan berdasarkan hal-hal yang seharusnya
dievaluasi, yang meliputi seluruh bidang tertentu yang diinginkan dan
diselidiki, sehingga tidak hanya mencakup satu bidang.
b. Reliabel
Tes yang dapat dipercaya yang memberikan keterangan tentang
kesanggupan peserta didik yang sesungguhnya. Soal yang ditampilkan
tidak membawa tafsiran yang macam-macam.
c. Efisiensi
Tes yang mudah dalam administrasi, penilaian dan interpretasi.
(Bukhari Umar, 2011: 205).
3. Fungsi evaluasi pendidikan Islam
Menurut Ramayulis yang dikutip oleh Syuaeb Kurdie (2015: 101)
mengemukakan beberapa fungsi dari evaluasi pendidikan Islam, antara
lain:
a. Mengetahui tingkat kepahaman anak didik terhadap mata pelajaran
yang disampaikan.
55

b. Mendorong kompetisi yang sehat antar peserta didik.


c. Mengetahui perkembangan anak didik setelah mengikuti proses belajar
mengajar.
d. Mengetahui akurat tidaknya guru dalam memilih bahan, metode dan
berbagai penyesuaian dalam kelas.

Anda mungkin juga menyukai