Anda di halaman 1dari 58

Laboratoriaum Kesehatan Anak Tutorial Klinik dan Refleksi

Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ACUTE KIDNEY INJURY

Disusun oleh
Mahlina Nur Laili
1810029012

Pembimbing
dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

1
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK DAN REFLEKSI KASUS

ACUTE KIDNEY INJURY

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :

Mahlina Nur Laili (1810029041)

Pembimbing

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Meningoensefalitis
dan Bronkopneumonia”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan
klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Pediatric Intensive
Care Unit.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Februari 2019

Penyusun

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk


membuang sampah metabolism dan racun tubuh dalam bentuk urin,
yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang
vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah. Dengan
mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal
ini karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi
kematian. 1,2

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat


diartikan sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi
filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan
konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi
BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat
konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan
adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.3
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal
ginjal akut (GGA) atau acute renal failure (ARF) merupakan salah satu
sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens. Insidens di negara berkembang,
khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien
AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada
komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens
AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat
terdiagnosis
.Beberapa laporan di dunia menunjukkan insidens yang bervariasi
antara 0,5- 0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di
rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan

1
intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh
4,5
dunia berkisar 25% hingga 80%.
AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa
perubahan kecil dalam fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius
dalam diagnosa akhir. Meskipun kemajuan dalam diagnosis dan staging
AKI dengan emergensi biomarker menginformasikan tentang
mekanisme dan jalur dari AKI, tetapi mekanisme AKI berkontribusi
terhadap peningkatan mortalitas dan morbiditas

1
pada pasien rawat inap masih belum jelas. Perkembangan deteksi dini dan
manajemen AKI telah ditingkatkan melalui pengembangan definisi universal dan
spektrum staging. Cedera AKI berubah dari bentuk kurang parah menjadi staging
severe injury. 6,7
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang
mendasari sangatlah penting pada pasien dengan AKI. AKI merupakan penyakit
life threatening disease, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta
keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien
dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan
sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat
membantu memperbaiki kualitas hidup penderita. 3

2
2
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai “acute kidney injury”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti
ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.
BAB 2
RESUME KASUS

2.1. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : An. DJ
Usia : 13 tahun 11 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kabupaten Paser
Pendidikan : Kelas 1 SMP
Anak ke- : Anak ke 4 dari 5 bersaudara

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. B Nama Ibu : Ny. W
Usia : 55 tahun Usia : 46 tahun
Pekerjaan : PNS Pekerjaan : IRT
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA

Tanggal MRS : 31 Januari 2019


Tanggal perawatan di PICU: 07 Februari 2019
Tanggal pemeriksaan : 12 Februari 2019

Keluhan Utama
Nyeri hebat didaerah perut dan pinggang yang sudah dirasakan
sekitar ½ bulan disertai keluhan kencing yang tidak bisa ditahan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri didaerah perut dan pinggang. kadang-kadang timbul yang
sudah dirasakan ½ bulan dan pasien juga sulit menahan kencing sehingga
kencingnya keluar terus. Sebelumnyap asien merasakan keluhan pertama
kali yaitu nyeri pinggang dan perut hebat disertai mual dan muntah pada
bulan Juli 2018. Selain itu pasien juga mengeluhkan jarang buang air
kecil, pasien hanya buang air kecil 1x/hari dan urinnya sedikit padahal
pasien mengaku jika minumnya perhari cukup banyak. Saat itu pasien
sempat di rawat di RS bengalon Kalsel dan saat di sana diapatkan hasil
pemeriksaan terdapat pembengkakan pada kedua ginjal pasien. Saat itu
keluarga pasien minta untuk dirujuk ke Samarinda. Pasien baru menjalani
pengabatan disamarinda pada bulan Agustus 2018. Saat itu pasien
didiagnosa Hidronefrosis ec UVJ stenosis D et S. dilakukan tindakan
pemasangan DJ stent di kedua ginjalnya. Sekitar seminggu setelah
pemasangan, DJ stent sebelah kanan lepas dan pasien kontrol kembali ke
AWS dan dilakukan pemasangan kembali pada bulan Oktober. Ibu pasien
mengatakan bahwa sekitar 1 setengah bulan setelah pemasangan DJ stent
kanan kembali keadaan anaknya cukup baik. Sampai pada pertengahan
bulan Desember gejala pasien mulai timbul lagi nyeri pinggang dan perut
hebat disertai keluarnya air kencing secara terus menerus sehingga pada
tangga 31 Desember ibunya memutuskan untuk kembali berobat ke RS
AWS.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang demam (+) saat usia 6 bulan
Riwayat operasi pemasangan DJ Stent 2x
Riwayat trauma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki gejalan serupa
Riwayat kejang (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat operasi (-)
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3200 kg
Panjang badan lahir : OT lupa
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara 2 suku kata : OT lupa
Gigi keluar : 7/8 bulan
ASI : sampai usia 1 tahun

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Praktek Bidan
Usia kehamilan : Aterm (9 bulan)
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Jenis partus : Spontan

Riwayat Imunisasi Dasar


Status imunisasi (BCG, polio, campak, DPT, dan hepatitis B) lengkap
2.2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
Berat badan : 63 kg
Tinggi badan : 152 cm
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 x/menit, regular
Suhu : 36,6 oC, aksiler

Regio Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB
(-), pernapasasan cuping hidung (-), faring hiperemis (-), mulut berselaput
putih (-)

Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
dekstra = sinistra, retraksi intercosta, suprasternal dan
supraklavikula (-)
Palpasi : Pergerakan nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara jantung S1
S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Perkusi : Distribusi timpani di keempat kuadran
Palpasi : Soefl, nyeri tekan empat kuadran (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-), pembesaran KGB inguinal (-), turgor kulit
< 2 detik
Regio Ekstremitas
Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), ruam/petekie (-)
Palpasi : Akral hangat, sianosis perifer (-), edema (-), spastik (+),
CRT <2 detik.

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Hematolog 01/02 02/0 06/02 07/02 08/02 10/02 12/02 Nilai


i 2

Leukosit 17.55 - 25.85 29.78 26.54 24.58 26.52 4.50-


14.50/u
L

Eritrosit 4.26 - 4.50 4.88 4.61 4.55 4.52 4.00-


5.20/uL

Hemoglobi 10.9 - 11.7 12.5 11.7 12.9 11.3 14.0-


n 18.0
g/dL

Hematokrit 31.7 - 32.7 35.7 33.5 35.0 33.4 35.0-


45.0%

Trombosit 521.00 - 503.00 582.00 509.00 187.00 415.00 150-


0 0 0 0 0 0 450/uL

Natrium - 133 - 129 129 132 - 135-155


mmol/L

Kalium - 4.9 - 5.3 5.5 4.7 - 3.6-5.5


mmol/L

Chloride - 103 - 96 97 98 - 98-108


mmol/L
Kimia 31/01/18 02/02 04/02 06/02 08/02 10/02 12/02 Nilai
Klinik Rujukan

Albumin - - 3.4 - - 19.3-49.2

Ureum 136 301.9 - 289.3 348.2 403.2 342.9 135-155

Kreatinin 2.1 3.3 - 3.7 5.2 6.3 5.2 0.5-1.1

Asam - - 17.6 - - - 2.4-5.7


Urat

AGD 01/02 7/02 08/02 Nilai Rujukan

12.09

pH 7.44 7.43 7.4 7.35-7.45

pCO2 17.40 14.20 12.80 35.00-45.00

pO2 113.30 150.60 183.20 83.00-108.00

SO2% 98.89 99.50 97.60 95.00-98.00

Hct 35 42 39 35.45

Hb 11.6 14 13.0 11.7-15.5

FiO2 20.9 20.9 28.0 -

HCO3 11.8 9.5 8.0 21.0-28.0

1
2.4 Diagnosis
Hideronefrosis berat ec UVJ stenosis D et S + AKI

2.5 Tatalaksana
Inf Nacl 0,9 %  Produksi urin + 500 cc
Injeksi Furosemid 3 x 1 amp
Spirolacton 1x1 25 mg
Inj Santagesic 1 amp bila nyeri
Cek DL, AGD, elektrolit, Ur, Cr, Asam urat, dan fosfat
Monitoring balance cairan tiap 6 jam
Monitoring diuresis dan diuresis tiap 6 jam

2.6 Follow up
Pasien masuk rawat inap melalui poli, untuk perawatan awal pasien di rawat
di Ruang Edellweis untuk perencanaan pemeriksaan renografi 4/02/2019.
Awalnya keadaan pasien cukup stabil saat berada di Edellweis, setelah renografi
pasien di rencanakan untuk tindakan oprasi PNS. Namun sampai dengan tanggal 7
keadaan pasien mulai menurun sampai kesadaran pasien mencapai delirium. Saat
itu pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga sempat dilakukan
pembatalan op. Sehingga pada tanggal 7 Februari 2019 pasien dipindahkan ke
R.PICU untuk perawatan intensif agar dapat di observasi lebih lanjut. Namun
pada tanggal 8 Februari 2019 pasien masih gelisah, somnolen, dan keadaan pasien
terus menurun dengan kadar Ureum 348,2 dan kreatinin: 5,2 sehingga dilakukan
tindakan operasi PNS CITO pada pukul 13.25. Setelah operasi pasien kembali ke
ruang PICU. Setelah operasi keaadaan pasien mulai membaik.

Tanggal Pemeriksaan Terapi


11/02/19 S: Nyeri luka op dan nyeri perut (+) P:
O: Kes: Komposmentis, GCS E4V5M5, Po: Nac/ambroxol 3x1 tab
BB: 63 kg, N: 112 x/mnt, RR: 16 x/mnt, PCT 3x1 mg
Suhu: 36.2 0C, TD : 100/70 mmHg Alupurinol 3x100 mg
Balance Cairan/24 jam: Spirolacton 1x25 mg
I: Cetrizine: 1x10 mg
O: Inj: Furosemid 3x1 amp

2
BC: Santagesik 3x1 amp
A: AKI post renal ec UVJ stenosis D et S + Ranitidin 2x1 amp
hidronefrosis D et S (post tindakan PNS D OMZ 2x40
et S hr-3) Ceftriaxone 2x1 gr
Kalnex 3x500 mg
Cairan: D5 ½ NS 500
cc/24 jam
Kebutuhan cairan 1200
cc/hr
Cek kultur urin dan darah
12/02/19 S: Nyeri luka op (+), nyeri perut (+), lecet P:
R. PICU pada bokong dan nyeri pada ostium uretra Po: Nac/ambroxol 3x1 tab
eksterna, terkadang mual, muntah (-), nyeri PCT 3x1 mg
pinggang (-) Alupurinol 3x100 mg
O: Kes: Komposmentis, GCS E4V5M5, Spirolacton 1x25 mg
BB: 63 kg, N: 112 x/mnt, RR: 16 x/mnt, Cetrizine: 1x10 mg
Suhu: 35 0C, TD : 100/72 mmHg Inj: Furosemid 3x1 amp
Balance Cairan/24 jam: Santagesik 3x1 amp
I: 1166 Ranitidin 2x1 amp
O: 3510 OMZ 2x40
BC: -2344 Ceftriaxone 2x1 gr
Kalnex 3x500 mg
A: AKI post renal ec UVJ stenosis D et S + Cairan: D5 ½ NS 500
hidronefrosis D et S (post tindakan PNS cc/24 jam
D et S hr-4) Kebutuhan cairan 1000
cc/hr
13/02/19 S: Nyeri perut dan luka op (+), nyeri OUE P:
R. PICU (+) Po: Nac/ambroxol 3x1 tab
O: Kes: komposmentis GCS E4V5M6, BB: PCT 3x1 mg
63 kg, N: 119 x/mnt, RR: 18 x/mnt, Alupurinol 3x100 mg
Suhu: 36 0C, SpO2 95%, TD : 113/66 Spirolacton 1x25 mg
mmHg Cetrizine: 1x10 mg
Balance Cairan/24 jam: Inj: Furosemid 3x1 amp

3
I: 1426 Santagesik 3x1 amp
O: 1235+600= 1835 Ranitidin 2x1 amp
BC: -409 OMZ 2x40
Levofloxacin 1x500mg
A: AKI post renal ec UVJ stenosis D et S + Kalnex 3x500 mg
hidronefrosis D et S (post tindakan PNS D Cairan: D5 ½ NS 500
et S hr-5) cc/24 jam
- Kebutuhan cairan
1300 cc/hr
- Diet Ginjal
14/02/2019 S: Nyeri perut dan luka op berkurang, nyeri P:
OUE (-) Po: Nac/ambroxol 3x1 tab
O: Kes: komposmentis GCS E4V5M6, BB: PCT 3x1 mg
63 kg, N: 127 x/mnt, RR: 35 x/mnt, Alupurinol 3x100 mg
Suhu: 36 0C, SpO2 97%, TD : 111/60 Spirolacton 1x25 mg
mmHg Cetrizine: 1x10 mg
Balance Cairan/24 jam: Inj: Furosemid 3x1 amp
I: 1426 Santagesik 3x1 amp
O: 1235+600= 1835 Ranitidin 2x1 amp
BC: -409 OMZ 2x40
Levofloxacin 1x500mg
A: AKI post renal ec UVJ stenosis D et S + Kalnex 3x500 mg
hidronefrosis D et S (post tindakan PNS D Cairan: D5 ½ NS 500
et S hr-6) cc/24 jam
- Kebutuhan cairan
1500 cc/hr
- Diet Ginjal
- Cek DL, Ur, Cr,
SE
- Hasil kultur urin
keluar +
klebsiela, +
ESBL

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1 Anatomi ginjal

Setiap manusia mempunyai dua ginjal yang terletak

retroperitoneal dalam rongga abdomen dan berat masing-masing ± 150

gram. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya

lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput

tipis yang disebut kapsula fibrosa. Korteks renalis terdapat di bagian luar

yang berwarna cokelat gelap dan medula renalis di bagian dalam

berwarna cokelat lebih terang. Bagian medula berbentuk kerucut disebut

pelvis renalis, yang akan terhubung dengan ureter sehingga urin yang

terbentuk dapat lewat menuju vesika urinaria. Terdapat kurang lebih satu

juta nefron yang merupakan unit fungsional ginjal dalam setiap ginjal.

Nefron terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung

Henle, tubulus kontortus distalis dan tubulus kolektivus. Glomerulus

merupakan unit kapiler yang disusun dari tubulus membentuk kapsula

Bowman. Setiap glomerulus mempunyai pembuluh darah arteriola

afferen yang membawa darah masuk glomerulus dan pembuluh darah

arteriola efferen yang membawa darah keluar glomerulus. Pembuluh

darah arteriola efferen bercabang menjadi kapiler peritubulus yang

mengalir pada tubulus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat

pembuluh kapiler, yaitu arteriola yang membawa darah dari dan menuju

6
glomerulus, serta kapiler peritubulus yang mengalir pada jaringan

ginjal.1

2.2Fisiologi ginjal
Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan
cairan tubuh dengan cara membuang sisa metabolisme dan menahan zat
– zat yang diperlukan oleh tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh
untuk menjaga hemeostatis. Homeostatis amat penting dijaga karena sel
– sel tubuh hanya bisa berfungsi pada keadaan cairan tertentu. Walaupun
begitu, ginjal tidak selalu bisa mengatur

7
keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal,
ginjal mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan
pembuangan racun. Hal ini tetap harus dilakukan walaupun tubuh berada
dalam kondisi dehidrasi berat.2

Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi :

 Mempertahankan keseimbangan kadar air (H2O) tubuh

 Mempertahankan keseimbangan osmolaritas cairan tubuh

 Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di


cairan ekstraseluler. Ion – ion ini mencakup Na+, Cl-,
K+, Mg2+, SO4+,4 H+, HCO3-, Ca2+, dan PO 2-. Kesemua
ion ini amat penting dijaga konsentrasinya dalam
kelangsungan hidup organisme.
 Mengatur volume plasma

 Membantu mempertahankan kadar asam – basa cairan


-
tubuh dengan mengatur ekskresi H+ dan HCO3
 Membuang sisa metabolisme yang beracun bagi tubuh,
terutama bagi otak
 Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan
aditif makanan, pestisida, dan bahan lain yang masuk ke
tubuh
 Memproduksi erythropoietin

 Memproduksi renin untuk menahan garam

 Mengubah vitamin D ke bentuk aktifnya.2

Sistem ekskresi sendiri terdiri atas 2 buah ginjal dan saluran


keluarnya urin. Ginjal sendiri mendapatkan darah yang harus disaring
dari arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal akan mengambil zat –zat
yang berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu

8
akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan
ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut
merasakan keinginan micturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin
yang ditampung dikandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra.2

Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin


disebut nefron. Susunan nefron – nefron ini membagi ginjal menjadi 2
bagian, yaitu

9
korteks dan medulla. Nefron sendiri terdiri atas glomerulus dan tubulus.
Glomerulus tersusun atas pembuluh darah – pembuluh darah yang membentuk
suatu untaian di kapsula Bowman. Glomerulus berasal dari arteri ginjal, arteri
ini awalnya terbagi menjadi afferent arterioles yang masing – masing menuju
1 nefron dan menjadi glomerulus. Glomerulus akan berakhir di efferent
arterioles. Arteriol terakhir tersebut lalu menjadi kapiler yang berfungsi
memberi pasokan oksigen dan energi bagi ginjal. Kapiler ini sekaligus
berfungsi menerima zat – zat reabsorbsi dan membuang zat – zat sekresi
ginjal.2

Tubulus ginjal tersusun atas sel – sel epitel kuboid selapis.


Tubulus ini dimulai dari kapsul Bowman lalu menjadi tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, tubulus kontrotus distal, dan berakhir di
tubulus pengumpul. Seluruh bagian tubulus kontortus berada di korteks,
sementara lengkung Henle di medulla. Jalur naik dari tubulus kontortus
distal akan lewat diantara afferent dan efferent arterioles yang disebut
juxtaglomerulus apparatus.2

Nefron ginjal sendiri terbagi atas 2 jenis, nefron kortikal yang


lengkung Henlenya hanya sedikit masuk medulla dan memiliki kapiler
peritubular, dan nefron juxtamedullary yang lengkung Henlenya panjang
ke dalam medulla dan memiliki vasa recta. Vasa recta dalam susunan
kapiler yang memanjang mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle.
Secara makroskopis, korteks ginjal akan terlihat berbintik – bintik
karena adanya glomerulus, sementara medulla akan terlihat bergaris –
garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus kolektus.2

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan


urin, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Filtrasi akan mengambil 20 %
plasma yang masuk glomerulus tanpa menyeleksinya. Kurang lebih akan
didapat 125 ml filtrate/menit atau 180 liter/hari. Dari jumlah itu, 178,5
liter/hari akan direabsorbsi. Maka rata – rata urin orang normal 1,5
liter/hari.2

10
2.3Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga

11
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung
reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme
nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute
Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat
membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah
failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi
gangguan ginjal.3
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI)
harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam
cedera ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas,
3) penilaian yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi
yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya
fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI
klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal. 6
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini
dibuat atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea
nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun, meskipun terdapat
keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat
mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke
deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal. 3,7
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu
48 jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang

12
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan
fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal
seperti terlihat dalam tabel 1. 6,7

13
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE,
ADQI Revisi 2007

Peningkatan Penurunan
Kategori Kriteria UO
SCr LFG
Risk >1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL
>24 jam atau
dengan kenaikan
akut > 0,5 mg/dL
Anuria ≥12 jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah


kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi
atas kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas
klasifikasi dengan merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi,
kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai
dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori L dan E pada kriteria
RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak
dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat
pada tabel 2. 6,7

14
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN

Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO

1 >1,5 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam

peningkatan >0,3 mg/dL

2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12jam

3 >3,0 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥24


jam atau

>4 mg/dL dengan kenaikan akut > 0,5 Anuria ≥12 jam
mg/dL atau

inisiasi terapi pengganti ginjal

Gambar 2.1. Kriteria RIFLE yang


dimodifikasi

15
Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga
memberikan evaluasi yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan
derajat AKI juga harus akurat karena dengan peningkatan derajat, maka
risiko meninggal dan TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko
jangka panjang setelah terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit
kardiovaskuler atau CKD dan

16
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus
diklasifikasikan berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan UO
memberikan hasil derajat yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam
derajat yang lebih tinggi.3,7

2.4Epidemiologi

AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care


admission patient dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit
perawatan intensif (ICU). AKI juga menjadi komplikasi medis di Negara
berkembang, terutama pasien dengan latar belakang adanya penyakit
diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan bencana alam
seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United
State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi
pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden stroke. 4,5
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara
0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
hingga 36- 67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
(ICU) dan 5-6% Pasien ICU dengan AKI memerlukan Terapi
Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement Renal Therapy (RRT)).4
Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat variasi definisi yang
digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi
yang luas dari laporan insiden dari AKI itu sendiri (1-31%) dan angka
mortalitasnya (19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui AKI
terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di ruang intensif dengan
maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan 28% kelas F.
Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I
dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan
pasien tanpa AKI yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007)
menunjukkan Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%,
45.6% dan 56.8% berturut- turut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan

17
F.4,5

18
2.5Faktor Risiko AKI
Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu
untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana
bisa dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan
seperti operasi atau adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik.8

Tabel 3. Faktor resiko AKI : Paparan dan susceptibilitas pada AKI


nonspesifik menurut KDGIO 2012

Paparan Susceptibilitas

Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan

Penyakit kritis Usia lanjut


Syok sirkulasi Perempuan

Luka bakar Black race

Trauma CKD

Operasi Jantung (terutama dengan CPB) Penyakit kronik (jantung,


paru, Liver)
Operasi major nonkardiak Diabetes Mellitus

Obat nefrotoksik Kanker


Agen Radiokontras Anemia

Racun tanaman atau Hewan

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami


paparan untuk mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai
resiko AKI sebagai bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai

19
pemeriksaan biokimia. Monitor tetap dilaksanakan pada pasien dengan
resiko tinggi hingga resiko pasien hilang. 1 Faktor resiko AKI data dilihat
pada tabel 3. 5,6

2.6Patofisiologi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerolus relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang
disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi
ini adalah: 9

 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol


aferen

 Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga


dapat mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang
utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi
akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf
simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan
vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh
untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan
mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG)
dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek
miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi
arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1.
4,9

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :
1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
- Bladder outlet obstruction (post renal)

20
- Batu, trombus atau tumor di ureter

21
1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70


mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi
natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut
fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. 10

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki


homeostasis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama
pada pasien – pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum
kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih
mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic,
sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia
lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko GGA pre-
renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal.
Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal
akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis. 9,10

2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)

Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa


penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus
penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :

1. Pembuluh darah besar ginjal


2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4. Interstitial ginjal
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi

22
tubular akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada
gagal ginjal renal terjadi

23
kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana
pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler
terjadi:

 peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang


menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
 terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan
sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-
II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric
oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
 peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan
interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi
dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel
endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel
netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal
bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan
penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis,
iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar
patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi
regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA).
Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep secara
anatomi tergantung bagian major dari kerusakan parenkim renal :
glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.10

Sepsis-associated AKI

Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara


berkembang. Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan
tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat
terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan vasopressor. Sementara

24
itu, diketahui tubular injury berhubungan secara jelas dengan AKI pada
sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan cast pada urin.

25
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena
terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan
regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi
terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang banyak pada sepsis awal atau
vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut akibat aktivasi sistem
nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron, vasopressin dan
endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang
menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies
serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal.11,12

3. Gagal Ginjal Akut Post Renal

Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari


keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal
dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat,
oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi
ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic
(tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik ( keganasan pada pelvis
dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post- renal
terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya
tidak berfungsi. 9

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal
dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2,
setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal
akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap
meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase
kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan
tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah
ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu

26
tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran
mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan
fibrosis interstisial ginjal. 10,11

27
2.7 Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan
patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi
ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit
yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%).
Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya
AKI.

Tabel 4. Klasifikasi etiologi


AKI

28
GnGA pada anak yang disebabkan keadaan hipoksia-iskemia, sindrom
hemolitik uremik (SHU), serta glomerulonefritis akut lebih cenderung tipe
oligouria ataupun anuria (keluaran urin kurang dari 500mL/24 jam pada anak
yang lebih besar atau kurang dari 1 mL/kg pada bayi dan anak kecil). Pada anak
dengan GnGA yang disebabkan nefritis interstisial akut termasuk akibat
nefrotoksisitas aminoglikosida, dapat mengalami GnGA dengan keluaran urin
yang normal.4

29
2.8 Diagnosis

GnGA merupakan komplikasi suatu penyakit yang bisa primernya di ginjal

maupun di luar ginjal, maupun dari tindakan medis. Etiologi GnGA pada sebagian
besar pasien dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Bahkan
evaluasi untuk mendiagnosis dini GnGA harus dilakukan pada kelompok pasien

tertentu, yaitu dengan kondisi seperti di bawah ini:12

1. Hipovolemia berat: muntah, diare, perdarahan, beberapa kondisi poliuria misalnya


ketoasidosis diabetik, asidosis tubular renal dan tubulopati kronik
2. Gejala yang mengarah pada penyakit ginjal akut: oliguria akut, edema, hematuria
makroskopis, termasuk gejala yang mengarah pada kelainan sistemik yang sering
melibatkan ginjal seperti purpura, ruam malar, nyeri sendi
3. Penyakit kritis dengan predisposisi ke arah gagal organ multipel: sepsis, post operasi
bypass kardiopulmonal, kondisi imunokompromais atau netropenia pada pasien
onkologi. dalam kemoterapi atau tansplantasi sumsum tulang.
4. Bayi baru lahir (kurang dari 72 jam) yang mengalami oliguria atau anuria,
etiologinya dapat kelainan ginjal di parenkim maupun vaskular.
Oliguria merupakan satu-satunya tanda spesifik yang mengarahkan kita pada
diagnosis GnGA, namun harus diingat bahwa ada GnGA yang sifatnya non-oligurik.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran akibat ureum yang tinggi
dan pernapasan yang cepat dan dalam akibat asidosis metabolik. Pasien juga umumnya
menunjukkan tanda ketidakseimbangan cairan, baik berupa tanda hipovolemia
maupun hipervolemi.13
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk diagnosis GnGA adalah peningkatan
ureum (atau nitrogen urea darah/BUN) dan kreatinin. Setelah ditegakkan diagnosis GnGA
maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui komplikasi, yaitu
pemeriksaan elektrolit dan bikarbonat darah. Gangguan keseimbangan elektrolit yang
dapat timbul pada GnGA adalah hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia. Hipo-
maupun hipernatremia dapat pula dijumpai sebagai akibat dehidrasi atau kelebihan cairan
di rongga ketiga.6,13
Urinalisis merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk

30
mengarahkan etiologi.Berat jenis urin dapat memberikan petunjuk kecukupan volume
intravaskular, sedangkan hematuria dan proteinuria yang bermakna mengarahkan pada
etiologi glomerulonefritis.14Jumlah sel epitelial tubulus renal dan silinder sel epitelial
tubulus renal dan atau silinder granularpada pemeriksaan sedimen urin dapat digunakan
untuk diagnosis nekrosis tubular renalis dan menjadi faktor prediktif kerusakan ginjal
yang berat (GnGA yang tidak membaik, butuh dialisis, dan kematian).15
Pemeriksaan fraksi ekskresi natrium (FE Na) bermanfaat untuk membedakan
GnGA prarenal dan intrinsik. Perhitungannya adalah sebagai berikut:FENa=
(PNa/UNa)/(PCr/UCr). PNa dan PCr adalah natrium dan kreatinin plasma, UNadan UCr adalah
natrium dan kreatinin urin. FENa<1% merupakan GnGA prarenal dan >2% merupakan
GnGA renal. Penting untuk diperhatikan bahwa interpretasi ini tidak dapat dinilai pada
pasien yang menggunakan obat yang mempengaruhi absorpsi natrium seperti
diuretik.13

Dalam literatur terdapat sekitar 30 definisi GnGA yang berbeda. Untuk mengatasi
perbedaan tersebut kriteria GnGA yang dipakai sekarang berasal dari 2 kriteria yang
dikembangkan dalam dekade terakhir dengan tujuan membuat standar definisi GnGA,
yaitu kriteria RIFLE (risk, injury, failure, loss dan end-stage)5 dan AKIN (acute kidney injury
network).7Kriteria RIFLE dikembangkan pada tahun 2004 oleh para ahli dalam forum
Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) sebagai sistem pengklasifikasian GnGA.
Dalam kriteria ini, GnGA dikategorikan dalam 3 stadium disfungsi renal dengan dasar kadar
serum kreatinin yang merefleksikan penurunan LFG disertai durasi dan beratnya penurunan
keluaran urin, yaitu risk, injury dan failure, ditambah 2 variabel luaran yaitu loss dan end-
stage. Dengan kriteria RIFLE, klinisi dapat menentukan stadium saat kerusakan ginjal masih
dapat dicegah, keadaan telah terjadi kerusakan ginjal ataupun telah terjadi gagal ginjal.5

Pada tahun 2007, Acute Kidney Injury Network (AKIN) membuat suatu kriteria
untuk menyempurnakan kriteria RIFLE dengan pertimbangan bahwa sedikit peningkatan
serum kreatinin (>0,3 mg/dL) ternyata sangat bermakna dampaknya terhadap mortalitas
pasien sehingga pasien tersebut digolongkan sebagai AKI. Perubahan lain adalah
pembatasan waktu 48 jam untuk mendiagnosis AKI dan semua pasien yang
mendapatkan renal replacement therapy (RRT) dimasukkan pada stadium 3 (RIFLE
stadium F).5Tahun yang sama dilakukan modifikasi kriteria RIFLE untuk dipakai pada

31
anak dan disebut pediatric RIFLE (pRIFLE).8Pada Tabel 1 dapat dilihat perbandingan
kriteria berdasarkan pRIFLE dan AKIN.

Dalam seluruh kriteria GnGA yang pernah ada, kreatinin serum selalu
dipakai sebagai salah satu penilaian untuk menentukan diagnosis. Sesungguhnya
berbagai bukti telah menunjukkan bahwa kreatinin merupakan parameter yang tidak
sensitif untuk GnGA,9karena itu beberapa tahun terakhir berbagai penelitian diarahkan
untuk mencari biomarker baru pengganti kreatinin yang diharapkan dapat
mendiagnosis GnGA lebih dini sehingga terapi dapat lebih cepat diberikan dan efektif
mencegah progresifitaspenurunan fungsi ginjal.Beberapa biomarker hasil penelitian, yang
menjanjikan untuk dapat menggantikan kreatinin adalah NGAL (neutrophil gelatinase-
associated lipocalin) dalam serum maupun urin, IL-18 (interleukin), KIM-1 (kidney injury
molecule), cystatin C dan NAG (N-acetyl--D-glucosaminidase).10,11 Sampai saat ini
belum ada biomarker baru yang diaplikasikan untuk praktik klinis.

32
2.9 Penatalaksanaan

Tujuan tata laksana pada GnGA adalah untuk mempertahankan


homeostasis sampai fungsi ginjal mengalami perbaikan, baik secara spontan
maupun karena keberhasilan tata laksana untuk mengatasi penyakit dasarnya. Tata
laksana ini terdiri dari investigasi penyebab GnGA, mengatasi komplikasi, terapi
nutrisi, terapi pengganti ginjal atau dialisis bila diperlukan, dan koreksi kelainan
primer.16

a. Keseimbangan cairan

Pemberian cairan yang adekuat merupakan tata laksana penting pada GnGA,
jumlah tergantung pada etiologi GnGA dan ada atau tidaknya gejala dan tanda
ketidakseimbangan cairan, baik yang mengarah kepada kondisi hipovolemia
(misalnya riwayat muntah atau diare, perdarahan) ataupun hipervolemia (misalnya
edema).13 Bila dibutuhkan resusitasi, NaCl 0,9% dapat diberikan 10-20 mL/kg.

Pada anak dengan kondisi kelebihan cairan, maka dilakukan restriksi cairan
dan diusahakan mengeluarkan cairan dengan pemberian diuretik, bahkan bila
perlu dialisis.14Sebuah penelitian menunjukkan bahwa banyaknya kelebihan
cairan yang dialami seorang anak ketika memulai continuous renal replacement
therapy (CRRT) berhubungan dengan prognosis yang buruk yaitu
kematian.17Pemberian diuretik dapat mengubah GnGA oliguria menjadi non-
oliguria, tetapi tidak ada bukti bahwa perubahan ini dapat memperbaiki
prognosis.16Manitol 0,5 – 1 g/kgatau furosemid 1-5 mg/kg/dosis dapat diberikan
sebagai diuretik. Pemberian furosemid dengan infus kontinyu lebih efektif dan
lebih kecil toksisitasnya dibandingkan dengan bolus.18Target pengeluaran cairan
adalah 0,5 – 1% berat badan perhari.

b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa

33
Hiponatremia sering didapatkan pada GnGA, dapat menyertai kondisi
dehidrasi maupun kelebihan cairan (efek dilusi). Bila natrium lebih dari 120
mEq/L, restriksi dan pengeluaran cairan dengan dialisis dapat memperbaiki kadar
natrium. Koreksi diberikan bila natrium kurang dari 120 mEq/L karena kondisi ini
meningkatkan risiko kejang. Kebutuhan natrium dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:(125 – PNa)(BB)(0,6) = mEq Na. PNa adalah natrium darah, BB
adalah berat badan dalam kilogram.14

Hiperkalemia merupakan kondisi mengancam jiwa yang sering didapatkan


pada pasien GnGA. Terapi hiperkalemia diberikan bila kalium lebih dari 6-
7mEq/L. Natrium bikarbonat 0,5 – 1 mEq/kg/dosis, insulin intravena atau inhalasi
dengan beta-2 agonis yaitu albuterol/salbutamol dapat diberikan untuk membuat
kalium masuk ke dalam sel.Kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgbb intravena dalam
10-15 menit dapat pula diberikan dengan tujuan meningkatkan ambang eksitasi
sel miokard dan mencegah efek depolarisasi akibat hiperkalemia.14

Asidosis metabolik dapat dikoreksi dengan natium bikarbonat dengan rumus


berat badan x ekses basa x 0,3 (mEq) intravena maupun oral. Data ekses basa
didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah, dan bila pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan maka natrium bikarbonat diberikan 2-3 mEq/kgbb.14

Hiperfosfatemia ditatalaksana dengan restriksi fosfat dari diet dan


pemberian pengikat fosfat, yaitu kalsium karbonat (CaCO3) 50 mg/kgbb/hari
yang diberikan bersamaan dengan saat makan. Hipokalsemia harus segera
dikoreksi bila terdapat tetani, yaitu dengan kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgbb
intravena dalam 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1-4 gram/hari.

c. Gejala komplikasi lain14

Gejala komplikasi GnGA yang memerlukan penangan segera misalnya


hipertensi krisis, kejang atau anemia. Hipertensi krisis dapat diatasi dengan
pemberian nifedipin sublingual, klonidin drip, atau nikardipin drip. Pada kondisi
yang berhubungan dengan kelebihan cairan, maka diuretik merupakan pilihan
awal. Antihipertensi lain yang dianjurkan adalah golongan penghambat kalsium
(nifedipin atau amlodipin).

34
d. Nutrisi

GnGA seringkali berhubungan dengan kondisi peningkatan katabolisme yang


akan memperlambat perbaikan fungsi ginjal. Pemberian nutrisi yang adekuat
merupakan komponen penting dalam tata laksana GnGA. Nutrisi parenteral
diberikan bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral. Protein diberikan 0,8-2
g/kg/hari, jumlah yang besar dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang
dalam terapi pengganti ginjal (dialisis atau CRRT).5

e. Pemberian obat

Mekanisme eliminasi obat dan penyesuaian dosis perlu dipertimbangkan


dalam pemberian obat pada pasien GnGA. Sedapat mungkin obat-obat yang
mengganggu fungsi ginjal dihindari, namun demikian bila diperlukan harus
dilakukanevaluasi yang ketat. Pertimbangan pemberian ataupun penghentian
berdasarkan laju kenaikan kreatinin dianggap lebih baik daripada menilai kadar
kreatinin absolut dalam 1 kali pemeriksaan.16

f. Perfusi ginjal

Salah satu proses yang mendasari GnGA adalah perfusi ginjal yang tidak
adekuat. Atas dasar hal tersebut obat vasodilator diteliti penggunaannya untuk
terapi GnGA, namun hasilnya kurang memuaskan. Pada penelitian di dewasa,
dopamin dosis rendah, atau disebut “dosis renal” ternyata tidak dapat mencegah
gagal ginjal (stadium failure dari RIFLE), atau menurunkan kebutuhan dialisis
dan mortalitas.19

g. Terapi pengganti ginjal (dialisis)

Terapi ini bertujuan untuk mengeluarkan cairan dan toksin baik endogen
maupun eksogen, serta mempertahankan keseimbangan elektrolit dan asam- basa
sampai fungsi ginjal kembali normal. Indikasi untuk melakukan terapi ini adalah
pada AKI tahap III atau tahap II yang gagal pada pengobatan konservatif, yaitu
bila:

1. Kadar ureum darah > 200 mg/dL

35
2. Hiperkalemia > 7,5 mEq/L

3. Bikarbonas serum < 12 mEq/L

4. Adanya gejala overhidrasi: edema paru, dekompensasi jantung, dan


hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan

5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan,


kesadaran menurun sampai koma.

Indikasi terapi pengganti ginjal yang dianjurkan berdasarkan bukti


penelitian terbaru adalah kelebihan cairan lebih dari 15%.20Pilihan terapinya
adalah dialisis peritoneal (DP), hemodialisis (HD) atau continuous renal
replacement therapy (CRRT).21Dengan kemajuan mesin HD dan saat ini
ditambah dengan pilihan CRRT, maka penggunaan DP menurun kecuali pada
bayi dan anak kecil yang akses vaskularnya sulit. Namun pemilihan modalitas
dialisis juga perlu mempertimbangkan ketersediaan dan kemampuan pusat
pelayanan kesehatan dalam hal fasilitas maupun sumber daya manusia.

Dialisis peritonea mudah dilakukan pada anak terutama bayi kecil karena
tidak memerlukan akses vaskular, tidak memerlukan alat yang canggih dan dapat
dilakukan di daerah terpencil. Hemodialisis mempunyai keuntungan dapat lebih
cepat mengoreksi kelainan biokimia dalam darah. Pada pasien yang baru saja
mengalami operasi intra abdomen, HD dapat dipakai sedangkan PD tidak. Akhir-
akhir ini banyak dipakai CRRT untuk penanggulangan AKI dengan cara
continuous veno-venous hemofiltration (CVVH).21 Ada 3 metoda pilihan terapi
pada CVVH, yaitu CVVH, CVVH dengan dialysis (CVVHD) dan continuous
venovenous hemodiafiltration (CVVHDF). Kelebihan CRRT adalah dapat juga
digunakan untuk mengatasi sepsis atau keadaan kelebihan cairan.22,2

36
2.10 Prognosis

Prognosis GnGA tergantung pada etiologi dan umur pasien, namun angka
kematian memang masih tinggi yaitu 40-70%.23 Anak dengan GnGA sebagai
bagian dari kegagalan organ multipel memiliki mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan GnGA karena kelainan intrinsik ginjal.

Untuk prognosis jangka panjang dahulu dianggap bahwa pasien yang sembuh dari
GnGA dan memiliki fungsi ginjal normal kembali memiliki risiko morbiditas dan
mortalitas yang sama dengan populasi umum. Belakangan dilaporkan bahwa pada
sekitar 10% anak pada kondisi yang disebutkan di atas didapatkan hiperfiltrasi,
hipertensi, dan mikroalbuminuria pada 6-12 bulan pasca GnGA.24Hal ini tentu
menempatkan populasi ini pada risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
penurunan fungsi ginjal yang progresif. Atas dasar temuan ini, maka anak yang
sembuh dari GnGA perlu dipantau untuk dapat mendeteksi dini tanda kerusakan
ginjal sehingga dapat dilakukan intervensi dini pula. Pemberian obat penghambat
enzim konversi angiotensin (ACE inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
atau terapi renoprotektor lain dapat diberikan dalam upaya mencagah penurunan
fungsi ginjal.

37
BAB IV
PEMBAHASAN

Etiologi
Teori Fakta
1. Hipovolemia Sebelumnya pasien penah
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga menderita hidronefrosis
ekstravaskular
karena Ureterovesical Juction
- Kerusakan jaringan (pankreatitis_,
hypoalbuminemia, obstruksi usus Stenosis D et S, dan pasien
- Kehilangan darah pernah dilakukan tindakan
- Kehilangan cairan ke luar tubuh pemasangan DJ Stent 2x
- Melalui saluran cerna (muntah,
diare, drainase), melalui saluran
kemih (diuretic, hipoadrenal,
diuresis osmotic), melalui kulit (luka
bakar)
2. Penurunan Curah Jjantung
- Penyebab miokard: infark,
kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vascular pulmonal: emboli
pulmonal
- Aritma
- Penyebab katup jantung
3. Perubahan rasio resistensi vascular
ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vascular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat
dalam dosis berlebihan

AKI Renal Intrinsik

1. OSbtruksi Renovaskular
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular
ginjal
3. Nekrosis tubular akut
4. Nefrisis interstitial
5. Obstruksi da deposisi intratubular

38
6. Rejeksi alograf ginjal

AKI Pasca Renal

1. Obstruksi ureter
-Batu, gumpalan darah, papilla ginjal,
keganasan, kompresi eksternal
2. Obstruksi leher kandung kemih
3. - Kandung kemih neurogenic, hipertrofi
prostat, batu, keganasan, darah
4. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Diagnosis
Teori Fakta
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Oliguria merupakan satu-satunya tanda - Nyeri pinggang dan perut hebat
spesifik yang mengarahkan kita pada diagnosis - Disertai mual dan muntah
GnGA, namun harus diingat bahwa ada GnGA
- Pasien mengeluhkan jarang buang
air kecil, pasien hanya buang air
yang sifatnya non-oligurik.
kecil 1x/hari dan urinnya sedikit
padahal pasien mengaku jika
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
minumnya perhari cukup banyak
penurunan kesadaran akibat ureum yang tinggi dan
pernapasan yang cepat dan dalam akibat asidosis
Pemeriksaan Fisik
metabolik. Pasien juga umumnya menunjukkan
tanda ketidakseimbangan cairan, baik berupa
Keadaan umum : tampak
tanda hipovolemia maupun hipervolemi.13 sakit sedang
Kesadaran :
komposmentis
Berat badan : 63 kg
Tinggi badan : 157 cm
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/70
mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit,
regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 x/menit,

39
regular
o
Suhu : 36,6 C,
aksiler
Regio Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran
KGB (-), pernapasasan cuping hidung
(-), faring hiperemis (-), mulut
berselaput putih (-)

Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada
normal, pergerakan dinding dada
simetris dekstra = sinistra, retraksi
intercosta, suprasternal dan
supraklavikula (-)
Palpasi: Pergerakan nafas simetris
dekstra = sinistra
Perkusi: sonor seluruh lapangan paru,
redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara
jantung S1 S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus
(+) kesan normal
Perkusi : Distribusi
timpani di keempat kuadran
Palpasi: Soefl, nyeri tekan empat
kuadran (-), hepatomegali (-),

40
splenomegali (-), pembesaran KGB
inguinal (-), turgor kulit < 2 detik
Regio Ekstremitas
Inspeksi : Edema (-),
deformitas (-), ruam/petekie (-)
Palpasi : Akral hangat, sianosis
perifer (-), edema (-), spastik (+), CRT <2
detik.

Pasien sempat mengalami penurunan


kesadaran saat perawatan dirumah sakit hari
ke-8

Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang penting untuk diagnosis 31/12/2018


GnGA adalah peningkatan ureum (atau nitrogen urea Kadar ureum 136
darah/BUN) dan kreatinin. Kadar kreatinin 2,1
1/01/2019
Setelah ditegakkan diagnosis GnGA maka diperlukan Natrium 133
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui komplikasi, Kalium 4.9
yaitu pemeriksaan elektrolit dan bikarbonat darah. Clorida 103
Gangguan keseimbangan elektrolit yang dapat timbul
pada GnGA adalah hiperkalemia, hipokalsemia, dan Saat awal masuk pasien
hiperfosfatemia tidak dilakukan
pemeriksaan urinalisa
Urinalisis merupakan pemeriksaan penunjang yang
penting untuk mengarahkan etiologi.Berat jenis urin Perhitungan perkiraan
dapat memberikan petunjuk kecukupan volume laju filtrasi glomerulus
intravaskular, sedangkan hematuria dan proteinuria yang berdasarkan kriteria
bermakna mengarahkan pada etiologi Schwart:
= 0,55 x height/Scr
glomerulonefritis.14Jumlah sel epitelial tubulus renal dan = 0,55 x 152/2,1
silinder sel epitelial tubulus renal dan atau silinder = 38,8 mL/min/1.73 m2
granularpada pemeriksaan sedimen urin dapat digunakan
untuk diagnosis nekrosis tubular renalis dan menjadi Nilai normal LFG: 90-
faktor prediktif kerusakan ginjal yang berat (GnGA yang 120 mL/min/1.73 m2
tidak membaik, butuh dialisis, dan kematian).15 Penurunan laju filtrasi
glomerulus pasien sekitar
>50%

41
Penatalaksanaan

Teori Fakta
Tujuan tata laksana pada GnGA Inf Nacl 0,9 %  Produksi urin + 500
adalah untuk mempertahankan cc
homeostasis sampai fungsi ginjal Injeksi Furosemid 3 x 1 amp
mengalami perbaikan, baik secara Spirolacton 1x1 25 mg
spontan maupun karena keberhasilan Inj Santagesic 1 amp bila nyeri
tata laksana untuk mengatasi penyakit Cek DL, AGD, elektrolit, Ur, Cr,
dasarnya. Asam urat, dan fosfat
Monitoring balance cairan tiap 6 jam
Keseimbangan cairan Monitoring diuresis dan diuresis tiap 6
jam
Pemberian cairan yang adekuat
merupakan tata laksana penting pada
GnGA, jumlah tergantung pada
etiologi GnGA dan ada atau tidaknya
gejala dan tanda ketidakseimbangan
cairan, baik yang mengarah kepada
kondisi hipovolemia (misalnya
riwayat muntah atau diare,
perdarahan) ataupun hipervolemia
(misalnya edema).13 Bila dibutuhkan
resusitasi, NaCl 0,9% dapat diberikan
10-20 mL/kg.

42
Pada anak dengan kondisi kelebihan
cairan, maka dilakukan restriksi cairan
dan diusahakan mengeluarkan cairan
dengan pemberian diuretik, bahkan
bila perlu dialisis.
Pemberian diuretik dapat
mengubah GnGA oliguria menjadi
non-oliguria, tetapi tidak ada bukti
bahwa perubahan ini dapat
memperbaiki prognosis. Manitol 0,5 –
1 g/kgatau furosemid 1-5 mg/kg/dosis
dapat diberikan sebagai diuretik.
Pemberian furosemid dengan infus
kontinyu lebih efektif dan lebih kecil
toksisitasnya dibandingkan dengan
bolus.18Target pengeluaran cairan
adalah 0,5 – 1% berat badan perhari.
Keseimbangan elektrolit dan asam
basa
Bila natrium lebih dari 120 mEq/L,
restriksi dan pengeluaran cairan
dengan dialisis dapat memperbaiki
kadar natrium. Kebutuhan natrium
dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:(125 – PNa)(BB)(0,6) = mEq
Na. PNa adalah natrium darah, BB
adalah berat badan dalam kilogram.14
Terapi hiperkalemia diberikan bila
kalium lebih dari 6-7mEq/L. Natrium
bikarbonat 0,5 – 1 mEq/kg/dosis,
insulin intravena atau inhalasi dengan
beta-2 agonis yaitu
albuterol/salbutamol dapat diberikan
untuk membuat kalium masuk ke
dalam sel.Kalsium glukonas 10% 0,5
mL/kgbb intravena dalam 10-15 menit
dapat pula diberikan dengan tujuan
meningkatkan ambang eksitasi sel
miokard dan mencegah efek
depolarisasi akibat hiperkalemia.14
Asidosis metabolik dapat dikoreksi
dengan natium bikarbonat dengan
rumus berat badan x ekses basa x 0,3
(mEq) intravena maupun oral. Data

43
ekses basa didapatkan dari
pemeriksaan analisis gas darah, dan
bila pemeriksaan ini tidak dapat
dilakukan maka natrium bikarbonat
diberikan 2-3 mEq/kgbb.14
Hiperfosfatemia ditatalaksana
dengan restriksi fosfat dari diet dan
pemberian pengikat fosfat, yaitu
kalsium karbonat (CaCO3) 50
mg/kgbb/hari yang diberikan
bersamaan dengan saat makan.
Hipokalsemia harus segera dikoreksi
bila terdapat tetani, yaitu dengan
kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgbb
intravena dalam 5-10 menit,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 1-4
gram/hari.
Nutrisi
Nutrisi parenteral diberikan bila
pasien tidak dapat menerima nutrisi
enteral. Protein diberikan 0,8-2
g/kg/hari, jumlah yang besar
dipertimbangkan pemberiannya pada
pasien yang dalam terapi pengganti
ginjal (dialisis atau CRRT).5
Terapi pengganti ginjal (dialisis)
Indikasi untuk melakukan terapi
ini adalah pada AKI tahap III atau
tahap II yang gagal pada pengobatan
konservatif, yaitu bila:
1. Kadar ureum darah > 200
mg/dL
2. Hiperkalemia > 7,5 mEq/L
3. Bikarbonas serum < 12 mEq/L
4. Adanya gejala overhidrasi:
edema paru, dekompensasi jantung,
dan hipertensi yang tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan
5. Perburukan keadaan umum
dengan gejala uremia berat:
perdarahan, kesadaran menurun

44
sampai koma.

BAB V
Kesimpulan

Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien


perempuan An. DJ usia 13 tahun, dengan diagnosis Hideronefrosis berat ec
UVJ stenosis D et S + AKI . Dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada
kasus tersebut.

45

Anda mungkin juga menyukai