Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Istilah alergi yang
pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani)
yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Reaksi ini dapat terjadi dalam
hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan antibodi yang terikat pada
sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen.  

Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai
alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis
atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. 4,5

Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga,
merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah
atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang
berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.3

Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih
banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang  kemungkinan terlibat dikode
sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-
CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.
Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang
ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot
polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit
sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis
alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24
jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam
beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil,
basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali
bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor.  Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan.
Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan
menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan
IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.

2.1.1 Fase Sensitisasi


Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang
hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput
kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya
10% yang menunjukan gejala klinis setelah terpapar alergen dari udara.
Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen
MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit
CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah
karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).

Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang,


penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut
dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak
banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan
berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari
IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu
aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.

2.1.2 Fase Aktivasi


Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat
sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat
menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya
disebabkan alergen yang diujikan. Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I
adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah,
dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga
berperan.

Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil


mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan
alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang
antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:
a. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab
molekul IgE
b. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
c. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE


atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi
komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga
bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin
dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang
terinduksi suhu dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali
dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid
yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP
berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma
mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan
degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP
menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.

2.1.3 Fase Efektor


Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik
aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat
sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase
efektor.

2.2 Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang
disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau
sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang
dihasilkan oleh sel mast  dan mekanisme aksinya adalah sebagai  berikut:
 Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien
C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin
D2.
 Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PA.
 Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik
eosinofil dan netrofil.

2.2.1 Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)


Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi,
terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang
diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase
ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan
menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam
sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah
degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi.
Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis
atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari
anafilatoksis, c3a dan c5a.

Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari
berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan
distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin,
menunjukan berbagai efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah


bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf
sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak
yang disebabkan oleh kontaksi  otot-otot polos dan kelenjar saluran
pernafasan.

Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1.


Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat
berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan
histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh
sel mastosit tersebut.

Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit
teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id
anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic
factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan
granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang
lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi
ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting
dalam reaksi tahap lambat.

2.2.2 Mediator Jenis Kedua


Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila
ada kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin
dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi
kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam
reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki
pengaruh lebih lama di jaringan.
Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit
terdapat juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara
umum, mediator yang dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan
peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan
eosinofil.

2.2.3 Mediator Jenis Ketiga


Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat
yang bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi
substrat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase
akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi
radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi
lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali
disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena
pengaruhnya lebih lambat dari histamin.
LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan
produksi mukus. Leuktrien B4mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil
dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan
sel tersebut.

Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan
yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang
dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan
enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein
yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain
juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan
sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut
akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan
eksposure antigen pemicu.3

2.3 Manifestasi Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

2.3.1 Reaksi Lokal

2.3.2 Reaksi Sistemik-Anafilaksis

2.3.3 Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid

2.3.4 Perbedaan Anafilaksis dan Anafilaktoid


DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9thed. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI; 2010.p.383-9

2. Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung Seto;


2010.p. 31-84.

3. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune
System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.

4. Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. P. 423-5.

5. Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi.


5thed. Jakarta: Penerbit FKUI;2009. P. 45-6.

Anda mungkin juga menyukai