Anda di halaman 1dari 5

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

HIRSPRUNG

Intan Runtu 18061044


Natasya Tulangow 18061081
Destri Wattimena 16061091

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO
2020
TINJAUAN TEORI

1. Definisi Hirsprung

Penyakit Hirsprung disebut jugga congenital aganglionik. Penyakit ini merupakan


keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan. Jadi, karena ada bagian dari usus
besar yang tidak mempunyai persarafan, maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam
menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar
yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada
usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik
karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).

2. Macam-macam Penyakit Hirschprung

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :


a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus.
Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)

3.  Etiologi Hisprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke
dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke
arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan
terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)
a. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
b. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal
pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus. (Suriadi, 2001 : 242).
4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala setelah bayi lahir


a. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
b. Muntah berwarna hijau
c. Distensi abdomen, konstipasi.
d. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja / pengeluaran gas
yang banyak.

Gejala pada anak yang lebih besar  waktu lahir.


a. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
b. Distensi abdomen bertambah
c. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
d. Terganggu tumbang karena sering diare.
e. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
f. Perut besar dan membuncit.

5. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer


dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic
hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak
adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily
& Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap
daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S
& Wilson ).

6. Manifestasi Klinis
a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan distensi.
e. Gangguan pertumbuhan.
f. (Suriadi, 2001 : 242)
g. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai mekonium.
h. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara spontan
maupun dengan edema.
i. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut.
j. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare berbau
busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
k. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)

1. Masa Neonatal :
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
b. Muntah berisi empedu.
c. Enggan minum.
d. Distensi abdomen.
2. Masa bayi dan anak-anak :
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Gagal tumbuh

7. Komplikasi

a. Gawat pernapasan (akut)


b. Enterokolitis (akut)
c. Striktura ani (pasca bedah)
d. Inkontinensia (jangka panjang
a. Obstruksi usus
b. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
c. Konstipasi

8. Pemeriksaan Diagnostik

a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and mencari
sel ganglion pada daerah submukosa.
b. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos.
Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas
terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
e. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
f. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
g. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
h. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.
9. Penatalaksanaan

Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau
double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal
(memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
a. Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya
dibelakang usus aganglionik.
b. Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan
saluran anal yang dibatasi.
c. Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang
bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
d. Intervensi bedah
a. Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi.
Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan
prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh
suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.

Anda mungkin juga menyukai