Anda di halaman 1dari 23

Journal Reading

A Review on Pathopysiology and Pharmacological treatment


of COVID-19

Oleh :

Marlin Berliannanda

NIM. 1930912320120

Pembimbing :

Dr. dr.Edi Hartoyo, Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juli, 2020
Abstrak

Sekelompok pasien pneumonia yang tidak diketahui etiologinya teridentifikasi di kota

Wuhan Cina, pada akhir 2019, yang kemudian dengan analisis laboratorium, diaketahui

disebabkan oleh virus coronavirus (CoV) yang disebut 2019-nCoV. Penyakit ini

dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada 11 Maret 2020.

Seiring terjadinya penyebaran pandemi novel coronavirus, kemudian terungkap bahwa

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) secara genetik terkait

dengan wabah SARS-CoV pada tahun 2003. Namun, penelitian terbaru menunjukan

bahwa SARS-CoV-2 menggunakan reseptor angiotensin-converting enzyme-2 untuk

masuk ke dalam sel manusia, hal ini sama dengan cara kerja dari virus sebelumnya yaitu

SARS-CoV. Peningkatan reaksi imun dan efek litik dari virus pada host memegang peran

penting dalam pathogenesis COVID-19. Umumnya, antivirus, kortikosteroid, antibiotik,

Immunoglobulin, dan beberapa obat lain digunakan sebagai pengobatan farmakologis

pada pasien COVID-19. Belakangan ini, Food and Drug Administration (FDA) telah

mengizinkan penggunaan darurat remdesivir untuk pengobatan COVID-19 di bawah

Emergency Use Authorization (EUA). Kebanyakan obat yang direkomendasikan tersebut

didasari pada pengobatan virus epidemi sebelumnya. Karena prevalensi pandemi, dan

belum adanya obat dan vaksin yang disetujui secara khusus, COVID-19 menjadi masalah

kesehatan masyarakat darurat. Ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan yang

komprehensif tentang patogenesis dan pengobatan COVID-19. Dengan demikian, ulasan

ini menjawab pertanyaan tentang patogenesis dan pengobatan farmakologis COVID-19

dan memberikan informasi terbaru dalam hal patogenesis dan pengobatan farmakologis

COVID-19.
1. Pendahuluan

Coronavirus digolongkan kedalam famili Coronaviridea dan ordo Nidovirales.

Coronavirus merupakan virus berenvelop dengan rantai tunggal RNA positif, dengan

karakteristik berbentuk seperti mahkota(corona dalam bahasa latin) karena permukaan

proteinnya terlihat seperti bentukan club-shaped. Kasus pertama dari penyebaran wabah

terjadi di China yaitu Guangdong pada akhir 2002 dengan lebih dari 300 kasus dan 5

kasus kematian. Wabah epidemic ini kemudian disebut sebagai Severe Acute Respiratory

Syndrome (SARS) yang menyebar ke berbagai negara, terlebih di Asia,selain itu jugga

menyebar ke Toronto,Canada. Pada akhir 2019, pneumonia dengan etiologi yang tidak

diketahui tejadi di Wuhan, Cina, yang kemudan dengan analasis laboratorium, pneumonia

ini dianggap disebabkan oleh novel coronavirus (CoV) yang disebut dengan 2019- nCov.

Seiring terjadinya penyebaran pandemi novel coronavirus, kemudian terungkap bahwa

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) secara genetik terkait

dengan wabah SARS-CoV pada tahun 2003. Namun, penelitian terbaru menunjukan

bahwa,reseptor angiotensin-converting enzyme-2 (ACE2),sebuah membran exopeptide,

adalah reseptor yang digunakan oleh SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam sel manusia,

hal ini sama dengan cara kerja dari virus sebelumnya yaitu SARS-CoV. Masa inkubasi

dari CoVs dapat berlangsung selama 2-7 hari, dengan gejala klinis seperti demam tinggi,

mengigil, batuk, sesak nafas atau sulit bernafas, diare, mialgia atau kelelahan, ekspektasi,

dan hemoptisis. Dalam kasus berat komplikasi pneumonia dapat terjadi, dan kondisi

parah lainnya seperti gagal jantung, gagal pernapasan, dan gagal fungsi hati, dapat terjadi

pada pasien usia lanjut. Pada kasus pertama menunjukkan bahwa penularan hewan ke

manusia dianggap sebagai mekanisme penularan utama. Namun, karena COVID-19

menyebar secara global, penularan dari manusia ke manusia menjadi menjadi mekanisme

transmisi utama. Secara global pada 7 juni 2020, WHO mencatat sebanyak 6.750.521
kasus terkonfirmasi COVID-19, termasuk 395.779 kematian. Berbagai strategi

pengobatan seperti pengobatan psikologi, farmakologi dan non-farmakologi, telah

dilakukan dalam pengobatan pasien COVID-19 dan beberapa negara juga melakukan

berbagai studi untuk menemukan agen spesifik baru untuk pengobatan COVID-19.

Kebanyakan obat yang direkomendasikan tersebut didasari pada pengobatan virus

epidemi sebelumnya seperti malaria, ebola, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Karena peningkatan prevalensi

pandemi, dan belum adanya obat dan vaksin yang disetujui secara khusus, COVID-19

menjadi masalah kesehatan masyarakat darurat. Dengan demikian, ulasan ini akan

memberikan informasi menyeluruh tentang patogenesis dan pengobatan farmakologis

COVID-19.

2. Patofisiologi

SARS-CoV-2 adalah virus RNA rantai tunggal positif secara struktural terdiri dari

envelop, nukleokapsid, spike glikoprotein pada envelopnya, dan protein non struktural

lainnya. Protein struktural (spike, membram, envelop, dan protein nukleokapsid) dan

protein nonstruktural memiliki peranan yang penting dalam patofisiologi dan mekanisme

virulensi pada SARS-CoV-2. Studi menunjukkan bahwa protein no-struktural

menghambat secara inherent reaksi imunitas dan diantara protein struktural, envelop

memiliki peranan utama dalam virulensi SARS-CoV-2 , dan meningkatkan akumulasi

dan pelepasan virus. Spike glikoprotein adalah struktur protein esensial yang secara

langsung berperan dalam perlekatan virus ke reseptor ACE-2 host. Infeksi coronavirus

pada host sel diawali dengan perlekatan S-spike protein dan reseptor ACE2, tetapi

sebelum perlekatan ini terjadi, S-spike protein terlebih dahulu akan diaktivasi oleh

tranmembrane serine protase (TMPRSS). Protein Spike coronavirus terdiridari dua

domain yaitu S1 yang penting untuk perlekatan receptor dan S2 yang berpran dalam dusi
membran plasma. ACE2 memiliki sebuah perlektana untuk S protein of CoVs. Receptor-

Binding Domain (RBD) terletak pada C-terminsu S1 dari S-pike protein. Selain spike

protein, envelope protein, membrane glicoprotein dan genomik RNA virus memegang

pernan yang penting dalam pathogenesis COVID-19. ACE2 merupakan anggota dari type

1 membran protein dari famili ACE yang terekspresi pada epitel sel paru, ginjal, saluran

gastrointestinal, dan cardiovascular sistem. Umunya perlekatan S-spike protein dengan

reseptor ACE2 di sel paru, mengakibatkan SARS dan merusak organ lainnya.

Pathogenesis COVID-19, dipengaruhi oleh reaksi imunitas yang berlebih dan dan efek

litik dari virus pada host sel akan berperan penting. Berbagai studi menunjukan gejala

awal penyakit yang akan dialami pasien diawali dengan gejala umum seperti pneumonia

berat, demam, dan batuk kering. Pada beberapa pasien, penyakit akan berakhir pada

acute respiratory stress syndorme (ARDS).dan syok septik, yang akhinya akan

mengakibatkan pada disfungsi multi-organ dan sekitar 10% pasien meninggal. Pada

orang usia lanjut, penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit arteri

koroner merupakan faktor resiko kematian terpenting. Hasil dari studi retrospectiv

menunjukan bahwa berdasrakan tingkat keparahannya COVID-19 dibagi kedalam

beberapa stage penyakit yaitu sedang sebanyak 38% pasie, berat 35% pasien dan kritis

28% pasien.

2.1 Hiperaktivasi Sistem Imun

Sel imun memiliki pengaruh yang penting pada pathogen seperti bakteria, virus, fungi

dan lainnya. Studi klinis menunjukan bahwa respon sistem imun terhadap infeksi SARS-

CoV-2 dapat menyebabkan penyakit autoimun.

Mekanisme : Replikasi rapid virus memicu respon imun sel yang menyebabkan

hiperaktivasi dari T-cell. Selain sel yang terinfeksi, sel sehat juga rusak karena tingginya

CD4 periferal dan CD8 T sel. Jika pneumosit tipe 2 rusak, hal ini akan memicu makrofag.
Setelah aktivasi dari makrofag, spesfik sitokinin akan dilepaskan yaitu interleukin 1 (IL-

1), interleukin 6 (IL-6), dan tumour nekrosis factor-alpha (TNF - ɑ). Spesifik sitokinin ini

akan menyebabkan protein masuk kedalam aliran darah sehingga menyebabkan

vasodilatasi endothelial sel dari microvascular di sekitar alveoli yang kemudian memicu

peningkatan permeabilitas pembuluh darah sekitar alveoli. Peningkatan permeabilitas

pembuluh darah mengakibatkan terjadinya akumulasi cairan yang mana akan

menyebabkan kesulitan dalam bernafas dan kemudian terjadi repsiratory distress. Selain

respon imunitas ini, aktivasi netrofil juga terjadi untuk menetralisir virus dengan

melepaskan Reactive Oxygen Species (ROS) dan protease. Saat replikasi rapid RNA

terjadi secara bersamaan dihasilkan juga ROS dan protease secara berlebihan, yang tidak

hanya menetralisir virus tetapi juga menyerang lining sel alveoli. Pada kondisi ini,

pneumosit tipe 1 dan 2 kehilangan fungsinya, sehingga menyebabkan pasien yang

terinfeksi menderita hipoksia berat dan pneumonia. Hiperaktivasi dari sistem imunitas

juga menyebabkan keruskan sistemik selular yang dapt memicu disfingsi multi-organ.

2.2 Pneumonia Berat

WHO melelaporkan bahwa pneumonia berat merupakan keluhan yang paling sering

dialami pasien COVID-19. Pneumonia berat ini dikaitkan dengan dispnea berat, distress

respiratory, dan hipoksia. Selain itu, demam juga harus gejala yang diperhatikan karena

pada stadium berat, dapat terjadi demam sedang bahkan tidak ada sama sekali.

Mekanisme: sebuah studi menunjukan bahwa patogenesis dari pneumonia mungkin

rumit dan mungkin berkaitan dengan hiperaktivasi dari sistem imun host. SARS-CoV-2

dapat mengaktivasi respon imun ekstrem yaitu “cytokine storm” dan perlahan disfungsi

multi-organ dapat terjadi. Inflamasi dan respon sistem imun host menyebabkan akumulasi

cairan dan pus pada alveoli sehingga pasien tidak dapat inspirasi oksigen yang adekuat.

Hal ini akan memicu gangguan organ seperti ginjal, jantung, dan yang lainya. Orang
lanjut usia dengan riwayat gangguan sistem respi dan memiliki penyakit penyerta akan

lebih rentan mengalami pneumonia berat.

2.3 Acute Respiratory Distres Syndrome (ARDS)

ARDS merupakan kondisi yang mengancam jiwa; dapat berupa gagal repsiratori

mendadak atau gejala gangguan nafas berulang. ARDS terbagi menjadi beberapa stage

yaitu, ringan, sedang, dan berat.

Mekanisme: Sel target utama dari SARS-CoV-2 adalah pneumosit tipe 2 (alveoli

memiliki dua tipe pneumosit yaitu tipe 1 yang bertanggung jawab untuk pertukaran udara

sedangkan tipe 2 untuk produksi dan sekresi surfaktan, yaitu molekul yang menurunkan

tegangan permukaan cairan paru sehingga mempermudah untuk bernafas). Masalah

terjadi saat S-spike protein virus melekat dengan ACE-2 pada permukaan pneumosit tipe

2 (proses ini dipicu oleh pergantian subunit S1 dan transisi subunit S2 pada S protein).

Setelah perlekatan, virus ini akan masuk dan melepaskan RNA ke sitoplasma pneumosit.

RNA rantai tunggal positif akan menggantikan mRNA dan mentranslansi protein. SARS-

CoV-2 mentralansi protein menjadi RNA-dependent-RNA polimerase yang kemudian

akan terjadi sintesis multiple RNA. Karena mekanisme ini, ratusan bahkan ribuan virus

akan bereplikasi ke dalam sel. Normalnya, ACE2 akan memecah angiotensin-2 menjadi

vasodilator angiotensin 1-7 yang mana ACE2/Ang 1-7 berperan sebagai anti inflamasi

dan antioksidan pada paru dalam melawan ARDS. Peningkatan perlekatan SARS-CoV-2

dengan reseptor ACE2 akan mengakibatkan penurunan signifikan aktivitas enzimatis

ACE2, penurunan regulasi kadar reseptor ACE2 membuatnya gagal dalam melindungi

paru dari kerusakan karena sifat enzimatisnya yang menurun karena virus.
2.4 Syok Septik

Sepsis dan septik syok berhubungan dengan infeksi peredaran darah. Sepsi adalah akibat

dari respon sistem imun host terhadap infeksi. SARS-COV-2 stadium berat

mengakibatkan syok septik yang mengancam jiwa yang mencakup berbagai tanda dan

gejala seperti dispnea dan hipoksia serius, gangguan ginjal dengan oliguria, takikardia,

gangguan mental, asidosis, dan lainnya. Hasil dari retrospective cohort study

menyebutkan bahwa sepsis adalah salah satu komplikasi tersering pada pasien COVID-

19, yang mana dapat secara langsung berkaitan deangn infeksi SARS-COV-2. Walupun

begitu, studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme patogenik dari sepsis

SARS-COV-2. Sebagai tambahan, hasil studi menunjukan lebih dari 50% pasien

terserang sepsis.

2.5 Demam dan batuk

Pelepasan sel imun dalam jumlah tinggi mengakibatkan IL-1 dan IL-6 masuk ke dalam

aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat. Pada kondisi ini, prostaglandin dilepaskan

oleh hipotalamus sistem saraf pusat karena adanya peningkatan konsentrasi mediator IL-1

dan IL-6. Akibatnya, suhu tubuh meningkat, yang mana demam merupakan gejala

penting pada COVID-19. Debris seluler di alveoli perlu dikeluar dari paru-paruoleh kaena

itu terjadilah batuk untuk megeluarkan debris seluler tersebut, batuk merupakan gejala

umum COVID-19.

Hasil penelitian di Cina yang dilakukan oleh Komisi Kesehatan Nasional China pada

1099 pasien COVID-19 menunjukkan demam dan batuk sebagai gejala yang paling

umum. Batuk didapati pada 67,8% pasien, dan demam pada saat masuk sebanya 43,8%

dan itu berkembang hingga 88,7% selama rawat inap.


3. Tata Laksana

Seperti yang telah disebutkan COVID-19, menurut tingkat keparahannya, dibagi

meenjadi beberapa stadium; karenanya manajemen perawatan yang dilakukan sesuai

dengan manifestasi klinis dan tingkat keparahan. Jadi, pasien yang memiliki manifestasi

klinis ringan (dispnea tidak ada) cukup dirawat di rumah. Beberapa hal harus

diperhatikan pada pasien tanpa gejala yang dapat menjadi sumber penyebaran virus.

Pasien yang berada dalam stadium infeksi sedang dan berat memerlukan perlu di rawat

inap dan mendapatkan perawatan suportif (terapi oksigen, ventilator mekanik untuk

ARDS). Isolasi adalah cara utama untuk pencegahan infeksi COVID-19 pada orang sehat

dan menurunkan angka kasus positif. Saat ini, tidak ada obat atau vaksin spesifik untuk

pengobatan dan pencegahan COVID-19, dan intervensi utama yang diberikan adalah

terapi simtomatik dan terapi oksigen. Namun, ada beberapa terapi potensial yang sedang

diteliti untuk mengobati COVID-19. Di antara obat-obatan ini, beberapa di antaranya

adalah obat yang disetujui digunakan untuk pengobatan penyakit lain, tetapi indikasi

untuk COVID-19 masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

3.1 Terapi Non-Farmakologi

Terapi non-farmakologis menjadi pilihan utama untuk tata laksana COVID-19 yang

melibatkan perawatan umum seperti nutrisi yang tepat, elektrolit adequat, cairan,

mengendalikan tanda-tanda vital dan biomarker laboratorium (jumlah neutrofil, inflamasi

sitokin dan jumlah limfosit, C-reaktif protein dan sebagainya), terapi simtomatik dan

perawatan suportif
Terapi simtomatik: COVID-19, seperti yang infeksi lainnya, memiliki

gejala demam sebagai gejala utamanya. Pemberian antipiretik dan metode

pendinginan direkomendasikan oleh WHO untuk menangani demam COVID-19

dan komplikasi demamnya. Pasien COVID19 yang memiliki penyakit lain seperti

hipertensi dan diabetes lebih berisiko untuk keparahan COVID-19. Dengan

demikian, pengendalian gula darah dan tekanan darah terus menerus dan tindakan

yang tepat akan diperlukan. Disfungsi multi-organ yang dimediasi COVID-19

adalah komplikasi lain yang memerlukan perhatian khusus.

Terapi Suportif: Beberapa pemeriksaan menunjukkan adanya kebutuhan yang

lebih untuk dukungan pernapasan dan terapi oksigen dalam kasus COVID-19 yang

parah. WHO merekomendasikan oksigen nasal beraliran tinggi (HFNO) atau

ventilasi non-invasif (NIV) dan pelindung ventilasi mekanis untuk menangani gagal

pernapasan. Trakeostomi juga dapat dilakukan pada pasien yang membutuhkan

ventilasi mekanis lama dan perawatan yang lebih lama di unit perawatan intensif

(ICU).

Dukungan psikologis: COVID-19 membawa perubahan dalam kehidupan

manusia; karena itu, secara psikologis dukungan untuk pasien, kerabat pasien, dan

tenaga kesehatan mungkin memiliki dampak utama pada penanganan pandemi ini.

Dukungan psikologis dari psikolog sebaiknya dapat diperoleh secara online untuk

seluruh masyarakat. Penggunaan obat hipnotik pada pasien COVID-19 dapat

mempengaruhi kualitas tidur dan penggunaan oksigen. Dukungan psikologis juga

mempunyai peran penting dalam menghilangkan rasa takut dan cemas yang

berhubungan dengan COVID-19 di antara masyarakat


3.2 Terapi farmakologis

Berbagai kelompok obat digunakan untuk terapi pasien COVID-19 antara

lain agen antivirus, antibiotik, kortikosteroid, dan imunoglobulin intravena yang

merupakan pilihan utama. Tapi untuk mengidentifikasi kelompok obat mana yang

efektif masih perlu dilakukan penelitian

Antivirus

Pemberian terapi antivirus yang dini dapat mengurangi perkembangan kasus dari

ringan menjadi berat dan kritis.

Ribavirin: adalah analog ribonukleosida yang aktif terhadap beberapa

coronavirus dan digunakan sebagai obat suportif dalam pengobatan SARS-

COVID-19. Ribavirin menghambat polimerase virus yang tergantung pada RNA.

Selama wabah SARS di Hong Kong, ribavirin digunakan untuk pasien COVID-19

meski aktivitasnya terhadap SARS-CoV terbatas dan diperlukan konsentrasi

tinggi untuk menghambat replikasi virus in vitro, memerlukan dosis tinggi

(misalnya, 1,2 g hingga 2,4 g setiap oral 8 jam) dan terapi kombinasi. Untuk

alasan ini, ini penggunaannya menjadi terbatas untuk terapi COVID-19, jika

digunakan, terapi kombinasi mungkin dapat memiliki efikasi klinis. Oleh karena

itu, penggunaan gabungan Ribavirin dengan Interferon (IFN) beta dapat secara

sinergis menghambat replikasi SARS yang terkait CoV dengan menghambat

polimerase virus yang tergantung pada RNA secara in vitro. Namun demikian

efikasinya pada pasien COVID-19 masih perlu dikonfirmasi dengan uji klinis.

Secara klinis, dosis ribavirin yang sesuai harus diberikan untuk menghindari

reaksi efek samping, termasuk anemia yang terkait dosis pemberian.


Lopinavir/Ritonavir: Kombinasi dari lopinavir/ritonavir digunakan dalam

terapi infeksi immunodeficiency virus (HIV) pada manusia. Karena penggunaan

dari dua obat ini dengan ribavirin memiliki efek terapeutik yang baik pada SARS

dan MERS. Maka dari itu, lopinavir/ritonavir dapat direkomendasikan untuk itu

terapi novel coronavirus dalam uji klinis melalui penghambatan 3-chymotrypsin-

like protease secara in vitro, untuk menghambat sintesis RNA virus. Penelitian

terkini menunjukkan keterlambatan dalam memulai terapi, dapat secara parsial

menjelaskan ketidakefektifan lopinavir/ritonavir untuk terapi COVID-19.

Beberapa efek samping harus dipertimbangkan, termasuk gangguan pencernaan

seperti mual dan diare (meningkat hingga 28%) dan hepatotoksisitas (2-10%).

Terapi ini juga bisa meningkatkan risiko aritmia jantung (mis. Pemanjangan QT)

dan interaksi obat yang signifikan. Dosis rejimen yang disarankan untuk lopinavir

adalah 400 mg dua kali sehari, dan ritonavir 100mg dua kali sehari hingga 14 hari.

Nelfinavir: merupakan obat antivirus lain yang berkerja sebagai penghambat

selektif protease HIV, yang telah efektif dalam menghambat SARS-Cov dan

menjadi terapi yang mungkin untuk SARS-COV-2.

Umifenovir (Arbidol): Arbidol dan turunannya, arbidomesylate, telah

dilaporkan memiliki aktivitas antivirus terhadap SARS-CoV serta melawan virus

influenza dengan cara memblokir fusi dari virus. Karena menargetkan protein S

/interaksi ACE dengan menghambat fusi membran sel dengan kapsul virus.

Menurut data ini, uji klinis telah dimulai dalam terapi pasien SARSCoV-2. Dosis

saat ini yang 200 mg per oral per 8 jam untuk influenza sedang dipelajari untuk

terapi COVID19.
Remdesivir: merupakan obat antivirus yang menghambat RNA-direct

RNA polymerase dari coronavirus secara in vivo dan in vitro, menghambat baik

dari replikasi endemik dan strain zoonosis pada kultur sel. Penelitian

menunjukkan bahwa remdesivir menghambat replikasi baik SARSCoV dan

MERS-CoV serta memperbaiki viral load paru-paru, tanda klinis penyakit paru-

paru, dan fungsi pernapasan pada model tikus secara in vitro. Berdasarkan

aktivitas anti-CoV-nya, remdesivir dipasok oleh pabrikan untuk uji coba

eksperimental di Cina, untuk mengobati pasien rawat inap COVID-19. Pada akhir

Februari, keamanan dan efikasinya dievaluasi pada pasien rawat inap dewasa yang

didiagnosis COVID-19 di pusat medis, Universitas Nebraska di Omaha, AS.

Telah terbukti bahwa perlindungan antivirus dari remdesivir dan IFN beta lebih

unggul dari lopinavir/ritonavir-IFN beta terhadap MERS-CoV secara in vitro dan

in vivo. Obat ini juga telah digunakan dalam terapi infeksi virus ebola. Terlebih,

remdesivir digunakan untuk tatalaksana pasien COVID-19 pertama di Amerika

Serikat, dan aktivitas antivirusnya telah direkomendasikan terhadap SARSCoV-2

secara in vitro. Remedisivir, antivirus spektrum luas yang telah menunjukkan

efikasi secara in vitro dan in vivo terhadap SARS-CoV-2 juga telah dimulai uji

klinisnya. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan efikasinya pada beberapa

uji klinis dengan merekrut pasien untuk mengevaluasi klinis kemanjuran

remdesivir terhadap pengobatan COVID-19 dengan menggunakan rejimen dosis

dosis awal 200 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan 100mg intravena sekali

sehari dengan dosis maintenance selama 9 hari. Departemen Kesehatan

Washington memberikan remedisivir intravena pertama kali dan menemukan


bahwa remedisivir mungkin memiliki potensi perlindungan dari infeksi SARS-

CoV-2. Dengan demikian, FDA telah mengizinkan penggunaan darurat

remdesivir untuk terapi COVID-19 di bawah suatu EUA.

Favipiravir: merupakan analog nukleosida yang digunakan di mengobati

influenza A dan B serta diidentifikasi sebagai a antivirus spektrum luas potensial

untuk COVID-19. Obat ini bekerja dengan menghambat RNA-direct RNA

polymerase pada berbagai virus RNA. Favipiravir menghambat replikasi in vitro

berbagai macam virus influenza dan banyak virus RNA lainnya termasuk keluarga

arenavirus, bunyavirus, flavivirus, alphavirus, paramyxoviruses, dan norovirus.

Obat ini juga menekan replikasi zaire ebolavirus (EBOV) secara in vitro.

Berdasarkan data ini, pasien rawat inap dengan COVID-19 sedang direkrut untuk

evaluasi uji klinis efikasi favipiravir. Rejimen yang digunakan dalam uji coba

COVID-19 sebagian besar berdasarkan dosis yang disetujui untuk pengobatan

influenza, contohnya, 1600 mg dua kali sehari pada hari pertama, dilanjutkan 600

mg dua kali sehari selama enam hari. Terlebih, obat ini telah diketahui memiliki

efek teratogenisitas dan kematian embrionik awal pada studi hewan, yang harus

dipertimbangkan.

Oseltamivir: digunakan untuk menghambat neuraminidase virus, yang

menghambat pelepasan partikel virus dari sel host dengan mengurangi penyebaran

virus dalam saluran pernafasan. Obat ini sebagian besar digunakan untuk terapi

influenza A dan B. Selanjutnya, dilaporkan oseltamivir digunakan dalam

pengobatan epidemi COVID-19 di Cina, baik dengan atau tanpa penggunaan

antibiotik dan kortikosteroid. Selain itu, oseltamivir telah digunakan dalam uji
klinis dengan beberapa kombinasi chloroquine dan favipiravir dan telah

menunjukkan aktivitas antivirus melawan SARS-CoV-2 dengan toksisitas yang

rendah. Namun, inhibitor Neuraminidase tampaknya tidak memiliki aktivitas

untuk melawan COVID-19, dan peran oseltamivir khususnya untuk COVID-19

masih terbatas, dan uji klinis tambahan diperlukan untuk menunjukkan aktivitas

antivirus terhadap SARS-CoV-2.

3.3 Chloroquine/Hydroxychloroquine

Chloroquine dan hydroxychloroquine adalah Obat antimalaria yang diakui

oleh FDA. Mereka digunakan sebagai obat antivirus dalam pengobatan HIV, yang

bekerja dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel inang. Chloroquine

digunakan untuk menghambat internalisasi virus dengan berikatan pada reseptor

ACE2 dan dimakan oleh sel-sel sebagai vakuola. Ini dapat menghambat COVID-

19 dan direkomendasikan untuk kontrol klinis replikasi virus. Penelitian telah

menunjukkan bahwa Chloroquine dan Hydroxychloroquine menghalangi

masuknya virus ke dalam sel dengan menghambat glikosilasi reseptor host, proses

proteolitik, dan pengasaman endosom. Obat ini juga punya efek imunomodulator

melalui penurunan produksi sitokin dan penghambatan aktivitas autofagi dan

lisosomal dalam sel host. Penelitian terbaru di Perancis pada 36 pasien (20 pasien

pada kelompok hydroxychloroquine dan 16 pada kelompok kontrol) melaporkan

peningkatan klirens virologi dengan penggunaannya hydroxychloroquine, 200 mg

setiap 8 jam dibandingkan dengan pasien kontrol menerima perawatan suportif

standar. Klirens virologi di hari 6, diukur dengan swab nasofaring, adalah 70%

(14/20) vs (2/16) masing-masing untuk kelompok hydroxychloroquine dan


kontrol. Disarankan juga kombinasi azitromisin dengan hydroxychloroquine yang

menunjukkan klirens virus yang lebih baik 6/6, (100%) dibandingkan dengan

monoterapi hydroxychloroquine. Penelitian ini tidak mampu mendukung

keamanan dan kebutuhannya sepenuhnya dan membutuhkan studi tambahan.

Selanjutnya, penelitian lain memperkirakan 100% pasien yang diobati dengan

hydroxychloroquine dikombinasi dengan antibiotik makrolid azitromisin secara

virologi menyembuhkan dibandingkan 57,1% pada pasien yang diberi dengan

hydroxychloroquine saja. Kedua agen ini dapat menyebabkan beberapa efek

samping yang serius (<10%), termasuk pemanjangan QTc, hipoglikemia, efek

neuropsikiatrik, dan retinopati. Selain itu, karena sifat antimikrobanya membuat

banyak peneliti menyarankan penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine

pada terapi SARS-COVID-19. Chloroquine mungkin mengubah pH pada

permukaan alveolar sel, dengan demikian menghambat pengikatan SARS-CoV-2

ke ACE2, yang mencegah masuknya virus ke dalam sel. Juga,

hydroxychloroquine dianggap memiliki profil keamanan yang lebih baik daripada

chloroquine meskipun mereka keefektifan yang sama sebagai obat antimalaria.

Dosis rejimen yang digunakan dalam uji coba COVID-19 adalah chloroquine 500-

1.000 mg per hari selama 7-10 hari atau hydroxychloroquine 400 mg per hari

selama 5-10 hari.

Terapi tambahan

Saat ini, karena kurangnya obat-obatan spesifik untuk COVID-19, terapi

tambahan adalah pembantu yang penting dalam pengobatan.


Antibodi monoklonal: Antibodi monoklonal bisa menetralkan SARS-

CoV, mereka diarahkan untuk melawan sitokin inflamasi utama atau aspek lain

dari respon imun bawaan. Terutama, IL-6 yang tampaknya menjadi penyebab

utama inflamasi yang tidak teratur ini. Meskipun, resiko perforasi pencernaan

(GI), hepatotoksisitas, pasien dengan trombositopenia dan Neutropenia dan reaksi

terkait infus yang harus diperhatikan. FDA menyarankan tocilizumab, antibodi

monoklonal IL-6 reseptor antagonis, yang telah digunakan untuk mengobati

cytokine release syndrome setelah terapi sel T reseptor antigen chimeric. Obat

tersebut bekerja dengan mengikat reseptor IL-6 untuk mencegah aktivasi dan

menghambat sinyal IL-6. Berdasarkan pengalaman; Tocilizumab digunakan pada

serangkain kecil kasus COVID 19 yang parah dengan laporan awal keberhasilan.

Laporan pada 21 pasien kasus COVID 19 yang diobati dengan mengunakan 400

mg tocilizumab mendapatkan perbaikan klinis pada 91% pasien yang dinilai dari

meningkatnya fungsi respirasi, yang mana kebanyakan pasien menerima satu

dosis, tocilizumab berperan sebagai agen yang lebih kuat pada pengobatan

beberapa kasus serius pada COVID 19 dengan meningkatkan jumlah IL-6 dan

menyerbarkannya pada paru yang cedera. Reseptor IL-6 lain yang sudah disetujui,

mAbs atau agen immunomodulator dalam uji klinis di China dan US meliputi

bevacizumab (obat anti-vascular endothelial growth factor), fingolimod

(immunomodulator yang sudah diakui pada multiple sclerosis), dan eculizumab

(antibodi yang menghambat komplemen terminal). Anakinra adalah agen anti IL-

1 yang sudah diakui untuk mengobati autoimun artritis rheumatoid yang

menunjukkan hasil yang memuaskan. Selain itu, ilmuwan di lembaga kanker


Dana-Ferber melaporkan isolasi antibodi manusia dan digunakan untuk

menghalangi infeksi dari SARS-CoV. Antibodi 80R ditargetkan pada spike

glikoprotein dan menghalangi virus dengan mengikat reseptor ACE2. Kemudian,

antibodi yang sudah dites pada hewan uji coba yang mana menunjukkan fungsi

proteksinya dalam melawan cedera akut paru. Seperti antibodi yang digunakan

pada imunisasi pasif untuk pengobatan awal infeksi SARS-CoV. Karena antibodi

tidak sepenuhnya dapat memproteksi, peneliti dari lembaga kanker nasional

kemudian melaporkan dua antibodi baru dengan peningkatan afinitas terhadap

reseptor ACE2 yang dibandingkan dengan 80R. mAbs, m396 dan S320. Mereka

memusnahkan virus dengan potensi yang luar biasa yang bisa menjadi terapi yang

bagus atau reagen yang memfasilitasi perkembangan vaksin untuk infeksi SARS.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti US dan Cina, mAbs telah

digunakan untuk pengobatan MERS-CoV. Pada penelitian ini, mAbs m336

memusnahkan virus dengan potensi yang luar biasa dan telah dilaporkan memiliki

potensi yang sangat bagus untuk kandidat terapi atau sebagai agen untuk

memfasilitasi pengembangan vaksin MERS-Cov in vitro. Sebagai hasilnya,

pengembangan mAbs membutuhkan periode tertentu yang sulit dicapai dalam

aplikasi klinis untuk waktu yang singkat.

Immunoglobulin therapy: dipelajari plasma convalescent atau hiperimun

immunoglobulin yang digunakan sebagai terapi ajuvan pada COVID-19. Antibodi

dari pasien yang sudah sembuh dapat membantu dengan virus bebas dan

pembersihan sel imun yang terinfeksi. Seperti di fase awal, patogen merusak
organ target dan mengarah ke kerusakan imunopatologis yang parah. Antibodi

dari imun pasif dapat bekerja efektif, dan secara langsung memusnahkan patogen-

patogen, yang mengurangi kerusakan organ target dan kemudian menghalangi

kerusakan imunopatologis selanjutnya. Tahun 2009, penelitian pada 93 pasien

influenza A, mengungkapkan bahwa orang yang menerima plasma covalescent

dapat mengurangi angka mortalitas dibandingkan yang tidak mendapatkan.

Seperti teori, manfaat dari terapi ini akan muncul setelah 7-10 hari infeksi, ketika

viremia mencapai puncak, dan respon imun primer masih belum muncul. Selain

itu, kasus pertama yang dilaporkan dari 5 pasien kritis yang tidak terkontrol

dengan COVID-19 yang diobati dengan plasma convalescent di Cina baru saja

diterbitkan. WHO menekankan bahwa “terapi plasma convalescent merupakan

salah satu terapi potensial yang direkomendasikan, dan ini telah digunakan saat

wabah pandemi lain terjadi.

Corticosteroids: Poin yang terpenting pada pengobatan SARS-CoV 2 adalah

mengurangi respon host inflamasi pada paru, yang dapat mengarah ke cedera paru

akut dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Meskipun itu dapat

berkurang karena adanya risiko yang merugikan, termasuk pembersihan virus

yang terlambat dan meningkatkan risiko infeksi sekunder, sebuah penelitian

tentang MERS dan SARS yang dilaporkan tidak ada keberlangsungan hidup tapi

juga berhubungan dengan terlambatnya permbersihan virus dari saluran

pernapasan dan darah dengan angka yang tinggi untuk terjadinya komplikasi

seperti hiperglikemi, psikosis, dan avascular nekrosis. Sebuah penelitian pada

pasien pneumonia influenza ditemukan bahwa kortikosteroid berhubungan dengan


meningkatnya risiko mortalitas. Sementara penelitian terbaru di Cina pada pasien

COVID-19, pengobatan dengan metilprenidsolon berhubungan dengan

menurunkan risiko kematian, oleh sebab itu, dikarenakan pemilihan yang tidak

efektif dalam penggunaan rutin pada pasien COVID 19 harus dipertimbangkan,

kortikosteroid dapat digunakan untuk membatasi kerusakan paru yang berlebihan

akibat dari respon inflamasi. Metilprednisolon sudah bisa digunakan oleh pasien

COVID 19 dengan kombinasi antibiotic, oseltamivir, dan terapi oksigen 40-80

mg/hari.

Lain-lain:

IFNs tipe 1: Interferon (IFN) menghambat infeksi virus secara langsung

mengganggu replikasi virus dengan menginduksi respon bawaan dan adaptif

terhadap infeksi. Respon sistem imun manusia sangat penting untuk mengontrol

replikasi virus yang aktifasi interferon bawaan yang diperlukan untuk

menghindari menyebarnya virus. Peran mereka dalam pengobatan ini sudah

diterima pada istilah aktifitas virus. Peneliti Frankfurt dan Hong Kong

merekomendasikan aktifitas virus pada INF alffa, beta, dan gamma, yang mana

diantara mereka IFN beta menunjukkan aktifitas antivirus yang bagus dengan

menghambat replikasi SARS-CoV. MERS-CoV 50-100 kali lebih peka

dibandingkan dengan SARS-CoV dalam pengobatan dengan interferon alfa in

vitro. Juga, pada penelitian sebelumnnya telah mendemostrasikan bahwa INFs

tipe 1 dapat digunakan sebagai sitokin antivirus dengan menginduksi sejumlah

besar protein untuk merusak replikasi virus di dalam sel target. Efek sinergis pada

IFN alfa leukosit dan IFN beta dengan Ribavirin melawan SARS-CoV telah
disarankan in vitro. Oleh karena itu, berdasarkan kemanjuran pada SARS-CoV

dan MERS-CoV, kombinasi antivirus dan berbagai subtype dari interferon telah

diteliti untuk kemanjuran pada pasien COVID-19.

RAS inhibitors: berdasarkan patofisiologi, ACE2 merupakan bagian dari

renin-angiotensi sistem (RAS) berperan secara signifikan dalam patogenesis

SARS-CoV2. mungkin menghalangi ACE2 via RAS inhibitor seperti angiotensin

converting enzim inhibitor (ACEIs) dan angiotensin II receptor type I blocker

dapat memiliki dapak yang besar untuk memilih dan mendesain obat baru.

Hipotiosianit: Manusia memiliki jaringan pelindung alami tehadap infeksi.

Sistem ini ada di pusat saluran udara yang memiliki jarring yang melibatakn

laktoperoksidase/H2O2/SCN- (LPO/H2O2/SCN-) kompleks, dan kompleks ini

menginduksi ion hipotiosiantit (OSCN-). Hipotiosianit membentuk ikatan

disulfide melaui oksidasi kelompok thiol di protein. Ini dapat membuah

perubahan pada permukaan protein pada infeksi saluran pernapasan seperti virus

dan mencegah berikatannya ke molekul target. Kelainan pada sintesis dan

akumulasi asam nukleat virus dan protein kemungkinan adalah efek perlindungan

dari ion tiosianit. Karenanya, sangat disarankan penggunaan ion tiosianit untuk

mengontrol dan mengelola SARS-CoV2. Jika

Nitazoxanide: adalah agen antihelminthic, yang memiliki aktivitas antivirus yang

luas dan profil keamanan yang baik. Nitazoxanide memiliki aktivitas antivirus terhadap

MERS dan SARS-CoV-2, karena itu obat ini dapat menjadi salah satu pilihan pengobatan

SARS-CoV-2 dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.


Vitamin C: efek antioksidan pada vitamin c berguna untuk mengurangi stres

oksidatif dan peradangan pada pasien COVID-19. Pneumonia adalah pemberat utama

COVID-19 yang dapat menyebabkan ARDS dan lesi paru yang serius. Karena

Coronavirus menghasilkan radikal bebas dan badai sitokin, yang dapat memperburuk

kondisi menjadi kondisi yang mengancam jiwa dan disfungsi multi-organ. Oleh karena

itu penambahan terapi antioksidan dapat membantu mengurangi efek tersebut. Vitamin C

dalam dosis tinggi diketahui aman dan efektif serta memiliki aktivitas antivirus yang luas.

Hal ini menunjukkan bahwa Vit C merupakan agen yang tepat dalam perbaikan kondisi

ini. Dengan demikian, penerapan Vit C sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan

agen sinergis lainnya dapat memberikan hasil yang baik.

4. Kesimpulan

Ulasan ini merangkum bahwa SARS-CoV-2 memiliki kesamaan dalam hal epidemiologi

dan patogenesis dengan SARS-CoV tahun 2003. SARS-CoV-2 berawal dari Wuhan cina

dan sangat berdampak pada hampir seluruh negara di dunia.Virus ini ditransmisikan dari

manusia ke manusia umunya melalui droplet,kontak langsung atau tidak langsung.

Diketahui pertama kali ditularkan dari kelelawar ke manusia, sehingga dapat dikatakn

sebagai penyakit zoonotik. Masa inkubasi virus ini adalah dua minggu. Tanda-tanda

klinis termasuk demam tinggi, menggigil, batuk, sesak napas atau kesulitan bernafas,

diare, mialgia atau kelelahan, dan hemoptisis. Orang dengan penyakit sekunder atau

orang lanjut usia lebih rentan berisiko terinfeksi. Virus ini belum pernah terjadi

sebelumnya sehingga belum ada obat atau vaksin khusus untuk pengobatan pasien. Tapi

untungnya, kesamaan struktur virus dengan SARS CoV membuatnya lebih mudah untuk

diatasi dan umumnya, obat yang direkomendasikan untuk pengobatan pasien COVID-19

adalah obat yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Baru-baru ini, FDA telah

menyetujui penggunaan darurat obat antivirus bernama remdisivir dalam pengobatan


COVID-19. Namun, para ilmuwan, dokter, dan organisasi farmasi bekerja bersama untuk

menemukan obat yang spesifik dan aman untuk pengobatan atau vaksin untuk

pencegahan dan pengendalian penyakit virus pandemi ini.

Anda mungkin juga menyukai