Anda di halaman 1dari 2

Penyakit jantung merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia setiap tahunnya dan

diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Kemenkes
RI, 2014).

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung
relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan
klinis yang lebih berat. (Perki. 2015).

Gagal jantung kongestif atau Congestife Heart Failure (CHF) didefinisikan sebagai kondisi
jantung yang tidak lagi dapat memompakan darah yang cukup ke jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload
dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso et.al, 2007).
Sebenarnya jantung yang mulai lemah akan memberikan 3 mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan curah jantung, yaitu : meningkatkan aktifitas simpatik, retensi cairan, dan
hipertrofimiokard. Semua kompensasi di atas meningkatkan kerja jantung dan selanjutnya
menyebabkan penurunan kemampuan jantung. Jika mekanisme adaptif gagal
mempertahankan curah jantung, maka terjadi gagal jantung yang disebut dekompensasi
(Mycek et.al, 2001).

Pasien gagal jantung kongestif biasanya mengalami komplikasi penyakit lain sehingga
membutuhkan berbagai macam obat dalam terapinya (Yasin, et al., 2005). Pasien gagal
jantung kongestif pada umumnya harus diberikan sedikitnya empat jenis pengobatan yakni
ACE inhibitor, diuretik, betabloker, dan digoksin. Beberapa pasien terkadang juga
memerlukan perlakuan tambahan seperti pemberian senyawa antagonis aldosteron dan
sebagainya (Fajriansyah, dkk., 2016). Pemberian obat yang bermacam-macam tanpa
dipertimbangkan dengan baik dapat merugikan pasien karena mengakibatkan terjadinya
perubahan efek terapi (Yasin, et al., 2005) (Syafrida. 2017)

Penderita gagal jantung yang menjalani rawat inap seringkali mendapatkan obat dengan
jumlah yang banyak sehingga memberikan resiko terjadinya Drug Related Problems (DRPs)
yang akan
mempengaruhi hasil pada pasien
(Rosmiati, Karolina, 2016)

Penderita gagal jantung kongestif mendapatkan kombinasi obat dalam terapinya sehingga
perlu diwaspadai penggunaannya dan mengingat semakin meningkatnya angka kejadian
gagal jantung kongestif maka penting dilakukan penelitian tentang DRPs agar pasien
mendapatkan terapi yang tepat guna mencapai hasil terapi yang diharapkan sehingga dapat
memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup pasien. (Syafrida. 2017)

Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman
pasien atau diduga akibat adanya terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan
penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, et al., 1998). Kategori DRPs meliputi beberapa
kriteria, yaitu indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat tidak tepat, dosis obat kurang,
dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan, interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien (Strand,
et al., 1990). Identifikasi DRPs pada pengobatan penting dalam rangka mengurangi
morbiditas, mortalitas, dan biaya terapi obat. Hal ini akan sangat membantu dalam
meningkatkan efektivitas terapi obat terutama pada penyakit-penyakit yang sifatnya kronis,
progresif dan membutuhkan pengobatan sepanjang hidup (Fajriansyah, dkk., 2016).

Apoteker memiliki 3 peran utama dalam pharmaceutical care yaitu mengidentifikasi Drug
Related Problems (DRPs) aktual dan potensial, mengatasi DRPs yang terjadi aktual, dan
mencegah terjadinya DRPs potensial (Bezverhni et al., 2012). Drug related problems
dibedakan menjadi enam kategori berdasarkan PCNE (2006), dua kategori diantaranya adalah
interaksi obat dan ketidaktepatan pemilihan obat

(Nurjannah,Selvi. 2018).

Anda mungkin juga menyukai