Anda di halaman 1dari 46

8REFERAT NEUROLOGI

NEUROPATI DIABETIK

Dosen Pembimbing:

dr Imam Suhada, SpS

Disusun Oleh:

I. Nyoman Herlian B. K 030.10.130

Deskhilandi Nugroho 030.11.070

Elza Desmita 030.11.086

Munfika Maulida 030.11.200

Nadya Marsha Fitri Yulistya 030.11.206

Soraya Alamudin 030.11.277

Yanna Rizkia 030.11.313

KEPANITRAAN KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS TNI AL MINTOHARDJO
PERIODE 23 NOVEMBER – 26 DESEMBER 2015

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:

Nama I. Nyoman Herlian B. K 030.10.130

Deskhilandi Nugroho 030.11.070

Elza Desmita 030.11.086

Munfika Maulida 030.11.200

Nadya Marsha Fitri Yulistya 030.11.206

Soraya Alamudin 030.11.277

Yanna Rizkia 030.11.313

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Trisakti

Bagian : Neurologi

Judul : Neuropati Diabetik

Ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

Jakarta, 15 Desember
2015

Dosen Pembimbing

dr Imam Suhada, SpS

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan referat berjudul “Neuropati Diabetik”.
Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian kepanitraan klinik Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan referat ini tidak akan tercapai tanpa bantuan pihak-pihak yang telah
membantu kelancaran dalam penyusunan referat ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan


kepada:

1. dr. Imam Suhada ,SpS selaku Koparnit serta Dosen Penguji yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu
dan pengetahuan.
2. Teman-teman dokter muda di Kepanitraan Klinik Neurologi RS TNI AL
Dr. Mintohardjo, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode 22
November – 26 Desember 2015.

Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan kedepannya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan referat
selanjutnya.

Jakarta, 15 Desember 2015

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN
ii
PENGESAHAN............................................................................................
KATA
iii
PENGANTAR........................................................................................................
................................................................................................................
DAFTAR ISI iv
...
PENDAHULUAN...........................................................................................
BAB I 1
..
1.1 LATAR
1
BELAKANG.................................................................................
TINJAUAN
BAB II 3
PUSTAKA....................................................................................
2.1 ANATOMI DAN
3
FISIOLOGI....................................................................
2.2
5
DEFINISI.....................................................................................................
2.3
6
KLASIFIKASI.............................................................................................
2.4
7
PATOFOSIOLOGI......................................................................................
2.5 MANIFESTASI
KLINIS ............................................................................ 14
2.6
DIAGNOSIS ............................................................................................... 15
2.7 PEMERIKSAAN
PENUNJANG ............................................................... 16
2.8
PENATALAKSANAAN ............................................................................ 17
2.8.1 KONTROL
GLIKEMIK ................................................................. 17
2.8.2 TERAPI
SIMPTOMATIK .............................................................. 17
2.8.3 TERAPI
KAUSAL ......................................................................... 26
2.8.4 TERAPI NON
FARMAKOLOGIS ................................................ 36
2.9
PROGNOSIS .............................................................................................. 38
PENUTUP.......................................................................................................
BAB III 39
...
DAFTAR 40

iv
PUSTAKA..........................................................................................................

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Neuropati Diabetik merupakan salah satu komplikasi yang paling sering


ditemukan pada diabetes melitus (DM). Risiko yang dihadapi pasien DM dengan
neuropati diabetik antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh
sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya
angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya
pengobatan pasien DM dengan neuropati diabetik.1,2

Hingga saat ini patogenesis neuropati diabetik belum seluruhnya diketahui dengan
jelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor
primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya neuropati diabetik, tetapi beberapa teori lain yang diterima adalah teori
vaskular, autoimun dan nerve growthfactor.3

Manifestasi neuropati diabetik bisa sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan
nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau
sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.4

Mengingat terjadinya neuropati diabetik merupakan rangkaian proses yang


dinamis dan bergantung pada banyak faktor, pada pengelolaan atau pencegahan
neuropati diabetik pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes
secara keseluruhan. Untuk mencegah agar neuropati diabetik tidak berkembang
menjadi ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada kaki, diperlukan upaya
khusus yaitu pemahaman pentingnya perawatan kaki. Bila neuropati diabetik
disertai dengan nyeri, dapat diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe
nyerinya, dengan harapan menghilangkan atau paling tidak mengurangi keluhan,
kualitas hidup dapat diperbaiki.

Berbagai studi melaporkan prevalensi neuropati diabetik yang bervariasi berkisar


12-50%. Angka kejadian dan derajat keparahan neuropati diabetik juga bervariasi

1
sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar
glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati
simtomatis ditemukan pada 28,5% dari 6500 pasien DM. Pada studi Rochester,
walaupun neuropati simtomatis ditemukan hanya pada 13% pasien DM, ternyata
lebih dari setengahnya ditemukan neuropati dengan pemeriksaan klinis.2 Studi lain
melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien
DM baru. Sementara tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

System somatosensorik

Sebuah serabut somatosensorik memasuki medulla spinalis di dorsal root entry


zone (DREZ) dan kemudai nmembentuk banyak kolateral yang membuat kontak
sinaps dengan neuron lain di medulla spinalis. Serabut yang menghantarkan
modalitas sensorik berbeda menempati posisi yang berbeda di medulla spinalis 7

1. Kolumna dorsalis
Jaras ini membawa impuls raba halus, proprioseptif, dan diskriminasi dua titik.
Impuls tersebut berasal dari reseptor di otot, tendon, fasia, kapsul sendi, dan
jaringan ikat (korpuskulus Vater-Pacini dan korpuskulus Golgi-Mazzoni), serta
reseptor kulit. Serabut somatosensorik bersinaps di DREZ dan masuk ke funikulus
posterior, serabut aferen yang berasal dari ekstremitas bawah menempati bagian
medial. Serabut aferen membentuk sinaps dengan neuron kedua yaitu nucleus
grasilis dan nucleus kuneatus. Selanjutnya serabut aferen berjalan melalui
fasikulus grasilis dan kuneatus melalui traktus bulbothalamikus. serabut
menyilang garis tengah dan menjadi lemniskus medialis. Serabut aferen berjalan
menuju medulla, pons, dan otak tengah. Selanjutnya serabut aferen bersinaps
dengan nucleus ventralis posterolateralis thalami (VPL) membentuk traktus
thalamokortikalis. Serabut traktus ini naik melalui kapsula interna menuju korona
radiate. Serabut aferen menghantarkan impuls ke korteks somatosensorik di girus
postsentralis. 7

2. Traktus spinothalamikus anterior


Jaras ini membawa impuls di reseptor kuneatus (ujung saraf pertrikal, korpuskel
taktil) tekan dan raba. Serabut aferen bersinaps di DREZ dan masuk ke medulla
spinalis melalui kornu posterior dan bersinaps di substansia griseanya membentuk
traktus spinothalamikus anterior. Serabut aferen menyilang di komisura spinalis
anterior dan naik di funikulus anterolateral kontra lateral. Selnajutnya, serabut

3
aferen bersinaps dengan nucleus ventro posterolateralis thalami membentuk
traktus thalamokortikalis. Melalui traktus tersebut, ipuls dihantarkan melalui
kapsula interna dan korona radiate. Akhir serabut aferen akan membawa impuls
menuju korteks somatosensorik di girus postsentralis. 7

3. Traktus spinothalamikus lateralis


Impuls terbentuk melalui ujung-ujung saraf bebas yang merupakan endargon grup
A yang tipis dan serabut C yang hamper tidak bermielin, yang merupakan
prosesus perifer neuron pseudounipolar di ganglion spinalis. Serabut aferen masuk
ke kornus posterior di medulla spinalis. Serabut aferen membentuk kontak sinaps
di neuron funikulus dan membentuk traktus spinothalamikus lateralis. Pada
traktus spinothalamikus lateralis, letak jaras dari ekstremitas bawah di alteral,
sedangkan dari ekstremitas atas di medialSerabut aferen menyilang garis tengah di
komisura spinalis anterior dan membentuk lemniskus spinalis batang otak.
Serabut aferen berjalan naik dan membentuk kontak sinaps dengan neuron
ventralis posterolateralis thalami (VRL) dan membentuk traktus
thalamokortikalis. Serabut aferen menghantarkan impulsnya di korteks
somatosensorik di girus postsentralis. 7

4. Traktus spinocerebelaris posterior


Traktus spincerebelaris posterior menghantarkan impuls melaui mekanisme gerak,
dan nyeri. Serabut aferen membentuk kontak sinaps dengang DREZ di ganglion.
Serbaut aferen masuk ke kornu posterior menuju medulla spinalis, di medulla
spinalis, serabut aferen membentu kontak sinaps dengan neuron motorik α.
Serabut aferen berjalan ipsilateral melalui posterior funikulus lateral. Serabut
aferen naik melalui sereblaris inferior menuju vermis cerebella. 7

5. Traktus spinosereblaris anterior


Traktus spinserebelaris anterior bersinaps dengan neuron serabut aferen di DREZ
dan masuk kornu posterior. Serabut ini bersinaps di neuron funikularis di kornu
posterior disertai penambahan sentral substansia nigra. Kelumpuhan yang
mungkin terjadi di finaliest di ipsilateral dan kontralateral. Serabut aferen

4
menyilang di dasar ventrikel ke empat menuju otak tengah dan berjalan ke
posterior. Serabut menuju pedunkulus serebeli posterior velum meduale superior
dan berkahir di vermis cerebeli.7

2.2 Definisi Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf, yang


disebabkan oleh diabetes mellitus. Bila menderita diabetes lama, maka dapat
terjadi kerusakan pada saraf diseluruh badan. Ada pada beberapa orang yang
mengalami kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala. Ada juga yang merasakan
nyeri, kesemutan atau baal pada tangan, kaki, telapak tangan dan kaki. Juga bisa
terjadi gangguan pada sistem organ, termasuk traktus digestivus, jantung dan
organ seks. Nyeri neuropatik dapat terjadi karena disfungsi neuronal sistem
somatosensorik dari saraf perifer.8

Sekitar 60-70% penderita diabetes menderita neuropati. Resiko meningkat


berhubungan dengan umur dan resiko tertinggi terjadinya neuropati yaitu pada
penderita yang telah menderita diabetes lebih dari 25 tahun.8

2.2 Etiologi Neuropati Diabetik

Penyebab neuropati diabetik mungkin berbeda untuk setiap klasifikasinya. Para


peneliti sedang mempelajari bagaimana hiperglikemi yang terlalu lama
menyebabkan kerusakan saraf. Kerusakan saraf terjadi mungkin karena kombinasi
dari faktor-faktor:8

 1. Faktor metabolik, seperti hiperglikemi, lama menderita diabetes, kadar lemak
darah yang

abnormal, dan kemungkinan rendahnya kadar insulin.

2. Faktor neurovascular, menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang


membawa oksigen dan

nutrisi ke saraf.

3. Faktor autoimun, yang menyebabkan peradangan pada saraf.

4. Cedera mekanik pada saraf, seperti carpal tunnel syndrome.

5
5. Genetik, yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit saraf.

6. Faktor gaya hidup, seperti merokok atau penggunaan alcohol

2.3 Klasifikasi Neuropati Diabetik

Menurut NIDDK, neuropati diabetik dibagi menjadi:8

1. Neuropati Perifer

Neuropati perifer, disebut juga neuropati simetris distal atau sensorimotor


neuropati, kerusakan saraf di lengan dan kaki. Telapak kaki dan tungkai
cenderung akan terpengaruh sebelum tangan dan lengan. Banyak orang
dengan diabetes memiliki tanda-tanda neuropati yang dokter bisa diketahui
tetapi tidak merasakan gejala itu sendiri.

2. Neuropati otonom

Neuropati otonom mempengaruhi saraf yang mengendalikan jantung,


mengatur tekanan darah, dan kontrol kadar glukosa darah. Neuropati otonom
juga mempengaruhi organ-organ internal lainnya, menyebabkan masalah
dengan pencernaan, fungsi pernapasan, buang air kecil, respon seksual, dan
visi. Selain itu, sistem yang mengembalikan kadar glukosa darah normal
setelah episode hipoglikemik mungkin akan terpengaruh, mengakibatkan
hilangnya gejala peringatan hipoglikemia.

3. Neuropati Proksimal

Neuropati proksimal, kadang-kadang disebut pleksus lumbosakral neuropati,


neuropati femoral, atau amyotrophy diabetes, dimulai dengan rasa sakit di paha,
pinggul, bokong, atau kaki, biasanya pada satu sisi tubuh. Jenis neuropati lebih
sering terjadi pada orang-orang dengan diabetes tipe 2 dan pada lansia
dengan diabetes. Neuropati proksimal menyebabkan kelemahan pada kaki dan
ketidakmampuan untuk pergi dari posisi duduk ke posisi berdiri tanpa
bantuan. Pengobatan untuk kelemahan atau nyeri biasanya diperlukan.
Panjang periode pemulihan bervariasi, tergantung pada jenis kerusakan saraf.

6
4. Neuropati Fokal

Neuropati fokal muncul tiba-tiba dan mempengaruhi saraf tertentu,


paling sering di kepala, badan, atau kaki. Neuropati Focal menyakitkan dan
tak terduga dan terjadi paling sering pada lansia dengan diabetes. Namun, ia
cenderung membaik dengan sendirinya selama beberapa minggu atau bulan
dan tidak menyebabkan kerusakan jangka panjang.

2.4 Patofisiologi Neuropati Diabetik

Terdapat beberapa teori yang menjelskan bagaimana patofisiologi


terjadinya neuropati pada pasien diabetes, seperti teori vaskular 9, metabolik,
proses proinflamasi dan teori lainnya yang akan dijelaskan sebagai berikut.10,11

Teori vaskular (iskemik-hipoksia)

Pada pasien neuropati diabetik terjadi penurunan aliran darah ke


endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat
hiperglikemia. Sebuah penelitian mengemukakan biopsi pada nervus suralis yang
dilakukan pada pasien neuropati diabetik ditemukan adanya penebalan pembuluh
darah, agregasi platelet, hiperplasia endotelial dan pembuluh darah yang semunya
dapat menyebabkan iskemia. Keadaan iskemia inilah yang menyebabkan
terganggunya transpor aksonal, aktivitas Na+ /K+ ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson.

Teori Metabolik

Teori ini menerangkan adanya gangguan metabolik akibat dari


hiperglikemia dan atau defisiensi insulin pada satu atau lebih komponen seluler
pada saraf yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktural.
Gangguan ini akan menyebabkan kerusakan jaringan saraf dan mengakibatkan
defisit neurologi.

a. Teori jalur poliol

Pada keadaan normoglikemia, sebagian besar glukosa intrasel di fosforilasi ke


glukosa 6 fosfat oleh heksokinase, hanya sebagian kecil glukosa masuk jalur

7
poliol. Namun pada kondisi hiperglikemia, glukosa akan masuk jalur poliol
karena heksokinase jenuh. Terdapat perbedaan utama ekspresi enzim pada jalur
poliol di epineurial arteri dan jaringan endoneurial. Aldosa reduktase banyak
diekspresikan baik di jaringan endoneurial maupun di arteri epineurial sedangkan
SDH (sorbitol dehydrogenase) sedikit diekspresikan di endoneurial tapi banyak di
arteri epineuron. Aldosa reduktase merubah glukosa menjadi sorbitol, yang
menyebabkan penurunan glutathion dan NO akibat penggunaan NADPH. Sorbitol
yang meningkat dalam sel, meningkatkan osmolit dalam sel. Sebagai kompensasi
untuk keseimbangan osmolit, mioinositol menjadi berkurang yang menyebabkan
fosfatidilinositol menurun, yang akan menekan produksi DAG (Diacylglycerol)
dan akhirnya menurunkan PKC (bentuk α). Sebagai hasil akhir akan menurunkan
aktivitas Na+ /K+ ATPase. Menurunnya glutathion dan NO juga meningkatkan
kepekaan sel terhadap proses stres oksidatif. Sebaliknya, jalur poliol yang diatur
oleh SDH diaktifkan di dinding vaskular pada keadaan hiperglikemia. Akibatnya
terjadi perubahan reaksi redok dari NAD/NADH, yang mengkonversi
glyceraldehid 3-phosphate (Glycer-3) menjadi asam fosfatidil. Peningkatan DAG
meningkatkan aktivitas PKC (bentuk β ).

Pada keadaan iskemik/reperfusi, peranan aldosa reduktase seperti gambar dibawah


ini. Saat sel mengalami iskemia, pengambilan glukosa diperkuat sebagai
kompensasi pengurangan energi . Karena terjadi kerusakan mitokondria untuk
membentuk ATP akibat penurunan oksigen. Kelebihan glukosa akan masuk ke
jalur sorbitol dan asam fosfatidil. Aktivasi aldosa reduktase ini akan mengurangi

8
glutasion dan deviasi redok sebagai akibat hiperglikemia . Sebagai akibatnya
terjadi cedera radikal bebas dan perangsangan PKC yang memperburuk cedera
iskemik . Saat reperfusi mulai terjadi penumpukan aldehid dari radikal bebas dan
juga substrat aldosa reduktase yang memperkuat kerusakan.

b. Teori Advance Glycation End Products (AGEs)

Peningkatan glukosa intraseluler meningkatkan pembentukan AGE, melalui


glikosilasi non enzimatik protein seluler. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan
hasil interkasi glukosa dengan asam amino protein. Pada awalnya glikosilasi ini
bersifat reversibel, tapi lama-kelamaan akan bersifat irreversibel. Pada jaringan
saraf, seperti sel Schwann, serat saraf dan sel endotel dari vasa nervosum,
semuanya mengekspresikan RAGE. Ketika AGE berikatan dengan RAGE,
terbentuk reaksi stres oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase. Komplek ik-β-
Nuclear Factor akan berpisah pada masing-masing fraksi ikβα dan NFkβ
kemudian bertranslokasi ke nukleus sebagai faktor transkripsi untuk mengaktivasi
gen yang berhubungan dengan kematian sel atau kehidupan. Sebagai akibatnya
terjadi mikroangiopati dan disfungsi saraf yang menyebabkan nyeri atau
perlambatan konduksi saraf.

9
c. Jalur Protein
Kinase C

Peranan Protein Kinase C (PKC) sangat penting dalam fungsi saraf dan
memegang peranan penting dalam patogenesis neuropati. Perubahan dalam
jaringan saraf dan peranannya dalam sistem vaskular endoneurial sangat komplek.
Sebagai enzim mayor dalam jalur kolateral glikosilasi sangat berbeda pada kedua
jaringan tersebut. Aktivasi jalur PKC pada ND diperkirakan melalui pengaruhnya
pada aliran pembuluh darah dan gangguan mikrovaskular dibandingkan pengaruh
secara langsung pada sel. PKC mempunyai beberapa struktur khas yang
memperantarai reaksi redok. Prooksidan bereaksi dengan bagian stimulasi
aktivitas PKC. Aktivasi PKC pada sel non neuron terutama disebabkan jalur
lipolisis dan pembentukan DAG.

Sekali teraktivasi, PKC mengaktifkan Mithogen Activated Protein Kinase


(MAPK) yang merupakan faktor transkripsi fosforilasi dan mempengaruhi
keseimbangan ekspresi gen. Aktivitas PKC berefek terhadap :

1. Produksi molekul proangiogenik Vascular Endothelial Growth Factor


(VEGF) yang berimplikasi terhadap neovaskularisasi dan karakteristik
komplikasi diabetes.
2. Peningkatan aktivitas vasokontriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas
vasodilator endotelhelial nitric oksida sinthase (eNOS).

10
3. Produksi molekul fibrinogenik serupa Tumor Growth Factor- β (TGF-β)
yang akan memicu deposisi matrik ekstraselular dan material membran
basal.
4. Produksi molekul prokoagulan plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1),
memicu penurunan fibrinolisis dan kemungkinan terjadi oklusi vaskuler.
5. Produksi sitokine proinflamasi oleh sel endotel vaskuler.

Proses Pronflamasi

Jaringan saraf pada diabetes juga mengalami reaksi proinflamasi yang


menimbulkan gejala dan memperkuat perkembangan ND. Jaringan saraf pada
diabetes baik pada manusia maupun binatang mempunyai makrofag dan limfosit
yang melepaskan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α) dan Interleukin (IL).
Penghambatan pelepasan sitokin atau migrasi makrofag dihubungkan dengan
perbaikan kecepatan hantar saraf. Reaksi proinflamasi sendiri merangsang
hiperaktivitas jalur poliol dan peningkatan pembentukan AGE. Kadar TNF-α
dalam plasma telah dibuktikan sebagai faktor risiko terpenting dan paling
konsisten terhadap kejadian nyeri neuropati diabetik.

Peranan Faktor Selular dan Tropik

Kekurangan neutrophin memegang peranan penting dalam patogenesis


NDP. Produksi Neutrophin Growth Factor (NGF) tertekan pada kulit serta
penggantian NGF memperbaiki proses patologi small fiber dan otonom pada
binatang yang menderita diabetes. Penggunaan NGF secara klinis masih belum
sukses dalam perbaikan neuropati. Saat hal ini, faktor seluler yang berasal dari
sumsum tulang ditemukan memproduksi chemeric cell pada saraf binatang yang
merusak saraf dan beberapa faktor sel lain juga diperkirakan berpengaruh.

Peranan radikal bebas

Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara


penyokong pembentukan radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang
mengakibatkan suatu kerusakan. Proses pembentukan oksidan secara alamiah
diantaranya adalah transpor elektron mitokondria, oksidatif beberapa

11
neurotransmiter seperti norepinefrin dan dopamin, fase awal selama kondisi
hipoksia dan iskemia dapat mengakibatkan pembentukan oksidan yang
selanjutnya dapat merusak jaringan.

Beberapa radikal bebas dibentuk tubuh untuk fungsi yang spesifik.


Terdapat 3 radikal bebas dari ROS yang penting bagi proses fisiologi normal yaitu
superoksida, hidrogen peroksida, dan nitrit oksida. Radikal bebas ini membentuk
oksigen tunggal reaktif, radikal hidroksil dan peroksinitrit yang dapat merusak
protein, lipid dan DNA. Kerusakan ini dapat menurunkan aktivitas biologi sel,
hilangnya metabolisme energi, sinyal sel, transporasi dan beberapa fungsi utama
sel. Kumpulan dari kerusakan tersebut dapat menyebabkan kematian sel melalui
mekanisme nekrosis dan apoptosis. Stres oksidatif dapat dilacak terutama melalui
pembentukan superoksida dan nitrit oksida.

Hiperglikemia kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan yang


cendrung menyebabkan pasien DM mengalami komplikasi. Mekanisme yang
mendasari stres oksidatif pada hiperglikemia kronis dan perkembangan dari
neuropati telah diperiksa pada model binatang. Pada NDP bukan saja terjadi
kerusakan neuron tetapi kemampuan untuk beregenerasi juga terganggu,
khususnya pada small caliber fiber. Mekanisme yang mengawali hilangnya
regenerasi sel saraf termasuk kerusakan kerja insulin, hilangnya sistem growth
factor dan penurunan bentuk spesifik dari PKC. Sel Schwann penting dalam
proses regenerasi neuron juga mengalami kerusakan pada DM akibat
hiperglikemia, hipoksia dan stres oksidatif. Terdapat bukti single-nucleotida
polymorphism genes dari superoksida dismutase mitokondria (SOD2) dan
superoksida dismutase ekstraseluler (SOD3) berisiko meningkatkan
perkembangan neuropati. Pemberian antioksidan pada percobaan tikus yang
mengalami diabetes menunjukkan perbaikan penurunan KHS, perbaikan aliran
darah dan struktur saraf.

Bersamaan dengan pembentukan radikal bebas selama proses glikolisis,


mitokondria mempunyai peranan penting dalam kematian sel melalui aktivasi
sinyal sel spesifik dan sistem endonuklease. Hiperglikemia menginduksi

12
perubahan mitokondria termasuk pelepasan sitokrom C, aktivasi caspase 3,
perubahan biogenesis dan fisiion yang menyebabkan program kematian sel.
Hiperglikemia menyebabkan transpor elektron yang berlebihan dan menghasilkan
oksidan yang banyak pada mitokondria. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
mitokondrial action potential (MAP) dan energi untuk pembentukan ATP
berkurang. Dukungan neutropik juga mengalami gangguan akibat perubahan
mitokondria yang menyebakan berkurangnya neutrophin-3 dan nerve growth
factor (NGF). Organel sel yang lain seperti apparatus golgi dan retikulum
endoplasma juga berperanan dalam pembentukan radikal bebas, bukan saja
melalui apoptosis tetapi juga kematian akibat autofagi. Stres nitrooksidatif
bersama aktivasi PARP juga menyebabkan disfungsi dan kematian sel akibat
hiperglikemia.

Hiperglikemia yang lama menyebabkan hiperaktivitas kaskade metabolik


dari jalur poliol, reaksi AGE/reseptor dan peningkatan ROS. Semua proses
tersebut mengganggu pembuluh darah mikrovaskuler dan jaringan saraf melalui
aktivasi PARP, perubahan PKC, peningkatan MAPK, demikian juga peningkatan
Nuclear Factor-kB (NF-kB), yang menyebabkan perubahan fungsi dan struktur
saraf perifer. Penyimpangan metabolik saraf perifer merangsang reaksi
proinflamasi dengan peningkatan pelepasan sitokin, migrasi makrofag, menekan

13
neurotropin yang merangsang perkembangan kearah neuropati. Sebagai tambahan
iskemia/reperfusi juga merangsang sel saraf termasuk reaksi inflamasi. Faktor lain
termasuk hipertensi, merokok, resistensi insulin juga berperanan dalam
perkembangan neuropati.

2.5
Manifestasi Klinis11

Berdasarkan anamnesa :
a.Sensorik : rasa baal, rasa panas, rasa terbakar, rasa 
  kesemutan, rasa kesetrum, Alodonia.
b.Keluhan motorik : tungkai / lengan kurang kuat, sering jatuh,
  sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi, sulit buka toples
  dll.
c.Keluhan otonom :    
- gangguan berkeringat
- gangguan/disfungsi seksual : gangguan ereksi, sulit orgasme
- diarrhea
- sulit adaptasi dalam gelap dan terang
- keluhan hipotensi ortostatik

14
2.6 Diagnosis

Dugaan adanya neuropati diabetikum sering hanya berdasarkan hasil


anamnesis tentang gejala dan tanda klinis. Namun sebenarnya perlu pemeriksaan
lebih lanjut, terutama pada masing-masing jenis neuropati diabetikum, baik
neuropati diabetikum sensorik, motorik, atau otonom.

Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical


sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling
sering terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif
dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang
berkembang kearah proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek
sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan
pemeriksaan fisik12.

Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap :

1. Refleks motorik

2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes
rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filament
mono Semmes-Weinstein)

3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu

4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi

Bentuk lain ND yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom


(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN)

 Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan :

a. Tes respons denyut jantung dengan maneuver valsava

b. Variasi denyut jantung (interval RR) selama nafas dalam (denyut


jantung maksimum – minimum)

15
 Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan :

a. Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)

b. Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium

Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c pada
diabetes tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.8

b. Pemeriksaan Imaging
 CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk menyingkirkan lesi
kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati
lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.
 MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi kompresi dan
infark pada kelumpuhan n.okulomotorius
c. Elektromiografi (EMG)

KHS motorik dimonitor dengan amplitude dari CMAP (Componed


Muscle Action Potensials) atau diukur kecepatan hantar saraf motoriknya.
Kelainan hantar saraf menggambarkan kehilangan serabut saraf yang bermielin
yang berdiameter besar dan biasanya tungkai lebih sering terkena dibandingkan
lengan. Hal ini mencerminkan degenerasi serabut saraf berdiameter besar, yang
tergantung dari panjangnya saraf.8

KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan
nilai rata-rata normal

Kelainan pada kecepatan hantar sensorimotorik dapat ditemukan pada


pasien diabetes, walaupun secara klinis belum ada gejala polineuropati distal
simetris. Abnormalitas kecepatan hantar saraf umumnya ditemukan di saraf
sensorik (N.suralis, N.peroneus dan N.medianus)8

EMG menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal elektris


yang ditransmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan

16
KHS. Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas bawah
menunjukkan adanya denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp waves) dan
fibrilasi (spontaneous discharges). Perubahan re-inervasi seperti unit potensial
yang mempunyai amplitude tinggi, duration yang panjang mencerminkan
adanya suatu gangguan yang kronis. Kelainan pada otot-otot paraspinal dengan
pemeriksaan dengan jarum menunjukkan spontaneous discharges, yang
ditemukan secara bilateral dan menunjukkan suatu poliradikulopati.13

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Kontrol glikemik

Langkah pertama dalam pengobatan neuropati diabetik adalah menurunkan gula


darah ke kadar normal untuk mencegah terjadinya kerusakan saraf lebih lanjut;
karena itu diperlukan monitoring gula darah, pengaturan diet, latihan atau
olahraga dan anti diabetika oral atau insulin untuk mengontrol gula darah.
Perubahan gula darah yang fluktuatif dianggap dapat memperburuk dan
menyebabkan nyeri neuropati sehingga stabilitas nilai kontrol glikemik lebih
penting untuk menghilangkan nyeri neuropati diabetik. Kontrol glikemik yang
ketat dapat menurunkan resiko neuropati sebesar 60% dalam waktu 5 tahun pada
penelitian Diabetes Control and Complication Trial.

2.8.2 Terapi simptomatik

a. Polineuropati diabetik

Nyeri merupakan manifestasi dini neuropati diabetik dan sering


mendahului diagnosis diabetes. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa
hampir sepertiga pasien dengan gangguan toleransi glukosa (pre-diabetes)
mencari pertolongan medis karena sindrom nyeri yang identik dengan
polineuropati diabetik. Polineuropati diabetik merupakan gejala persisten pada
penelitian epidemiologi pasien dengan DM tipe 2 tetapi jarang pada diabetes tipe
1. Kurangnya pengertian patogenesis kelainan ini menyebabkan terbatasnya
perkembangan terapi mekanisme spesifik. Termasuk didalamnya penggunaan
antikonvulsan, antidepresan, agen topikal dan opioid.

17
Gambar . Mekanisme kerja anti nyeri neuropati

 Antidepresan

- Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik

Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik dianggap sebagai pengobatan first line


nyeri neuropati. Antidepresan mengontrol nyeri dan gejala akibat nyeri seperti
insomnia dan depresi. Kerja terapeutik agen ini adalah melalui inhibisi reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Max dan kawan-
kawan, amitriptilin (150 mg/hari) lebih superior dibandingkan plasebo dalam
mengurangi polineuropati diabetik setelah pengobatan selama 6 minggu. Tetapi
amitriptilin berhubungan dengan efek samping signifikan termasuk mulut kering,
sedasi dan penglihatan kabur.

Desipramine lebih baik ditoleransi dan sama efektifnya dalam mengobati


polineuropati diabetik. Uji klinis acak untuk imipramin menyatakan bahwa dosis
50 mg dan 75 mg per hari secara signifikan memperbaiki polineuropati diabetik
Clomipramide juga menghilangkan gejala polineuropati diabetik. Penggunaan
antidepresan terbatas karena efek sampingnya.

Secara keseluruhan amino sekunder (nortriptilin, desipramin) lebih baik


ditoleransi dibandingkan amino tersier (amitriptilin, imipramin). Antidepresan
trisiklik tidak ditoleransi dengan baik pada pasien tua. Dosis antidepresan trisiklik

18
awalnya 10 hingga 25 mg, dititrasi hingga 100 atau 150 mg dosis tunggal. Efek
analgesiknya memerlukan beberapa minggu untuk menimbulkan dampak
sehingga membatasi penggunaannya untuk nyeri akut.

- Inhibitor reuptake serotonin selektif dan inhibitor reuptake serotonin-


norepinefrin

Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) merupakan antidepresan paling baru


dalam menggantikan antidepresan trisiklik untuk pengobatan depresi karena
ditoleransi lebih baik. Kebalikan dengan antidepresan trisiklik, efek SSRI sangat
terbatas dalam pengobatan polineuropati diabetik. Dosis fluoexetine 40 mg/hari
dan citalopram 40 mg/hari.

Tramadol merupakan agonis lemah μ-reseptor yang menghambat reuptake


serotonin. Pada penelitian didapatkan bahwa tramadol 200-400 mg/hari secara
signifikan mengurangi polineuropati diabetik dibandingkan plasebo. Mual,
konstipasi, sakit kepala dan dispepsia merupakan efek samping yang paling
sering. Selain itu, kombinasi tramadol/asetaminofen (37.5/325 mg) 1-2 tablet
empat kali sehari efektif dalam memperbaiki polineuropati diabetik.

Inhibitor reuptake serotonin norepinephrine (SNRI) mempunyai efikasi


lebih besar dalam pengobatan polineuropati diabetik dibandingkan SSRI.
Duloxetine telah disetujui FDA dalam mengobati polineuropati diabetik
berdasarkan tiga uji klinis plasebo-kontrol acak yang besar. Dari penelitian
tersebut duloxetine 60 mg dan 120 mg perhari memberikan hasil signifikan dalam
pengobatan polineuropati diabetik. Dosis lebih tinggi memberikan hasil lebih baik
tetapi dengan efek samping yang lebih besar. Secara umum, duloxetine lebih baik
ditoleransi dalam hal efek samping jantung dan gastrointestinal dibandingkan
SNRI lainnya. Venlafaxine 150-225 mg/hari mengurangi polineuropati diabetik
tetapi dengan efek samping terhadap jantung seperti peningkatan resiko perubahan
elektrokardiografi.

 Antikonvulsan

19
Antikonvulsan mengontrol eksibilitas neuronal dengan penghambatan saluran
natrium dan/atau kalsium. Secara luas obat ini digunakan untuk mencegah kejang
tetapi dapat juga digunakan dalam pengobatan nyeri neuropati. Fenitoin dan
karbamazepin secara primer memblok voltage gated sodium channel. Dengan
dosis antara 200 dan 600 mg/hari, keduanya dapat mengurangi polineuropati
diabetik dibandingkan plasebo.

Sodium valproat meningkatkan kadar GABA pada susunan saraf pusat,


menghambat saluran T T-type calsium dan meningkatkan masuknya potasium.
Efek samping yang ada seperti kerontokan rambut, pertambahan berat badan,
hepatotoksisitas dan disfungsi kognitif dalam penggunaan jangka panjang
membatasi penggunaannya walaupun dosis 500 mg/hari dapat menurunkan nyeri
polineuropati diabetik. Lamotrigine merupakan antikonvulsan baru yang memblok
voltage gated sodium channel, menurunkan arus kalsium presinaptik untuk
menghambat pelepasan glutamat dan penurunan kadar GABA dalam otak.

Topiramate mempunyai beberapa aksi seperti pemblokan activity-dependent


voltage gated sodium channel; menghambat L-type voltage gated calcium
channel dan memblok reseptor kainite/α-amino-3-hydorxxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA) excitatory amino acid receptor. Topiramate ≤
400 mg/hari biasanya ditoleransi baik dan secara signifikan mengurangi
polineuropati diabetik pada 1 dari 6 pasien.Oxcarbazepine merupakan keto-analog
karbamazepine yang memblok sodium channel. Oxcarbazepine mempunyai profil
efek samping yang baik dan ditoleransi dengan baik.

 Calcium channel α2-δ ligan

Gabapentin digunakan secara luas untuk nyeri neuropati karena efektivitasnya dan
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antidepresan trisiklik dan
antikonvulsan lainnya. Gabapentin menghasilkan efek analgesia dengan terikat
pada α2-δ L-type voltage gated calcium channel dan menurunkan influks kalsium.
Gabapentin ≤400mg lebih efektif dalam mengobati polineuropati diabetik
dibandingkan amitriptilin (≤ 90 mg/hari). Gabapentin dapat ditoleransi dengan
baik pada titrasi lambat. Efek samping gabapentin termasuk dizziness, ataksia,

20
sedasi, euforia, edema ankle dan pertambahan berat badan. Biasanya dibutuhkan
titrasi berminggu-minggu untuk mencapai dosis maksimal yang efektif hingga 3
g/hari.

Pregabalin juga bekerja dengan mengikat subunit α2-δ calcium channel. Pada
empat penelitian uji klinis plasebo kontrol acak, pregabalin (300-600 mg/hari)
secara signifikan lebih efektif dalam meringankan polineuropati diabetik
dibandingkan plasebo. Tidak seperti gabapentin, pregabalin memiliki absorpsi
gastrointestinal yang lebih baik dan dapat diberikan dua kali perhari. Efek
farmakokinetik linearnya menyebabkan onset maksimal hilangnya nyeri yang
cepat. Tetapi efek sampingnya sama dengan gabapentin. Diantara efek samping
tersebut, pertambahan berat badan perlu diperhatikan pada pasien DM tipe 2.

 Metixiline

Metixline merupakan anti-aritmia dan telah digunakan untuk mengobati berbagai


macam nyeri neuropati termasuk polineuropati diabetik. Beberapa uji klinis
plasebo kontrol acak telah dilakukan tetapi tidak satupun penelitian menunjukkan
pengurangan skor nyeri lebih dari 50%. Tetapi pasien dengan keluhan nyeri yang
menusuk dan membakar dan sensasi panas dapat dikurangi dengan terapi
metixiline.

 Opioid

Oxycodon lepas lambat 20mg/hari mengurangi polineuropati diabetik pada


periode 6 minggu. Walaupun opioid efektif terhadap polineuropati diabetik,
penggunaan jangka panjang akan mempunyai efek samping termasuk konstipasi,
retensio urin, gangguan fungsi kognitif, gangguan fungsi imun dan masalah yang
berhubungan dengan toleransi dan adiksi. Baru-baru ini penelitian menggunakan
kombinasi terapi opioid dan gabapentin membuktikan bahwa ada efek
pengurangan nyeri. Kombinasi obat lebih efektif dalam mengurangi nyeri
dibandingkan obat tunggal.

 Non-steroidal anti inflamatory drug (NSAID)

21
NSAID merupakan kelompok pengobatan yang menghambat siklooksigenase
dan mencegah pembentukan prostaglandin. Biasanya NSAID tidak
direkomendasikan untuk pengobatan polineuropati diabetik akibat efeknya
terhadap fungsi gastrointestinal, ginjal dan jantung. Resiko overdosis juga tinggi
pada pasien nyeri kronik. Pada penelitian kecil didapatkan ibuprofen 2400
mg/hari dan sulindac 400 mg/hari secara signifikan mengurangi skor parestesia
polineuropati diabetik pada 24 minggu.

 N-methyl D-aspartate receptor antagonist.

Dua antagonis reseptor NDMA, dekstrometrofan dan mematine telah diuji


pada polineuropati diabetik. Dekstrometrofan mempunyai efek penurunan
polineuropati diabetik signifikan yang tergantung pada dosis. Walaupun begitu
inhibitor NMDA mempunyai efek samping termasuk sedasi, mulut kering dan
distres gastrointestinal.

 Agen topikal

Capsaicin merupakan ekstrak dari capsicum. Capsaicin terikat pada reseptor


TRPV1 dan memakai substansi P pada saraf perifer untuk mendapatkan efek
analgesiknya. Pada penelitian oleh Capsaicin Study Group, 0.075 krim capsaicin
dioleskan tiga kali sehari selama 6 minggu lebih efektif dalam mengurangi
polineuropati diabetik dibandingkan plasebo. Rasa terbakar merupakan efek
samping paling sering yang cenderung menurun jika terapi diteruskan. Efek
terapeutik capsaicin dimulai mingguan setelah pemakaian krim. Baru-baru ini
patch yang mengandung capsaicin dosis tinggi menunjukkan efek menjanjikan
dalam pengobatan nyeri diabetik.

Karena gangguan pembentukan NO menyebabkan penurunan aliran darah terlibat


dalam polineuropati diabetik, penelitian kecil menggunakan isosorbid dinitrat
dilakukan. Pada 12 minggu penelitian crossover, double-blind, placebo controlled
dengan 22 pasien didapatkan semprotan isosorbid dinitrat secara signifikan
mengurangi polineuropati diabetik. Pasien dalam percobaan ini melaporkan nyeri

22
kepala ringan dan dibutuhkan penelitian lebih besar untuk mengevaluasi efek
potensial pengobatan ini dalam polineuropati diabetik.

Patch lidokain topikal 5% dilaporkan pada beberapa penelitian mengurangi nyeri


polineuropati diabetik. Pada penelitian open label hingga empat patch lidokain 5%
diberikan hingga 18 jam/hari dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan
nyeri diabetik polineuropati. Patch lidokain secara signifikan memperbaiki nyeri
dan angka kualitas hidup.

b. Neuropati diabetik otonom

Seperti didiskusikan sebelumnya, langkah pertama dalam pengobatan semua


bentuk neuropati diabetik adalah kontrol glikemik. Gejala neuropati diabetik
otonom mungkin bermanifestasi pada berbagai organ sehingga pengobatan
simptomatik ditujukan untuk organ dan sistem tubuh yang terkena.

Hipotensi ortostatik sangat sulit untuk untuk ditatalaksana karena tekanan darah
berdiri akan meningkat tanpa menyebabkan hipertensi ketika pasien berbaring.
Pilihan pengobatan hipotensi ortostatik dicantumkan pada tabel di bawah.

Obat Golongan Dosis Efek Samping

HIPOTENSI ORTOSTATIK

9α Mineralocorticoid 0.5-2 mg/hari Gagal jantung


Fluorohydrocortisone kongestif,hipertensi

Clonidine α2-Adrenergic agonist 0.1-0.5 mg (malam) Hipotensi, sedasi, mulut


kering

Octreotide Analog Somatostatin 0.1-0.5 μg/kg/hari Nyeri tempat suntikan,


diare

GASTROPARESIS

Metoclopromide D2-Receptor antagonist 10 mg 30-60 mnt sebelum Galactorrhea,


makan dan tidur extrapiramidal

Domperidon D2-Receptor antagonist 10-20 mg 30-60 menit Galactorrhea


sblm makan dan tidur

23
Obat Golongan Dosis Efek Samping

Erythromycin Motilin receptor agonist 250 mg 30 menit sebelum Kram perut, mual, diare,
makan rash

Levosulfide D2-Receptor antagonist 25 mg tid Galactorrhea

DIARE DIABETIK

Metranidazole Antibiotik spektrum luas 250 mg tid, minimal 3 Hipotensi ortostatik


minggu

Clonidine α2-Adrenergic agonist 0.1 mg bid atau tid Megakolon toksik

Cholestyramine Bile acid sequestrant 4 γ 1-6 kali/hari Malabsorpsi nutrien


(dosis tinggi)

Loperamide Opiate-receptor agonists 2 mg qid  

Octreotide Analog somatostatin 50 μg tid  

CYSTOPATHY

Bethanechol Acetylcholine receptor 10 mg, 4 kali/hari  


agonist

Doxazosin α1-Adrenergic antagonist 1-2 mg, 2-3 kali/hari Hipotensi, sakit kepala,
palpitasi

DISFUNGSI EREKSI

Sildenafil GMP type-5 50 mg sebelum aktivitas Hipotensi dan kejadian


phosphodiesterase seksual, sekali sehari kardiak fatal, sakit
inhibitor kepala, flushing, kongesti
hidung, dispepsia, nyeri
otot, pandangan kabur.

Pengobatan non-farmakologis merupakan pendekatan awal. Untuk meningkatkan


venous return kaos kaki suportif harus digunakan selama seharian dan dilepaskan
saat tidur. Pasien juga dinasehati untuk menghindari mandi air panas, bangkit dari
tidur atau berdiri dengan lambat dan tidur dengan kepala ditinggikan.

24
Mineralikortikoid seperti fludrokortison bersama dengan suplemen garam
meningkatkan volume plasma tetapi tidak efektif karena meningkatkan resiko
gagal jantung kongestif dan hipertensi. Agonis

adrenergik campuran seperti efedrin, agonis adrenergik α-1 seperti midodrine dan
agonis adrenergik α-2 yaitu clonidine ditemukan efektif pada beberapa pasien
tetapi penting untuk memulai dengan dosis rendah dan titrasi untuk
meminimalkan berbagai macam gejala berhubungan dengan penggunaannya.
Analog somastostatin yaitu octreotide membantu pasien yang mengalami
hipotensi ortostatik refrakter setelah makan.

Gejala gastrointestinal juga menyertai neuropati otonom diabetik, diantaranya


adalah gastroparesis. Gastroparesis harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kontrol glukosa yang tidak pasti. Tabel 2 menunjukkan pengobatan gastroparesis.

Kontrol glukosa darah yang baik penting dalam memperbaiki fungsi motorik
lambung. Makan dengan porsi kecil dan sering direkomendasikan, penderita harus
membatasi makanan berlemak dan menghindari diet serat berlebihan. Jejunostomi
dapat dilakukan pada kasus gastroparesis yang berat, agar perut “beristirahat”
hingga fungsinya membaik

Diare diabetik juga sering ditemukan yang bersifat intermiten. Langkah pertama
dalam mengobati diare diabetik adalah menyingkirkan penyebab penyerta yang
dapat diobati. Diare diakibatkan oleh obat (terapi metformin atau acarbose) dan
intoleransi laktose harus dipertimbangkan..

Terapi Farmakologis Neuropati Otonom Diabetik

Pengobatan harus dimulai dengan kontrol glikemik yang baik. Antibiotika


spektrum luas seperti metronidazol dapat digunakan untuk mengobati diare yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Klonidine memperbaiki
diare dengan menekan aktivitas berlebihan adrenergik. Kolestiramin digunakan
untuk mengikat garam empedu jika uji nafas hidrogen normal dan pasien gagal
diobati dengan antiobiotika. Loperamide dapat digunakan untuk mengurangi
jumlah feses tetapi harus digunakan dengan hati-hati karena resiko megakolon

25
toksik. Diare yang resisten terhadap pendekatan di atas mungkin respon terhadap
octreotide.

Pengobatan kandung kemih neurogenik harus dimulai dengan berkemih terjadwal,


kadang bersamaan dengan tekanan manual pada kandung kemih untuk memulai
urinasi (Crede’ manuver). Agen parasimpatomimetik, bethanecol (10 mg,QID)
dapat membantu dan relaksasi sfingter didapatkan juga dengan antagonis
adrenergik α-1, doxazosin (1-2 mg, BID atau TID). Kateterisasi sangat berguna
dan dapat mengurangi resiko infeksi saluran kemih. Biasanya kateterisasi kronis
atau pembedahan transuretral leher kandung kemih mungkin diperlukan.

Disfungsi ereksi merupakan gejala awal diabetes dan petanda berkembangnya


penyakit vaskuler generalisata. Pengobatan disfungsi ereksi harus dimulai dengan
optimalisasi kontrol glukosa dan mengurangi alkohol serta tembakau.
Fosfodiesterase inhibitor saat ini sudah tersedia dengan farmakokinetik dan profil
efek samping aman dalam mengobati disfungsi ereksi. Sildenafil (50 mg, 60 menit
sebelum aktivitas seksual) atau tadalafil (5 hingga 20 mg, 60 menit sebelum
aktivitas seksual) efektif dalam mengobati disfungsi ereksi. Pengobatan
dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat nitrogliserin atau obat yang
mengandung nitrat. Injeksi prostasiklin ke dalam corpus kavernosum dan prostesa
implan penis juga sudah tersedia.

2.8.3 Terapi kausal

Terapi yang dibahas sebelumnya terbukti dapat mencegah atau memperlambat


neuropati diabetik (kontrol glikemia) atau menghilangkan efeknya (terapi
simptomatik). Seperti telah diketahui pendekatan yang terbukti dalam mengobati
penyebab neuropati diabetik adalah kontrol glikemik, farmakologis dan
neutraceutical yang bertujuan menekan patogenesis neuropati diabetik seperti
dibahas berikut ini. Terapi potensial ini berusaha untuk mengurangi
penyimpangan biokimia yang menginduksi kerusakan saraf.

 Inhibitor aldose reduktase

26
Inhibitor aldose reduktase telah lama menjadi target utama dalam pengobatan
neuropati diabetik akibat keberhasilannya dalam mengurangi pembentukan
katarak dikarenakan stres osmotik akibat akumulasi poliol pada lensa diabetik.
Lebih jauh inhibitor aldose reduktase berhasil dalam pencegahan dan menekan
kerusakan saraf pada model hewan pengerat. Sejumlah inhibitor aldose reduktase
telah memasuki pasaran, kebanyakan terapi ini secara efektif menurunkan kadar
poliol saraf, tetapi hasilnya tidak selalu diterjemahkan sebagai perbaikan gejala
neuropati diabetik.

- Sorbinil

Sorbinil merupakan prototip inhibitor aldose reduktase dikembangkan pada tahun


1981 dalam pengobatan neuropati diabetik. Walaupun berhasil menurunkan dan
mencegah defisit NCV pada model hewan pengerat, sorbinil gagal menunjukkan
keberhasilan pada manusia. Bagaimanapun sorbinil berhasil membuka jalan untuk
terapi inhibitor aldose reduktase di masa depan.

- Ponalrestat

Ponalrestat merupakan asam karbosilat yang secara efektif menurunkan kadar


sorbitol saraf in vitro dan pada tikus, tetapi gagal terbukti pada saraf diabetik
manusia. Ponalrestat terikat pada 99% plasma protein (peningkatan 10 kali lipat
pada tikus) dan kebanyakan asam yang tidak terikat diionisasi pada pH seluler.
Ion ini lambat menyeberangi membran plasma sehingga menghilangkan
efektivitas ponalrestat.

- Zopolrestat

Zopolrestat merupakan analog asam karbosilat ponalrestat yang tergantung pada


dosis dalam menurunkan sorbitol saraf tikus diabetik dan kadar fruktosa. Pada
penelitian manusia, zopolrestat kadar rendah (250-500 mg) menurunkan kadar
saraf sorbitol, tetapi tidak mempunyai efek terhadap kadar fruktosa atau
pengurangan gejala dan menunjukkan sedikit perbaikan NCV. Zopolrestat kadar
tinggi (1000 mg) secara signifikan lebih efektif meningkatkan NCV tetapi
berhubungan dengan insiden kenaikan enzim liver lebih tinggi.

27
- Zenarestat

Zenarestat merupakan inhibitor aldose reduktase yang bersifat asam karbosilat


juga menunjukkan ketergantungan dosis untuk perbaikan kecepatan hantar saraf.
Perkembangannya dihentikan akibat insiden tinggi peningkatan kadar kreatinin
serum.

- As-3201

AS-3201 atau ranirestat merupakan spirosuccinimide yang ditemukan pada tahun


1998. Percobaan fase 2 menjanjikan dan menunjukkan sedikit efek samping serta
perbaikan defisit kecepatan hantar saraf dan gejala neuropati diabetik.Tetapi
kesimpulan fase 3 belum didapatkan karena penelitian masih berlangsung.
Pengembangan AS 3201 masih berlanjut, peneliti berharap bahwa penelitian
lanjutan dan peningkatan dosis ranirestat akan terbukti efek untuk pengobatan
neuropati diabetik di masa depan

- Epalrestat

Pada tahun 1992 epalrestat memasuki pasaran Jepang sebagai asam karbosilat
inhibitor aldose reduktase dengan efek samping minimum tetapi tanpa bukti nyata
efikasi yang dilatarbelakangi penelitian randomized, double blind placebo-
controlled. Dari tahun 1997-2003 penelitian di atas akhirnya dilakukan dan pada
peningkatan dosis (150 mg), epalrestat menghambat kerusakan saraf dan
mengurangi banyak gejala neuropati diabetik seperti kesemutan dan kram anggota
tubuh. Epalrestat sekarang merupakan terapi standar untuk neuropati diabetik di
Jepang.

 Myo-inositol

Myo-inositol secara alamiah merupakan messenger sekunder yang terlibat dalam


fungsi saraf. Deplesi myo-inositol berhubungan dengan penurunan fungsi Na-K-
ATPase dan penurunan kecepatan hantar saraf dan terlibat dalam tahap awal
patologi neuropati diabetik. Bukti menunjukkan bahwa suplemen myo-inositol
mungkin memperlambat progresi neuropati walaupun penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menilai efikasinya.

28
b. Jalur hexosamine

Seperti disebutkan di atas, aktivasi jalur hexosamine menghasilkan UDPGlcNAc


yang memodulasi transcription factor dan menginduksi kerusakan neurovaskuler.
Modulasi jalur hexosamine dapat mengalihkan metabolisme glikolisis jauh dari
jalur yang merusak berikutnya. Aksi kerja terapi ini menawarkan kemungkinan
untuk menganggu jalur kelainan metabolik.

 Benfotiamine

Benfotiamine merupakan analog larut lemak tiamin atau vitamin B1 yang


mengaktivasi transketolase, yaitu enzim yang mengubah fruktosa-6 fosfat menjadi
pentosa-5 fosfat. Penurunan input fruktosa 6-fosfat menurunkan fluks melalui
jalur hexosamine (sama seperti fluks melalui jalur advanced glycation end
product (AGE) dan diasilgliserol (DAG)-protein kinase C (PKC)). Peningkatan
fluks jauh dari jalur hexosamine dan masuk ke dalam jalur pentosa 5-fosfat
memberikan suatu keuntungan tambahan yaitu peningkatan kapasitas redoks.
Salah satu produk jalur pentosa fosfat adalah NADPH, reaktan utama dalam
pembentukan glutation antioksidan. Karena NADPH terdeplesi pada jalur poliol,
benfotiamine memegang kemungkinan spekulatif hilangnya efek jalur ini.
Benfotiamine berhasil menghambat jalur-jalur ini dan mencegah retinopati
diabetik pada model hewan. Pada manusia, benfotiamine menunjukkan perbaikan
nyeri akibat neuropati diabetik dan perbaikan kecepatan hantar. Benfotiamin saat
ini tersedia sebagai suplemen makanan di Amerika Serikat.

c. Jalur protein kinase C

 Ruboxistaurin

29
Ruboxistaurin merupakan inhibitor kompetitif PKC-β yang secara efektif
menangani banyak komplikasi diabetes dalam uji klinis. Terapi ini umumnya
berhasil dalam mengurangi progresi retinopati diabetik, vasodilatasi endotel pada
nefropati. Tetapi efek percobaan ruboxistaurin terhadap neuropati diabetik tidak
menunjukkan perbaikan pada neuropati diabetik. Ruboxistaurin saat ini belum
disetujui oleh FDA untuk digunakan.

d. Advanced glycation endproducts–reseptor advanced glycation endproducts–


jalur RAGE

Jelas sekali bahwa kontrol glikemik merupakan terapi utama dalam


menurunkan pembentukan AGE. Pencegahan aktivasi RAGE merupakan
alternatif terapeutik paling penting dalam neuropati diabetik. Dua pendekatan
paling mudah adalah mencegah pembentukan AGE atau memblok RAGE. Di
bawah ini akan dijelaskan beberapa terapi yang telah dinilai untuk kemampuan
menurunkan aktivitas aksis RAGE pada neuropati diabetik.

 Aspirin

Seperti dijelaskan sebelumnya, aspirin (asam asetilsalisilat-NSAID) banyak


digunakan walaupun penggunaan jangka panjang pada pasien diabetik harus
dipertimbangkan karena kemungkinan efek samping gastrointestinal. Pada pasien
diabetik dengan dosis tinggi aspirin, insiden retinopati menurun dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan aspirin, hal ini menunjukkan bahwa aspirin
mempunyai efek perlindungan terhadap glikasi. Aspirin mengurangi glikasi secara
potensial melalui asetilasi grup amino pada in vitro dan hewan percobaan.
Kemungkinan lain aspirin tidak secara langsung menganggu glikasi tetapi
menghambat glikosidasi dan pembentukan cross-link AGE. Selain efek analgesik
aspirin, penelitian-penelitian mengindikasikan penurunan resiko kejadian
kardiovaskuler pada pasien diabetik dengan dosis rendah aspirin.

 Aminoguanidine

30
Aminoguanidine (juga disebut pimagedine) merupakan senyawa nukleofilik
hidrazine dan obat potensial anti-glikasi. Awalnya dipikirkan bahwa
aminoguanidine mencegah pembentukan AGE melalui blok kelompok karbonil
pada produk Amadori walaupun saat ini dikenal bereaksi dengan kelompok
karbonil dari reduksi gula atau 3-DG. Aminoguanidine mengurangi nefropati,
retinopati dan neuropati pada beberapa penelitian hewan diabetik. Penelitian
pendahuluan pada pasien diabetik menunjukkan bahwa terapi aminoguanidine
selama 28 hari mengurangi hemoglobin-berasal dari AGEs (Hb-AGE) tetapi tidak
menganggu kadar produk Amadori. Selain hasil yang menjanjikan pada awalnya,
aminoguanidine tidak dapat digunakan untuk tujuan terapeutik. Tetapi penelitian
terhadap senyawa seperti aminoguanidine memberikan bukti keterlibatan AGE
dalam patogenesis komplikasi diabetik.

 Phenacylthiazolium bromida

Senyawa dari pembelahan cross-link AGE telah dijelaskan, membuka


kemungkinan pembalikan komplikasi diabetik. Senyawa tersebut termasuk N-
phenacylthiazolium bromide (PTB) yang dapat membelah cross-link melalui
mekanisme yang masih belum jelas. PTB telah digunakan membelah cross-link
AGE antara albumin dan kolagen in vitro dan penelitian terbaru pada tikus
diabetik juga menunjukkan bahwa PTB dapat mencegah atau membalik akumulasi
AGE pada pembuluh darah. Tetapi penelitian lain menemukan bahwa PTB dapat
mengurangi model cross-link AGE in vitro walaupun tidak mengurangi
pembentukan cross-link AGE in vivo. Apakah pemecahan cross-link AGE
berguna in vivo akan juga tergantung pada toksisitas jangka panjangnya. Akibat
alamiah PTB yang tidak stabil, analog seperti alagebrium klorida, juga dikenal
sebagai ALT-711 telah dikembangkan. Senyawa ini mempunyai efek renoproteksi
pada tikus diabetik. Penelitian pasien saat ini menemukan bahwa ALT-17
ditoleransi baik dan didapatkan perbaikan signifikan vaskuler pada manula
melalui penurunan tekanan darah dan peningkatan elastisitas vaskuler. Efek
terhadap komplikasi diabetes lainnya termasuk neuropati belum diketahui

 Blok terhadap Advanced Glycation Endproducts Receptor (RAGE).

31
Diketahui ada senyawa yang mampu memblok interaksi antara AGE dan RAGE.
RAGE dapat diblok dengan penggunaan soluble RAGE (sRAGE) yang merupakan
ekstraseluler ligan-binding domain RAGE atau oleh penggunaan antibodi yang
mampu bereaksi dengan RAGE. Penelitian oleh Schmidt dan kawan-kawan telah
melakukan berbagai penelitian pada model tikus diabetik menggunakan tikus
knockout RAGE dan tikus yang diobati dengan sRAGE atau anti-RAGE. Mereka
mendapatkan sRAGE topikal memperbaiki penyembuhan luka, sRAGE
menurunkan aterosklerosis pada tikus ApoE knockout. Blokade RAGE mencegah
tahap akhir diabetogenesis pada tikus diabetik non-obese dan mencegah defisit
sensoris.

e. Inhibitor poly(ADP-ribose) polimerase

PARP memperantarai disfungsi neuronal dan inflamasi sehingga inhibisi


PARP memberikan efek potensial dalam perbaikan dua jalur yang menyimpang
pada neuropati diabetik. Inhibitor PARP seperti 1,5 isoquinolinediol dan 3-
aminobenzamide berhasil memperbaiki disfungsi neuronal akibat PARP pada
tikus diabetik. Selain itu, nikotinamide (vitamin B3) menunjukkan bekerja sebagai
inhibitor PARP dan antioksidan pada hewan pengerat dalam memperbaiki
neuropati perifer diabetik dini. Nikotinamide merupakan terapeutik potensial
karena efek samping dan toksisitasnya yang terbatas.

f. Antioksidan

Pendekatan terapeutik paling logis adalah mencegah stres oksidatif melalui


pemberian antioksidan. Perlawanan antioksidan berasal dari enzim antioksidan
yang mengkatalisasi pelepasan molekul antioksidan ROS dengan mencegah
oksidasi molekul lainnya, biasanya karena antioksidan ini telah mengoksidasi
molekul yang mengikat transisi ion metal sehingga tidak mampu mengkatalisasi
pembentukan ROS pada sel.

 Vitamin E

32
Vitamin E merupakan senyawa larut lemak yang ada dalam 8 isoform dengan
berbagai aktivitas biologis. Kadar vitamin E darah dapat menurun pada stres
oksidatif yang memanjang dan individu yang tidak dapat mengabsorbsi lemak
makanan, diet rendah lemak atau defisiensi zinc. α-tocopherol merupakan isoform
paling aktif dan merupakan suplemen makanan yang paling banyak didapatkan.
Senyawa ini banyak diuji karena kemampuannya pada penyakit kronis yang
melibatkan stres oksidatif termasuk kanker dan komplikasi diabetes. Beberapa
penelitian kecil mengindikasikan bahwa intake tinggi vitamin E menurunkan
insiden kanker tertentu tetapi penelitian yang besar tidak mendukung penemuan
ini. Selain aksi antioksidan poten, vitamin E dapat meningkatkan sistem imun,
perbaikan DNA dan metabolisme.

 α-lipoic acid

Alpha lipoic acid disebut juga thioctic acid merupakan antioksidan yang tersedia
dalam pengobatan neuropati diabetik. Obat ini merupakan scavanger ROS,
meregenerasi antioksidan lainnya dan mengikat ion metal. Beberapa penelitian uji
klinis teracak menunjukkan bahwa pemberian infus intravena α-lipoic acid (600
mg setiap hari, 5 hari/minggu selama 3 minggu) secara signifikan memperbaiki
gejala sensoris neuropati diabetik atau Neuropathic Impairment Score. Pada
penelitian kecil lainnya mengenai α-lipoic acid oral (800 mg, QD) kecenderungan
perbaikan dalam pengukuran neuropati otonom kardiak dilaporkan. Pada
penelitian open-label terbaru dengan pemberian intravena selama 10 hari diikuti
pemberian oral selama 50 hari, α-lipoic acid didapatkan memperbaiki beberapa
manifestasi neuropati otonom. Hasil penelitian Neurological Assessment of
Thioctic Acid in Neuropathy (NATHAN) I menyimpulkan bahwa α-lipoic acid
dapat ditoleransi dalam jangka panjang dengan memperbaiki beberapa defisit dan
gejala neurologis tetapi tidak memperbaiki konduksi saraf pada neuropati diabetik
ringan dan sedang.

g. Terapi target penyakit vaskuler- Angiotensin receptor blocker dan


angiotensin-converting enzyme inhibitors.

33
Beberapa obat banyak digunakan dalam kontrol tekanan darah, penyakit
kardivaskuler dan nefropati pada DM tipe 2. Terapi first line keadaan di atas
adalah angiotensin-converting enzim inhibitor atau angiotensin receptor blocker.
Secara spesifik, pencegahan penyakit kardiovaskuler adalah mencegah komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pada penelitian eksperimental enalapril
menurunkan defisit neurologis termasuk aliran darah dan kecepatan konduksi
saraf motorik. Perindropril mencegah kehilangan photo-receptor, sebuah indikator
neuropati. Pada uji klinis kecil, trandolapril memberikan perbaikan signifikan
pada neuropati perifer. Pasien neuropati otonom diabetik jangka panjang
mengalami perbaikan dengan pemberian quinapril dan atau losartan.

h. Faktor neurotrofik

Kerusakan sistem saraf perifer pada diabetes merupakan akibat hiperglikemia dan
hilangnya dukungan neurotrofik yang secara normal dilakukan oleh insulin.
Hipotesis ini didukung oleh laporan kadar ekspresi abnormal growth factor pada
diabetes. Eksplorasi terhadap penggunaan nerve growth factors, insulin, insulin
like-growth factors dan faktor neurotrofik lainnya dilakukan dalam pengobatan
neuropati diabetik.

Reseptor insulin ditemukan dalam sel Schwann, perisit, sel endotel dan neuron
khususnya neuron sensoris. Pemberian insulin pada spinal cord tikus streptozocin
memperbaiki kondisi pengukuran kecepatan hantar saraf dan pemberian dosis
rendah sistemik mampu menurunkan tanda distres mitokondria dalam neuron
sensoris.

Insulin-like growth factors (IGFs) I dan II memiliki efek yang besar terhadap
perkembangan sistem saraf dan kelangsungan hidupnya, diperantarai melalui
aktivasi reseptor IGF-I (IGF-IR). IGF dan IGF-IR diekspresikan selama
perkembangan dan sistem saraf dewasa. IGF dilaporkan menurun pada beberapa
model hewan diabetes walaupun mungkin bervariasi dan tergantung pada model,
tipe diabetes dan jaringan yang diamati. Sejumlah penelitian preklinis pada tikus
diabetik menyatakan terapi IGF sistemik atau intratekal dapat memperbaiki
neuropati.

34
Sistem neurotrofin penting dalam perkembangan dan pemeliharaan sistem saraf
tepi dan saraf pusat termasuk nerve growth factor (NGF), brain derived
neurotrophic factor (BDNF) dan neurotrophins (NT) 3-6. NGF tidak diperlukan
untuk kelangsungan hidup neuron sensoris pada saraf tepi dewasa tetapi NGF
mengatur pertumbuhan akson dan fenotip saraf sensoris. Penelitian preklinis NGF
pada tikus diabetik menunjukksn perbaikan dalam outcome sinyal sistem NGF.
Penelitian klinis belum mencapai fase 3 tetapi didapatkan bahwa molekul
aktivator kecil trkA berpotensi dalam pendekatan alternatif.

BDNF diekspresikan pada neuron perifer dan otot, reseptornya trkB, ditemukan
pada neuron motorik dan beberapa saraf sensoris. Transpor retrograde endogen
BNDF pada sel tubuh neuron terganggu pada tikus diabetik, hal ini menyatakan
ada masalah dengan suplai lokal BDNF pada terminal saraf perifer. BDNF
eksogen bersifat protektif terhadap serabut besar sensoris bermielin pada tikus
STZ tetapi tidak pada serabut kecil yang konsisten dengan distribusi ekspresi
trkB.

Penelitian klinis terapi eksogen NT-3 pada tikus diabetik memiliki hasil
bervariasi. Satu penelitian menemukan perbaikan dalam serabut besar sensoris
tetapi tidak pada serabut motorik. Penelitian lain menemukan efek terhadap
serabut besar sensoris dan motorik. NT-3 intratekal meningkatkan serabut
bermielin pada kulit tikus diabetik tetapi tanpa perbaikan fungsi.

Ciliary derived neurotrophic factor (CNTF) merupakan sitokin dengan sejumlah


kegunaan neurotrofik. CNTF hanya diekspresikan dalam sel Schwann sistem saraf
perifer dan kadar CNTF berkurang pada tikus diabetik. Defisiensi ini dapat
diperbaiki oleh terapi inhibitor aldose reduktase. CNTF eksogen sendiri
mempunyai keuntungan terapeutik dalam tikus diabetik seiring dengan
peningkatan kemampuan regeneratif. Penggunaan CNTF mempunyai efek
sistemik terutama pada otot.

2.8.4 Terapi Non-Farmakologis pada Nyeri Neuropati Diabetik

35
Karena tidak ada farmakoterapi yang memuaskan dalam terapi nyeri
diabetik, plihan pengobatan non-farmakologis harus dipertimbangkan.
Pembahasan sistematik terbaru menilai bukti uji klinis yang nyata dan meta-
analisis terapi komplementer dan alternatif dalam pengobatan nyeri neuropati dan
neuralgia. Pengobatan komplementer dan alternatif diidentifikasi sebagai
akupuntur, elektrostimulasi, obat herbal, magnet, suplemen makanan dan
penyembuhan spritual.

a. Dukungan psikologik

Komponen psikologik terhadap nyeri tidak boleh diremehkan. Oleh sebab itu
penjelasan bahwa nyeri yang berat juga dapat berkurang harus diberikan terutama
pada pasien dengan nyeri neuropati akut yang tidak terkontrol. Jadi pendekatan
empati terhadap kecemasan penderita dengan nyeri neuropati penting untuk
keberhasilan terapinya.

b. Akupuntur

Pada penelitian 10 minggu tidak terkontrol pada pasien diabetes dengan terapi
strandar, 77% menunjukkan kurangnya nyeri secara signifikan setelah akupuntur
tradisional Cina selama 6 sesi tanpa adanya efek samping. Pada periode follow-up
18-52 minggu, 67% berhasil mengurangi atau menghentikan pengobatan
medisnya dan hanya 24% yang memerlukan pengobatan lanjutan.

c. Stimulasi elektrik

 Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)

Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation mempengaruhi transmisi neuronal


aferen dan kecepatan konduksi, peningkatan ambang refleks fleksi nosiseptif dan
pengubahan potensial awal somatosensoris. Pada penelitian 4 minggu TENS
terhadap tungkai bawah, selama 30 menit sehari, hilangnya rasa nyeri tercatat
pada 83% pasien dibandingkan dengan 38% yang diobati secara pura-pura. Pada
pasien yang awalnya respon terhadap amitriptilin, berkurangnya rasa nyeri secara
signifikan lebih besar bila diikuti dengan TENS selama 12 minggu. Jadi TENS

36
dapat digunakan sebagai modalitas tambahan yang dikombinasikan dengan
farmakoterapi untuk memperkuat hilangnya rasa nyeri.

 Mid-frequency external muscle stimulation

Satu penelitian randomized controlled menunjukkan dampak lebih baik mid-


frequency external muscle stimulation dibandingkan TENS terhadap gejala
neuropati setelah 1 minggu tetapi penelitian yang lebih panjang belum ada.

 Frequency-modulated electromagnetic nerve stimulation

Frequency-modulated electromagnetic nerve stimulation yang dilakukan


sebanyak 10 sesi lebih dari 3 minggu menyebabkan berkurangnya nyeri secara
signifikan dibandingkan stimulasi plasebo. Penelitian multisenter skala besar saat
ini sedang berlangsung.

 Electrical spinal cord stimulation

Secara umum disetujui bahwa electrical spinal cord stimulation (ESCS) efektif
dalam pembentukan nyeri neurogenik. Percobaan mengindikasikan bahwa
stimulasi elektrik diikuti oleh penurunan asam amino glutamat dan aspartat pada
tanduk dorsal. Efek ini diperantarai oleh mekanisme GABAergik. Pada nyeri
neuropati diabetik yang tidak respon terhadap obat, ESCS dengan elektrode yang
diimplan antara T9 dan T11 menyebabkan pengurangan rasa nyeri sebesar > 50%
8 dari 10 pasien. Selain itu toleransi latihan akan mengalami perbaikan secara
signifikan juga. Komplikasi ESCS termasuk infeksi kuman superfisial pada dua
pasien, migrasi lead memerlukan reinsersi pada dua pasien dan late failure setelah
4 bulan pada pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi penghilang rasa
nyeri. Pilihan terapi invasif ini dilakukan jika pasien tidak respon terhadap obat
yang diberikan.

 Energi infrared monokromatik

Energi infrared monokromatik menunjukkan berkurangnya gejala dan tanda


neuropati pada penelitian tidak terkontrol pasien diabetes. Kebalikannya dua
penelitian terkontrol menunjukkan bahwa energi infrared monokromatik tidak

37
lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien polineuropati diabetik, hal tersebut
menekankan perlunya penelitian terkontrol untuk mendapatkan keputusan
pengobatan evidence-based.

d. Dekompresi bedah

Dekompresi bedah pada lokasi anatomis yang mengalami penyempitan


merupakan pengobatan altenatif untuk pasien dengan polineuropati diabetik
simptomatis. Literatur mengatakan bahwa hanya penelitian Kelas IV yang
menekankan kegunaan pendekatan terapeutik ini. Berdasarkan bukti yang ada,
pengobatan alternatif ini dianggap belum terbukti. Prospective randomized
controlled trial dengan definisi standar dan pengukuran outcome perlu untuk
menentukan nilai dari intervensi terapeutik

2.9 Prognosis

Tipe diabetes melitus yang diderita akan mempengaruhi prognosis neuropati


diabetikum. Pada diabetes melitus tipe 2 prognosis lebh baik dari pada tipe 1.
Kematian lebih tinggi terjadi pada orang dengan cardiovascular autonomic
neuropathy (CAN). Angka kematian keseluruhan selam periode 10 tahun adalah
27% pada pasien dengan DM dan terdeteksi CAN, dibandingkan dengan 5 %
yang bukan CAN.
Morbiditas disebabkan oleh ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah. Sakit parah,
pusing, diare, dan impotensi merupakan gejala umum yang menurunkan kualtas
hidup pasien DM. Pada pasien diabetes dengan neuropati perifer memiliki
prognosis yang baik, tetapi QOL ( quality of life) pasien berkurang.

BAB III

38
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Neuropati Diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan


prevalensi dan manifestasi klinis yang bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik,
vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanisme patogenesis neuropati
diabetik.

Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan neuropati diabetik pada
pasien DM, yang penting ialah diagnosis yang diikuti pengedalian glukosa darah
dan perawatan kaki. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat
simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme
yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan farmakologis termasuk
edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

39
1. Vinik AI., Park TS., Stansberry KB., dkk. Diabetic neuropathies, Diabetologia
2000;43;957-973
2. Jude EB., Boulton AJM. The Diabetic Foot. Dalam Diabetes Current Perspective.
Betteridge DJ (ed). Martin Dunitz Ltd, United Kingdom 2000;179-196
3. Tesfaye S, Chaturvedi N, Eaton SEM., dkk. Vaskular risk factors and diabetic
neuropathy. N Engl J Med 2005;352:341-350
4. Dubby JJ, Campbell RK., Setter SM, dkk. Diabetic neuropathy; an intensive
review, Am J Health-Syst Pharm 2004;61(2):160-176
5. Report and Reccomendation of the San Antonio Confrence on Diabetic
Neuropathy, Diabetes 1988;37;1000-1004
6. Lehtinen JM, Uusitupa M, Siitonen O., dkk. Prevlence of neuropathy in newly
diagnosed NIDDM and non diabetic control subjects. Diabetes 1989;38:1307-
1313
7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Ed 4. Jakarta: EGC.
hal 34-44

8. National Diabetes Information Clearinghouse. Diabetic Neuropathies: The Nerve


Damage of Diabetes. Diunduh dari
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/neuropathies/neuropathies.pdf, 9 Desember
2015

9. Tesfaye, S., Chaturvedi, N., Eaton, S.E., et al.Vascular Risk Factors and Diabetic
Neuropathy. N Engl J Med 2005; 352(4): 341-350
10. Darsana I. Korelasi positif kadar asam urat serum tinggi dengan neuropati diabetik
perifer pada penderita DM Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar. Universitas Udayana 2014. Available at:
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1186-350171514-tesis%20dr.
%20i%20nyoman%20darsana. Accessed on December, 9th 2015.
11. Yagihashi, S., Mizukami, H., Sugimoto, K. Mechanism of diabetic neuropathy:
Where are we now and where to go?. Journal of Diabetes Investigation 2011;
2(1): 1-13.

40
12. Meliala, L; Andradi, S; Purba, J.S; Anggraini, H: Nyeri Neuropati Diabetik
dalam: Penunun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik, Pokdi Nyeri. PERDOSSI,
2000.
13. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.1947-4

41

Anda mungkin juga menyukai