NEUROPATI DIABETIK
Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
i
HALAMAN PENGESAHAN
Bagian : Neurologi
Jakarta, 15 Desember
2015
Dosen Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan referat berjudul “Neuropati Diabetik”.
Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian kepanitraan klinik Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan referat ini tidak akan tercapai tanpa bantuan pihak-pihak yang telah
membantu kelancaran dalam penyusunan referat ini.
1. dr. Imam Suhada ,SpS selaku Koparnit serta Dosen Penguji yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu
dan pengetahuan.
2. Teman-teman dokter muda di Kepanitraan Klinik Neurologi RS TNI AL
Dr. Mintohardjo, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode 22
November – 26 Desember 2015.
Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan kedepannya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan referat
selanjutnya.
Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
ii
PENGESAHAN............................................................................................
KATA
iii
PENGANTAR........................................................................................................
................................................................................................................
DAFTAR ISI iv
...
PENDAHULUAN...........................................................................................
BAB I 1
..
1.1 LATAR
1
BELAKANG.................................................................................
TINJAUAN
BAB II 3
PUSTAKA....................................................................................
2.1 ANATOMI DAN
3
FISIOLOGI....................................................................
2.2
5
DEFINISI.....................................................................................................
2.3
6
KLASIFIKASI.............................................................................................
2.4
7
PATOFOSIOLOGI......................................................................................
2.5 MANIFESTASI
KLINIS ............................................................................ 14
2.6
DIAGNOSIS ............................................................................................... 15
2.7 PEMERIKSAAN
PENUNJANG ............................................................... 16
2.8
PENATALAKSANAAN ............................................................................ 17
2.8.1 KONTROL
GLIKEMIK ................................................................. 17
2.8.2 TERAPI
SIMPTOMATIK .............................................................. 17
2.8.3 TERAPI
KAUSAL ......................................................................... 26
2.8.4 TERAPI NON
FARMAKOLOGIS ................................................ 36
2.9
PROGNOSIS .............................................................................................. 38
PENUTUP.......................................................................................................
BAB III 39
...
DAFTAR 40
iv
PUSTAKA..........................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN
Hingga saat ini patogenesis neuropati diabetik belum seluruhnya diketahui dengan
jelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor
primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya neuropati diabetik, tetapi beberapa teori lain yang diterima adalah teori
vaskular, autoimun dan nerve growthfactor.3
Manifestasi neuropati diabetik bisa sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan
nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau
sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.4
1
sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar
glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati
simtomatis ditemukan pada 28,5% dari 6500 pasien DM. Pada studi Rochester,
walaupun neuropati simtomatis ditemukan hanya pada 13% pasien DM, ternyata
lebih dari setengahnya ditemukan neuropati dengan pemeriksaan klinis.2 Studi lain
melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien
DM baru. Sementara tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
System somatosensorik
1. Kolumna dorsalis
Jaras ini membawa impuls raba halus, proprioseptif, dan diskriminasi dua titik.
Impuls tersebut berasal dari reseptor di otot, tendon, fasia, kapsul sendi, dan
jaringan ikat (korpuskulus Vater-Pacini dan korpuskulus Golgi-Mazzoni), serta
reseptor kulit. Serabut somatosensorik bersinaps di DREZ dan masuk ke funikulus
posterior, serabut aferen yang berasal dari ekstremitas bawah menempati bagian
medial. Serabut aferen membentuk sinaps dengan neuron kedua yaitu nucleus
grasilis dan nucleus kuneatus. Selanjutnya serabut aferen berjalan melalui
fasikulus grasilis dan kuneatus melalui traktus bulbothalamikus. serabut
menyilang garis tengah dan menjadi lemniskus medialis. Serabut aferen berjalan
menuju medulla, pons, dan otak tengah. Selanjutnya serabut aferen bersinaps
dengan nucleus ventralis posterolateralis thalami (VPL) membentuk traktus
thalamokortikalis. Serabut traktus ini naik melalui kapsula interna menuju korona
radiate. Serabut aferen menghantarkan impuls ke korteks somatosensorik di girus
postsentralis. 7
3
aferen bersinaps dengan nucleus ventro posterolateralis thalami membentuk
traktus thalamokortikalis. Melalui traktus tersebut, ipuls dihantarkan melalui
kapsula interna dan korona radiate. Akhir serabut aferen akan membawa impuls
menuju korteks somatosensorik di girus postsentralis. 7
4
menyilang di dasar ventrikel ke empat menuju otak tengah dan berjalan ke
posterior. Serabut menuju pedunkulus serebeli posterior velum meduale superior
dan berkahir di vermis cerebeli.7
1. Faktor metabolik, seperti hiperglikemi, lama menderita diabetes, kadar lemak
darah yang
nutrisi ke saraf.
5
5. Genetik, yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit saraf.
1. Neuropati Perifer
2. Neuropati otonom
3. Neuropati Proksimal
6
4. Neuropati Fokal
Teori Metabolik
7
poliol. Namun pada kondisi hiperglikemia, glukosa akan masuk jalur poliol
karena heksokinase jenuh. Terdapat perbedaan utama ekspresi enzim pada jalur
poliol di epineurial arteri dan jaringan endoneurial. Aldosa reduktase banyak
diekspresikan baik di jaringan endoneurial maupun di arteri epineurial sedangkan
SDH (sorbitol dehydrogenase) sedikit diekspresikan di endoneurial tapi banyak di
arteri epineuron. Aldosa reduktase merubah glukosa menjadi sorbitol, yang
menyebabkan penurunan glutathion dan NO akibat penggunaan NADPH. Sorbitol
yang meningkat dalam sel, meningkatkan osmolit dalam sel. Sebagai kompensasi
untuk keseimbangan osmolit, mioinositol menjadi berkurang yang menyebabkan
fosfatidilinositol menurun, yang akan menekan produksi DAG (Diacylglycerol)
dan akhirnya menurunkan PKC (bentuk α). Sebagai hasil akhir akan menurunkan
aktivitas Na+ /K+ ATPase. Menurunnya glutathion dan NO juga meningkatkan
kepekaan sel terhadap proses stres oksidatif. Sebaliknya, jalur poliol yang diatur
oleh SDH diaktifkan di dinding vaskular pada keadaan hiperglikemia. Akibatnya
terjadi perubahan reaksi redok dari NAD/NADH, yang mengkonversi
glyceraldehid 3-phosphate (Glycer-3) menjadi asam fosfatidil. Peningkatan DAG
meningkatkan aktivitas PKC (bentuk β ).
8
glutasion dan deviasi redok sebagai akibat hiperglikemia . Sebagai akibatnya
terjadi cedera radikal bebas dan perangsangan PKC yang memperburuk cedera
iskemik . Saat reperfusi mulai terjadi penumpukan aldehid dari radikal bebas dan
juga substrat aldosa reduktase yang memperkuat kerusakan.
9
c. Jalur Protein
Kinase C
Peranan Protein Kinase C (PKC) sangat penting dalam fungsi saraf dan
memegang peranan penting dalam patogenesis neuropati. Perubahan dalam
jaringan saraf dan peranannya dalam sistem vaskular endoneurial sangat komplek.
Sebagai enzim mayor dalam jalur kolateral glikosilasi sangat berbeda pada kedua
jaringan tersebut. Aktivasi jalur PKC pada ND diperkirakan melalui pengaruhnya
pada aliran pembuluh darah dan gangguan mikrovaskular dibandingkan pengaruh
secara langsung pada sel. PKC mempunyai beberapa struktur khas yang
memperantarai reaksi redok. Prooksidan bereaksi dengan bagian stimulasi
aktivitas PKC. Aktivasi PKC pada sel non neuron terutama disebabkan jalur
lipolisis dan pembentukan DAG.
10
3. Produksi molekul fibrinogenik serupa Tumor Growth Factor- β (TGF-β)
yang akan memicu deposisi matrik ekstraselular dan material membran
basal.
4. Produksi molekul prokoagulan plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1),
memicu penurunan fibrinolisis dan kemungkinan terjadi oklusi vaskuler.
5. Produksi sitokine proinflamasi oleh sel endotel vaskuler.
Proses Pronflamasi
11
neurotransmiter seperti norepinefrin dan dopamin, fase awal selama kondisi
hipoksia dan iskemia dapat mengakibatkan pembentukan oksidan yang
selanjutnya dapat merusak jaringan.
12
perubahan mitokondria termasuk pelepasan sitokrom C, aktivasi caspase 3,
perubahan biogenesis dan fisiion yang menyebabkan program kematian sel.
Hiperglikemia menyebabkan transpor elektron yang berlebihan dan menghasilkan
oksidan yang banyak pada mitokondria. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
mitokondrial action potential (MAP) dan energi untuk pembentukan ATP
berkurang. Dukungan neutropik juga mengalami gangguan akibat perubahan
mitokondria yang menyebakan berkurangnya neutrophin-3 dan nerve growth
factor (NGF). Organel sel yang lain seperti apparatus golgi dan retikulum
endoplasma juga berperanan dalam pembentukan radikal bebas, bukan saja
melalui apoptosis tetapi juga kematian akibat autofagi. Stres nitrooksidatif
bersama aktivasi PARP juga menyebabkan disfungsi dan kematian sel akibat
hiperglikemia.
13
neurotropin yang merangsang perkembangan kearah neuropati. Sebagai tambahan
iskemia/reperfusi juga merangsang sel saraf termasuk reaksi inflamasi. Faktor lain
termasuk hipertensi, merokok, resistensi insulin juga berperanan dalam
perkembangan neuropati.
2.5
Manifestasi Klinis11
Berdasarkan anamnesa :
a.Sensorik : rasa baal, rasa panas, rasa terbakar, rasa
kesemutan, rasa kesetrum, Alodonia.
b.Keluhan motorik : tungkai / lengan kurang kuat, sering jatuh,
sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi, sulit buka toples
dll.
c.Keluhan otonom :
- gangguan berkeringat
- gangguan/disfungsi seksual : gangguan ereksi, sulit orgasme
- diarrhea
- sulit adaptasi dalam gelap dan terang
- keluhan hipotensi ortostatik
14
2.6 Diagnosis
1. Refleks motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes
rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filament
mono Semmes-Weinstein)
4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi
15
Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan :
Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c pada
diabetes tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.8
b. Pemeriksaan Imaging
CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk menyingkirkan lesi
kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati
lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.
MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi kompresi dan
infark pada kelumpuhan n.okulomotorius
c. Elektromiografi (EMG)
KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan
nilai rata-rata normal
16
KHS. Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas bawah
menunjukkan adanya denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp waves) dan
fibrilasi (spontaneous discharges). Perubahan re-inervasi seperti unit potensial
yang mempunyai amplitude tinggi, duration yang panjang mencerminkan
adanya suatu gangguan yang kronis. Kelainan pada otot-otot paraspinal dengan
pemeriksaan dengan jarum menunjukkan spontaneous discharges, yang
ditemukan secara bilateral dan menunjukkan suatu poliradikulopati.13
2.8 Penatalaksanaan
a. Polineuropati diabetik
17
Gambar . Mekanisme kerja anti nyeri neuropati
Antidepresan
18
awalnya 10 hingga 25 mg, dititrasi hingga 100 atau 150 mg dosis tunggal. Efek
analgesiknya memerlukan beberapa minggu untuk menimbulkan dampak
sehingga membatasi penggunaannya untuk nyeri akut.
Antikonvulsan
19
Antikonvulsan mengontrol eksibilitas neuronal dengan penghambatan saluran
natrium dan/atau kalsium. Secara luas obat ini digunakan untuk mencegah kejang
tetapi dapat juga digunakan dalam pengobatan nyeri neuropati. Fenitoin dan
karbamazepin secara primer memblok voltage gated sodium channel. Dengan
dosis antara 200 dan 600 mg/hari, keduanya dapat mengurangi polineuropati
diabetik dibandingkan plasebo.
Gabapentin digunakan secara luas untuk nyeri neuropati karena efektivitasnya dan
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antidepresan trisiklik dan
antikonvulsan lainnya. Gabapentin menghasilkan efek analgesia dengan terikat
pada α2-δ L-type voltage gated calcium channel dan menurunkan influks kalsium.
Gabapentin ≤400mg lebih efektif dalam mengobati polineuropati diabetik
dibandingkan amitriptilin (≤ 90 mg/hari). Gabapentin dapat ditoleransi dengan
baik pada titrasi lambat. Efek samping gabapentin termasuk dizziness, ataksia,
20
sedasi, euforia, edema ankle dan pertambahan berat badan. Biasanya dibutuhkan
titrasi berminggu-minggu untuk mencapai dosis maksimal yang efektif hingga 3
g/hari.
Pregabalin juga bekerja dengan mengikat subunit α2-δ calcium channel. Pada
empat penelitian uji klinis plasebo kontrol acak, pregabalin (300-600 mg/hari)
secara signifikan lebih efektif dalam meringankan polineuropati diabetik
dibandingkan plasebo. Tidak seperti gabapentin, pregabalin memiliki absorpsi
gastrointestinal yang lebih baik dan dapat diberikan dua kali perhari. Efek
farmakokinetik linearnya menyebabkan onset maksimal hilangnya nyeri yang
cepat. Tetapi efek sampingnya sama dengan gabapentin. Diantara efek samping
tersebut, pertambahan berat badan perlu diperhatikan pada pasien DM tipe 2.
Metixiline
Opioid
21
NSAID merupakan kelompok pengobatan yang menghambat siklooksigenase
dan mencegah pembentukan prostaglandin. Biasanya NSAID tidak
direkomendasikan untuk pengobatan polineuropati diabetik akibat efeknya
terhadap fungsi gastrointestinal, ginjal dan jantung. Resiko overdosis juga tinggi
pada pasien nyeri kronik. Pada penelitian kecil didapatkan ibuprofen 2400
mg/hari dan sulindac 400 mg/hari secara signifikan mengurangi skor parestesia
polineuropati diabetik pada 24 minggu.
Agen topikal
22
kepala ringan dan dibutuhkan penelitian lebih besar untuk mengevaluasi efek
potensial pengobatan ini dalam polineuropati diabetik.
Hipotensi ortostatik sangat sulit untuk untuk ditatalaksana karena tekanan darah
berdiri akan meningkat tanpa menyebabkan hipertensi ketika pasien berbaring.
Pilihan pengobatan hipotensi ortostatik dicantumkan pada tabel di bawah.
HIPOTENSI ORTOSTATIK
GASTROPARESIS
23
Obat Golongan Dosis Efek Samping
Erythromycin Motilin receptor agonist 250 mg 30 menit sebelum Kram perut, mual, diare,
makan rash
DIARE DIABETIK
CYSTOPATHY
Doxazosin α1-Adrenergic antagonist 1-2 mg, 2-3 kali/hari Hipotensi, sakit kepala,
palpitasi
DISFUNGSI EREKSI
24
Mineralikortikoid seperti fludrokortison bersama dengan suplemen garam
meningkatkan volume plasma tetapi tidak efektif karena meningkatkan resiko
gagal jantung kongestif dan hipertensi. Agonis
adrenergik campuran seperti efedrin, agonis adrenergik α-1 seperti midodrine dan
agonis adrenergik α-2 yaitu clonidine ditemukan efektif pada beberapa pasien
tetapi penting untuk memulai dengan dosis rendah dan titrasi untuk
meminimalkan berbagai macam gejala berhubungan dengan penggunaannya.
Analog somastostatin yaitu octreotide membantu pasien yang mengalami
hipotensi ortostatik refrakter setelah makan.
Kontrol glukosa darah yang baik penting dalam memperbaiki fungsi motorik
lambung. Makan dengan porsi kecil dan sering direkomendasikan, penderita harus
membatasi makanan berlemak dan menghindari diet serat berlebihan. Jejunostomi
dapat dilakukan pada kasus gastroparesis yang berat, agar perut “beristirahat”
hingga fungsinya membaik
Diare diabetik juga sering ditemukan yang bersifat intermiten. Langkah pertama
dalam mengobati diare diabetik adalah menyingkirkan penyebab penyerta yang
dapat diobati. Diare diakibatkan oleh obat (terapi metformin atau acarbose) dan
intoleransi laktose harus dipertimbangkan..
25
toksik. Diare yang resisten terhadap pendekatan di atas mungkin respon terhadap
octreotide.
26
Inhibitor aldose reduktase telah lama menjadi target utama dalam pengobatan
neuropati diabetik akibat keberhasilannya dalam mengurangi pembentukan
katarak dikarenakan stres osmotik akibat akumulasi poliol pada lensa diabetik.
Lebih jauh inhibitor aldose reduktase berhasil dalam pencegahan dan menekan
kerusakan saraf pada model hewan pengerat. Sejumlah inhibitor aldose reduktase
telah memasuki pasaran, kebanyakan terapi ini secara efektif menurunkan kadar
poliol saraf, tetapi hasilnya tidak selalu diterjemahkan sebagai perbaikan gejala
neuropati diabetik.
- Sorbinil
- Ponalrestat
- Zopolrestat
27
- Zenarestat
- As-3201
- Epalrestat
Pada tahun 1992 epalrestat memasuki pasaran Jepang sebagai asam karbosilat
inhibitor aldose reduktase dengan efek samping minimum tetapi tanpa bukti nyata
efikasi yang dilatarbelakangi penelitian randomized, double blind placebo-
controlled. Dari tahun 1997-2003 penelitian di atas akhirnya dilakukan dan pada
peningkatan dosis (150 mg), epalrestat menghambat kerusakan saraf dan
mengurangi banyak gejala neuropati diabetik seperti kesemutan dan kram anggota
tubuh. Epalrestat sekarang merupakan terapi standar untuk neuropati diabetik di
Jepang.
Myo-inositol
28
b. Jalur hexosamine
Benfotiamine
Ruboxistaurin
29
Ruboxistaurin merupakan inhibitor kompetitif PKC-β yang secara efektif
menangani banyak komplikasi diabetes dalam uji klinis. Terapi ini umumnya
berhasil dalam mengurangi progresi retinopati diabetik, vasodilatasi endotel pada
nefropati. Tetapi efek percobaan ruboxistaurin terhadap neuropati diabetik tidak
menunjukkan perbaikan pada neuropati diabetik. Ruboxistaurin saat ini belum
disetujui oleh FDA untuk digunakan.
Aspirin
Aminoguanidine
30
Aminoguanidine (juga disebut pimagedine) merupakan senyawa nukleofilik
hidrazine dan obat potensial anti-glikasi. Awalnya dipikirkan bahwa
aminoguanidine mencegah pembentukan AGE melalui blok kelompok karbonil
pada produk Amadori walaupun saat ini dikenal bereaksi dengan kelompok
karbonil dari reduksi gula atau 3-DG. Aminoguanidine mengurangi nefropati,
retinopati dan neuropati pada beberapa penelitian hewan diabetik. Penelitian
pendahuluan pada pasien diabetik menunjukkan bahwa terapi aminoguanidine
selama 28 hari mengurangi hemoglobin-berasal dari AGEs (Hb-AGE) tetapi tidak
menganggu kadar produk Amadori. Selain hasil yang menjanjikan pada awalnya,
aminoguanidine tidak dapat digunakan untuk tujuan terapeutik. Tetapi penelitian
terhadap senyawa seperti aminoguanidine memberikan bukti keterlibatan AGE
dalam patogenesis komplikasi diabetik.
Phenacylthiazolium bromida
31
Diketahui ada senyawa yang mampu memblok interaksi antara AGE dan RAGE.
RAGE dapat diblok dengan penggunaan soluble RAGE (sRAGE) yang merupakan
ekstraseluler ligan-binding domain RAGE atau oleh penggunaan antibodi yang
mampu bereaksi dengan RAGE. Penelitian oleh Schmidt dan kawan-kawan telah
melakukan berbagai penelitian pada model tikus diabetik menggunakan tikus
knockout RAGE dan tikus yang diobati dengan sRAGE atau anti-RAGE. Mereka
mendapatkan sRAGE topikal memperbaiki penyembuhan luka, sRAGE
menurunkan aterosklerosis pada tikus ApoE knockout. Blokade RAGE mencegah
tahap akhir diabetogenesis pada tikus diabetik non-obese dan mencegah defisit
sensoris.
f. Antioksidan
Vitamin E
32
Vitamin E merupakan senyawa larut lemak yang ada dalam 8 isoform dengan
berbagai aktivitas biologis. Kadar vitamin E darah dapat menurun pada stres
oksidatif yang memanjang dan individu yang tidak dapat mengabsorbsi lemak
makanan, diet rendah lemak atau defisiensi zinc. α-tocopherol merupakan isoform
paling aktif dan merupakan suplemen makanan yang paling banyak didapatkan.
Senyawa ini banyak diuji karena kemampuannya pada penyakit kronis yang
melibatkan stres oksidatif termasuk kanker dan komplikasi diabetes. Beberapa
penelitian kecil mengindikasikan bahwa intake tinggi vitamin E menurunkan
insiden kanker tertentu tetapi penelitian yang besar tidak mendukung penemuan
ini. Selain aksi antioksidan poten, vitamin E dapat meningkatkan sistem imun,
perbaikan DNA dan metabolisme.
α-lipoic acid
Alpha lipoic acid disebut juga thioctic acid merupakan antioksidan yang tersedia
dalam pengobatan neuropati diabetik. Obat ini merupakan scavanger ROS,
meregenerasi antioksidan lainnya dan mengikat ion metal. Beberapa penelitian uji
klinis teracak menunjukkan bahwa pemberian infus intravena α-lipoic acid (600
mg setiap hari, 5 hari/minggu selama 3 minggu) secara signifikan memperbaiki
gejala sensoris neuropati diabetik atau Neuropathic Impairment Score. Pada
penelitian kecil lainnya mengenai α-lipoic acid oral (800 mg, QD) kecenderungan
perbaikan dalam pengukuran neuropati otonom kardiak dilaporkan. Pada
penelitian open-label terbaru dengan pemberian intravena selama 10 hari diikuti
pemberian oral selama 50 hari, α-lipoic acid didapatkan memperbaiki beberapa
manifestasi neuropati otonom. Hasil penelitian Neurological Assessment of
Thioctic Acid in Neuropathy (NATHAN) I menyimpulkan bahwa α-lipoic acid
dapat ditoleransi dalam jangka panjang dengan memperbaiki beberapa defisit dan
gejala neurologis tetapi tidak memperbaiki konduksi saraf pada neuropati diabetik
ringan dan sedang.
33
Beberapa obat banyak digunakan dalam kontrol tekanan darah, penyakit
kardivaskuler dan nefropati pada DM tipe 2. Terapi first line keadaan di atas
adalah angiotensin-converting enzim inhibitor atau angiotensin receptor blocker.
Secara spesifik, pencegahan penyakit kardiovaskuler adalah mencegah komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pada penelitian eksperimental enalapril
menurunkan defisit neurologis termasuk aliran darah dan kecepatan konduksi
saraf motorik. Perindropril mencegah kehilangan photo-receptor, sebuah indikator
neuropati. Pada uji klinis kecil, trandolapril memberikan perbaikan signifikan
pada neuropati perifer. Pasien neuropati otonom diabetik jangka panjang
mengalami perbaikan dengan pemberian quinapril dan atau losartan.
h. Faktor neurotrofik
Kerusakan sistem saraf perifer pada diabetes merupakan akibat hiperglikemia dan
hilangnya dukungan neurotrofik yang secara normal dilakukan oleh insulin.
Hipotesis ini didukung oleh laporan kadar ekspresi abnormal growth factor pada
diabetes. Eksplorasi terhadap penggunaan nerve growth factors, insulin, insulin
like-growth factors dan faktor neurotrofik lainnya dilakukan dalam pengobatan
neuropati diabetik.
Reseptor insulin ditemukan dalam sel Schwann, perisit, sel endotel dan neuron
khususnya neuron sensoris. Pemberian insulin pada spinal cord tikus streptozocin
memperbaiki kondisi pengukuran kecepatan hantar saraf dan pemberian dosis
rendah sistemik mampu menurunkan tanda distres mitokondria dalam neuron
sensoris.
Insulin-like growth factors (IGFs) I dan II memiliki efek yang besar terhadap
perkembangan sistem saraf dan kelangsungan hidupnya, diperantarai melalui
aktivasi reseptor IGF-I (IGF-IR). IGF dan IGF-IR diekspresikan selama
perkembangan dan sistem saraf dewasa. IGF dilaporkan menurun pada beberapa
model hewan diabetes walaupun mungkin bervariasi dan tergantung pada model,
tipe diabetes dan jaringan yang diamati. Sejumlah penelitian preklinis pada tikus
diabetik menyatakan terapi IGF sistemik atau intratekal dapat memperbaiki
neuropati.
34
Sistem neurotrofin penting dalam perkembangan dan pemeliharaan sistem saraf
tepi dan saraf pusat termasuk nerve growth factor (NGF), brain derived
neurotrophic factor (BDNF) dan neurotrophins (NT) 3-6. NGF tidak diperlukan
untuk kelangsungan hidup neuron sensoris pada saraf tepi dewasa tetapi NGF
mengatur pertumbuhan akson dan fenotip saraf sensoris. Penelitian preklinis NGF
pada tikus diabetik menunjukksn perbaikan dalam outcome sinyal sistem NGF.
Penelitian klinis belum mencapai fase 3 tetapi didapatkan bahwa molekul
aktivator kecil trkA berpotensi dalam pendekatan alternatif.
BDNF diekspresikan pada neuron perifer dan otot, reseptornya trkB, ditemukan
pada neuron motorik dan beberapa saraf sensoris. Transpor retrograde endogen
BNDF pada sel tubuh neuron terganggu pada tikus diabetik, hal ini menyatakan
ada masalah dengan suplai lokal BDNF pada terminal saraf perifer. BDNF
eksogen bersifat protektif terhadap serabut besar sensoris bermielin pada tikus
STZ tetapi tidak pada serabut kecil yang konsisten dengan distribusi ekspresi
trkB.
Penelitian klinis terapi eksogen NT-3 pada tikus diabetik memiliki hasil
bervariasi. Satu penelitian menemukan perbaikan dalam serabut besar sensoris
tetapi tidak pada serabut motorik. Penelitian lain menemukan efek terhadap
serabut besar sensoris dan motorik. NT-3 intratekal meningkatkan serabut
bermielin pada kulit tikus diabetik tetapi tanpa perbaikan fungsi.
35
Karena tidak ada farmakoterapi yang memuaskan dalam terapi nyeri
diabetik, plihan pengobatan non-farmakologis harus dipertimbangkan.
Pembahasan sistematik terbaru menilai bukti uji klinis yang nyata dan meta-
analisis terapi komplementer dan alternatif dalam pengobatan nyeri neuropati dan
neuralgia. Pengobatan komplementer dan alternatif diidentifikasi sebagai
akupuntur, elektrostimulasi, obat herbal, magnet, suplemen makanan dan
penyembuhan spritual.
a. Dukungan psikologik
Komponen psikologik terhadap nyeri tidak boleh diremehkan. Oleh sebab itu
penjelasan bahwa nyeri yang berat juga dapat berkurang harus diberikan terutama
pada pasien dengan nyeri neuropati akut yang tidak terkontrol. Jadi pendekatan
empati terhadap kecemasan penderita dengan nyeri neuropati penting untuk
keberhasilan terapinya.
b. Akupuntur
Pada penelitian 10 minggu tidak terkontrol pada pasien diabetes dengan terapi
strandar, 77% menunjukkan kurangnya nyeri secara signifikan setelah akupuntur
tradisional Cina selama 6 sesi tanpa adanya efek samping. Pada periode follow-up
18-52 minggu, 67% berhasil mengurangi atau menghentikan pengobatan
medisnya dan hanya 24% yang memerlukan pengobatan lanjutan.
c. Stimulasi elektrik
36
dapat digunakan sebagai modalitas tambahan yang dikombinasikan dengan
farmakoterapi untuk memperkuat hilangnya rasa nyeri.
Secara umum disetujui bahwa electrical spinal cord stimulation (ESCS) efektif
dalam pembentukan nyeri neurogenik. Percobaan mengindikasikan bahwa
stimulasi elektrik diikuti oleh penurunan asam amino glutamat dan aspartat pada
tanduk dorsal. Efek ini diperantarai oleh mekanisme GABAergik. Pada nyeri
neuropati diabetik yang tidak respon terhadap obat, ESCS dengan elektrode yang
diimplan antara T9 dan T11 menyebabkan pengurangan rasa nyeri sebesar > 50%
8 dari 10 pasien. Selain itu toleransi latihan akan mengalami perbaikan secara
signifikan juga. Komplikasi ESCS termasuk infeksi kuman superfisial pada dua
pasien, migrasi lead memerlukan reinsersi pada dua pasien dan late failure setelah
4 bulan pada pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi penghilang rasa
nyeri. Pilihan terapi invasif ini dilakukan jika pasien tidak respon terhadap obat
yang diberikan.
37
lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien polineuropati diabetik, hal tersebut
menekankan perlunya penelitian terkontrol untuk mendapatkan keputusan
pengobatan evidence-based.
d. Dekompresi bedah
2.9 Prognosis
BAB III
38
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan neuropati diabetik pada
pasien DM, yang penting ialah diagnosis yang diikuti pengedalian glukosa darah
dan perawatan kaki. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat
simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme
yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan farmakologis termasuk
edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
39
1. Vinik AI., Park TS., Stansberry KB., dkk. Diabetic neuropathies, Diabetologia
2000;43;957-973
2. Jude EB., Boulton AJM. The Diabetic Foot. Dalam Diabetes Current Perspective.
Betteridge DJ (ed). Martin Dunitz Ltd, United Kingdom 2000;179-196
3. Tesfaye S, Chaturvedi N, Eaton SEM., dkk. Vaskular risk factors and diabetic
neuropathy. N Engl J Med 2005;352:341-350
4. Dubby JJ, Campbell RK., Setter SM, dkk. Diabetic neuropathy; an intensive
review, Am J Health-Syst Pharm 2004;61(2):160-176
5. Report and Reccomendation of the San Antonio Confrence on Diabetic
Neuropathy, Diabetes 1988;37;1000-1004
6. Lehtinen JM, Uusitupa M, Siitonen O., dkk. Prevlence of neuropathy in newly
diagnosed NIDDM and non diabetic control subjects. Diabetes 1989;38:1307-
1313
7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Ed 4. Jakarta: EGC.
hal 34-44
9. Tesfaye, S., Chaturvedi, N., Eaton, S.E., et al.Vascular Risk Factors and Diabetic
Neuropathy. N Engl J Med 2005; 352(4): 341-350
10. Darsana I. Korelasi positif kadar asam urat serum tinggi dengan neuropati diabetik
perifer pada penderita DM Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar. Universitas Udayana 2014. Available at:
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1186-350171514-tesis%20dr.
%20i%20nyoman%20darsana. Accessed on December, 9th 2015.
11. Yagihashi, S., Mizukami, H., Sugimoto, K. Mechanism of diabetic neuropathy:
Where are we now and where to go?. Journal of Diabetes Investigation 2011;
2(1): 1-13.
40
12. Meliala, L; Andradi, S; Purba, J.S; Anggraini, H: Nyeri Neuropati Diabetik
dalam: Penunun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik, Pokdi Nyeri. PERDOSSI,
2000.
13. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.1947-4
41