Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan, ditujukan pada diri sendiri atau
orang lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan (Depkes RI, 2006 dalam
Dermawan, 2013). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki
tujuan khusus, tetapi lebih merujuk pada suatu dengan perasaan marah (Dermawan, 2013).
Salah satu dari aspek kesehatan adalah kesehatan mental (jiwa) yang sekarang banyak
dialami masyarakat. Menurut WHO (World Health Organization) 2007 gangguan mental
yan terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 44% dari
populasi gelobal menderita gangguan jiwa tentang depresi, dan 3,6 % dari kecemasan .
Jumlah penderita depresi kejiwaan meningkat lebih 18% d tahun 2005 & 2015.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2007,


diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun mengalami masalah
gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi gangguan jiwa ansietas dan depresi sebesar 11,6%
populasi (24.708.000 orang) dan prevalensi nasional gangguan jiwa berat sebesar 0,46%
(1.065.000 orang).

Salah satu gejala gangguan jiwa adalah ketidakmampuan dalam mengontrol diri yang
selanjutnya akan menimbulkan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2009, hlm. 139).

Teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku kekerasan diantaranya adalah
teknik relaksasi. Alasannya adalah jika melakukan kegiatan dalam kondisi dan situasi yang
relaks, maka hasil dan prosesnya akan optimal. Relaksasi merupakan upaya untuk
mengendurkan ketegangan jasmaniah, yang pada akhirnya mengendurkan ketegangan jiwa.
Salah satu cara terapi relaksasi adalah bersifat respiratoris, yaitu dengan mengatur aktivitas
bernafas. Pelatihan relaksasi pernafasan dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan
baik tempo atau irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam
bernapas, menyebabkan sikap mental dan badan yang relaks sehingga menyebabkan otot
lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuatnya kaku
(Wiramihardja, 2007, hlm. 132).

Penelitian Kustanti dan Widodo (2008) tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap
Perubahan Status Mental Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta telah
membuktikan bahwa relaksasi efektif untuk menurunkan keluhan fisik yang dialami oleh
klien perilaku kekerasan.

Hasil perhitungan data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo yang
diperoleh, pasien yang mengalami gangguan perilaku kekerasan sebanyak 1.534 orang
(32,2%) dari jumlah keseluruhan pasien jiwa pada periode Januari- Desember tahun 2010
adalah 3.914 orang. Dengan jumlah pasien laki-laki sebanyak 2.357 dan wanita 1.557 orang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang diatas maka rumusan
masalah dalam karya ilmiah akhir ners ini adalah “Penerapan Teknik Relaksasi Napas
Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien Perilaku Kekerasan.

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum

Tujuan penulis karya ilmiah akhir Ners adalah bagaimana cara


memberikan asuhan keperawatan mandiri pada pasien Perilaku Kekerasan dengan
menggunakan Teknik Relaksasi Napas Dalam Terhadap Tingkat Emosi di wilayah
kerja Puskesmas Muara Bungo 1.

2. Tujuan khusus

3. Tujuan khusus dari karya ilmiah akhir Ners adalah :

1) Mahasiswa mampu memahami konsep secara teoritis klien dengan Perilaku


Kekerasan.
2) Mahasiswa mampu melakukan penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan Perilaku Kekerasan.
3) Mahasiswa mampu mengaplikasikan jurnal dengan Perilaku Kekerasan
menggunakan teknik relaksasi Teknik Relaksasi Napas Dalam Terhadap
Tingkat Emosi di wilayah kerja Puskesmas Muara Bungo 1.
4) Mahasiswa mampu membandingkan teori, asuhan keperawatan dengan
jurnal atau critical journal.

D. MANFAAT PENULISAN
1. Bagi pasien Perilaku Kekerasan.
Sebagai tambahan informasi dan dapat menambah pengetahuan tentang Perilaku
Kekerasan, serta dapat menyikapi dengan teknik relaksasi Napas Dalam Terhadap
Tingkat Emosi.
2. Bagi profesi keperawatan
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Perilaku Kekerasan, sehingga dapat dilakukan tindakan
keperawatan yang segera untuk mengatasi masalah yang terjadi pada pasien.
3. Bagi pembaca
Memberikan pengertian atau pengetahuan dan pengembalian keputusan yang tepat
kepada pembaca. Khususnya dalam menyikapi pasien dengan Perilaku Kekerasan.
4. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
lebih mendalam dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada Perilaku
Kekerasan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN

1. Pengertian Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan (Stuart dan sundeen 1995, dalam Fitria 2010).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran

perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara

mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita

yang dapat diproyeksikan kelingkungan, kedalam diri atau secara distrukif

(Patricia D. Barry dalam Yosep 2010).

Dari beberapa penjelasan diatas mengenai perilaku kekerasan penulis

menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu suatu keadaan dimana seseorang

melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik baik terhadap diri sendiri,

orang lain maupun lingkungan, dimana perilaku kekerasan ini dapat dilakukan

secara verbal maupun fisik, disertai dengan tingkah laku yang tidak terkontrol.
2. Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut meliputi (Fitria, 2010):

a. Fisik

Mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah

memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

b. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor, berbicara dengan nada

keras, kasar, ketus.

c. Perilaku

Menyerang orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak lingkungan,

amuk/agresif.

d. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,

tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan

menuntut.

e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang

mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

f. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan

kreativitas terhambat.
g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.

h. Perhatian

Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 2. 1 Rentang respon marah

Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2010)

Keterangan:

a. Asertif

Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan

memberikan ketenangan.

b. Frustasi

Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak menemukan

alternatif.

c. Pasif

Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.


d. Agresif

Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi

masih terkontrol.

e. Kekerasan

Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta kehilangan kontrol.

4. Faktor Presdiposisi

Faktor presdiposisi perilaku kekerasan yaitu (Fitria, 2010):

a. Biologis

Dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator / pengatur

perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau

meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada sistem neurofisiologis

dapat menimbulkan respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan

norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada peningkatan

kadar hormon testoteron atau progesteron. Pengaturan perilaku agresif adalah

dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino-neropinetrin.

b. Psikologis

Agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon

terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau

permusuhan. Gangguan ekspresi marah disebabkan karena ketidakmampuan

menyelesaikan agresif yang menyebabkan individu berperilaku destruktif.

Sedangkan menurut Freud menyatakan bahwa sejak dilahirkan individu akan


mengalami ancaman yang perlu diekspresikan. Perilaku destruktif terjadi

apabila ancaman tersebut menguasai individu. Menurut Freud, agresi berasal

dari rasa frustasi akibat ketidakmampuan individu mencapai tujuan. Bila

individu tidak mampu mengekspresikan perasaannya individu akan marah

pada dirinya. Frustasi dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan

kecemasan sehingga individu merasa harga dirinya terganggu. Konflik juga

merupakan ancaman bagi individu yang dapat mencetuskan perilaku agresif.

Persepsi yang salah tehadap konflik yang terjadi dapat membuat individu

menjadi agresi. Teori ekstensi yang dikemukakan oleh Fromm menyatakan

bahwa tingkahlaku individu didasarkan pada kebutuhan hidup. Bila cara

konstruktif individu akan berperilaku agresif. Perilaku destrukstif juga dapat

disebabkan oleh kegagalan mendapatkan eksistensi akibat kondisi sosial yang

tidak sejalan dengan niat dan alasan individu.

c. Sosiokultural

Norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami

ekspresi agresif individu. Teori lingkungan sosial mengemukakan bahwa

norma yang memperkuat perilakunya disebabkan ekspresi marah yang pernah

dialami sebelumnya. Orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu

cenderung mudah marah; yang disebut “Acting Out” terhadap marah. Bila

privacy / pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka responnya berupa

agresif/amuk. Tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian dari proses

sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman langsung.


Pola subkultural cenderung menyebabkan imitasi tingkah laku agresi yang

mengarah pada amuk. Ahli teori sosial berpendapat bahwa komponen biologi

tingkah laku agresif berhubungan denagn aspek-aspek psikososial.

5. Fator Presipitasi

Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya

terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury sacara psikis, atau lebih dikenal

dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang (Yosep, 2010). Ketika

seorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang

menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus

bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal maupun

ekternal. Contoh stressor eksternal: merasa gagal dalam bekerja, merasa

kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.

Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya

perilaku kekerasan terbagi dua, yakni :

a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.

b. Lingkungan: rebut, kehilangan orang/obyek yang berharga, konflik interaksi

sosial.
6. Proses Terjadinya Masalah

a. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Penyebab

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) penyebab resiko perilaku

kekerasan adalah:

1) Harga diri rendah

Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau

kemampuan diri yang negatif dan dapat secara langsung atau tidak

langsung diekspresikan.

Tanda dan gejala :

a) Mengkritik diri sendiri.

b) Perasaan tidak mampu.

c) Pandangan hidup yang pesimistis.

d) Tidak menerima pujian.

e) Penolakan terhadap kemampuan diri

f) Kurang memperhatikan kemampuan perawatan diri.

2) Mekanisme koping tidak efektif

Mekanisme koping tidak efektif adalah cara yang digunakan individu

dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan

situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku yang

menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan

otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah


makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar.

Mekanisme koping tidak efektif diantaranya adalah:

a) Mengalihkan

Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang / benda lain

yang biasanya netral atau lebih sedikit pengancam dirinya.

b) Mengingkari

Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari

realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana

dan primitif.

c) Disosiasi

Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran

atau identitasnya.

d) Proyeksi

Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang

lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak

dapat ditoleransi.

e) Rasionalisasi

Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima

masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif

yang tidak dapat diterima.


f) Regresi

Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas

dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.

g) Splitting

Sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya sebagai semuanya

baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai

positif dan negatif di dalam diri sendiri.

h) Represi

Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau

ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran

seseorang; merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung

diperkuat oleh mekanisme lain

i) Supresi

Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi

sebetulnya merupakan analog represi yang disadari; pengesampingan

yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang; kadang-

kadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya.

j) Sublimasi

Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata

masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam

penyalurannya secara normal.


b. Proses Terjadinya Masalah Ditinjau Dari Akibat

Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Fitria (2010) klien dengan

resiko perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,

orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan

yang kemungkinan dapat melukai / membahayakan diri, orang lain dan

lingkungan. Tanda dan gejala pada klien dengan perilaku kekerasan antara

lain : fisik, verbal, perilaku, emosi, intelektual, spiritual, sosial, perhatian

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Menurut Stuart dan Laria (2001) dalam Dalami (2010), pengkajian merupakan

tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri

atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang

dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada

pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor presdiposisi,

presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping

yang dimiliki klien. Pengkajian merupakan langkah pertama proses keperawatan

dan meliputi pengumpulan, organisasi dan analisis data. (American Nurrses

Association (1994), dalam Videbeck 2008).

Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya dikembangkan

formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam


pengkajian. Pengkajian keperawatan pada klien Resiko Perilaku Kekerasan

meliputi :

a. Pengumpulan data

1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,

pekerjaan, status merital, suku/bangsa, nomor medrec, tanggal masuk,

tanggal pengkajian, ruang rawat dan alamat.

2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin,

pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Alasan masuk dan faktor presipitasi

Faktor pencetus Resiko perilaku kekerasan meliputi ancaman terhadap

fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal, ancaman eksternal.

c. Faktor Predisposisi

Faktor pendukung terjadinya Resiko Perilaku kekerasan adalah biologis

yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/ pengatur

perilaku.Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau

meningkatkan perilaku agresif.Psikologis menjelaskan bahwa agresif adalah

pembawaan individu sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang

diterima.Respon tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan dan

sosiokultural dimana norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu

memahami ekspresi agresif individu.


d. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan dengan

pendekatan persistem meliputi:

1) Sistem integumen; terdapat gangguan kebersihan kulit, klien tampak

kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya minat terhadap

perawatan diri dari perilaku menarik diri.

2) Sistem saraf; kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal seperti

tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping obat anti

psikotik.

3) Sistem penginderaan; ditemukan tidak adanya halusinasi dengar,

penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien mengalami

gangguan afeksi dan kognisi sehingga tidak mampu untuk membedakan

stimulus internal dan eksternal akibat kecemasan yang meningkat.

4) Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah , denyut nadi, dan

suhu klien.

e. Aspek psikologis, sosial dan spiritual

1) Aspek Psikologis

a) Genogram; berisi tentang struktur keluarga dengan minimal tiga

generasi.

b) Konsep diri
(1) Gambaran diri; meliputi bagian tubuh yang disukai klien dan

bagian tubuh yang tidak disukai oleh klien. Apakah klien ada

hambatan dengan bagian tubuh yang tidak disukainya?

(2) Identitas diri; meliputi status dan posisi klien di keluarga dan

kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan.

(3) Peran diri; meliputi peran yang diemban oleh klien di keluarga

dan lingkungannya.

(4) Ideal diri; persepsi individu tentang bagaimana ia harus

berperilaku sesuai standar pribadi.

(5) Harga diri; penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan

menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.

2) Aspek sosial

Klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya bersifat curiga dan

bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain, mudah tersinggung

sehingga klien mengalami kesukaran untuk berinteraksi dengan orang

lain.

3) Aspek spiritual

Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan klien

terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa,

kegiatan ibadah yaitu kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah dan

pendapat klien tentang kegiatan ibadah.


4) Status mental

a) Penampilan

Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap tubuh lemah

dan kontak mata kurang.

b) Pembicaraan

Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi klien selama

wawancara apatis dan mudah tersinggung

c) Aktivitas motorik

Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur, tegang,

gelisah dan biasanya terdapat tremor.

d) Alam perasaan

Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan, putus asa, ketakutan,

khawatir?

e) Afek

Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai?Interaksi

selama wawancara. Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak

mata kurang?

f) Interaksi selama wawancara

Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang?

g) Persepsi

Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan,

pengecap, penghidu cenestetik, maupun kinestetik.


h) Isi pikir

Kadang-kadang ada ide yang tidak realistik seperti waham, fantasi,

obsesi, dan phobia.

i) Proses pikir

Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial, tangensial,

kehilangan asosiasi, flight of idea dan blocking.

j) Tingkat kesadaran

Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini?kejadian yang baru

saja terjadi dan kejadian masa lalu.

k) Memori

Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang dan

jangka pendek atau tidak?

l) Tingkat konsentrasi dan berhitung

Menilai tingkat konsentrasi klien apak mudah beralih, atau tidak

mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung klien.

m) Kemampuan penilaian

Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan masalah,

klien masih mampu untuk mengambil keputusan dengan tepat atau

tidak.

n) Daya tilik diri

Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke rumah sakit

dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa.


5) Kebutuhan Persiapan Pulang

Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana

klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang

dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya,

adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan tempat

rujukan perawatan atau pengobatan.

6) Mekanisme koping

Pada pasien dengan skizofrenia perlu dikaji mekanisme koping yang

digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit maupun mekanisme

koping pasien selama menghadapi masalah di rumah sakit jiwa.

7) Masalah psikososial dan lingkungan

Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah pasien di

lingkungannya, apakah pasien sering bermasalah dengan orang di

sekitarnya?

8) Pengetahuan klien

Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh pasien

mengenal penyakitnya.Hal ini juga digunakan untuk merencanakan

kegiatan atau tindakan selanjutnya.

9) Aspek Medik

Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya mendapatkan

obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol, Clorpromazine, dan anti

kolinergik seperti Triheksifenidil serta Electro Convulsive Therapy (ECT)


10) Daftar Masalah Keperawatan

Berisi tentang masalah-masalah keperawatan yang didapat dari

pengumpulan data.

11) Pohon Masalah

Umumnya masalah keperawatan saling berhubungan dan dapat

digambarkan sebagai pohon masalah (Keliat, 2006). Pada pohon masalah

terdapat tiga komponen penting yaitu:

a) Prioritas masalah keperawatan (masalah utama) merupakan masalah

utama klien dari berbagai masalah.

b) Penyebab (causal) adalah salah satu masalah keperawatan yang

menyebabkan munculnya masalah utama.

c) Akibat adalah masalah keperawatan yang terjadi akibat masalah

utama.
2. Pohon Masalah

Resiko perilaku menciderai Gangguan pemeliharaan


diri diri sendiri, orang lain, kesehatan
Akibat dan lingkungan

Ketidakefektifan penatalaksanaan program


terapeutik
Defisit perawatan diri:
Perilaku kekerasan mandi dan berhias
Masalah Utama

Penyebab
Ketidakefektifan Gangguan konsep diri:
koping keluarga: Harga diri rendah kronis
ketidakmampuan
keluarga merawat klien
di rumah

Gambar 2. 2 Pohon masalah Perilaku kekerasan

Sumber: Keliat, (2006)

3. Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan yang mungkin muncul (Fitria, 2010) :

a. Perilaku kekerasan.

b. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis

d. Gangguan pemeliharaan kesehatan

e. Defisit perawatan diri: mandi dan berhias

f. Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien

di rumah.
g. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik.

4. Data Yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji

Perilaku Kekerasan Subjektif:

Klien mengancam

Klien mengumpat dengan kata-kata yang kotor.

Klien mengatakan dendam dan jengkel.

Klien mengatakan ingin berkelahi

Klien menyalahkan dan menuntut.

Klien meremehkan

Obyektif

Mata melotot/ pandangan tajam.

Tangan mengepal.

Rahang mengatup.

Wajah memerah dan tegang.

Postur tubuh kaku.

Suara keras.

Harga diri rendah Subyektif

Mengungkapkan dirinya measa tidak berguna.


Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu.

Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk

beraktivitas atau bekerja.

Mengungkapkan dirinya tidak malas

melakukan perawatan diri (mandi, berhias,

makan atau toileting).

Menarik diri secara sosial.

Menarik diri dari realita.

Obyektif

Mengkritik diri sendiri.

Perasaan tidak mampu.

Pandangan hidup yang pesimistis.

Tidak menerima pujian.

Penurunan produktivitas.

Penolakan terhadap kemampuan diri.

Resiko menciderai diri Subyektif

sendiri, orang lain, dan


Klien mengungkapkan cemas dan khawatir.
lingkungan.
Klien mengungkapkan apa yang dilihat dan

didengar mengancam dan membuatnya takut.

Obyektif
Wajah klien tampak tegang.

Mata merah dan melotot.

Rahang mengatup.

Tangan mengepal.

Mondar mandir.

Tabel 2.3

Data yang perlu dikaji (Fitria, 2010).

5. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul (Damaiyanti, 2012) :

a. Perilaku Kekerasan,

b. Harga diri rendah kronik,

c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, limgkungan, dan verbal).

6. Rencana Tindakan Keperawatan

Perencanaan keperawatan untuk pasien resiko perilaku kekerasan rencana

intervensi dapat digunakan untuk mengatasinya adalah sebagai berikut:

Kesadaran diri perawat dan klien sangat penting karena akan mempengaruhi

intervensi dan interaksi antara klien dan perawat (Keliat, 2006). Bila secara emosi

belum siap sebaiknya intervensi ditunda, merumuskan batasan marah bersama

klien untuk mengenalkan pada klien arti dan makna marah sehingga klien dapat
mengukur dirinya, pengendalian terhadap kekerasan dengan melibatkan

lingkungan sekitar dan psikofarmaka, latihan asertif dengan cara menurunkan

energi dan emosi kemarahan dengan cara yang biasa dilakukan klien setelah itu

dilakukan komunikasi secara asertif untuk menyelesaikan permasalahan.

Menurut Stuart dan laria (2001) perencanaan keperawatan terdiri dari tiga

aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan keperawatan.

Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosis

tertentu. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah

tercapai.

Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosis tertentu.

Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau dimiliki

klien. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan kebutuhan

klien. Umumnya, kemampuan klien pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga

aspek yaitu kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi

dari diagnosis keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar

etiologi dapat selesai, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki klien agar klien

percaya pada kemampuan menyelesaikan masalah ( Stuart dan laria (2001), dalam

Dalami, 2010).

a. Fokus Intervensi Resiko Perilaku Kekerasan

Tujuan umumnya adalah klien tidak melakukan tindakan kekerasan.

Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria evaluasi adalah wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada kontak
mata, bersedia menceritakan perasaan. Intervensi keperawatannya adalah Bina

hubungan saling percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan

nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan

panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji

setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien,

buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan

perasaan klien.

Tujuan khusus kedua yaitu klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku

kekerasan yang dilakukannya. Kriteria evaluasinya yaitu klien menceritakan

penyebab perasaan jengkel/kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya.

Intervensi keperawatannya adalah bantu klien mengungkapkan perasaan

marahnya dengan motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau

jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan

perasaan klien.

Tujuan khusus ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku

kekerasan. Kriteria hasilnya adalah klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi

perilaku kekerasan yaitu tanda fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi

tegang, dan lain-lain, tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar,

tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi

keperawatannya yaitu bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku

kekerasan yang dialaminya: motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-

tanda fisik) saat perilaku kekerasan terjadi, motivasi klien menceritakan kondisi
emosinya (tanda-tanda emosional) saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien

menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda-tanda sosial) saat terjadi

perilaku kekerasan.

Tujuan khusus keempat yaitu klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku

kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi klien menjelaskan:

jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya

saat melakukan kekerasan, efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan

masalah. Intervensi keperawatannya yaitu diskusikan dengan klien perilaku

kekerasan yang dilakukannya selama ini: motivasi klien menceritakan jenis-jenis

tindak kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien

menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan

apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami

teratasi.

Tujuan khusus kelima yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku

kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah klien menjelaskan akibat tindak kekerasan

yang dilakukannya, diri sendiri: luka, dijauhi teman, dll, orang lain/keluarga:

luka, tersinggung, ketakutan, dll, lingkungan: barang atau benda rusak dll. Untuk

intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian)

cara yang dilakukan pada: diri sendiri, orang lain / keluarga, lingkungan.

Tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif

dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi klien mampu

menjelaskan cara-cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi keperawatan


meliputi diskusikan dengan klien: apakah klien mau mempelajari cara baru

mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk

mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang diketahui klien, jelaskan

cara-cara sehat untuk mengungkapkan marah dengan cara fisik: nafas dalam,

pukul bantal atau kasur, olah raga, verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang

kesal kepada orang lain, sosial: latihan asertif dengan orang lain, spiritual:

sembahyang / doa, zikir, meditasi, dsb sesuai keyakinan agamanya masing-

masing.

Tujuan khusus ketujuh yaitu klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol

perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinnya adalah klien memperagakan cara

mengontrol perilaku kekerasan: fisik: tarik nafas dalam, memukul bantal / kasur,

verbal: mengungkapkan perasaan kesal / jengkel pada orang lain tanpa menyakiti,

spiritual: zikir / doa, meditasi sesuai agamanya. Intervensi keperawatan meliputi,

diskusikan cara yang mungkin dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang

mungkin untuk mengungkapkan kemarahan, melatih klien memperagakan cara

yang dipilih: memperagakan cara melaksanakan cara yang dipilih, menjelaskan

manfaat cara tersebut, menganjurkan klien menirukan peragaan yang sudah

dilakukan, memberi penguatan pada klien, memperbaiki cara yang masih belum

sempurna. Menganjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah /

jengkel.

Tujuan khusus kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga untuk

mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah keluarga dapat


menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, mengungkapkan

rasa puas dalam merawat klien. Intervensi keperawatannya meliputi diskusikan

pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatasi

perilaku kekerasan, mendiskusikan potensi keluarga untuk membantu klien

mengatasi perilaku kekerasan, menjelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara

merawat klien perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga,

memperagakan cara merawat klien (menangani perilaku kekerasan), memberi

kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, memberi pujian kepada

keluarga setelah peragaan, menanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara

yang dilatihkan.

Tujuan khusus kesembilan yaitu klien menjelaskan: manfaat minum obat,

kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat , dosis yang

diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan dan

klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. Intervensi

keperawatannya adalah menjelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur

dan kerugian jika tidak menggunakan obat, menjelaskan kepada klien: jenis obat

(nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakaian,

cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien. Dan anjurkan klien untuk minta

dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek

yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat.
b. Fokus Intervensi Harga Diri Rendah

Tujuan Umumnya: Klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap.

Tujuan Khusus pertama: Klien dapat membina hubungan saling percaya,

intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling percaya dengan: beri

salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan

perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap

empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien

dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan

dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien.

Tujuan Khusus kedua: klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek

positif yang dimiliki, intervensi keperawatannya adalah diskusikan kemampuan

dan sapek positif klien, beri inforcement atas kemampuan mengungkapkan

perasaanya. Saat bertmu klien, hindari member penilaian negatif.Utamakan

member pujian yang realitis.

Tujuan Khusus ketiga: klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan,

intervensi keperawatannya adalah mendiskusikan emampuan klien yang masih

dapat digunakan selama sakit, diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan

dirumah.

Tujuan Khusus keempat: rencanakan aktifitas yang dapat dilakukan,

intervensi keperawatannya adalah rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat


dilakukan setiap hari sesuai kemampuan: kegiatan mandiri,kegiatan dengan

bantuan minimal.

7. Implementasi Keperawatan

Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan. Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh berbeda dengan

rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana

tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat

adalah menggunakan rencana yang tidak ditulis, yaitu apa yang dipikirkan,

dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan

perawat jika tindakan berakibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal

(Dalami, 2010)

Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu

memvalidasi secara singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan

dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri,

apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tekhnikal yang

diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah

tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan

boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat

membuat kontrak (inform consent) dengan klien yang isinya menjelaskan apa

yang akan dilaksanakan dan peran serta yang diharapkan dari klien. Semua

tindakan yang telah dilaksanakan antara lain membina hubungan saling percaya,
mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya,

mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan, mengidentifikasi jenis perilaku

kekerasan yang pernah dilakukannya, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan,

mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan, dapat

mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan beserta respons klien.

8. Evaluasi keperawatan

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons klien

terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu

evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan,

evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respons

klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan Evaluasi dapat dilakukan

dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir yaitu (Dalami, 2009):

S : Respon subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan

O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. Dapat diukur

dengan mengobservasi perilaku klien saat tindakan dilakukan, tau

menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik

sesuai dengan hasil observasi.

A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan

apakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau ada masalah baru dan ada
data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula

membandingkan hasil dengan tujuan.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien

yang terdiri dari tindak lanjut klien (PR), dan tindak lanjut oleh perawat.

C. KONSEP NAFAS DALAM

1. Pengertian Relaksasi

Teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi tindakan

internal individu. Contoh relaksasi yaitu biofeedback, yoga, meditasi, latihan

relaksasi progresif (Carpenito, 2000). Relaksasi adalah status hilang dari tegangan

dari otot rangka dimana individu mencapai melalui tehnik yang disengaja

(Carpenito (2000), dalam jurnal Erviana dan Arif, 2008)

Teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku kekerasan diantaranya

teknik relaksasi. Alasannya adalah jika melakukan kegiatan dalam kondisi dan

situasi yang relaks, maka hasil dan prosesnya akan optimal. Relaksasi merupakan

upaya untuk mengendurkan ketegangan jasmaniah, yang pada akhirnya

mengendurkan ketegangan jiwa. Salah satu cara terapi relaksasi adalah bersifat

repiratoris, yaitu dengan mengatur aktivitas nafas. Pelatihan relaksasi pernafasan

dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan baik tempo atau irama dan

intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam bernapas,

menyebabkan sikap mental dan beban yang relaks sehingga menyebabkan otot

lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuat
kaku (Wiramihardja, 2007, hlm. 132 dalam jurnal Nanny dan Sujarwo 2010).

Nafas dalam yaitu bentuk latihan nafas yang terdiri atas pernafasan abdominal

(diafragma) dan purse lips breathing (Asmadi, 2008).

Teknik relaksasi nafas dalam adalah sebuah teknik yang telah lama

diperkenalkan dapat dipakai untuk menciptakan ketenangan, menguranngi

tekanan supaya klien merasa nyaman, dina dkk, 2009. Menurut Kustanti dan

Widodo (2008) dalam jurnal Sujarwo (2010) menunjukkan bahwa ada pengaruh

teknik relaksasi yang berhubungan dengan pasien perilaku kekerasan, salah

satunya adalah ketrampilan relaksasi nafas dalam. Menurut Widyastuti (2004)

dalam jurnal Nanny (2010) teknik relaksasi tidak hanya menyeabkan efek yang

menenangkan fisik tetapi juga menenagkan pikiran. Oleh karena itu teknik

relaksasi seperti nafas dalam dapat membantu mengatasi stress. Teknik nafas

dalam juga dapat memberikan individu kontrrol diri ketika terjadi rrasa ketidak

nyamanan atau cemas, stress fisik, dan emosi yang disebabkan oleh kecemasan,

pelaksanaan teknik relaksasi bisa berhasil jika paseien kooperatif (Abdul, 2007).

2. Prosedur relaksasi nafas dalam :

Prosedur relaksasi nafas dalam dilaksanakan sebagai berikut (Asmadi, 2008) :

a. Atur posisi yang nyaman,

b. Fleksikan lutut klien untuk merelaksasikan otot abdomen,

c. Tempatkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat dibawah tulang iga,

d. Tarik nafas dalam melalui hiding, jaga mulut tetap tertutup. Hitung sampai 3

selama inspirasi,
e. Hembuskan udara lewat bibir seperti meniup (purse lips breating) secara

perlahan.

D. STRESS / EMOSI

1. Pengertian Stress/emosi

Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension) baik secara faal maupun psikologis

yang di sebabkan oleh tuntutan dari lingkungan yang dipersepsi kan oleh

penderitanya sebagai ancaman.

Mengalami Stres adalah kondisi manusiawi. Pada satu sisi , stres membantu

kita agar tetap termotivasi (eustres). Tetapi pada sisi lain jika kita terlalu banyak

mendapatkan stres akan menurunkan kualitas kinerja kita (distres).

2. Tanda dan gejala Stress / Emosi

a. Gejala Emosional/Kognitif

1) Mudah merasa ingin marah (sensitif )

2) Merasa putus asa saat harus menunggu

3) Merasa gelisah

4) Tidak dapat berkonsentrasi

5) Sulit berkonsentrasi

6) M udah bingung

7) Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat)

8) Setiap saat memikirkan hal-hal negatif


9) Berpikir negatif tentang diri sendiri

10) Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira

tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah)

11) Makan terlalu banyak

12) Makan padahal tidak lapar

13) Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu

14) Merasa tidak mampu mengatasi masalah

15) Sulit membuat keputusan

16) Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya)

17) Biasanya merasa marah dan bosan

18) Kurang memiliki selera humor

b. Gejala Fisik :

1) Otot-otot tegang

2) Sakit punggung bagian bawah

3) Sakit di bahu atau leher

4) Sakit dada

5) Sakit perut

6) Kram otot

7) Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya

8) Denyut jantung cepat

9) Telapak tangan berkeringat

10) Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik


11) Perut terasa bergejolak

12) Gangguan pencernaan dan cegukan

13) Diare

14) Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan

15) Napas pendek

16) Sering Menahan napas

3. Pengukuran Stress

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang

dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala. Antaranya

adalah dengan menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau

lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh

Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety

Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Stres Scale 21

terdiri dari 21 item. DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk

mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42

dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status

emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian,

dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan

biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh

kelompok atau individu untuk tujuan penelitian.

DASS adalah kuesioner 42-item yang mencakup tiga laporan diri skala

dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari depresi, kecemasan dan
stres. Masing-masing tiga skala berisi 14 item, dibagi menjadi sub-skala dari 2 - 5

item dengan penilaian setara

konten. Skala Depresi menilai dysphoria, putus asa, devaluasi hidup,

sikap meremehkan diri, kurangnya minat / keterlibatan, anhedonia, dan inersia.

Skala Kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional,

dan subjektif pengalaman mempengaruhi cemas. Skala Stres (item) yang sensitif

terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah. Ini menilai kesulitan santai, gairah

saraf, dan yang mudah marah/gelisah, mudah tersinggung / over-reaktif dan tidak

sabar. Responden yang diminta untuk menggunakan 4-point keparahan/skala

frekuensi untuk menilai sejauh mana mereka memiliki mengalami setiap negara

selama seminggu terakhir.

Skor untuk masing-masing responden selama masing-masing sub-skala, kemudian

dievaluasi sesuai dengan keparahan-rating indeks di bawah (Lovibond &

Lovibond, 2003) :

1) Normal : 0-14

2) Stres Ringan : 15-18

3) Stres Sedang : 19-25

4) Stres Berat : 26-33

5) Stres Sangat Berat : ≥ 34

Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti Perceived

Stres Scale (PSS) atau Profile Mood States (POMS). Alat-alat ini digunakan
sebagai instrument untuk mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai

alat untuk mendiagnosa.

Anda mungkin juga menyukai