Oleh :
Marlin Berliannanda
NIM. 1930912320120
Pembimbing :
BANJARMASIN
Juli, 2020
Abstrak
Wuhan Cina, pada akhir 2019, yang kemudian dengan analisis laboratorium, diaketahui
disebabkan oleh virus coronavirus (CoV) yang disebut 2019-nCoV. Penyakit ini
dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada 11 Maret 2020.
dengan wabah SARS-CoV pada tahun 2003. Namun, penelitian terbaru menunjukan
masuk ke dalam sel manusia, hal ini sama dengan cara kerja dari virus sebelumnya yaitu
SARS-CoV. Peningkatan reaksi imun dan efek litik dari virus pada host memegang peran
pada pasien COVID-19. Belakangan ini, Food and Drug Administration (FDA) telah
didasari pada pengobatan virus epidemi sebelumnya. Karena prevalensi pandemi, dan
belum adanya obat dan vaksin yang disetujui secara khusus, COVID-19 menjadi masalah
dan memberikan informasi terbaru dalam hal patogenesis dan pengobatan farmakologis
COVID-19.
1. Pendahuluan
Coronavirus merupakan virus berenvelop dengan rantai tunggal RNA positif, dengan
proteinnya terlihat seperti bentukan club-shaped. Kasus pertama dari penyebaran wabah
terjadi di China yaitu Guangdong pada akhir 2002 dengan lebih dari 300 kasus dan 5
kasus kematian. Wabah epidemic ini kemudian disebut sebagai Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) yang menyebar ke berbagai negara, terlebih di Asia,selain itu jugga
menyebar ke Toronto,Canada. Pada akhir 2019, pneumonia dengan etiologi yang tidak
diketahui tejadi di Wuhan, Cina, yang kemudan dengan analasis laboratorium, pneumonia
ini dianggap disebabkan oleh novel coronavirus (CoV) yang disebut dengan 2019- nCov.
dengan wabah SARS-CoV pada tahun 2003. Namun, penelitian terbaru menunjukan
adalah reseptor yang digunakan oleh SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam sel manusia,
hal ini sama dengan cara kerja dari virus sebelumnya yaitu SARS-CoV. Masa inkubasi
dari CoVs dapat berlangsung selama 2-7 hari, dengan gejala klinis seperti demam tinggi,
mengigil, batuk, sesak nafas atau sulit bernafas, diare, mialgia atau kelelahan, ekspektasi,
dan hemoptisis. Dalam kasus berat komplikasi pneumonia dapat terjadi, dan kondisi
parah lainnya seperti gagal jantung, gagal pernapasan, dan gagal fungsi hati, dapat terjadi
pada pasien usia lanjut. Pada kasus pertama menunjukkan bahwa penularan hewan ke
menyebar secara global, penularan dari manusia ke manusia menjadi menjadi mekanisme
transmisi utama. Secara global pada 7 juni 2020, WHO mencatat sebanyak 6.750.521
kasus terkonfirmasi COVID-19, termasuk 395.779 kematian. Berbagai strategi
dilakukan dalam pengobatan pasien COVID-19 dan beberapa negara juga melakukan
berbagai studi untuk menemukan agen spesifik baru untuk pengobatan COVID-19.
epidemi sebelumnya seperti malaria, ebola, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
pandemi, dan belum adanya obat dan vaksin yang disetujui secara khusus, COVID-19
menjadi masalah kesehatan masyarakat darurat. Dengan demikian, ulasan ini akan
COVID-19.
2. Patofisiologi
SARS-CoV-2 adalah virus RNA rantai tunggal positif secara struktural terdiri dari
envelop, nukleokapsid, spike glikoprotein pada envelopnya, dan protein non struktural
lainnya. Protein struktural (spike, membram, envelop, dan protein nukleokapsid) dan
protein nonstruktural memiliki peranan yang penting dalam patofisiologi dan mekanisme
menghambat secara inherent reaksi imunitas dan diantara protein struktural, envelop
dan pelepasan virus. Spike glikoprotein adalah struktur protein esensial yang secara
langsung berperan dalam perlekatan virus ke reseptor ACE-2 host. Infeksi coronavirus
pada host sel diawali dengan perlekatan S-spike protein dan reseptor ACE2, tetapi
sebelum perlekatan ini terjadi, S-spike protein terlebih dahulu akan diaktivasi oleh
domain yaitu S1 yang penting untuk perlekatan receptor dan S2 yang berpran dalam dusi
membran plasma. ACE2 memiliki sebuah perlektana untuk S protein of CoVs. Receptor-
Binding Domain (RBD) terletak pada C-terminsu S1 dari S-pike protein. Selain spike
protein, envelope protein, membrane glicoprotein dan genomik RNA virus memegang
pernan yang penting dalam pathogenesis COVID-19. ACE2 merupakan anggota dari type
1 membran protein dari famili ACE yang terekspresi pada epitel sel paru, ginjal, saluran
reseptor ACE2 di sel paru, mengakibatkan SARS dan merusak organ lainnya.
Pathogenesis COVID-19, dipengaruhi oleh reaksi imunitas yang berlebih dan dan efek
litik dari virus pada host sel akan berperan penting. Berbagai studi menunjukan gejala
awal penyakit yang akan dialami pasien diawali dengan gejala umum seperti pneumonia
berat, demam, dan batuk kering. Pada beberapa pasien, penyakit akan berakhir pada
acute respiratory stress syndorme (ARDS).dan syok septik, yang akhinya akan
mengakibatkan pada disfungsi multi-organ dan sekitar 10% pasien meninggal. Pada
orang usia lanjut, penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit arteri
koroner merupakan faktor resiko kematian terpenting. Hasil dari studi retrospectiv
beberapa stage penyakit yaitu sedang sebanyak 38% pasie, berat 35% pasien dan kritis
28% pasien.
Sel imun memiliki pengaruh yang penting pada pathogen seperti bakteria, virus, fungi
dan lainnya. Studi klinis menunjukan bahwa respon sistem imun terhadap infeksi SARS-
Mekanisme : Replikasi rapid virus memicu respon imun sel yang menyebabkan
hiperaktivasi dari T-cell. Selain sel yang terinfeksi, sel sehat juga rusak karena tingginya
CD4 periferal dan CD8 T sel. Jika pneumosit tipe 2 rusak, hal ini akan memicu makrofag.
Setelah aktivasi dari makrofag, spesfik sitokinin akan dilepaskan yaitu interleukin 1 (IL-
1), interleukin 6 (IL-6), dan tumour nekrosis factor-alpha (TNF - ɑ). Spesifik sitokinin ini
vasodilatasi endothelial sel dari microvascular di sekitar alveoli yang kemudian memicu
menyebabkan kesulitan dalam bernafas dan kemudian terjadi repsiratory distress. Selain
respon imunitas ini, aktivasi netrofil juga terjadi untuk menetralisir virus dengan
melepaskan Reactive Oxygen Species (ROS) dan protease. Saat replikasi rapid RNA
terjadi secara bersamaan dihasilkan juga ROS dan protease secara berlebihan, yang tidak
hanya menetralisir virus tetapi juga menyerang lining sel alveoli. Pada kondisi ini,
terinfeksi menderita hipoksia berat dan pneumonia. Hiperaktivasi dari sistem imunitas
juga menyebabkan keruskan sistemik selular yang dapt memicu disfingsi multi-organ.
WHO melelaporkan bahwa pneumonia berat merupakan keluhan yang paling sering
dialami pasien COVID-19. Pneumonia berat ini dikaitkan dengan dispnea berat, distress
respiratory, dan hipoksia. Selain itu, demam juga harus gejala yang diperhatikan karena
pada stadium berat, dapat terjadi demam sedang bahkan tidak ada sama sekali.
rumit dan mungkin berkaitan dengan hiperaktivasi dari sistem imun host. SARS-CoV-2
dapat mengaktivasi respon imun ekstrem yaitu “cytokine storm” dan perlahan disfungsi
multi-organ dapat terjadi. Inflamasi dan respon sistem imun host menyebabkan akumulasi
cairan dan pus pada alveoli sehingga pasien tidak dapat inspirasi oksigen yang adekuat.
Hal ini akan memicu gangguan organ seperti ginjal, jantung, dan yang lainya. Orang
lanjut usia dengan riwayat gangguan sistem respi dan memiliki penyakit penyerta akan
ARDS merupakan kondisi yang mengancam jiwa; dapat berupa gagal repsiratori
mendadak atau gejala gangguan nafas berulang. ARDS terbagi menjadi beberapa stage
Mekanisme: Sel target utama dari SARS-CoV-2 adalah pneumosit tipe 2 (alveoli
memiliki dua tipe pneumosit yaitu tipe 1 yang bertanggung jawab untuk pertukaran udara
sedangkan tipe 2 untuk produksi dan sekresi surfaktan, yaitu molekul yang menurunkan
terjadi saat S-spike protein virus melekat dengan ACE-2 pada permukaan pneumosit tipe
2 (proses ini dipicu oleh pergantian subunit S1 dan transisi subunit S2 pada S protein).
Setelah perlekatan, virus ini akan masuk dan melepaskan RNA ke sitoplasma pneumosit.
RNA rantai tunggal positif akan menggantikan mRNA dan mentranslansi protein. SARS-
akan terjadi sintesis multiple RNA. Karena mekanisme ini, ratusan bahkan ribuan virus
akan bereplikasi ke dalam sel. Normalnya, ACE2 akan memecah angiotensin-2 menjadi
vasodilator angiotensin 1-7 yang mana ACE2/Ang 1-7 berperan sebagai anti inflamasi
dan antioksidan pada paru dalam melawan ARDS. Peningkatan perlekatan SARS-CoV-2
ACE2, penurunan regulasi kadar reseptor ACE2 membuatnya gagal dalam melindungi
paru dari kerusakan karena sifat enzimatisnya yang menurun karena virus.
2.4 Syok Septik
Sepsis dan septik syok berhubungan dengan infeksi peredaran darah. Sepsi adalah akibat
dari respon sistem imun host terhadap infeksi. SARS-COV-2 stadium berat
mengakibatkan syok septik yang mengancam jiwa yang mencakup berbagai tanda dan
gejala seperti dispnea dan hipoksia serius, gangguan ginjal dengan oliguria, takikardia,
gangguan mental, asidosis, dan lainnya. Hasil dari retrospective cohort study
menyebutkan bahwa sepsis adalah salah satu komplikasi tersering pada pasien COVID-
19, yang mana dapat secara langsung berkaitan deangn infeksi SARS-COV-2. Walupun
begitu, studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme patogenik dari sepsis
SARS-COV-2. Sebagai tambahan, hasil studi menunjukan lebih dari 50% pasien
terserang sepsis.
Pelepasan sel imun dalam jumlah tinggi mengakibatkan IL-1 dan IL-6 masuk ke dalam
aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat. Pada kondisi ini, prostaglandin dilepaskan
oleh hipotalamus sistem saraf pusat karena adanya peningkatan konsentrasi mediator IL-1
dan IL-6. Akibatnya, suhu tubuh meningkat, yang mana demam merupakan gejala
penting pada COVID-19. Debris seluler di alveoli perlu dikeluar dari paru-paruoleh kaena
itu terjadilah batuk untuk megeluarkan debris seluler tersebut, batuk merupakan gejala
umum COVID-19.
Hasil penelitian di Cina yang dilakukan oleh Komisi Kesehatan Nasional China pada
1099 pasien COVID-19 menunjukkan demam dan batuk sebagai gejala yang paling
umum. Batuk didapati pada 67,8% pasien, dan demam pada saat masuk sebanya 43,8%
dengan manifestasi klinis dan tingkat keparahan. Jadi, pasien yang memiliki manifestasi
klinis ringan (dispnea tidak ada) cukup dirawat di rumah. Beberapa hal harus
diperhatikan pada pasien tanpa gejala yang dapat menjadi sumber penyebaran virus.
Pasien yang berada dalam stadium infeksi sedang dan berat memerlukan perlu di rawat
inap dan mendapatkan perawatan suportif (terapi oksigen, ventilator mekanik untuk
ARDS). Isolasi adalah cara utama untuk pencegahan infeksi COVID-19 pada orang sehat
dan menurunkan angka kasus positif. Saat ini, tidak ada obat atau vaksin spesifik untuk
pengobatan dan pencegahan COVID-19, dan intervensi utama yang diberikan adalah
terapi simtomatik dan terapi oksigen. Namun, ada beberapa terapi potensial yang sedang
adalah obat yang disetujui digunakan untuk pengobatan penyakit lain, tetapi indikasi
Terapi non-farmakologis menjadi pilihan utama untuk tata laksana COVID-19 yang
melibatkan perawatan umum seperti nutrisi yang tepat, elektrolit adequat, cairan,
sitokin dan jumlah limfosit, C-reaktif protein dan sebagainya), terapi simtomatik dan
perawatan suportif
Terapi simtomatik: COVID-19, seperti yang infeksi lainnya, memiliki
dan komplikasi demamnya. Pasien COVID19 yang memiliki penyakit lain seperti
demikian, pengendalian gula darah dan tekanan darah terus menerus dan tindakan
lebih untuk dukungan pernapasan dan terapi oksigen dalam kasus COVID-19 yang
ventilasi non-invasif (NIV) dan pelindung ventilasi mekanis untuk menangani gagal
ventilasi mekanis lama dan perawatan yang lebih lama di unit perawatan intensif
(ICU).
manusia; karena itu, secara psikologis dukungan untuk pasien, kerabat pasien, dan
tenaga kesehatan mungkin memiliki dampak utama pada penanganan pandemi ini.
Dukungan psikologis dari psikolog sebaiknya dapat diperoleh secara online untuk
mempunyai peran penting dalam menghilangkan rasa takut dan cemas yang
merupakan pilihan utama. Tapi untuk mengidentifikasi kelompok obat mana yang
Antivirus
Pemberian terapi antivirus yang dini dapat mengurangi perkembangan kasus dari
Selama wabah SARS di Hong Kong, ribavirin digunakan untuk pasien COVID-19
(misalnya, 1,2 g hingga 2,4 g setiap oral 8 jam) dan terapi kombinasi. Untuk
alasan ini, ini penggunaannya menjadi terbatas untuk terapi COVID-19, jika
digunakan, terapi kombinasi mungkin dapat memiliki efikasi klinis. Oleh karena
itu, penggunaan gabungan Ribavirin dengan Interferon (IFN) beta dapat secara
polimerase virus yang tergantung pada RNA secara in vitro. Namun demikian
efikasinya pada pasien COVID-19 masih perlu dikonfirmasi dengan uji klinis.
Secara klinis, dosis ribavirin yang sesuai harus diberikan untuk menghindari
dari dua obat ini dengan ribavirin memiliki efek terapeutik yang baik pada SARS
dan MERS. Maka dari itu, lopinavir/ritonavir dapat direkomendasikan untuk itu
like protease secara in vitro, untuk menghambat sintesis RNA virus. Penelitian
seperti mual dan diare (meningkat hingga 28%) dan hepatotoksisitas (2-10%).
Terapi ini juga bisa meningkatkan risiko aritmia jantung (mis. Pemanjangan QT)
dan interaksi obat yang signifikan. Dosis rejimen yang disarankan untuk lopinavir
adalah 400 mg dua kali sehari, dan ritonavir 100mg dua kali sehari hingga 14 hari.
selektif protease HIV, yang telah efektif dalam menghambat SARS-Cov dan
influenza dengan cara memblokir fusi dari virus. Karena menargetkan protein S
/interaksi ACE dengan menghambat fusi membran sel dengan kapsul virus.
Menurut data ini, uji klinis telah dimulai dalam terapi pasien SARSCoV-2. Dosis
saat ini yang 200 mg per oral per 8 jam untuk influenza sedang dipelajari untuk
terapi COVID19.
Remdesivir: merupakan obat antivirus yang menghambat RNA-direct
RNA polymerase dari coronavirus secara in vivo dan in vitro, menghambat baik
dari replikasi endemik dan strain zoonosis pada kultur sel. Penelitian
MERS-CoV serta memperbaiki viral load paru-paru, tanda klinis penyakit paru-
paru, dan fungsi pernapasan pada model tikus secara in vitro. Berdasarkan
eksperimental di Cina, untuk mengobati pasien rawat inap COVID-19. Pada akhir
Februari, keamanan dan efikasinya dievaluasi pada pasien rawat inap dewasa yang
Telah terbukti bahwa perlindungan antivirus dari remdesivir dan IFN beta lebih
in vivo. Obat ini juga telah digunakan dalam terapi infeksi virus ebola. Terlebih,
efikasi secara in vitro dan in vivo terhadap SARS-CoV-2 juga telah dimulai uji
dosis awal 200 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan 100mg intravena sekali
berbagai macam virus influenza dan banyak virus RNA lainnya termasuk keluarga
Obat ini juga menekan replikasi zaire ebolavirus (EBOV) secara in vitro.
Berdasarkan data ini, pasien rawat inap dengan COVID-19 sedang direkrut untuk
evaluasi uji klinis efikasi favipiravir. Rejimen yang digunakan dalam uji coba
influenza, contohnya, 1600 mg dua kali sehari pada hari pertama, dilanjutkan 600
mg dua kali sehari selama enam hari. Terlebih, obat ini telah diketahui memiliki
efek teratogenisitas dan kematian embrionik awal pada studi hewan, yang harus
dipertimbangkan.
menghambat pelepasan partikel virus dari sel host dengan mengurangi penyebaran
virus dalam saluran pernafasan. Obat ini sebagian besar digunakan untuk terapi
antibiotik dan kortikosteroid. Selain itu, oseltamivir telah digunakan dalam uji
klinis dengan beberapa kombinasi chloroquine dan favipiravir dan telah
masih terbatas, dan uji klinis tambahan diperlukan untuk menunjukkan aktivitas
3.3 Chloroquine/Hydroxychloroquine
oleh FDA. Mereka digunakan sebagai obat antivirus dalam pengobatan HIV, yang
ACE2 dan dimakan oleh sel-sel sebagai vakuola. Ini dapat menghambat COVID-
masuknya virus ke dalam sel dengan menghambat glikosilasi reseptor host, proses
proteolitik, dan pengasaman endosom. Obat ini juga punya efek imunomodulator
lisosomal dalam sel host. Penelitian terbaru di Perancis pada 36 pasien (20 pasien
standar. Klirens virologi di hari 6, diukur dengan swab nasofaring, adalah 70%
menunjukkan klirens virus yang lebih baik 6/6, (100%) dibandingkan dengan
Dosis rejimen yang digunakan dalam uji coba COVID-19 adalah chloroquine 500-
1.000 mg per hari selama 7-10 hari atau hydroxychloroquine 400 mg per hari
Terapi tambahan
CoV, mereka diarahkan untuk melawan sitokin inflamasi utama atau aspek lain
dari respon imun bawaan. Terutama, IL-6 yang tampaknya menjadi penyebab
utama inflamasi yang tidak teratur ini. Meskipun, resiko perforasi pencernaan
cytokine release syndrome setelah terapi sel T reseptor antigen chimeric. Obat
tersebut bekerja dengan mengikat reseptor IL-6 untuk mencegah aktivasi dan
serangkain kecil kasus COVID 19 yang parah dengan laporan awal keberhasilan.
Laporan pada 21 pasien kasus COVID 19 yang diobati dengan mengunakan 400
mg tocilizumab mendapatkan perbaikan klinis pada 91% pasien yang dinilai dari
dosis, tocilizumab berperan sebagai agen yang lebih kuat pada pengobatan
beberapa kasus serius pada COVID 19 dengan meningkatkan jumlah IL-6 dan
menyerbarkannya pada paru yang cedera. Reseptor IL-6 lain yang sudah disetujui,
mAbs atau agen immunomodulator dalam uji klinis di China dan US meliputi
(antibodi yang menghambat komplemen terminal). Anakinra adalah agen anti IL-
antibodi yang sudah dites pada hewan uji coba yang mana menunjukkan fungsi
proteksinya dalam melawan cedera akut paru. Seperti antibodi yang digunakan
pada imunisasi pasif untuk pengobatan awal infeksi SARS-CoV. Karena antibodi
reseptor ACE2 yang dibandingkan dengan 80R. mAbs, m396 dan S320. Mereka
memusnahkan virus dengan potensi yang luar biasa yang bisa menjadi terapi yang
bagus atau reagen yang memfasilitasi perkembangan vaksin untuk infeksi SARS.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti US dan Cina, mAbs telah
memusnahkan virus dengan potensi yang luar biasa dan telah dilaporkan memiliki
potensi yang sangat bagus untuk kandidat terapi atau sebagai agen untuk
dari pasien yang sudah sembuh dapat membantu dengan virus bebas dan
pembersihan sel imun yang terinfeksi. Seperti di fase awal, patogen merusak
organ target dan mengarah ke kerusakan imunopatologis yang parah. Antibodi
dari imun pasif dapat bekerja efektif, dan secara langsung memusnahkan patogen-
Seperti teori, manfaat dari terapi ini akan muncul setelah 7-10 hari infeksi, ketika
viremia mencapai puncak, dan respon imun primer masih belum muncul. Selain
itu, kasus pertama yang dilaporkan dari 5 pasien kritis yang tidak terkontrol
dengan COVID-19 yang diobati dengan plasma convalescent di Cina baru saja
salah satu terapi potensial yang direkomendasikan, dan ini telah digunakan saat
mengurangi respon host inflamasi pada paru, yang dapat mengarah ke cedera paru
akut dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Meskipun itu dapat
tentang MERS dan SARS yang dilaporkan tidak ada keberlangsungan hidup tapi
pernapasan dan darah dengan angka yang tinggi untuk terjadinya komplikasi
menurunkan risiko kematian, oleh sebab itu, dikarenakan pemilihan yang tidak
akibat dari respon inflamasi. Metilprednisolon sudah bisa digunakan oleh pasien
mg/hari.
Lain-lain:
terhadap infeksi. Respon sistem imun manusia sangat penting untuk mengontrol
diterima pada istilah aktifitas virus. Peneliti Frankfurt dan Hong Kong
merekomendasikan aktifitas virus pada INF alffa, beta, dan gamma, yang mana
diantara mereka IFN beta menunjukkan aktifitas antivirus yang bagus dengan
besar protein untuk merusak replikasi virus di dalam sel target. Efek sinergis pada
IFN alfa leukosit dan IFN beta dengan Ribavirin melawan SARS-CoV telah
disarankan in vitro. Oleh karena itu, berdasarkan kemanjuran pada SARS-CoV
dan MERS-CoV, kombinasi antivirus dan berbagai subtype dari interferon telah
dapat memiliki dapak yang besar untuk memilih dan mendesain obat baru.
Sistem ini ada di pusat saluran udara yang memiliki jarring yang melibatakn
perubahan pada permukaan protein pada infeksi saluran pernapasan seperti virus
akumulasi asam nukleat virus dan protein kemungkinan adalah efek perlindungan
dari ion tiosianit. Karenanya, sangat disarankan penggunaan ion tiosianit untuk
luas dan profil keamanan yang baik. Nitazoxanide memiliki aktivitas antivirus terhadap
MERS dan SARS-CoV-2, karena itu obat ini dapat menjadi salah satu pilihan pengobatan
oksidatif dan peradangan pada pasien COVID-19. Pneumonia adalah pemberat utama
COVID-19 yang dapat menyebabkan ARDS dan lesi paru yang serius. Karena
Coronavirus menghasilkan radikal bebas dan badai sitokin, yang dapat memperburuk
kondisi menjadi kondisi yang mengancam jiwa dan disfungsi multi-organ. Oleh karena
itu penambahan terapi antioksidan dapat membantu mengurangi efek tersebut. Vitamin C
dalam dosis tinggi diketahui aman dan efektif serta memiliki aktivitas antivirus yang luas.
Hal ini menunjukkan bahwa Vit C merupakan agen yang tepat dalam perbaikan kondisi
ini. Dengan demikian, penerapan Vit C sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan
4. Kesimpulan
Ulasan ini merangkum bahwa SARS-CoV-2 memiliki kesamaan dalam hal epidemiologi
dan patogenesis dengan SARS-CoV tahun 2003. SARS-CoV-2 berawal dari Wuhan cina
dan sangat berdampak pada hampir seluruh negara di dunia.Virus ini ditransmisikan dari
Diketahui pertama kali ditularkan dari kelelawar ke manusia, sehingga dapat dikatakn
sebagai penyakit zoonotik. Masa inkubasi virus ini adalah dua minggu. Tanda-tanda
klinis termasuk demam tinggi, menggigil, batuk, sesak napas atau kesulitan bernafas,
diare, mialgia atau kelelahan, dan hemoptisis. Orang dengan penyakit sekunder atau
orang lanjut usia lebih rentan berisiko terinfeksi. Virus ini belum pernah terjadi
sebelumnya sehingga belum ada obat atau vaksin khusus untuk pengobatan pasien. Tapi
untungnya, kesamaan struktur virus dengan SARS CoV membuatnya lebih mudah untuk
diatasi dan umumnya, obat yang direkomendasikan untuk pengobatan pasien COVID-19
adalah obat yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Baru-baru ini, FDA telah
menemukan obat yang spesifik dan aman untuk pengobatan atau vaksin untuk