Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
TRI WULANDARI
1510015012
Pembimbing:
dr. Dompak S. Hutapea, Sp. Rad
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan hidayah-Nya tugas ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini disusun dari
berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari pembelajaran saya. Tugas ini secara menyeluruh
membahas tentang angiofibroma nasofaring juvenile.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya tugas ini. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dompak S. Hutapea, Sp. Rad selaku pembimbing klinik laboratorium ilmu radiologi.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi dan sumber
bacaan.
Saya sengaja menyelesaikan tugas ini untuk memenuhi salah satu tugas pendidikan
kepaniteraan klinik. Tentunya saya selaku penyusun juga mengharapkan agar tugas ini dapat
berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di kemudian hari.
Tentunya tugas ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang
membangun sangat saya harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan tugas ini.
Tri Wulandari
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring juvenile paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas
dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25
tahun sehingga tumor ini disebut Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Gejala klinik yang
dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring dapat berupa hidung tersumbat (80-
90%) yang merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%) yang
kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus
paranasal, dan pembengkakan wajah (10- 18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,
deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita
angiofibroma nasofaring. (Alimli, et al., 2016).
1
Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati
karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan radiologis seperti CT Scan dan MRI. Trias gejala dan tanda klinis dari
tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat
mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring (Mishra, Praveena, Panigrahi, &
Gupta Y, 2013).
Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda mampu untuk melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang termasuk dari bidang radiologi,
diagnosis, dan penatalaksanaan pada pasien angiofibroma nasofaring juvenile. Referat ini
juga diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis maupun teman-
teman sejawat lainnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2. Anatomi Nasofaring (Hermansyah, Dhamiyati, & Choridah, 2017).
2.2.2. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari tumor
ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang
terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat
menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja
(puberty) (Alimli, et al., 2016).
4
2.2.3 Patogenesis
5
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan
pada angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan dapat
memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat
kronis dan diikuti dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan
anosmia. Pada perluasan tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada
telinga seperti penurunan pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan
perluasan tumor lebih lanjut yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga
menimbulkan gejala – gejala pada mata dan saraf.
Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling
dini yang mengindikasikan penyakit ini. Mata menonjol (proptosis), pembengkakan
pada wajah, pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda –
tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Tuli konduktif dan otalgia
diakibatkan karna obstruksi tuba eustachius. Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi
dengan adanya penglihatan dobel (diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor
telah mulai menekan kiasma optik. Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa
tumor sudah meluas ke intrakranial (Putri, 2013).
6
Pemeriksaan fisik dengan menggunakan rinoskopi anterior dapat dilakukan
untuk mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan ini akan dapat melihat massa
tumor, warna yang bervariasi mulai dari abu-abu hingga sampai merah muda. Bagian
tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender bewarna keunguan
dan yang meluas keluar nasofaring bewarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya lebih kebiruan. Hal ini
dikarenakan komponen fibroma yang terkandung didalamnya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi (Ariyani & Augustian,
2014).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya
digunakan klasifikasi Chandler, Session dan Fisch. Hal ini penting untuk menentukan
jenis penatalaksanaan seperti apa yang akan diberikan pada pasien (Putri, 2013).
b. Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan
endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi
secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi
perdarahan (Mody & Kurniawan, 2016).
7
c. Radiologis
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar.
Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi
dinding orbita, arkus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring (Mody & Kurniawan, 2016).
8
Gambar 6. Normal Postero-anterior Facial X-Ray. (1) sinus etmoid, (2) sinus frontalis, (4)
caput mandibula, (6) infraorbital ridge, (9) sinus maksilaris, (13) os zigomaticus (Daveis &
Pettersson, 2002).
Gambar 7. Water’s X-ray, sinus maksilaris normal. Dinding dan atap sinus tipis (panah
merah) (Hook, 2000).
9
Gambar 8. Postero-Anterior view dari radiograf tengkorak menunjukkan opasifikasi difus
dari antrum rahang atas kanan (panah kuning)
(Mishra, Praveena, Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
Perluasan tumor ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif
dari pterygmaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat pada MRI dan sangat
bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA sehingga bisa
menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan yang lain. Lesi juga
menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan MRI dan aliran vaskuler dalam lesi
akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini
membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk
membedakan dengan gambaran jaringan lunak homogen lainnya seperti peradangan sinus dan
mukosa hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Selain itu CT scan dan MRI dapat
menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari
keterlibatan intracranial (Mody & Kurniawan, 2016).
10
Gambar 9. CT Scan basis cranii, menunjukkan fossa cranii anterior, medial dan posterior dan
atap dari orbita (Tie, 2001)
Gambar 10. Potongan Axial, CT Scan bone window basis cranii dari inferior ke superior
(Raut, Naphade, & Chawla, 2012).
11
Gambar 11. Potongan Sagital T1-weighted. Normal brain MRI (Gaillard, 2019).
Gambar 12. Potongan Aksial T2-weighted. Normal brain MRI (Gaillard, 2019)
Gambar 13. Normal MRI lobus frontal pada anterior basis cranii (Francies, Makalanda,
Paraskevopolous, & Adams, 2018).
12
2.2.8.1 Gambaran CT Scan Angiofibroma Nasofaring Juvenile
Gambar 14. Potongan coronal, CT Scan kontras menunjukkan lesi jaringan lunak destruktif
heterodense besar dengan kontras yang intens di antrum rahang atas kanan (panah kuning),
melintasi garis tengah dan menggeser septum hidung ke kiri (panah merah) dan ke superior
ke dalam rongga hidung (panah biru) (Mishra, Praveena, Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
Gambar 15. Potongan aksial, CT Scan dengan kontras, menunjukkan lesi jaringan lunak
destruktif heterodense besar terlihat di dinding posterolateral superior rongga hidung kanan,
memanjang ke nasofaring dan berdekatan dengan pterygopalatine fossa. Pendorongan
prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar : Tanda Holman
Miller karakteristik (panah kuning) dengan erosi / penghancuran tulang yang berdekatan
(Mishra, Praveena, Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
13
Gambar 16. Potogan Aksial CT Scan bone window, menunjukkan erosi ringan daerah medial
tulang pterygoideus sinistra (Ikubor, Okolugbo, & Okhakhu, 2013)
Gambar 17. Potongan aksial, CT Scan kontras nasofaring menunjukkan massa di rongga
hidung posterior dan nasofaring dengan oklusi jalan napas sekitarnya (Ikubor, Okolugbo, &
Okhakhu, 2013).
14
2.2.8.2 Gambaran MRI Angiofibroma Nasofaring Juvenile
Gambar 18. Potongan aksial, T1-weighted MRI menunjukkan massa yang besar (panah) di
daerah fisura pterygo-maksila dan foramen sphenopalatine di sisi kanan dengan intensitas
heterogen (Mishra, Praveena, Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
Gambar 19. Potongan koronal, T2-weighted MRI menunjukkan massa hiperintens yang besar
pada antrum maksila kanan (panah merah), pergeseran septum hidung (panah biru) oleh
massa tumor heterointense ke sisi kiri dan rongga kecil terlihat diantara lesi dengan
hipervaskularitas (panah kuning) (Mishra, Praveena, Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
15
Gambar 20. Potongan sagital, T2-weighted MRI menunjukkan massa tumor yang besar
(panah) dengan pengukuran intensitas heterogen 6,54 cm × 6,02 cm (Mishra, Praveena,
Panigrahi, & Gupta Y, 2013).
Gambar 21. Pasien pria berusia 15 tahun, (a) precontrasted T1-weighted aksial, (b)
precontrasted T2-weighted, dan (c) postcontrasted T1-weighted aksial menunjukkan massa di
sisi kanan nasofaring yang membesar ke fossa pterygopalatine ipsilateral (panah putih a dan
b). Massa dengan intensitas isointense dengan otot terlihat pada gambar T1-weighted (a) dan
hyperintense pada gambar T2-weighted (b) dan menunjukkan peningkatan kontras yang
signifikan pada gambar (c). Tanda Holmann Miller (a, kepala panah putih; c,panah). Tumor
menunjukkan daerah rongga kecil (b, panah kuning) dan perubahan sinyal inflamasi pada
rahang atas sinus (b, kepala panah putih) (Alimli, et al., 2016).
16
2.2.8.3 Gambaran Angiografi Angiofibroma Nasofaring Juvenile
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi
ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.
Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal (Mody & Kurniawan, 2016).
Gambar 23. Pasien pria 10 tahun, (a) TWIST-MR angiografi pasien menunjukkan bilobule
hypervasculer massa di sisi kanan (panah putih). (b) angiografi arteri karotis kanan selektif
menunjukkan bahwa JNA dipasok oleh arteri maksila internal (panah putih). (c) opasifikasi
JNA terutama menghilang pada angiografi yang diperoleh setelah arteri maksila internal
diembolisasi dengan mikrocoil (Alimli, et al., 2016).
17
2.2.9 Stadium Angiofibroma Nasofaring Juvenile
18
2.2.10 Diagnosis Banding
2.2.11 Penatalaksanaan
a. Embolisasi
Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi jaringan parut
dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat
dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi
dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang
cukup masih bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti
dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi
pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 – 80% (Mody & Kurniawan, 2016).
Gambar 24a. Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi (Mody & Kurniawan, 2016).
19
Gambar 24b. Gambaran angiografi setelah embolisasi (Mody & Kurniawan, 2016).
b. Operasi
Karena lokasi ANJ yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis di basis
cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor. Selain itu
pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda. Pendekatan dengan endoskop
disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tumor stadium I) ,metode endoskop ini menjadi
metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS. Pendekatan transpalatal
digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang
terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin
memilih pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik
midfacial degloving bisa juga digunakan (Ariyani & Augustian, 2014).
Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi
dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang
cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan
Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan koronal digunakan frontotemporal craniotomy
dengan midface osteotomies untuk jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa
infratemporal diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut. Terapi
medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif untuk mengurangi
perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi
mengurangi perdarahan (Putri, 2013).
20
Gambar 25a dan 25b. Operasi pembedahan ANJ dengan pendekatan mid facialde gloving.
Dengan pendekatan ini bisa dibuka akses membuka tulang-tulang mid fasial tanpa
meninggalkan luka / scar di wajah. Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor mid fasial lain
juga bisa ditangani dengan pendekatan ini. Tampak ANJ yang sangat besar sedang diangkat
dari ruang post nasal (Mody & Kurniawan, 2016).
c. Hormonal
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi
hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor testosteron
flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi
tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak digunakan secara rutin (Ariyani & Augustian,
2014).
d. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi ANJ yang rekuren atau ekspansif
ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko yang tinggi
terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan. Pembesaran
tumor yang signifikan memang berhenti dengan radioterapi tetapi tumor tidak langsung
mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi sebenarnya harus dibarengi
dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi melaporkan rata-rata 80% dari kasus ANJ
21
dapat disembuhkan dengan terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama
untuk penatalaksanaan ANJ telah berhasil dilaporkan oleh UCLA (The University of
California, Los Angeles). Dari 27 pasien, tumor berhasil dikendalikan pada 23 pasien (85%)
dan empat pasien mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Komplikasi jangka
panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%). Prognosis dari radioterapi sendiri
ditentukan oleh stadium tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang
memberi hasil pada tumor stadium akhir (Mody & Kurniawan, 2016).
2.2.12 Komplikasi
2.2.13 Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah keberadaan
tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai
makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor. Embolisasi
preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-rata
kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari JNA
ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan
dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan (Ariyani & Augustian, 2014).
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring khusus menyerang
jenis kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang
atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti
foto polos, CT scan, angiografi atau MRI kepala. Tindakan operasi merupakan pilihan utama
selain terapi hormonal atau radioterapi.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan
dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan atas penyusunan tugas ini,
sehingga diharapkan sekali kepada rekan-rekan sejawat sekalian atas kritik dan saran
yang membangun demi bertambahnya khazanah ilmu pengetahuan kita bersama.
23
DAFTAR PUSTAKA
Alimli, A. G., Ucar, M., Oztunali, C., Akkan, K., Boyunaga, O., Damar, C., et al. (2016).
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Magnetic Resonance Imaging Findings.
Journal of The Belgian Society of Radiology, 100(1), 1-8.
Daveis, A. M., & Pettersson, H. (2002). The WHO manual of diagnostic imaging (Vol. 2).
Malta, Eropa: World Health Organization in collaboration with the International
Society of Radiology.
Francies, O., Makalanda, L., Paraskevopolous, D., & Adams, A. (2018). Imaging review of
the anterior skull base. Acta Radiologica Open, 7(5), 1-13.
Hermansyah, M. L., Dhamiyati, W., & Choridah, L. (2017). Modalitas Imejing Pada
Karsinoma Nasofaring. Jurnal Radiology Indonesia, 2(2), 117-122.
Hook, W. F. (2000). X-Ray Film Reading Made Easy. United States: William. F. Hook.
Ikubor, J., Okolugbo, N., & Okhakhu, A. (2013). Radiological Features of Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of The West African College of Surgeon,
3(4), 1-8.
Mishra, S., Praveena, N. M., Panigrahi, R. G., & Gupta Y, M. (2013). Imaging in the
Diagnosis of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of Clinical Imaging
Science, 3(1), 1-5.
Raut, A., Naphade, P., & Chawla, A. (2012). Imaging of skull base: Pictorial essay. Indian
Journal of Radiology and Imaging, 22(4), 305-316.
Tie, M. (2001). Basic Head CT for Intensivists. Critical Care and Resuscitation, 3, 35-44.
24