TINJAUAN PUSTAKA
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Istilah alergi yang
pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani)
yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Reaksi ini dapat terjadi dalam
hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan antibodi yang terikat pada
sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen.
Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai
alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis
atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. 4,5
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga,
merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah
atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang
berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.3
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih
banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode
sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-
CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.
Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang
ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot
polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit
sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis
alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24
jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam
beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil,
basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali
bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan.
Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan
menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan
IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.
Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang
disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau
sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang
dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:
Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien
C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin
D2.
Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PA.
Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik
eosinofil dan netrofil.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari
berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan
distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin,
menunjukan berbagai efek.
Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit
teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id
anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic
factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan
granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang
lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi
ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting
dalam reaksi tahap lambat.
Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan
yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang
dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan
enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein
yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain
juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan
sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut
akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan
eksposure antigen pemicu.3
3. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune
System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.
4. Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. P. 423-5.