Anda di halaman 1dari 42

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

BRONKOPNEUMONIA DAN TRIKUSPID REGURGITASI

Disusun oleh:
Faradiba Maulidina
1810029006

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

BRONKOPNEUMONIA DAN TRIKUSPID REGURGITASI

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Faradiba Maulidina NIM. 1810029006

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Bronkopneumonia dan
Trikuspid Regurgitasi”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan
klinik di Laboratorium Ilmu Anak Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima aksih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. Hendra, Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman dan dosen pembimbing klinik selama
penulis di stase Ilmu Kesehatan Anak.
4. dr. Hj. Sukartini, Sp. A, selaku dosen pembimbing tutorial klinik.
5. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
6. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Anak yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, Januari 2019

Penulis

iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkopneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yaitu
tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan bercak-bercak yang
tersebar bersebelahan. Bronkiolitis pada bayi secara klinis didiagnosa sebagai
kondisi pernafasan dengan kesulitan bernafas, batuk, asupan makan yang
berkurang, iritabel dan pada yang lebih muda, dapat terjadi apnea. Tanda yang
bisa didapatkan yaitu wheezing dan atau ronki pada auskultasi yang dapat
mengarahkan pada diagnose.
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, leibih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
respiratori, terutama pneumonia.
Regurgitasi (insufisiensi) katup tricuspid merupakan gangguan fungsi
katup trikuspid, berupa penutupan katup tidak sempurna sehingga menyebabkan
darah mengalir kembali ke dalam atrium kanan; biasanya akibat dari tekanan yang
berlebihan pada jantung bagian kanan. Insufisiensi katup trikuspidalis pada
umumnya sering disebabkan oleh kebiasaan yang tidak sehat dan beberapa faktor
resiko misalnya penyakit jantung rematik, infark miokard, hipertiroid dan lain-
lain.
Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai
penyedia pelayanan kesehatan primer untuk dapat mendiagnosis
bronkopneumonia dan regurgitasi katup tricuspid serta memberikan penanganan
awal pada kasus-kasus yang membutuhkan rujukan agar dapat menghindari
komplikasi lebih lanjut.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi
dokter muda mengenai “Bronkopneumonia dan trikuspid regurgutasi”, serta
sebagai salah satu syarat mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : An. MA
Usia : 2 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Teluk lerong

MRS tanggal 4 Februari 2019 Pukul 08.40 WITA.

2.2 Anamnesis
Anamnesa dilakukan pada tanggal 6 Februari 2019, di ruang Melati.
heteroanamnesis oleh orang tua pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Sesak napas

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien anak laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan dibawa oleh orangtuanya ke
IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan keluhan sesak napas.
Sesak napas dialami sejak hari Sabtu pagi (2 hari sebelum masuk rumah sakit). Selain
itu, pasien juga mengalami batukdisertai dahak dan demam tinggi yang hilang timbul
sejak 2 hari SMRS, suhu tinggi terutama saat malam hari. Pasien sudah meminum obat
penurun panas paracetamol dan obat batuk ambroxol namun belum membaik. Orang tua
mengatakan nafsu makan pasien juga menurun sejak pertama sakit. Pasien sempat
muntah 1kali setelah makan .Tidak ada gangguan buang air kecil maupun gangguan
buang air besar.

3
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Tentara saat lahir selama satu
minggu karena berat bayi lahir rendah. Pasien sudah 5x keluar masuk rumah sakit
karena diare 3x, demam, sesak, dan juga pernah operasi katarak saat usia 3 bulan.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien dan ibu pasien tidak memiliki riwayat alergi, hipertensi
ataupun diabetes mellitus.

2.2.5 Riwayat Alergi


Tidak ada

2.2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 1500 gram
Panjang badan lahir : Orang tua lupa
Berat badan sekarang : 9 kg
Tinggi badan sekarang : 81 cm
Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 1 tahun
Merangkak : 2 tahun
Berdiri : 2 tahun 2 bulan
Berjalan : Belum bisa
Berbicara : 2 tahun
Tumbuh gigi : 6 bulan

2.2.7 Makan dan Minum Anak


ASI : Sejak lahir hingga usia 10 hari
Susu sapi : Sejak berusia 10 hari sampai sekarang
Makanan lunak : Sejak 10 bulan sampai sekarang
Makan padat dan lauknya : (-)

2.2.8 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : Dokter
Penyakit kehamilan : Tidak ada

4
Obat-obat yang pernah dikonsumsi : Tidak ada

2.2.9 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Dokter
Usia dalam kandungan : aterm
Jenis partus : spontan

2.2.10 Riwayat Imunisasi


Status imunisasi lengkap (BCG, polio, DPT, dan hepatitis B, campak)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, E4V5M6
Berat Badan : 9 kg
Panjang Badan : 81 cm
Status gizi :
BB/U : -2 SD sampai -3 SD (gizi kurang)
TB/U : <-3 SD (perawakan sangat pendek)
BB/TB : -2SD sampai -3SD (kurus)
Tanda Vital :
Tekanan darah: - mmHg
Nadi 109 x/menit
Pernafasan 42x/menit
Temperatur 37,8o C
SpO2 98%
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor, reflex
cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (+) saat menangis,
perdarahan (-)

5
Leher : Pembesaran kelenjar getah (-)

Thorax
Paru:
Inspeksi : dada tampak asymetris
Palpasi : Pelebaran ICS (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (+/+),
wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : sulit dievaluasi
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, bising jantung (+)
di ICS 4 parasternal sinistra

Abdomen
Inspeksi : flat, distended (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-),turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior: Akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT < 2 detik

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 4 Februari 2019
Pemeriksaan hematologi di IGD
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Leukosit 5620 /µL 6.000 – 17.500 /µL
Hemoglobin 14,1 g/dl 14,0 – 18,0 g /dL
Hematokrit 39,8% 33,0 - 41,0 %

6
MCV 79,3 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 28,0 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 35,3 g/dL 33,0 – 37,0 g/dL
Trombosit 94.000 /µL 150.000 – 450.000 /µL
Neutrofil% 57 % 40 – 74 %
Limfosit% 32 % 19 – 48 %
Monosit% 10 % 3–9%
Eosinofil% 0% 0–7%
Basofil% 2% 0–1%

Pemeriksaan Radiologi
1. Ronthen Thoraks (4 Februari 2019)

7
- Tampak bercak-bercak infiltrate pada perihiler dan paracardial kedua
paru
- Cor: normal
- Kedua sinus dan diafragma normal
- Tulang-tulang intak
Kesan: Gambaran bronchopneumonia
2.4 Diagnosis Kerja (IGD)
bronkopneumonia + gizi kurang
2.5 Penatalaksanaan
 Injeksi Ampicilin 150 mg/6jam IV
 Injeksi Paracetamol 60 mg/8jam IV
 Nebu ventolin ½ amp + NaCl 0,9% sampai dengan 3 cc tiap 8 jam
 Besok cek ulang DL, CRP

8
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Diagnosis dan Terapi
Selasa, 5 Februari S: demam (+), sesak nafas A:
2019 (-), batuk (+) - Bronkopneumonia
- suspek TB paru
O: KU sedang, - gizi kurang
komposmentis, Rhonki - developmental delay
(+/+), bising usus (+), N:124 P :
x/menit, adekuat, sianosis  Injeksi Ampicilin 150
(-), Pucat (-), CRT<2 detik, mg/6jam IV
akral hangat. RR:40x/Menit,  Injeksi Paracetamol 60
T:38,80C, SpO2: 97% mg/8jam IV
 Nebul stop
Lab DL :  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
Leu : 6.37 (6.00-17.50)
Hb : 13.0 (14.0-18.0)
Hct : 37.7 (33.0-41.0)
Tr : 166 (150-450)

Rabu, 6 Februari S: sesak berkurang, batuk A:


2019 (+), demam (+) - Bronkopneumonia
- CHD
O: komposmentis, dada - Gizi kurang
asimetris, Suara napas (+/+),
Rhonki(+/+), wheezing (-/-), P :
s1s2 tunggal reguler, bising  Co. Cardiologi
jantung sistolik (+) di ICS  Mantoux test
IV sinistra, bising usus (+),  Cek LED/CRP
N:118 x/menit, adekuat,  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
sianosis (-), Pucat (-),
 Injeksi Ampicilin 3x250 mg
CRT<2 detik, akral hangat.
IV
0
RR:34x/Menit, T:38,6 C,
 Paracetamol syr 3x ¾ cth PO
SpO2: 98%

9
 NAC pulv 3x50 mg PO
Kamis, 7 Februari S: panas (+), batuk (+) A:
2019 berkurang - Bronkopneumonia
- CHD
O: komposmentis, dada - Gizi kurang
asimetris, Rhonki(+/+), - Sindrom rubella kongenital
wheezing (-/-), s1s2 tunggal P:
reguler, bising jantung  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
sistolik (+) di ICS IV  Injeksi Ampicilin 3x250 mg
sinistra, bising usus (+), IV (H-2)
N:104 x/menit, adekuat,  Injeksi Gentamisin 2x20 mg
Pucat (-), CRT<2 detik, IV (H-1)
akral hangat. RR:30x/Menit,  Paracetamol syr 3x ¾ cth PO
0
T:37,8 C, SpO2: 98%  NAC pulv 3x50 mg PO

Lab Hematologi
LED: 29 (<10 mm/jam)
Imunoserologi
CRP: 48.0 positif (<6.0
mg/l)
Jumat, 8 Februari S : panas <<, makan (+), A:
2019 sesak (-) - Bronkopneumonia
- TR mild
O : komposmentis, dada - Gizi kurang
asimetris, Rhonki(+/+),
wheezing (-/-), s1s2 tunggal P:
reguler, bising jantung  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
sistolik (+) di ICS IV  Injeksi Ampicilin 3x250 mg
sinistra, bising usus (+), IV (H-3)
N:98 x/menit, adekuat,  Injeksi Gentamisin 2x20 mg
Pucat (-), CRT<2 detik, IV (H-2)
akral hangat. RR:31x/Menit,  Paracetamol syr 3x ¾ cth PO
0
T:37,6 C, SpO2: 98%  NAC pulv 3x50 mg PO

10
 Spironolakton 1x3,125 mg PO
Hasil echo: mild TR
Mantoux test (-)
Sabtu, 9 Februari S : panas <<, batuk <<, A:
2019 makan (+) - Bronkopneumonia
- TR mild
O : komposmentis, dada - Gizi kurang
asimetris, Rhonki(-/-),
wheezing (-/-), s1s2 tunggal P:
reguler, bising jantung  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
sistolik (+) di ICS IV  Injeksi Ampicilin 3x250 mg
sinistra, bising usus (+), IV (H-4)
N:102 x/menit, adekuat,  Injeksi Gentamisin 2x20 mg
Pucat (-), CRT<2 detik, IV (H-3)
akral hangat. RR:32x/Menit,  Paracetamol syr 3x ¾ cth PO
0
T:36,6 C, SpO2: 98%  NAC pulv 3x50 mg PO
 Spironolakton 1x3,125 mg PO

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pneumonia
3.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia seringkali dipercaya
diawali oleh infeksimvirus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri
(IDAI, 2013).
Berdasarkan penyebabnya pneumoni dibedakan menjadi pneumonia yang
disebabkan oleh virus dan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Pneumonia
seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus yang
responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik betalaktam(IDAI, 2013).
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu
pneumonia msyarakat bila terjadi infeksinya di masyarakat dan pneumonia RS
atau pneumonia nosokomial bila infeksinya didapat di RS (IDAI, 2013).

3.1.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang.
Diperkirakan pneumonia menyebabkan 3 juta kematian, atau 29% dari seluruh
kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (Nelson, 2015).
Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab
kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada
pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia
di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi

12
terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013). Pneumonia
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya,
dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15%
dari seluruh kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus
kematian pada anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-
Pineda, 2016).

3.1.3 Etiologi
Walaupun sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, penyebab non infeksi termasuk aspirasi makanan atau asam
lambung, benda asing, hidrokarbon dan substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas
dan pneumonitis yang diinduksi oleh radiasi atau obat. Penyebab pneumonia pada
individu sering sulit untuk ditentukan karena kultur langsung pada jaringan paru
tergolong invasif dan jarang dikerjakan. Kultur yang dilakukan pada spesimen
dari traktur respiratori atas sering tidak merefleksikan penyebab sesungguhnya.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri penyebab tersering pada anak –
anak usia 3 minggu hingga 4 tahun, sedangkan Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydophila pneumoniae merupakan bakteri patogen tersering pada anak usia
5 tahun atau lebih tua. Bakteri patogen lainnya yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus (Nelson,
2015).
Etiologi Tersering Berdasarkan Usia
Grup Usia Patogen Tersering
Neonatus Streptococcus grup B, Escherichia coli,
basil gram negatif lain, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae
3 minggu – 3 bulan RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. Influenza
4 bulan – 4 tahun RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. influenza, Mycoplasma pneumoniae,

13
streptokokus grup A
> 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, S.
pneumoniae, Chlamydophila
pneumoniae, H. influenzae, virus
influenza, adenovirus, virus respirasi
lain, Legionella pneumophila
Tabel 3.1. Etiologi Penyebab Terbanyak Berdasarkan Usia (Nelson, 2015).

3.1.4 Klasifikasi
1. Menurut sifatnya
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang
tidak mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu
Staphylococcus pneumoniae( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga
Virus penyebab infeksi pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV).
Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas( “atypical”) yaitu
mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,
selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi
mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus,
HIV, dan kanker,dll.
2. Berdasarkan Kuman penyebab
a.Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyaitendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderitadengan daya tahan lemah (immunocompromised).
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)pneumonia
yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk
pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48
jam.

14
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan
pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam
berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di
temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif
lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa,
Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri
penyebab HAP.
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yangmelibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus
besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran
airbronchogram.Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan
edema yangmenyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak
pneumonia lobaris adalahStreptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadipada satu lobus atau segmen.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanyaobstruksi bronkus seperti
aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan.
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus
terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan
adanya bercak-bercak infiltrate multifocal padalapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi danorang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus
masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.

15
3.1.5 Patofisiologi
Traktus respiratorius bagian bawah normalnya tetap steril oleh mekanisme
pertahanan fisiologis, termasuk klirens mukosilier, sekresi Ig A dan pembersihan
jalan napas melalui batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi
invasi organisme patogenik termasuk makrofag terdapat di alveoli, bronkiolus, Ig
A dan imunoglobulin lain. Faktor tambahan yang mendorong terjadinya infeksi
paru termasuk trauma, anestesi, dan aspirasi (Nelson, 2015).
Kegagalan mekanisme pertahanan dan adanya faktor predisposisi
menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan
pneumonia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia
adalah sebagai berikut.
1. Gangguan flora normal orofaringeal. Adanya Ig lokal, terutama IgA,
komplemen dan flora normal, mencegah kolonisasi di orofaring oleh
mikroorganisme yang virulen. Diabetes, malnutrisi, dan gangguan sistemik
kronik lain mengurangi tingkat fibronektin saliva dan meningkatkan
kolonisasi oleh basil gram negatif. Antibiotik yang berhubungan dengan
supresi flora normal mulut juga memfasilitasi kolonisasi melalui basil gam
negatif yang resisten.
2. Refleks glotis dan batuk yang tertahan. Ini dapat menyebabkan aspirasi isi
lambung
3. Gangguan kesadaran. Terutama pada pasien – pasien tak sadar, seperti
koma, kejang, atau pada kecelakaan yang menyebabkan gangguan
serebrovaskular.
4. Kerusakan mekanisme aparatus mukosilier. Klirens mukosiliar efektif
tergantung pada pergerakan siliar yang efektif dan pada mukus. Kelenjar
submukosa dan permukaan sel goblet epitel menghasilkan cairan
permukaan airway. Cairan ini terdiri dari lapisan atas gel mirip musin dan
lapisan bawah non gel. Silia bergerak pada medium spesial ini
mengarahkan gel ke arah mulut. Proteksi ini sering rusak akibat infeksi
respiratori akibat virus, eksposur terhadap udara dingin atau panas atau zat
– zat kimia berbahaya, sindrom silia imotil, obstruksi endobronkial.

16
5. Disfungsi makrofag alveolus. Anemia kronik, starvasi memanjang,
hipoksemia dan infeksi virus pada saluran nafas dapat menyebabkan
kerusakan makrofag alveolus.
6. Disfungsi imun. Gangguan granulosit, limfosit, defisiensi imun baik
kongenital maupun didapat serta terapi imunosupresif dapat menjadi
predisposisi pneumonia. (Singh, 2012).

Empat tahapan patologis pneumonia :


Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:

1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

17
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim
paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai
keadaan normal.

3.1.6 Manifestasi Klinis


Pneumonia virus dan bakteri sering diawali gejala infeksi traktus respirasi
atas dalam beberapa hari, terutama batuk dan rinitis. Pada pneumonia virus,
demam biasanya adal temperatur secara umum lebih rendah daripada pneumonia
bakteri. Takipnea merupakan manifestasi klinis pneumonia yang paling konsisten.
Peningkatan kerja pernapasan ditemani dengan retraksi subkosta, interkostal dan
suprasternal, nasal flaring, dan penggunaan otot – otot bantu pernapasan
merupakan hal yang umum. Infeksi yang berat dapat ditemani oleh sianosis,
terutama pada bayi. Auskultasi dapat menunjukkan crackles dan mengi, tapi
sering sulit untuk melokalisasi daerah suara tersebut pada anak yang sangat muda
dengan dada yang hiperresonan. Pneumonia yang disebabkan oleh virus seringkali
suli untuk dibedakan dari pneumonia karena Mycoplasma dan bakteri patogen lain
(Nelson, 2015).
Pneumonia bakteri pada anak yang lebih tua diawali dengan demam tinggi
dan menggigil yang mendadak, batuk dan nyeri dada. Gejala lain yang dapat
terlihat meliputi mengantuk dengan periode gelisah yang intermiten, respirasi
cepat, kecemasan dan kadang, delirium. Pada kebanyakan anak, berbaring pada
sisi yang sakit dengan lutut ditekuk ke dada dapat meminimalisasi nyeri pleuritik
dan meningkatkan ventilasi (Nelson, 2015).
Pada bayi, terdapat gejala prodromal infeksi saluran pernapasan atas dan
nafsu makan menurun, mengarah ke onset demam tiba – tiba, gelisah, dan distres

18
pernafasan. Bayi tampak sakit dengan distres pernapasan yang bermanifestasi
sebagai grunting, nasal flaring, retraksi supraklavikular, interkostal, subkosta,
takipnea, takikardia, air hunger dan sianosis. Pneumonia bakteri pada bayi juga
dapat bermanifestasi sebagai gangguan gastrointestinal seperti muntah, anoreksia,
distensi abdomen (Nelson, 2015).

3.1.7 Pemeriksaan Fisik


Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
- Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium
1. Darah Perifer Lengkap
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial. Infeksi

19
virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan
granulosit yang predominan atau PMN. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.. (Nelson, 2015).
Leukopenia (<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis
hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering
ditemukan pada keadaan bakteremi, dan resiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.
Pada infeksi Chlamdya pneuminiae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi
pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-
100.000/mm3, proein >2,5 g/dL dan glukosa rlatif lebih rendah daripada glukosa
darah [ CITATION Rah13 \l 1057 ].
2. C-Reactive Protein (CRP)
C-reactive protein suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL-6, IL-1) dan TNF. CRP sangat
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak
[ CITATION Rah13 \l 1057 ].
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus
dan infeksi bakteri superficialis dan profunda. CRP kadang-kadag digunakan
untuk evaluasi respon antibiotik.

Pemeriksaan radiologi
Gambaran infiltrat pada foto rontgen mendukung diagnosis pneumonia; pada
foto rontgen, juga dapat terlihat komplikasi seperti efusi pleura atau empiema.
Pneumonia virus biasa dikarakteristikkan sebagai hiperinflmasi dengan infilitrat
interstisial bilateral dan peribronchial cuffing. Konsolidasi lobar biasanya terlihat

20
pada pneumonia pneumokokal. Penampakan radiografik sendiri bukanlah
diagnostik utama, dan fitur klinis lain perlu dipertimbangkan (Nelson, 2015).
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :
1. Infiltrat interstisila, dintandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris.
3. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infilrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 3. Pneumonia

Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru(Nelson,
2015).

21
3.1.9 Diagnosis
Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan kerterlibatan sistem respiratori serta gambaran radiologis.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari
satu gejala respiratori sebagai berikut :
- Takipnea
- Batuk
- Napas cuping hidung
- Retraksi
- Rhonki
- Suara napas melemah
1. Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat (WHO, 2009) :
-pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
-pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
2. Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut :
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit

22
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
-Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
-Kejang, letargis atau tidak sadar
-Sianosis
-Distres pernapasan berat (WHO, 2009)

3.1.10 Diagnosis Banding


Tabel 3.2 Diagnosis Banding Pneumonia (Nelson, 2015).
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau
tidak ada respon dengan bronkodilator

Tuberculosi - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa


s (TB) - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi
≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul,
lutut, falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

23
3.1.11 Tatalaksana
Kriteria Rawat Inap
Usia < 6 bulan
Anemia sel sabit dengan acute chest syndrome
Multipel lobus
Tampak toksik
Defisiensi imun
Distres pernapasan sedang hingga berat
Butuh suplementasi oksigen
Dehidrasi
Muntah atau ketidakmampuan untuk minum cairan atau obat PO
Tidak respon terhadap terapi antibiotik oral
Faktor sosial (tak mampu merawat di rumah)

Tabel 3.3. Kriteria rawat inap pneumonia (IDAI, 2009).

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Nelson, 2015).
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat (WHO, 2009).
1.Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah kotrimoksazol (4mg
TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kgBB/kali)
2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari (WHO,
2009).

24
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak
memburuk, tidak bisa minum atau menyusu (WHO, 2009).
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.
(WHO, 2009).
2.Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya (WHO, 2009).
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat)
maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)
(WHO, 2009).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari)
(WHO, 2009).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM
atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian).
Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu (WHO, 2009).

25
3.Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, pastikan anak
memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati – hati
terhadap kelebihan cairan atau overhidrasi.
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
(WHO, 2009).
4.Nutrisi
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam
menerimanya (WHO, 2009).
5.Kriteria pulang:
-Gejala dan tanda pneumonia menghilang
-Asupan peroral adekuat
-Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
-Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan
kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.
(WHO, 2009).

3.1.12 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak biasanya merupakan hasil dari
penyebaran langsung infeksi bakteri dalam kavitas torakal (efusi pleura, empiema,
perikarditis) atau penyebaran hematologik dan bakteremia. Meningitis, artritis
supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran secara
hematologi dari pneumokokal atau H. influenzae tipe b (Nelson, 2015)

3.2 Regurgitasi Trikuspid


3.2.1 Definisi

26
Regurgitasi katup tricuspid merupakan gangguan fungsi katup trikuspid,
berupa penutupan katup tidak sempurna sehingga menyebabkan darah mengalir
kembali ke dalam atrium kanan (Jason, 2009). Pada regurgitasi katup tricuspid,
ketika ventrikel kanan berkontraksi, yang terjadi bukan hanya pemompaan darah
ke paru-paru, tetapi juga pengaliran kembali sejumlah darah ke atrium kanan.
Kebocoran ini akan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam atrium kanan
dan menyebabkan pembesaran atrium kanan. Tekanan yang tinggi ini diteruskan
ke dalam vena yang memasuki atrium, sehingga menimbulkan tahanan terhadap
aliran darah dari tubuh yang masuk ke jantung (David, 2003).

Gambar 4. Trikuspid Regurgitasi

3.2.2 Etiologi dan patofisiologi


Patofisiologi dari regurgitasi tricuspid berfocus pada kelainan struktur
katup. Kelainan katup bisa merupakan kelainan primer structural dari daun katup
dan cordae atau sekunder dari disfungsi dan dilatasi otot jantung. Regurgitasi
tricuspid bisa disebabkan oleh dilatasi annulus katup tricuspid pada gagal jantung
kanan dengan sebab apapun, demam reumatik (dimana hampir selalu berhubungan
dengan penyakit katup mitral dan atau aorta), atau endokarditis (Macini, 2018).
Penyebab insufisiensi katup trikuspidalis dapat terjadi atas dua sebab:
1. Fungsional disebabkan dilatasi ventrikel kanan yang menyebabkan
dilatasi    tricuspid yang akhirnya menyebabkan insufisiensi tricuspid. Timbul
sebagai akibat adanya decompensasio cordis kanan.

27
2. Organic disebabkan kelainan congenital. Pada dasarnya, etiologi penyakit ini
karena penyakit jantung bawaan, gangguan pada katup trikuspid atau pada
katup lain serta peningkatan tekanan pada ventrikel kanan.
Regurgitasi/insufisiensi katup trikuspidalis murni biasanya disebabkan
gagal jantung kiri yang sudah lanjut atau hipertensi pulmonalis berat,
sehingga terjadi kemunduran fungsi ventrikel kanan. Penyebab Insufisiensi
katup trikuspidalis yang lain, yaitu: (Jason, 2009)
a. Penyakit jantung reumatik
80% pasien demam rheumatic memiliki TR fungsional akibat hipertensi
pulmonal dengan pembesaran ventrikel kanan, sedangkan 20%nya
memiliki TR organik karena kelainan pada katup trikuspid akibat
inflamasi dari rheumatic tersebut.
Kriteria Mayor:
1. Karditis
2. Poliartritis migrans
3. Syndenham Chorea
4. Eritema marginatum
5. Nodul Subkutan
Kriteria Minor:
1. Klinis: demam, poliartralgia
2. Laboratorium: peningkatan penanda inflamasi akut (LED, leukosit)
3. EKG: interval PR memanjang
b. Bukan jantung reumatik : endokarditis infektif, anomali eibsteins,
prolaps katup trikuspidalis, kongenital (defek atrioventrikuler kanan),
karsinoid (dengan hipertensi pulmonal), infark miokard, trauma.
Sindrom karsinoid, merupakan tipe tumor yang biasanya terdapat pada
usus kecil atau apendiks dan bermetastasis hingga ke liver. Tumor ini
melepaskan metabolit serotonin yang dapat membentuk plak
endokardial di bagian kanan jantung. Jika plak tersebut mengenai katup
trikuspid, dapat terjadi imobilisasi katup, dan dapat berujung pada TR
atau stenosis tricuspid. Dalam penyakit karsinoid, katup menjadi
menebal, fibrosis dengan nyata dibatasi gerak selama siklus jantung.

28
Inspirasi meningkatkan keparahan regurgitasi trikuspid. Inspirasi
menginduksi pelebaran RV, yang memperbesar annulus katup trikuspid dan
dengan demikian meningkatkan area orifisius regurgitasi yang efektif.
Secara kronis, regurgitasi trikuspid menyebabkan kelebihan volume RV, yang
menyebabkan gagal jantung kongestif sisi kanan (CHF) dan bermanifestasi
sebagai kongesti hati, edema perifer, dan asites (Macini,2018).

3.2.3 Gejala klinis


Pasien dengan regurgitasi trikuspid datang dengan gejala sisi kiri
mendominasi (sesak napas, ortopnu, dipsnu nocturnal). Pasien dapat mengeluh
adanya pulsasi di leher yang terlihat akibat peningkatan tekanan vena, retensi
cairan (pembengkakan abdomen dan ekstremitas bawah), nyeri kuadran kanan
atas (kongesti hepar). Gejala klinis pada TR biasanya merupakan akibat dari
kongesti vena sistemik dan reduksi curah jantung.
Murmur pansistolik yang berhubungan dengan regurgitasi trikuspid bernada
tinggi dan paling keras di ruang interkostal keempat di wilayah parasternal.
Murmur biasanya ditambah selama inspirasi dan berkurang dalam intensitas dan
durasi dalam posisi berdiri dan selama manuver Valsava. Sebuah gemuruh aliran
diastolik awal yang pendek mungkin terjadi karena peningkatan aliran melintasi
katup tricuspid.
Tanda-tanda TR yang berat termasuk RA dan dilatasi RV, vena cava
inferior dan vena hati yang melebar, dilatasi sinus koroner dan sistolik dari
septum interatrial menuju LA rendah (Macini, 2018).

3.2.4 Pemeriksaan penunjang


Aliran warna Doppler ekokardiografi adalah pemeriksaan utama untuk
mengevaluasi katup tricuspid. Teknik Doppler digunakan untuk secara langsung
memvisualisasikan pancaran regurgitasi, mengukur kecepatan aliran pancaran
regurgitasi, dan secara akurat memperkirakan tekanan sistolik ventrikel kanan.
Ekokardiografi memberikan gambar yang sangat baik dan dapat digunakan untuk
mendeteksi dan mengukur regurgitasi trikuspid. Ini juga memungkinkan penilaian
dimensi ruang jantung, penentuan RV dan tekanan paru, dan penggambaran

29
penyakit katup terkait. Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya dilatasi
ventrikel kanan dan katup trikuspid yang mengalami prolaps dan abnormalitas
letak katup.
Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk menentukan derajat TR.
Pada regurgitasi tricuspid ringan, pancaran bersifat sentral dan sempit. Pada
regurgitasi pulmonik sedang hingga berat, lebar pancaran meningkat (Macini,
2018).

Gambar 5. Derajat regurgitasi tricuspid

3.2.5 Penatalaksanaan
Terapi untuk menangani TR bertujuan untuk menangani kondisi
peningkatan ukuran atau tekanan ventrikel kanan, yang dapat diatasi dengan
pemberian obat diuretik. Penanganan dengan pembedahan dilakukan pada
keadaan yang berat. TR yang tidak memiliki hipertensi pulmonal, seperti yang
terjadi pada endokarditis infektif atau trauma, biasanya dapat sembuh tanpa
pembedahan (Jason, 2009).
Pada pasien dengan penyakit katup mitral dan TR akibat adanya hipertensi
pulmonal dan pembesaran ventrikel kanan, penanganan dengan pembedahan pada
katup mitral dapat mengurangi tekanan pulmonal dan mengurangi terjadinya TR.
Pada TR yang berat dengan adanya kelainan primer pada katup, dapat dilakukan

30
annuloplasti trikuspidalis (teknik memasukkan cincin plastik ke dalam katup),
perbaikan katup trikuspid terbuka, atau penggantian katup tricuspid (Mancini,
2018).
TR persisten atau berulang telah dilaporkan pada sampai dengan 20-50%
dari pasien yang menjalani katup mitral surgery. Dalam TR fungsional, ini
telah berhubungan dengan tingkat pembatasan daun katup trikuspid dan
keparahan dilatasi annular trikuspid.

3.2.6 Prognosis
Untuk berbagai kondisi, terutama tekanan darah tinggi di paru-paru dan
pembengkakan pada ruang jantung kanan bawah, dapat diatasi. Perbaikan katup
atau bedah biasanya memberikan perbaikan. Namun, orang dengan regurgitasi
trikuspid berat sehingga tidak dapat diperbaiki mungkin memiliki prognosis
buruk.

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Pneumoni pada anak umumnya
Pasien anak laki-laki berusia 2
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
tahun 8 bulan dibawa oleh orangtuanya
yang menunjukkan keterlibatan sistem
ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie
respiartori, serta gambaran radiologis.
Samarinda dengan keluhan sesak napas.
Prediktor paling kuat adanya pneumoni :
Sesak napas dialami sejak hari Sabtu
- Demam
pagi (2 hari sebelum masuk rumah
- Lebih dari satu gejala respiratori

31
o Sesak nafas
sakit). Selain itu, pasien juga mengalami
o Takipneu
batuk disertai dahak dan demam tinggi
o Batuk
yang hilang timbul sejak 2 hari SMRS,
o Nafas cuping hidung
suhu tinggi terutama saat malam hari.
o Retraksi dada Pasien sudah meminum obat penurun
o Rhonki panas paracetamol dan obat batuk
o Suara nafas melemah ambroxol namun belum membaik.
o Merintih Orang tua mengatakan nafsu makan
Pneumonia Berat pasien juga menurun sejak pertama sakit.
Terdapat batuk dan/atau kesulitan Pasien sempat muntah 1 kali setelah
bernapas ditambah minimal salah satu makan. Tidak ada gangguan buang air
hal berikut : kecil maupun gangguan buang air besar.
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan
gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
- Napas cepat :
- Suara merintih (grunting) pada bayi
muda

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
Pneumonia Tanda Vital
- Pemeriksaan fisik ditemukan tanda Nadi 109 x/menit
klinis : Pernafasan 42x/menit
- Nafas cepat Temperatur 37,8o C
- Pada nafas terdapat retraksi otot Status gizi
epigastrik, interkostal, - Berat badan:9 kg

32
suprasternal, dan pernapasan - Tinggi Badan:81 cm
cuping hidung Regio Thorax
- Pada auskultasi terdengar : Inspeksi :
o Crackles (ronki) - Dada tampak asymetris
o Suara pernapasan menurun - pernafasan tampak cepat
o Suara pernapasan bronchial Perkusi:
- sonor seluruh lapangan paru

Trikuspid Regurgitasi Auskultasi :

- Murmur pansistolik yang - rhonki (+/+),

berhubungan dengan regurgitasi - wheezing (-/-),

trikuspid bernada tinggi dan paling - suara jantung S1 S2 tunggal, bising

keras di ruang interkostal keempat jantung (+) ICS 4 parasternal sinistra

di wilayah parasternal.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Darah lengkap : Darah lengkap :
- Peningkatan jumlah leukosit. Infeksi - Leukosit 6370 /µL
virus leukosit normal atau meningkat - Hemoglobin 13,0 g/dl
(tidak melebihi 20.000/mm2 dengan - Hematokrit 37,7%
limfosit predominan) dan bakteri - MCV 79,9 fL
leukosit meningkat 15.000-40.000 - MCH 27,7 pg
/mm2 dengan granulosit yang - MCHC 34,6 g/dL
predominan atau PMN. - Trombosit 166.000 /µL
- Peningkatan LED dan CRP - Neutrofil% 42 %
Foto Thoraks : - Limfosit% 44 %
- Infiltrat interstisila, dintandai dengan - Monosit% 13 %
peningkatan corakan bronkovaskular, - Eosinofil% 0%
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. - Basofil% 0%
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi - LED: 29 (<10 mm/jam)
paru dengan air bronchogram. - CRP: 48.0 positif (<6.0 mg/l)
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus

33
disebut dengan pneumonia lobaris.
- Bronkopneumonia, ditandai dengan
gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infilrat yang dapat
Foto thoraks :
meluas hingga daerah perifer paru,
- Tampak bercak-bercak infiltrate
disertai dengan peningkatan corakan
pada perihiler dan paracardial
peribronkial.
kedua paru
Echocardiografi:
- Kedua sinus dan diafragma normal
- Aliran warna Doppler ekokardiografi
- Tulang-tulang intak
adalah pemeriksaan utama untuk
Kesan: Gambaran bronchopneumonia
mengevaluasi katup tricuspid.
- Ekokardiografi Doppler dapat digunakan
Hasil echo: mild TR
untuk menentukan derajat TR.
Pada regurgitasi tricuspid ringan (mild),
pancaran bersifat sentral dan sempit.
Pada regurgitasi pulmonik sedang hingga
berat, lebar pancaran meningkat

4.4 Penatalaksanaan
Teori Kasus
- Pneumonia berat pada usia 2 bulan-5 P:
tahun harus dirawat dan diberikan  IVFD D5 ¼ NS 800 cc/24 jam
antibiotik  Injeksi Ampicilin 3x250 mg IV
- Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap  Injeksi Gentamisin 2x20 mg IV
adalah pengobatan kausal dengan  Paracetamol syr 3x ¾ cth PO
antibiotik yang sesuai, serta tindakan
 NAC pulv 3x50 mg PO
suportif.
 Spironolakton 1x3,125 mg PO
- Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam
basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk
nyeri dan demam dapat diberikan

34
analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta
harus ditanggulangi dengan adekuat
- Usia 2-59 bulan dengan peneumonia
berat diterapi dengan antibiotik
paranteral yaitu ampicilin (atau
penicilin) dan gentamicin sebagai lini
pertama
 Ampicilin 100-200 mg/kgBB/ hari
dibagi dalam 4 dosis (selama 5 hari)
 Gentamicin 7,5mg/kgBB/24 jam
(selama 5 hari)

- Terapi untuk menangani TR bertujuan


untuk menangani kondisi peningkatan
ukuran atau tekanan ventrikel kanan,
yang dapat diatasi dengan pemberian
obat diuretik. Penanganan dengan
pembedahan dilakukan pada keadaan
yang berat. TR yang tidak memiliki
hipertensi pulmonal, seperti yang terjadi
pada endokarditis infektif atau trauma,
biasanya dapat sembuh tanpa
pembedahan

35
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien laki-laki
An. MA usia 2 tahun 8 bulan, dengan diagnosis Bronkopneumonia dan trikuspid
regurgitasi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
didapatkan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang telah sesuai dengan
literatur yang mendukung pada kasus tersebut.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. IDAI.


Jakarta:2009
2. Elloriaga, G.G. & Rey-Pineda, D. (2016). Basic Concepts on Community-
Acquired Bacterial Pneumonia in Pediatrics. ImedPub Journal, 1(1), 1 – 6.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2008). Buku Ajar Respirologi. Jakarta :
IDAI
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2013). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta.
5. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pneumonia Balita. Buletin Jendela
Epidemiologi, 3, 1 – 27.
6. Latief, Abdul, dkk. (2009). Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit
standar WHO. Jakarta : Depkes
7. Nelson. (2015). Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 19, Volume 2. Jakarta: EGC.
8. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Depkes RI.

37
9. Jason H. Rogers, Steven F. Bolling. (2009). The Tricuspid Valve : Current
Perspective and Evolving Management of Tricuspid Regurgitation.
Circulation;119:2718-2725

10. Mancini, C.Mary. 2018. Tricuspid regurgitation. Emedicine.

38

Anda mungkin juga menyukai