Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemakaman Adat Gorontalo
Molalunga merupakan upacara adat masyarakat Gorontalo yang
berhubungan dengan acara pemakaman. Kegiatan ini sudah merupakan
tradisi masyarakat sejak dahulu yang masih dipertahankan hingga sekarang
ini. Dalam pelaksanaannya acara pemakaman dilaksanakan secara terpadu
antara adat istiadat dan agama Islam. Ada pemahaman bagi masyarakat
bahwa apabila penyelenggaraan pemakaman dilaksanakan secara adat
penuh, lengkap dan sempurna akan berpengaruh bagi keselamatan
almarhum atau almarhumah di alam kubur. Islam sebagai agama mayoritas
masyarakat Gorontalo diyakini bahwa ajaran yang telah lama dianut
meyakini bahwa kewajiban terhadap jenazah ada 4 hal yaitu memandikan,
mengafankan, menshalatkan dan menguburkan jenazah.
Menyelenggarakan keempat hal tersebut bagi masyarakat muslim
hukumnya adalah fardlu kifayah. Sesuai kenyataan, keempat hal tersebut
dikembangkan dalam tata cara adat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku,
yang dapat dinilai sebagai etika peradaban sebagaimana dilakukan oleh
suku-suku bangsa lainnya. Pengembangan tersebut telah diberlakukan sejak
abad ke-17 di Gorontalo, yakni sejak pemerintahan Sultan Eyato yang
tercetus dalam slogan adati hula-hulato saraa sara’a hula-hula’a to
kuru’aniatau adat bersendi syarak, syarak bersendi alqur’an.
Dalam penyelenggaraan pemakaman menurut adat Gorontalo, ada
tiga versi pelaksanaan pemakaman sesuai status orang yang meninggal
yaitu:
1. Pemakaman untuk Olongia/ atau raja.
Upacaranya disebut pohu-pohutu atau upacara adat lengkap. Upacara
pemakaman untuk raja, biasa diistilahkan : Pohutu to Mongo’eya, yang
melibatkan para Bubato yang terdiri dari enam golongan yaitu:
a) Bupati/Walikota pada tingkat raja
b) Wakil Bupati/ Walikota yang diistilahkan dengan Huhuhu
c) Camat atau Wulea lo Lipu
d) Kadli, Mufti selaku pemimpin agama
e) Mbui Bilowato atau isteri Bupati/Walikota, dan
f) Ta Bilantalo atau putera, puteri Bupati/Walikota sebagai Mongopulubila.
2. Pemakaman untuk para Bubato
Bubato yaitu pejabat di bawah raja termasuk Wali-wali Mowali
(bangsawan dan turunan raja-raja) yaitu pelaksananya adalah pemerintah
setempat, upacaranya tidak selengkap pemakaman raja;
3. Pemakaman untuk rakyat (tuwango lipu), upacara yang sederhana.
Pemakaman secara adat untuk rakyat, dilaksanakan dengan ketentuan:
a) Ada keinginan untuk melaksanakan adat,
b) Ada kemampuan di bidang material (keuangan). Ketentuan ini didasarkan
atas pandangan Islam bahwa setiap jenazah siapapun orangnya patut
dimuliakan dalam satu upacara kebesaran adat. Upacara adat pemakaman
Gorontalo mempunyai fungsi dan nilai tinggi, sebagai suatu
penghormatan dan tanda kebesaran terhadap yang meninggal.
Penghormatan dan tanda kebesaran sering diwujudkan pada gelar yang
disebut gara’i. Gelar itu menggambarkan jasa dan kebiasaannya pada
waktu ia masih mmenduduki jabatan di pemerintahan.
2.2 Tahapan dalam Upacara Pemakaman Adat Gorontalo
Proses pelaksanaan pemakaman adat Gorontalo, yakni adat pohutu
molalungo adalah sebagai berikut:
a. Po’oto/pu’owa(pemberitahuan)
Po’oto dilaksanakan oleh keluarga yang berduka dengan
menyampaikan kepada ketua RW/kepala desa/lurah tentang musibah atas
meninggalnya anggota keluarga. Apabila musibah itu terjadi pada malam
hari, maka disebut pu’owa, yaitu membangunkan kepada desa/lurah di
kala sementara tidur lelap. Selanjutnya ketua RW/kepala desa/lurah
mengecek kebenarannya dan melakukan musyawarah tentang prosesi
penye- lenggaraan jenazah yang akan dilakukan oleh keluarga simayit.

b. Persiapan sarana adat


Sarana adat tersebut seperti pembuatan alikusu (gapura adat), tolituhu
(tangga adat), huhulihe (usungan), lalante (tempat memandikan jenazah),
pengaturan tempat duduk bagi pelayat termasuk tambibala/bulito lo
aadati (pemangku adat)
c. Penggaliankubur
Penyelenggaraan acara pemakaman didahului dengan penetapan
petugas- petugasnya dan yang menetapkan adalah kepala desa/lurah
setempat, sedang pelaksanaan adatnya dipimpin oleh baate/wu’u. Adapun
petugas-petugas tersebut, yaitu:

1. Petugas yang meminta tanah kuburan (modu’atakuubula)


2. Petugas yang menggali kubur (monga’ude kuubulu)
3. Petugas yang memandikan (momulangato/mopolihu)
4. Petugas yang mempola kain kafan (modilita taputo)
5. Petugas yang bertahlil(motahalili)
d. Proses penyelenggaraanjenazah
1) MemandikanJenazah
Orang yang memandikan jenazah disunnahkan adalah orang-orang yang
amanah atau terpercaya, karena dengannya diharapkan kebaikan-kebaikanna
dapat disampaikan kepada masyarakat dan keburukan-keburukannya
ditutupi. Apabila jenazah laki-laki, maka yang berhak memandikannya
adalah laki-laki dan isterinya, dan apabila jenazah perempuanyang berhak
memandikannya adalah perempuan dan suaminya (Ritonga dan Zainuddin,
1997).
Usman (wawancara, 2015) menjelaskan bahwa khususnya di
Gorontalo, biasanya yang memandikan adalah hatibi bagi jenazah laki-laki
dan hulango lo kambunga (bidan kampung) bagi jenazah perempuan
dibantu dari pihak keluarga dekat. Sebelum memandikan jenazah, alat-alat
dan bahan-bahan yang perlu dipersiapkan untuk perleng- kapan mandi
jenazah sesuai adat di Gorontalo,yaitu:

a) Isingga, yaitu istinja yang terbuat dari kain putih yang dirobek
sebanyak 7 (tujuh) kali yang fungsinya digunakan membersihkan
kotoranjenazah.
b) Junupu, yaitu 7 (tujuh) bulatan kapas yang berfungsi menutupi lubang
dubur dan kemaluan jenazah. Untuk laki-laki hanya 5 (lima) bulatan
kapas, karena hanya menutupi lubang duburjenazah.
c) Kain putih 2 (dua) meter, berfungsi untuk menutupi jenazah saat
dimandikan, dan kain putih 2 (dua) meter lagi yang digunakan untuk
mengeringkanjenazah.
d) Sabun berfungsi untuk membersihkan jenazah.
e) Kapur barus dan wewangian lainnya yang fungsinya mengharunkan
jenazah.
Setelah perlengkapan di atas tersedia, maka langkah berikutnya
mempersiapkan air untuk memandikan jenazah, dan dalam adat Gorontalo
ada 3 (tiga) tahapan sebagaimana diungkap Bumulo (wawancara, 2015),
yaitu:

a) Taluhu Ungongala’a (Mandi Keluarga)


Taluhu ungongala’a biasa juga disebut mopolihu lo bele, yaitu
dimandikan oleh keluarga atau kerabat sebelum mandi wajib bagi
jenazah. Ini merupakan pensucian diri jenazah oleh keluarga, diistilahkan
mopodungga taluhu lo auwali.
b) MandiWajib
Mandi wajib yang dimaksudkan adalah mandi sesuai syariat Islam.
Air yang dipergunakan untuk mandi wajib harus disaring sebanyak 7
(tujuh) kali, supaya air bersih, jernih dan tidak berbau. Setelah
memandikan jenazah selesai, maka jenazah diwudhukan seperti wudhunya
orang yang hidup (Ritonga, 1990). Kemudian tubuh jenazah dikeringkan
dengan kain putih kering yang berukuran 2 (dua) meter, dan jenazah
ditutupkembali.

c) Taluhe Li Duyo (Tiga MacamAir)


Taluhe li duyo atau biasa disebut taluhu poloduwo adalah 3 (tiga)
macam air yang terdiri dari air yang berwarna coklat atau merah tua yang
terbuat dari dungo tilangge (daun laka atau inai), warna kuning yang
terbua dari dungo tiopo (daun kapas), dan warna putih yang ditaburi
dengan kapur barus. Kesemua daun-daunan tersebut mengandung
wewangian dan bisa menetralkan bau busuk dari jenazah, juga kapur barus
bisa mengharumkan jenazah.

Petugas yang menyiramkan taluhe li duyo bagi jenazah adalah


sarada’a (pegawai syara’) dengan cara menyirami jenazah mulai dari
kepala terus ke kaki dan berakhir di bagianpusat.

Adapun manfaat dari ramuan-ramuan yang digunakan dala proses


pemandian jenazah tersebut menurut ilmu farmasi antara lain:
1. Kapur barus alami yang diambil dari bagian tengah pohon kapur
(Dryibalanops Aromatica) mengandung sifat obat dan memiliki
beberapa manfaat bagi tubuh manusia. Menurut seorang antropolog
kesehatan, Rusmini Tumanggor, kapur barus yang bersifat alami dapat
menghangatkan tubuh ketika seseorang berada di tempat yang dingin.
Tumbuhan ini mengandung zat naftalena yang merupakan salah satu
senyawa aromatik. Dimana sebutir kapur barus biasanya mengandung
250-500 mg naphthalene. Dalam amalan pengurusan jenazah,
masyarakat banyak mengambil contoh dan ikutan sunnah yang
diriwayatkan daripada Bukhari dalam bab janazah berkaitan
penggunaan kapur barus. Hikmah dibalik mencampurkan air dengan
kapur ini adalah karena baunya yang wangi dan berfungsi sebagai
menguatkan tubuh jenazah dan sebagai bahan awet supaya jenazah
tidak cepat busuk selain daripada baunya yang wangi bertujuan
mengusir binatang-binatang daripada mendekati jenazah selepas ia
dikebumikan (Sayyid Sabiq, 2009).
2. Habbal dkk, (2005) di Omanmenemukan bahwa daun laka
atauLawsoniainermis L, baik yang segar maupun kering menunjukkan
aktivitas antibakteri dengan spektrum luas secara in vitro terhadap
tigagalur bakteri standaryaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli
dan Pseudomonas aeruginosa, dangalur yang diisolasi dari 11 pasien.
Daun Lawsoniainermis L kering menunjukkan aktivitas antimikrobial
terbaik secara in vitro, khususnya terhadap Shigella sonnei.
2) MengkafaniJenazah
Kamaru (Wawancara, 2015) selaku Qadhi Gorontalo, menjelaskan
bahwa setelah memandikan jenazah, maka proses selanjutnya adalah
mengkafani jenazah. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk
mengkafani jenazah sebagai berikut:

(a) kain kafan yang terdiri dari kain putih bersih, halus dan lembut; (b)
kapas untuk menutupi tubuh mayat; (c) ayu luhi (kayu cendana) yang
dihaluskan; (d) kemenyang yang dihaluskan; dan (e) bedak mayat.

Setelah perlengkapan sudah disiapkan, maka: Pertama, menggunting


kain kafan. Bagi jenazah laki-laki harus 3 (tiga) lembar yang diukur
sepanjang badannya dan ditambah sehasta, ditambah 1 (satu) lembar
sorban dan 1 (satu) lembar untuk baju. Sedangkan untuk perempuan
adalah 2 (dua) lembar kain kafan, ditambah dengan 1 (satu) sarung dari
kain kafan, 1 (satu) kebaya dan 1 (satu) kerudung (Kamaru ,
wawancara,2015).

Terkait dengan kain kafan ada sedikit perbedaan pada masalah


jumlah kain kafan. Ada yang berpendapat bagi jenazah laki-laki dan
perempuan hanya 3 (tiga) lembar saja; ada juga yang mengatakan kafan
bagi laki-laki 3 (tiga) lapis tambah sorban, dan jenazah perempuan 3 (tiga)
lapis ditambah baju dan kerudung; ada juga yang mengatakan bahwa
kafan jenazah laki-laki hanya 3 (tiga) lapis saja (Bumulo, Wawancara,
2015).

Adapun pelaksana pengguntingan kain kafan di Gorontalo adalah


sarada’a (pegawai syara’). Juga sebelum menggunting kain kafan
dilaksanakanlah tahlilan oleh imamu lo kambungu (imam kampung), dan
setelah tahlilan, maka barulah menggunting kain kafan dan disela-sela
pengguntingan, maka jenazah dimandikan. Pembacaan tahlilan
dimaksudkan sebagai doa bagi jenazah untuk memperoleh rahmat dan
ampunan dari Allah swt. (Kamaru, wawancara, 2015).

Cara mengkafani jenazah laki-laki, yaitu: Pertama, membentangkan kain


kafan yang telah disediakan sebelumnya sehelai demi sehelai. Kemudian
menaburinya dengan wewangian, seperti: ayu luhi, kemenyang dan bedak
mayat yang dihaluskan dan dicampurkan sekaligus. Lembaran yang paling
bawah hendaknya dibuat lebih lebar dan luas.Di bawah kain itu,
sebelumnya telah dibentangkan tali pengikat sebanyak 5 (lima) helai, yaitu
masing-masing pada arah kepala, dada, pinggang, lutut dan tumit; Kedua,
setelah itu secara perlahan- lahan jenazah diletakkan di atas kain-kain
kafan tersebut yang telah ditaburi dengan wewangian dan selanjutnya
tutupi seluruh tubuh mayat dengan kapas dan dilubangi hanya bagian
mata, hidung dan telinga; Ketiga, menyelimuti kain kafan yang dimulai
dari kafan sebelah kanan paling atas, kemudian ujung lembaran kain
sebelah kiri paling atas, dan selanjutnya disusul dengan lembaran-
lembaran kain berikutnya secara berurutan dan dengan cara yang sama.
Jika semua kain telah membalut jenazah, baru diikat dengan tali- tali yang
telah disiapkan di bawahnya (Kamaru, wawancara,2015).

Zaenab (wawancara, 2015) selaku hulango menjelaskan bahwa


jika mengkafani jenazah perempuan, maka sebaiknya disiapkan 5 (lima)
lembar kain kafan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Lembaran pertama dibentangkan sebelah bawah (paling bawah)


sebagai pembungkusjasadnya.
2) Lembaran kedua dibentangkan sebelah bawah kepala sebagai
kerudung (tutup kepala).
3) Lembaran ketiga dibentangkan dari bahu ke pinggang sebagai baju
kurung.
4) Lembaran keempat dibentangkan dari pinggang sampai ke kaki
sebagai kain sarung.
5) Lembaran kelima dibentangkan pada bagian pinggul; yang berfungsi
sebagairok.
Sebelumnya tali-tali pengikat telah disediakan di bawah jenazah.
Jenazah yang diletakkan di atas kain-kain tersebut mulai dibungkus
dengan cara, yaitu: Pertama, memakaikan kain kelima yang terletak di
bagian pinggulnya (sebagai rok); Kedua, memakaikan kain keempat
sebagai kain sarung; Ketiga, memakaikan kain ketiga sebagai baju
kurung; Keempat, memakaikan kain kedua sebagai kerudung; dan Kelima,
membungkuskan kain pertama (yang paling di bawah) kepada seluruh
tubuhnya dengan cara mempertemukan kedua tepi kain yang sebelah
kanan dengan sebelah kiri, kemudian menggulungkan keduanya ke arah
kanan dan ke bagian dalam. Setelah semua kain dipakaikan menurut
fungsinya, baru mengikatkan tali- tali yang telah disediakan di bawahnya
(Zaenab, wawancara, 2015).

3) Menshalatkan Jenazah

Pada adat penyelenggaraan jenazah di Gorontalo, pelaksana daripada shalat


jenazah adalah imamu lo kambungu (imam kampung), dan jikalau imamu
lo kambungu berhalangan, maka bisa digantikan dengan syarada’a
(pegawai syara’) (Bumulo, wawancara, 2015) atau bisa juga
digantikan dengan hatibi (khatibkampung) (Kamaru, wawancara, 2015).
Menurut Kamaru (wawancara, 2015) bahwa syarat-syarat
penyelenggaraan jenazah adalah tidak bergeser dari syariat Islam, yaitu:

1) Syarat pada shalat jenazahseperti yang disyaratkan pada shalat wajib,


yaitu keharusan menutup aurat, suci badan, tempat dan pakaian dari
najis, suci dari hadas besar dan hadas kecil, serta menghadap kiblat.
2) Jenazah yang akan dishalati sudah lebih dahulu dimandikan dan
dikafani (bagi yang wajib dimandikan dan dikafani).
3) Meletakkan jenazah di sebelah kiblat yang menshalatkan, dan pada saat
mengangkat jenazah harus melafazkan kalimat laa ilaaha illallah,
muhammadarrasulullah.
Begitupula rukun dari shalat jenazah tidak bergeser
daripenyelenggaraan jenazah sesuai syariat Islam,yaitu:

1) Niat shalat jenazah

2) Berdiri selama shalat.

3) Takbir sebanyak 4 (empat) kali, yaitu:

a) Takbir pertama membaca QS alFatihah/1: 1-7.

b) Takbir kedua membaca selawat atas Nabi saw.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
‫ص ِّل َعلَى سيدنا ُم َح َّم ٍد‬

Ya Allah, berikanlah salawat (rahmat) atas junjungan Nabi kita


Muhammad.”

c) Takbir ketiga membaca doa:

ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغفِ ْر لَهُ َو‬


ُ‫ار َح ْمهُ َوعَافِ ِه َواعْفُ َع ْنه‬

apabila yang meninggal adalah peremupuan maka kata hu pada doa


tersebut diganti menjadi ha.

“Ya Allah, ampunilah dia, berikanlah rahmat dan sejahterakanlah,


serta maafkanlah dia.”

d) Takbir keempat membacadoa:


ُ‫اللَّ ُه َّم الَ ت َْح ِر ْمنَا أَ ْج َرهُ َوالَ تَ ْفتِنَّا بَ ْع َدهُ َو ا ْغفِ ْر لَنَا َولَه‬
apabila yang meninggal adalah peremupuan maka kata hu pada doa
tersebut diganti menjadi ha.

“Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami memperoleh pahalanya,


dan janganlah Engkau memberi fitnah kepada kami
sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia.
4) Mengucapkansalam:

 ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


َّ ‫ال‬

“Keselamatan, rahmat, dan berkah Allah atas kamu sekalian.”

4) ProsesPemakaman

Setelah menshalati jenazah, maka prosesi berikutnya adalah


memakamkan jenazah. Berikut langkah-langkahnya:

1) Memasukkan jenazah dalam huhulihe dengan melafazkan kalimat


laa ilaaha illallah muhammadarrasulullah, kemudian menuju ke
lokasi pemakamanjenazah.
2) Setelah jenazah tiba di tempat pemakaman, maka jenazah
diangkat oleh keluarga dan diserahkan kepada 4 (empat) orang
yang sudah menunggu di lubang liang lahat, dan oleh 4 (empat)
orang ini meletakkan jenazah ke liang lahat dengan perlahan-
lahan dan kemudian membuka talikafannya.
3) Setelah itu hatibi bertugas mengazani jenazah sebagai peringatan
terakhir yang diperdengarkan oleh hatibi kepada jenazahtersebut.
4) Selanjutnya dipasang duwalo dari arah kiri sampai tertutupi
lianglahat, kemudian dilapisi dengan wamao agar tanah tidak
masuk ke lianglahat.
5) Memberi kesempatan pertama menimbuni kubur adalah pihak
keluarga sebagai tanda pertemuan terakhir dan sekaligus sebagai
perpisahan, yang dibantu oleh petugas penggalikuburan.
6) Setelah ditimbuni, hatibi memasang tanda atau batu nisan sesuai
jenis kelamin jenazah. Kalau jenazah laki-lakibatu nisannya hanya
1 (satu) dan untuk jenazah perempuan batu nisannya ada 2 (dua).
Hal ini untuk membedakan kuburan laki-laki dan kuburan
perempuan. Bersamaan dengan batu nisan, juga ditanam
tumbuhan bintalo dan bunga kamboja, sertadipasangkan pula
tombutungo (semacam kuntum bunga yang terbuat dari kain
putih) yang akan membatasi 4 (empat) sudut kuburantersebut.
7) Selanjutnya menyiramkan air dalam toples ke atas kuburan oleh
sarada’a atau hatibi, serta penaburan bunga rampai di atas
kuburan oleh pihak keluarga dan masyarakat yangmelayat.
8) Setelah itu para petugas, seperti imamu, sarada’a, hatibi dan
petugas lainnya duduk di samping kuburan sebelah kanan, dan
pihak keluarga di sebelah kiri untuk melangsungkan doa tahlilan
yang dibacakan olehimamu.
9) Setelah doa tahlilan berakhir, maka para hadirin langsung
berjabat tangan dengan keluarga yang berduka, karena makna
jabat tangan setelah doa adalah pencurahan dan keberkahan doa
oleh para hadirin kepada keluarga yang akan nantinya
dapatditerima oleh si jenazah di alam kubur, dan di sela-sela
jabatan tangan, pihak keluarga memberikan sadaka (sedekah)
kepada petugas atau tokoh-tokoh agama.
10) Selesailah penyelenggaraan pemakama, para hadirin, petugas dan
keluarga meninggalkan tempat pemakaman (Bumulo,
wawancara,2015).
2.3 Filosofi dari Benda Budaya dalam Pemakaman Adat Gorontalo
Pada hakekatnya “Mongaruwa” merupakantradisi untuk berdoa dan
mendoakan baik untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lebih
khusus lagi mendo’akan bagi orang yang telah meninggal. Atribut
tradisi/benda budaya, terdiri dari:
1. Kain putih yang dibentangkan sebagai alas untuk meletakkan makanan.
Putih bermakna kesucian dan keikhlasan, jadi siapapun yang duduk
pada majelis“Mongaruwa” harus suci dan ikhlas.
2. Garam, pada hakekatnya garam berasal dari laut, laut luas dan kaya
akan beraneka ragam makhluk hidup seperti ikan, dll yang dapat
dimanfaatkan untuk di makan/konsumsi, jika kita berada di Gorontalo
maka cukuplah untuk mengambil ikan yang ada di laut Sulawesi atau
Teluk Tomini, tidak perlu mengambil ikan yang ada di laut Jawa atau
laut Banda, karena sifat ikan yang ada di laut selalu berpindah-pindah.
Makna tersebut haruslah diimplementasikan pada majelis
“Mongaruwa”, saat kita duduk dan dipersilahkan untuk makan, maka
yang diambil adalah makanan yang berada di depan kita, tidak perlu
mengambil makanan yang berada jauh dari kita, mungkin saja kalau
kita mengambil makanan yang jauh dari tempat duduk kita, maka akan
mengganggu orang yang ada disebelah kita, intinya adalah adab sopan
santun yang dibentuk, sehingga pada saat kita hidup berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara adab sopan santun inilah yang patut
dilakukan. Selain itu, pada saat kita mengambil makanan, maka
makanan yang diambil hanya secukupnya, tidak terlalu banyak
sehingga dapat melebihi kapasitas wadah/piring dan dampaknya apabila
makanan tersebut melebihi wadah/piring, maka yang terjadi adalah
makanan tersebut akan jatuh ke kain putih yang harusnya dijaga,
adapun adab yang dibentuk adalah adab tenggang rasa, saling harga-
menghargai.
3. Rica/cabai pada hakekatnya merupakan gambaran sifat-sifat yang
kurang baik seperti iri, dengki, hasut, dll. Rica/cabai jika dimakan akan
terasa enak pada lidah kita, tetapi akan menimbulkan rasa pedas, dan
mungkin bisa sampai berakibat pada sakit perut, tetapi tetap dimakan
lagi jika kita makan, dalam artian tidak pernah kapok dengan akibat
yang ditimbulkan. Itulah sifat-sifat dari perilaku yang kurang baik, enak
dilakukan karena hanya untuk kepentingan kesenangan sendiri tetapi
dampaknya merusak hubungan diri dan keluarga bahkan masyarakat
dan Negara.
4. Tiliaya, pada hakekatnya tiliaya berasal dari bahan-bahan yang sangat
sederhana dan mudah untuk di dapat, apabila kita mengkonsumsinya
maka dampak yang dirasakan adalah tubuh tetap dalam kondisi fit
walaupun seharian kita tidak makan (seperti halnya pada saat bulan
Ramadhan, jika kita makan tiliaya pada saat sahur, maka sampai pada
saat buka puasa kita tetap merasa fit dan kuat). Itulah gambaran
perbuatan baik, sekecil apapun kita berbuat baik kepada orang lain
(seperti tiliaya yang bahannya sederhana), pastilah akan berdampak
yang panjang, hubungan silaturahmi terjaga, hubungan kerja terjaga,
dll. Tidak seperti halnya rica/cabai tadi.

Anda mungkin juga menyukai