Anda di halaman 1dari 34

BLOK MDP LAPORAN PBL

Rabu 9,September 2020

“Fraktur femur sinistra”

Disusun Oleh :

KELOMPOK 13

Tutor :
dr. Stazia Noija

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatnya, laporan ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.

Laporan ini berisi hasil diskusi kami mengenai skenario “Fraktur femur
sinistra” yang telah di bahas pada PBL tutorial 1 dan 2.

Dalam penyelesaian laporan ini, banyak pihak yang turut terlibat. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Stazia Noija, selaku tutor yang telah mendampingi kami selama
diskusi PBL berlangsung.
2. Semua pihak yang telah membantu yang tak dapat kami sebutkan satu per
satu.

Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.

Ambon, 13 september 2020

Kelompok 13

i
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK PENYUSUN

Ketua : Randy Ahmad Nur Latuconsina.............................2019-83-112

Sekretaris I : Ezra Grashellio Litaay............................................2019-83-068

Sekretaris II : Jessica Chrystine Seilatuw.....................................2019-83-150

Anggota :

1. Dziqrina K.S. Putri ........................................2018-83-124

2. Ericka Mohty S. Selly....................................2018-83-128

3. Dalia Izma Sakinah Tuasamu.........................2019-83-139

4. Rael Bintang Sherlyana Sormin.....................2019-83-026

5. Debora Victori Imanuela Hetaria...................2019-83-030

6. Ariel Sousii Makasale....................................2019-83-039

7. Margaretha Agnes Tolompu...........................2019-83-065

8. Sitna Hadijah Latuamury...............................2019-83-109

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR NAMA KELOMPOK PENYUSUN............................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR......................................................................................v

DAFTAR TABEL...........................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Skenario............................................................................................1
1.2 Step I. Identifikasi kata sukar dan kalimat kunci.............................1
1.3 Step II. Identifikasi Masalah............................................................2
1.4 Step III. Hipotesis Sementara...........................................................2
1.5 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping............................5
1.6 Step V. Learning Objective..............................................................6
1.7 Step VI. Belajar Mandiri..................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme terjadimya nyeri dan jenis jenis nyeri...........................7


2.1.1 Mekanisme terjadinya nyeri....................................................7
2.1.2 Jenis jenis nyeri.......................................................................9
2.2 Jenis jenis fraktur.............................................................................11
2.3 Pengertian GCS, cara pemeriksaan, pembagian secara kualitatif
dan kuantitatif
..........................................................................................................
13
2.4 Mekanisme terjadinya inflamasi......................................................19

iii
2.5 Mekanisme perjalanan nyeri............................................................22
2.5.1 Jalur ascenden..........................................................................23
2.5.2 Jalur descenden........................................................................23

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................26

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Mekanisme perjalanan nyeri .........................................................9

Gambar 2.4.1 Urutan kejadian pada reaksi inflamasi..........................................21

Gambar 2.4.2 Proses multitahap migrasi leukosit................................................10

Gambar 2.5.1 Fisiologi nyeri................................................................................24

v
DAFTAR TABEL

Gambar 2.3.1 Glasgow coma scale .....................................................................17

Gambar 2.3.2 Penilaian tingkat kesadran pasien berdasarkan skor GCS.............17

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario

“Fraktur femur sinistra”

Laki-laki usia 24 tahun jatuh dari sepeda motor, hasil foto rontgen di temukan
fraktur femur sinistra. Dilakukan operasi pemasangan plate femur. Pasca bedah
kesadaran (GCS E4 V5 M6) tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88x/menit. Satu
jam pasca bedah penderita merasa nyeri. Dan diberikan obat nyeri oleh dokter
jaga.

1.2 Identifikasi kata sukar dan kalimat kunci

Step I

a. Kata sukar

1. Rontgen : Alat yang digunakan untuk melihat tubuh dalam gelombang


lewat gelombang radiasi sinar X yang dapat menembus tubuh.
2. Fraktur : Kondisi ketika tulang patah sehingga hilangnya intentitas
tulang, juga menyebabkan posisi atau bentuk berubah.
3. Plate Femur : Alat bantu yang berbentuk seperti inplan logam Struktur
atau lapisan tipis seperti lapisan tulang yang tipis yang digunakan
untuk mensejajarkan tulan yang patah.
b. Kalimat kunci :
1. Laki-laki usia 24 tahun jatuh dari sepeda motor
2. Fraktur femur sinistra
3. Operasi pemasangan plate femur
4. GCS (E4 V5 M6), tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88x/menit
5. Satu jam pasca bedah penderita merasa nyeri

1
Step II

1.3 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana mekanisme terjadinya nyeri?


2. Mengapa pasien mengalami rasa nyeri pasca bedah?
3. Bagaimana interpretasi dari GCS
4. Mengapa setelah operasi terjadi peningkatan tekanan darah?
5. Resiko yang akan muncul setelah pemasangan plate femur
6. Apa hubungan fraktur dengan hipertensi

Step III

1.4 Hipotesis Sementara

1. Cedera dan luka akan mengalami necrosis yang akan melepaskan protein
intraseluler yang akan menyebabkan pembengkakan dan terjadi inflamasi
yang mengaktivasi mediator yang merangsang nosiserptor yang akan
menerima rangsangan. Yang kemudia akan memicu terjadinya 4 proses
yaitu transduksi (proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus), Transmisi(impuls disalurkan menuju crono dorsalis medulla
spinalis kemudian sepanjang traktus sensorik menuju ke otak,
modulasi(proses amplifikasi neural terhadap nyeri), Presepsi(Merupakan
kesadaran terhadap pengalaman nyeri, merupakan hasil dari 3 proses
sebelumnya).
2. Biasanya terjadi beberapa jam atau ebebrapa hari seltelah cedera. Akibat
kerusakan saraf yang berjalan atau berada di bawah tulang. Tindakan
operasi, seperti pemotongan atau peregangan jaringan mengakibatkan
trauma dan inflamasi pada jaringan sekitar, sehingga menimbulkan
stimulus nosiseptif yang merangsang reseptor nosiseptif kemudian
diteruskan ke medula spinalis. respons inflamasi menyebabkan terjadinya
perubahan plastisitas reversibel pada reseptor nosiseptor yang membuat
ambang rangsang reseptor nosiseptor menurun. Hal tersebut menyebabkan
sensitivitas terhadap nyeri meningkat pada daerah yang mengalami

2
kerusakan jaringan, sehingga rangsangan ringan saja dapat menimbulkan
rasa sakit atau nyeri pada pasien. Nyeri yang yang terjadi setelah operasi
biasnya diakibatkan oleh adanya luka sayatan, akibat terangsangnya multi
reseptor oleh adanya kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh adanya
luka sayatan. Dimana respon tubuh akan mempertahankan nyeri terhadap
kerusakan jaringan yang disebut inflamasi. Salah satu mediator inflamasi
yaitu asam arachidonat. Asam arachidonat adalat asam lemak
polyunsaturated yg berada di membrane sel fosfolipid yang akan dilepas
jika adanya stimulus dan kemudian asam arachidonat ini akan diaktivasi
oleh enzim phospholipase, melalui reaksi dengan enzim cyclooxygenase,
dan 5- lipoxygenase akan menghasilkan mediator aktif yang dinamakan
eicosanoid. Mediator aktif yg dihasilkan seperti prostaglandin, leukotriene,
dan lipoxin. prostadglandin yang merupaan mediator inflamsi yang
menyebabkan kemunculan nyeri.
3. E4 : Mata pada pasien spontan terbuka tanpa ada rangsangan
V5 : Dapat berbicara
M6 : Mengikuti instruksi perintah sesuai dokter
Dijumlahkan 15 berarti tigkat kesadaran tinggi karena jika nilai 14-15 itu
kmposmentis sadar sepenuhnya baik diri sendiri maupun lingkungan,12-13
nilai apatis yaitu pasien acuh tak acu,10-11 delirium yaitu pasien
mengalami kekacauan gerakn dan tampak gelisah,7-9 semnolen
mengantuk namun bisa sadar bila dirangsang, 5-6 sopor mengantuk dalam
tapi masih bisa dibngunkan, 4 yaitu semi koma penurunan kesadaran, 3
yaitu koma yaitu tidak menimbulkan rangsangan apapun
4. Ketika terjadi peradangan memicu inflamsi yang melepaskan mediator
leukotrien yang memicu tekanan darah meningkat akibat efek samping
obat bius, jaringan dari tubuh pasien membutuhkan O2, pasien mengalami
hipoksinia yang membuat tekanan darah pasien naik. Hubungan dengan
kadar O2 dalam tubuh karena pada pasien pasca operasi, beberapa jaringan
akan kekurangan pasokan O2 sehingga jika kekurangan O2 jantung harus
bekerja lebih kuat untuk memompa darah ke jaringan yang kekurangan

3
O2 sehingga tekanan darah meningkat. Sebelum operasi pasien akan
diberikan obat bius. Selama operasi obat bius menyebabkan terjadinya
penurunan tekanan darah agar tidak kekurangan darah. Setelah opersi obat
bius akan mulai hilang reaksi sehingga jaringan pada area operasi akan
mambutuhkan O2 untuk melakukan metabolisme kembali. Sehingga
jantung meakukan kompensasi yang membuat tekanan darah naik. Atau
pasien sudah memiliki riwayat hipertensi
5. Bengkak,nyeri, dan kemerahan efeknya dapat menimbulkan nyeri pada
area pemasangan.
Ketika melakukan operasi pasien dibius, sehingga terdapat jaringan
kekurangan O2 (Hipoksia), sehingga jantung harus bekerja lebih untuk
mengembalikan oksingen yang kekurangan pada jaringan setelah pasien
sadar.

4
Step IV
1.5 klarifikasi masalah dan mind mapping

Laki laki 24 tahun

Fraktur femur sinistra

Operasi
C
GCS E4 V5 M6 pemasangan Terasa nyeri
plate femur

Tekanan darah Nadi 88


140/90 mmhg kali/menit

Transmisi

Transduksi Pelepasan mediator


inflamasi
Persepsi

Modulasi

5
Step V
1.6 Learning Objective:
1. Mekanisme terjadinya nyeri dan jenis-jenis nyeri (kaitkan jenis nyeri
dengan skenario)
2. Jenis-jenis Fraktur
3. Pengertian GCS, cara pemeriksaan, pembagian secara kuantitatif dan
kualitatif
4. Mekanisme terjadinya inflamasi
5. Mekanisme perjalanan nyeri.

Step VI
1.7 Belajar Mandiri
(hasil belajar mandiri dibahas pada step VII yaitu jawaban dari learning
objective)

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme terjadinya nyeri dan jenis-jenis nyeri

2.1.1 Mekanisme nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.1
a. Transduksi
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu
serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal
terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar
nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,
juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.1
Nosiseptor-nosiseptor tersebut tersebar diseluruh tubuh kita
utamanya pada kulit, otot, tulang, jaringan ikat, sendi maupun pada organ-
organ viseral. Aktifasi suatu nosiseptor dimulai dengan depolarisasi ion
Ca+, yang segera akan diikuti dengan masuknya ion Na+ kedalam sel
menghasilkan potensi aksi. Inilah awal dari perambatan suatu nosisepsi.2
b. Transmisi
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik
menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima
aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis

7
medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron
spinal.1
c. Modulasi
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri
(pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis
medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian
reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu
dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari
korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah
(midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis.
Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan
penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.1
d. Persepsi
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,
aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah
organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis, reseptor
nyeri (nosiseptor) ada yang bermyelin dan ada juga yang tidak bermyelin
dari saraf aferen.1

8
Gambar 2.1.1 : Mekanisme Perjalanan Nyeri
(Sumber: Dominic Wu. Pain Management. 2017.)
2.1.2 Klasifikasi nyeri
Rasa nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual. Adanya takut,
marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri
itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan
mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker).4

a. Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi
yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus
istirahat. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh
hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau
nonmalignan yang dialami pasien selama 1-6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan terjadi pada penyakit
yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau
infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai elemen nosiseptif dan
neuropatik. Nyeri kronik nonmalignant (nyeri punggung, migrain, artritis,
diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi

9
dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn
pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.4
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda
dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat,
diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul. Meskipun begitu, muncul
ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau
tidaknya nyeri.4

b. Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik


Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan
kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi
pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang
nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik
opioid atau non opioid.4
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang
meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan
dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri
neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik
opioid.4

c. Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah
permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri visceral seperti keram sering bersamaan
dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,
menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.4
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen,
spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran
empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena

10
peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh
darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.4

d. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,
mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,
jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan
peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik.Penyakit yang menyebar pada dinding
parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus
spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana
dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.4

e. Nyeri pada pasien sesuai skenario


Rasa nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual. Adanya
rasa takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi
nyeri itu dirasakan. Sehingga salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
adalah mengklasifikasikannya sesuai dengan skenario. Jika dilihat secara
patofisiologinya nyeri yang dialami adalah nyeri inflamatorik dikarenakan
melibatkan proses inflamasi, dan juga nyeri somatik dikarenakan
cederannya melibatkan tulang namun nyeri tersebut jika dilihat secara
etiologinya maka nyeri tersebut merupakan nyeri post operasi.

2.2 Jenis jenis fraktur

Kondisi patologis tulang yang paling sering ditemukan yaitu fraktur. Fraktur
merupakan keadaan dimana suatu bagian khususnya tulang mengalami
pemecahan atau ruptur. Keadaan fraktur ini digolongkan menjadi beberapa jenis,
yaitu:5

11
a. Fraktur Komplit

Fraktur dengan diskontinuitas menyeluruh dari tulang dan mengakibatkan


berpisahnya tulang menjadi dua fragmen.

b. Fraktur Tidak Komplit

Merupakan keadaan fraktur dengan diskontinuitas tidak sepenuhnya menyeluruh.

c. Fraktur Tertutup

Terjadi ketika fraktur yang dialami tidak melibatkan jaringan di atasnya, sehingga
bagian luar permukaan kulit tidak menunjukkan luka.

d. Fraktur Terbuka

Fraktur akan meluas ke kulit di atasnya, sehingga pada daerah yang patah akan
terdapat luka dan tidak jarang mengalami perdarahan. Biasanya tulang yang patah
juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur
terbuka menyebabkan tulang menonjol keluar.

e. Comminuted

Fraktur akan menyebabkan tulang pecah berkeping-keping.

f. Salah letak (displaced)

Keadaan ini dapat terjadi jika tulang yang mengalami fraktur menjadi tidak
segaris.

Apabila patah terjadi pada tempat penyakit yang sudah ada sebelumnya (contoh:
kista tulang, tumor ganas atau brown tumor yang berhubungan dengan
peningkatan HPT), dinamakan fraktur patologis. Sedangkan Stress fracture
berkembang perlahan-lahan dalam waktu yang lama sebagai kumpulan fraktur
mikro yang berhubungan dengan aktivitas fisis yang meningkat terutama beban
baru yang terjadi berulang pada tulang (seperti yang sering terjadi pada latihan
para militer).

12
Jenis-jenis fraktur juga dapat dibedakan berdasarkan radiologisnya antara lain: 6

a. Fraktur Transversal

Fraktur jenis ini merupakan suatu keadaan patah tulang dengan garis patahnya
berada tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.

b. Fraktur hairline

Fraktur undisplaced dengan perpisahan minimal dari fragmen fraktur dan garis
fraktur sangat tipis.

c. Fraktur Kominutif

Jenis fraktur yang dimana keutuhan jaringan akan terputus sehingga terdiri dari
dua atau lebih segmen fragmen fraktur.

d. Fraktur Oblik

Garis patahan pada fraktur jenis ini akan membentuk sudut terhadap tulang.

e. Fraktur Segmental

Merupakan salah satu jenis fraktur yang sulit ditangani, karena pada satu tulang
terdapat lebih dari satu patahan yang berdekatan sehingga menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya.

f. Fraktur Impaksi

Biasa disebut juga fraktur kompresi, fraktur ini terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.

2.3 Pengertian GCS, cara pemeriksaan, pembagian secara kuantitaif dan


kualitatif

Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Kesadaran dapat


didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen

13
dan aferen. Semua impuls aferen disebut input dan semua impuls eferen dapat
disebut output susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran yang
baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri dan
formasio retikularis di batang otak yang intak.

Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat menimbulkan


gangguan kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal dengan istilah
compos mentis, di mana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat, didengar,
dihidu, dikecap, dialami, serta perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, gerak,
getar, tekan, dan sifat, bersifat adekuat (tepat dan sesuai). Pada kondisi penyakit
neurologis maupun non neurologis, dapat terjadi gangguan kesadaran.

Penilaian derajat kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun secara


kuantitatif. Penilaiangangguan kesadaran secarakualitatifantara lain mulai dari
apati, somnolen, delirium, bahkan koma. Pada manual ini akan diajarkan penilaian
derajat kesadaran secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). Penilaian derajat kesadaran ini sangat penting dikuasai karena
mempunyai harga praktis, yaituuntuk dapat memberikan penanganan, menentukan
perbaikan, kemunduran, dan prognosis.

Kesadaran mengacu pada kesadaran subjektif mengenai dunia luar dan diri,
termasuk kesadaran mengenai dunia pikiran sendiri; yaitu kesadaran mengenai
pikiran, persepsi, mimpi, dan sebagainya.

Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen


non-spesifik dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena tergantung
pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran bisa tinggi atau
rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-neuron yang
menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminares. Oleh karenaitu,
neuron-neuron tersebut dapat dinamakan neuron penggalak kewaspadaan.

Derajat kesadaran ditentukan oleh banyaknya neuron penggalak atau neuron


pengemban kewaspadaan yang aktif dan didukung oleh proses biokimia untuk
menjaga kelangsungan kehidupan neuron tersebut. Apabila terjadi gangguan

14
sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma yang
dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali
tidak berfungsi (disebut koma bihemisferik) atau oleh sebab neuron 6 penggalak
kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan
(koma diensefalik). Koma bihemisferik antara lain dapat disebabkan oleh
hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, koma hepatikum, hiponatremia, dan
sebagainya. Koma diensefalik antara lain dapat disebabkan oleh: strok, trauma
kapitis, tumor intracranial, meningitis, dan sebagainya.

Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala
neurologik yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran
seseorang. GCS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham
Teasdale dan Bryan J. Jennett, professor bedah saraf pada Institute of
Neurological Sciences,Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakanoleh
dokter umum maupun para medis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan
sistematis.

GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata (eye
opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal
terbaik(best verbal response).

Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangatlah


penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat, sebagai contoh:
GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan seperti: GCS
10 (E2M4V3). Skor tertinggi menunjukkan pasien sadar (compos mentis), yakni
GCS 15 (E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3 = E1M1V1).

Pada kondisi tertentu, akan sulit menentukan komponen GCS, misalnya: pasien
dalam keadaan ter-intubasi (pemasangan Endothracheal Tube/ETT). Pada kondisi
ini, diberikan skor 1 dengan modifikasi keterangan tambahan, misalnya:
E2M4V1t atau E2M4Vt (t = tube/ETT).5

15
Kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan cedera kepala. Pasien dengan
cedera kepala yang tidak tertangani dengan baik sangat rentan dengan kecacatan
permanen atau bahkan kematian. Untuk mengetahui apakah seorang korban
kecelakaan mengalami cedera kepala atau tidak harus dilakukan evaluasi.
Evaluasi awal dan termudah yang dapat dilakukan ialah Primary Survey yang
terdiri dari pemeriksaan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure).

Pemeriksaan Primary Survey merupakan salah satu penanganan pertama


terhadap trauma berdasarkan pedoman Advanced Trauma Life Support (ATLS).
Setelah Primary Survey, dilakukan Secondary Survey yang memeriksa keadaan
pasien dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah dilakukan Primary Survey
dan Secondary Survey, pasien dipindai baik CT Scan maupun rontgen untuk
mengecek apakah ada trauma atau pendarahan internal yang tidak dapat dideteksi
saat Secondary Survey.

Pada saat pemeriksaan Disability, pemeriksa mengecek tingkat kesadaran


pasien dengan AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unconscious) atau GCS (Glasgow
Coma Scale). AVPU lebih mudah dilakukan saat di lapangan namun GCS lebih
akurat untuk mendeteksi trauma kepala. Trauma kepala akan menimbulkan cedera
jaringan otak yang dapat menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio serta
kerusakan sawar darah otak.

Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan skala yang diciptakan pada tahun
1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan Jennet. GCS bertujuan untuk mengetahui
level kesadaran pasien yang mengimplementasikan ada tidaknya cedera otak akut.
Pemeriksaan GCS ini terdiri dari tiga komponen pemeriksaan yaitu mata, verbal
dan gerakan/motorik (eyes, verbal and motor). Pada setiap kondisi, memiliki skor
tertentu dan skor tersebut menggambarkan bagaimana tingkat kesadaran pasien.6

16
Tabel 2.3.1 Glasgow Coma Scale.6
Sumber : Handoko, E. J. (2019). Pemahaman Mahasiswa
terhadap Pemeriksaan Kesadaran Glasgow Coma Scale.

Tingkat kesadaran pasien dibagi menjadi 4 keadaan berdasarkan skor GCS


totalnya :

Table 2.3.2 Penilaian tingkat kesadaran pasien berdasarkan skor


GCS.6
Sumber : Handoko, E. J. (2019). Pemahaman Mahasiswa terhadap
Pemeriksaan Kesadaran Glasgow Coma Scale

Contoh pelaporan kondisi pasien ialah E2, V3, M5 artinya pasien membuka
mata saat diberi rangsang nyeri, respon verbal pasien hanya berupa kata-kata dan
respon motorik pasien ialah mampu melokalisasi nyeri. Dengan demikian tingkat
kesadaran pasien ialah soporokomatus. Pada kondisi ini ada beberapa
kemungkinan cedera yang dialami pasien seperti meningitis, pendarahan pada
otak (pendarahan spatium subarachnoid), dan stroke emboli.

17
Berdasarkan salah satu wawancara peneliti dengan salah seorang responden
yang pernah terlibat dalam suatu kecelakaan lalu lintas, GCS adalah salah satu
upaya vital dalam penanganan pertama dan hasil GCS yang diperoleh korban akan
berpengaruh terhadap tindakan lanjutan yang akan dilakukan kepada probandus.
Menurut pengalaman responden, saat korban dilarikan ke rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan lanjutan, tenaga medis yang ada di rumah sakit akan
menanyakan bagaimana kondisi pasien saat dievaluasi pertama kali (hasil primary
survey) dan berapakah skor GCS pasien tersebut. Penurunan skor GCS sebesar 1
atau 2 poin saja dapat mengimplentasikan adanya penurunan fungsi neurologis
dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti Computerized Tomography
Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Maka dari itu, sangat penting pemahaman akan GCS karena kecelakaan lalu
lintas dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan GCS berperan dalam
mengurangi risiko cedera otak permanen karena melalui GCS, tenaga medis dapat
mengetahui tindakan medis apa yang tepat dan sesuai dengan kondisi korban.

Pada praktiknya, GCS hanyalah salah satu pemeriksaan neurologis. Untuk bisa
mendapatkan diagnosis pasti mengenai lokasi kelainan neurologis, harus
dilakukan pula pemeriksaan lain seperti refleks pupil, refleks batang otak,
pemeriksaan tanda meningeal dan pemeriksaan lainnya.

Meski pemeriksaan GCS mudah dilakukan dan dapat memberikan gambaran


tentang keadaan neurologis pasien, pemeriksaan GCS tetap memiliki kelemahan.
Salah satu kelemahannya adalah pemeriksaan GCS sangat mengandalkan
kemampuan pemeriksa. Mungkin saja, skor GCS antara pemeriksa satu dengan
lainnya berbeda. Dalam kondisi tertentu bahkan aspek-aspek dalam pemeriksaan
GCS tidak dapat diperiksa. Contohnya seorang pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas dan mengalami cedera pada mata. Cedera tersebut sangat parah sehingga
menyebabkan terjadinya pembengkakan pada wajah pasien yang menyebabkan
mata pasien tidak dapat dibuka. Dalam kejadian seperti ini, GCS mata pasien
tidak bisa diperiksa dan skor GCS mata pasien dilambangkan dengan tanda setrip.

18
Artinya pasien tidak dapat membuka mata namun hal ini bukan disebabkan karena
cedera neurologis namun karena cedera pada wajah pasien yang menyebabkan
mata pasien tidak dapat dibuka.

2.4 Proses terjadinya inflamasi7

Inflamasi merupakan respons pertahanan non spesifik tubuh terhadap


kerusakan jaringan. Terkait dengan sifatnya yang tidak spesifik, inflamasi dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti infeksi pathogen, goresan luka, iritasi oleh
bahan kimia atau temperature yang ekstrrim. Terdapat lima cirri umum
yangmenandakan terjadinya inflamasi, yaitu rasa sakit di daerah inflamasi, kulit
yang memerah, pembengkakan, rasa panas, dan kehilangan fungsi (misalnya
ketidakmampuan merasakan sentuhan). Rasa sakit disebabkan karena adanya
respon sel syaraf untuk meningkatkan kesadaran otak akan terjadinya inflamasi.
Rasa panas dan kulit memerah disebabkan oleh menumpuknya daerah dalam
jumlah yang banyak di daerah inflamasi. Pembengkakan disebabkan oleh
keluarnya cairan-cairan dalam pembuluh darah ke jaringan.

Inflamasi dicetuskan oleh perantara kimiawi yang diproduksi oleh sel


tubuh sebagai respons terhadap pemicu kerusakan. Inflamasi dimulai ketika ada
mikrob yang memasuki jaringan atau apabila jaringan mengalami kerusakan,
maka adanya infeksi atau kerusakan tersebut akan dideteksi oleh sel residen,
termasuk makrofag, sel dendritik, sel mast, dan sel jenis lain. Sel-sel ini
mensekresikan molekul (sitokin dan mediator lain) yang memicu dan mengatur
respons inflamasi selanjutnya. Mediator inflamasi juga dihasilkan oleh protein
plasma yang bereaksi terhadap mikrob atau produk sel nekrotik. Berberapa
mediator tersebut menstimulasi keluarnya plasma dan perekrutan leukosit yang
bersirkulasi menuju lokasi tempat zat pengganggu berada. Berberapa mediator
juga ada yang mengaktivasi leukosit yang direkrut dan meningkatkan
kemampuannya untuk menghancurkan dan memusnahkan zat pengganggu.
Penting untuk memahami peran mediator kimiawi karena sebagian besar obat anti
inflamasi memiliki target mediator yang spesifik.

19
Gambar : 2.4.1 Urutan kejadian pada reaksi inflamasi
Sumber: Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar
Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders7

Makrofag yang berfungsi sebagai respon terhadap adanya bakteri yang


masuk akan berjalan ke daerah luka dan memakan bakteri yang masuk. Makrofag
juga mengeluarkan berbagai senyawa kimia salah satunya adalah sitokin. Sitokin
adalah protein berukuran kecil yang mengatur respon imun. Sebagian sitokin akan
masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan sel endothelial mengekspresikan
reseptor spesifik yang disebut selektin. Seloektin akan berikatan akan berikatan
dengan molekul karbohidrat yang berada pada permukaan sel neutrofil dan
membuat sel tersebut seperti tersangkut sehingga memelankan neutrofil dalam
pembuluh darah seakan-akan neutrofil bergerak secara menggelinding.

Sinyal inflamatoris memicu neutrofil mensekresikan molekul adesif


bernama integrin. Integrin berikatan dengan molekul ICAM-1 dan VCAM-1 pada
sel endothelial dan menyebabkan gerakan neutrofil berhenti, dan sel tersebut
terentang sepanjang sel endothelial. Selanjutnya jaringan yang mengalami
keruskan mensekresikan bradikinin yang menstimulasi sel endothelial pembuluh

20
darah untuk merenggangkan ikatan rapatnya sehingga neutrofil mampu keluar dari
pembuluh darah dan membantu makrofag menyerang bakteri. Bradikinin juga
mampu berikatan dengan sel mast dan menstimulasi sel mast mensekresikan
histamine. Histamine menyebabkan pembuluh darah mengalami vasodilatasi dan
permeabilitas pembuluh darah meningkat. Vasodilatasi pada pembuluh darah
memungkinkan lebih banyak darah yang mengalir ke daerah luka. Sedangakn
permeabilitas yang meningkat memungkinkan protein-protein berfungsi dalam
pertahanan seperti antibody dan faktor pembekuan darah keluar dari pembuluh
darah ke daerah luka. Hal tersebut bertujuan untuk membantu menghilangkan
bakteri dan senyawa toksik yang mungkin dikeluarkan oleh bakteri.

Bradikinin yang menempel pada sel kapiler akan menstimulasi sel tersebut
mensekresikan prostaglandin. Prostaglandin menstmulasi sel syaraf sensoris pada
kulit untuk menimbulkan sensasi rasa sakit. Sinyal rasa sakit kemudian diterima
oleh otak dan meningkatkan kesadaran pada otak bahwa pada daerah tersebut
sedang terjadi proses inflamasi.

Gambar : 2.4.2 Proses multitahap migrasi leukosit melalui pembuluh


darah
Sumber: Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar
Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders7

2.5 Mekanisme perjalanan nyeri

21
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat prosest ersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi,dan persepsi.9

Transduksi adalah suatu proses dimanaakhiran saraf aferen


menerjemahkan stimulus(misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-
delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non
noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut
ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi.9

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu


dorsalis medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik
dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan
selanjutnya berhubungan dengan banyak neuronspinal.9

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain


related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid
seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif
jugamempunyai jalur desending berasal dari korteksfrontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya keotak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya
menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah
penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.10

Persepsi nyeri adalah kesadaran akanpengalaman nyeri. Persepsi


merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh

22
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin
dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.10

Jalur Nyeri di Sistem Saraf Pusat9,10

2.5.1.1 Jalur Asenden

Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri


akut tajam dan kronik lambat, bersinap di substansia gelatinosa kornu dorsalis,
memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau
cabang paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap
di nucleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara
langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri
dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang
paleospinotalamikus, yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C
adalah suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral keformatio retikularis
batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan
sistem limbik serta kortek serebri.

2.5.1.2 Jalur Desenden

Salah satu jalur desenden yang telah diidentifikasi adalah mencakup 3


komponen yaitu :

a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG )


dan substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian
atas yang mengelilingi aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus
ravemaknus (NRM) yang terletak dipons bagian bawah dan medula

23
oblongata bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis
(PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis.

Gambar 2.5.1 Fisiologi nyeri9


Sumber : Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri (Pain). 2017;13(1):8-9p

BAB III

24
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nyeri merupakan sebuah proses multipel yakinj nosisepsi, sensitisasi


perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi
struktural, dan penurunan inhibisi. Terdapa 4 proses dalam proses perjalanannya
dari mulai dari stimulus sampai dengan reaksi yaitu tranduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Mekanisme perjalanan nyeri terbagi menjadi dua jalur yait
jalur asenden dan desenden Nyeri diklasifikasikan berdasarkan durasi (akut,
kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska
pembedahan, kanker). Berdasarkan skenario, nyeri yanh dialami laki-laki tersebut
adalah nueri inflamatori jika ditinjau berdasarkan patofisiologinya nyeri yang
dialami, nyeri somatik dikarenakan melibatkan tulang, serta nyeri post operasi jika
dilihat secara etiologinya. GCS merupakan sebuah tes untuk mengetahui tingkat
kesadaran pasien. GCS penting dilakukan untuk dapat memberikan penanganan,
menentukan perbaikan, kemunduran, dan prognosis. GCS memiliki nilai
kuantitatif dan kualitatif yang dimana berdasarkan skenario laki-laki tersebut
memiliki nilai kiantitatif 15 (E4, V5, M6) dengan nilai kualitatifnya adalah
composmentis. Fraktur adalah keadaan dimana suatu bagian khususnya tulang
mengalami pemecahan atau ruptur. Fraktur diklasifikasikan menjadi fraktur
transversal, fraktur hairline, fraktur kominutif, fraktur oblik, fraktur segmental,
dan fraktur impaksi. Inflamasi adalah suatu respon jaringan bervaskular
terhadapnadanya infeksi dan kerusakan jaringan. Manifestasi ekternal dari adanya
inflamasi adalah panas (kalor), kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), nyeri
(dolor) dan kehilangan fungsi (functio laesa).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri. 2017; 13(1): 10p.


2. Suwondo BA, Meliala L, Sudadi. Buku Ajar Nyeri 2017. Yogyakarta:
2017; 16-20p.
3. Dominic Wu. Pain Management. 2017.
4. Kurniawan, S. N. 2015. Nyeri Secara Umum dalam Continuing
Neurological Education 4,Vertigo dan Nyeri. UB Press, Universitas
Brawijaya, Malang. 48-111p.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. (2015). Pemeriksaan Derajat
Kesadaran (Glasgow Coma Scale). Manual CSL.
6. Handoko, E. J. (2019). Pemahaman Mahasiswa terhadap Pemeriksaan
Kesadaran Glasgow Coma Scale.

26
7. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi
Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders.
8. Wiarto. Giri. 2017. Nyeri Tulang dan Sendi. Yogyakarta: Gosyen
Publishing
9. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri (Pain). 2017;13(1):8-9p.
10. Ryantama AAW. Respon Tubuh Terhadap Nyeri. 2017;5-7p

27

Anda mungkin juga menyukai