KKR Rektor Usu PDF
KKR Rektor Usu PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kanker kolorektal adalah suatu tumor malignan yang muncul dari jaringan epitel dari
kolon atau rectum (Harahap, 2004). Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang
ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada
sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada
di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus.
Kolon dan rektum berfungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat
yang tidak berguna.
Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang tidak
mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi abnormal).
Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik.
Non-neoplastik dibagi atas:
a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal karena
bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu misalnya kehamilan.
b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran organ
tanpa ada pertambahan jumlah sel.
c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah menjadi tipe
yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang terspesialisasi.
d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel abnormal yang
mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Perubahan yang termasuk dalam hal ini terdiri
dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel abnormal pada jumlah besar dan
tendensi untuk tidak teratur.
4
5
Pada hampir seluruh panjangnya, usus besar memiliki tiga keunikan yang tidak
terdapat pada organ tubuh lainnya; taenia coli, haustra dan appendik epiploica. Kecuali
pada bagian ujung terminalnya, bagian longitudinal dari lapisan otot direduksi menjadi 3
barisan otot polos disebut taenia coli (artinya pita dari kolon). Adanya variasi dari dinding
usus besar membentuk suatu kantongan yang disebut haustra (artinya menggambarkan
variasi). Dan terakhir sangat jelas adalah appendik epiploika, suatu lapisan lemak kecil dari
peritonium viseralis yang menggantung pada permukaan kolon. Kegunaannya belum
diketahui.
Kolon memiliki 4 seksi yakni:
1. Seksi pertama adalah kolon asenden. Dimulai dari usus kecil melekat pada kolon dan
naik ke atas menuju bagian kanan dari abdomen.
2. Seksi kedua adalah kolon transversum yang melewati tubuh dari kanan ke sisi kiri.
3. Seksi ketiga adalah kolon desenden menuju ke bawah.
4. Seksi terakhir adalah kolon sigmoid dimana disebut demikian oleh karena bentuknya
yang seperti huruf S. Kolon sigmoid bergabung dengan rektum, pada akhirnya
bergabung dengan anus atau spingter tempat feses keluar dari tubuh.
6
Usus besar memiliki beberapa subdivisi yakni: sekum, appendik, kolon, rektum, dan
ujung dari anus. Adanya kantong seperti sekum (artinya ujung buta) yang mulai dari katub
ileosekal hingga sisi kanan fossa iliaka, adalah bagian pertama usus besar. Yang menempel
pada bagian posteromedial dari permukaan adalah bentuk seperti cacing yakni appendik
vermiformis. Appendik memiliki massa dari jaringan limfa yang merupakan bagian dari
MALT (mucosa associated lymphatic tissue) memiliki hubungan yang sangat erat dengan
sistem imun tubuh. Namun ia memiliki infrastruktur yang penting yaitu suatu struktur yang
memberikan lokasi ideal bagi bakteri untuk berakumulasi dan berkembang biak.
7
Pada pelvis setinggi vertebra sakralis ketiga, kolon sigmoid bergabung dengan
rektum lalu berjalan dari posteroinferior di depan sakrum. Secara natural orientasi dari
rektum diperiksa dengan jari melalui dinding rektum anterior. Hal ini disebut eksaminasi
rektal (rektal = lurus). Selain itu rektum memiliki kurva lateral tiga buah, dimana di bagian
internal ditampilkan sebagai lapisan transversal disebut katub rektal. Katub ini
memisahkan feses dari flatus yang menghentikan feses dan membuat gas saja yang keluar.
Bagian anus yang terakhir dari usus besar terletak eksternal pada kavum abdominopelvis.
Kira-kira 3 cm panjangnya dengan saluran anus berawal dari rektum mempenetrasi
muskulus levator ani dari pelvis dan membuka kebagian badan eksterior dari anus. Saluran
anal memiliki dua buah spingter, yaitu spingter internal tidak disadari (involuntari) dan
spingter ekternal yang terdiri dari otot skeletal. Spingter bekerja seperti dompet yang
membuka dan menutup anus kecuali pada saat defekasi.
Berbeda dengan regio proksimal usus besar, tidak terdapat haustra pada rektum dan
anal canal. Sejalan dengan kemampuannya meregenerasikan kontraksi untuk memberikan
peran ekspulsif pada defekasi, otot rektum berkembang sangat baik.
masing haustra. Pada haustra yang terisi makanan distensinya menstimulasi otot untuk
berkontraksi yang mendorong isi luminal untuk menuju ke bagian haustra berikutnya.
Pergerakan ini menggabungkan residu dan membantu dalam peresapan air.
Pergerakan otot adalah panjang dan lambat namun kuat dalam kontraksi, dimana
melalui areal yang panjang dari kolon tiga hingga empat kali setiap hari dan mendorong
isinya ke rektum. Biasanya ini terjadi pada saat makan atau sesudah makan,
mengindikasikan adanya makanan pada perut dan menimbulkan refleks gastrokolik pada
kolon. Serat maupun bahan lainnya pada diet memperkuat kontraksi kolon dan
melembekkan feses serta membantu kolon seperti pelumas mobil.
Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit, ekskresi mukus, serta
menyimpan feses dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus
yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses tiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum atau menelan ludah. Oksigen dan CO2 di
dalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen bersama gas hasil pencernaan dan peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas dalam usus mencapai 500 ml sehari (De Jong,
2005).
masing-masing unsur kimianya dan dialirkan ke usus kecil atau sering disebut “small
bowel“. Usus kecil merupakan bagian yang paling panjang dari segmen saluran pencernaan
dengan ukuran lebih kurang 20 kaki. Usus kecil ini memecahkan makanan yang dialirkan
dari lambung dan menyerap sari-sari makanan yang penting bagi tubuh. Pada bagian kanan
bawah abdomen terdapat persambungan menuju usus besar (atau yang lazimnya disebut
“large bowel“atau kolon), suatu organ silindris muskular dengan panjang 5 kaki. Kolon
bagian yang pertama dan terutama dari usus besar, secara terus-menerus menyerap air dan
mineral nutrisi dari bahan-bahan makanan dan menjadi tempat penampungan sementara
dari sisa-sisa makanan yang akan dikeluarkan dari tubuh. Bahan makanan sisa ini setelah
diproses menjadi feses dan menuju rektum, yang merupakan bagian terakhir seukuran 6
inci dari usus besar. Dari tempat tersebut feses keluar dari tubuh melewati anus.
3. Flora Bakteri
Walaupun sebagian bakteri yang masuk ke usus besar dari usus kecil mati oleh lisosim,
defensins, HCl dan enzim protein lainnya, namun beberapa diantaranya masih dapat hidup
dan berkembang biak. Kelompok bakteri ini masuk ke usus besar dan membentuk flora
bakteri dan berkoloni di kolon dan memfermentasikan karbohidrat sisa, melepaskan asam
dan gas (termasuk dimetil sulfida, N2,H2,CH4, CO2). Beberapa gas ini (dimetil sulfida)
sangat bau. Lebih kurang 500 cc gas (flatus) dihasilkan setiap hari dan dapat semakin
banyak apabila banyak karbohidrat dimakan. Flora ini juga mensintesa vitamin B
kompleks dan vitamin K yang berguna untuk membentuk protein pembekuan darah.
5. Defekasi
Rektum biasanya kosong, namun ketika feses dipaksakan kedalamnya oleh dorongan otot
kolon akan melebarkan dinding rektum dengan menginisiasi reflek defekasi. Pada batang
otak terdapat pusat defekasi di mana dengan dimediasi oleh reflek parasimpatis
menimbulkan kontraksi dinding kolon sigmoid, rektum dan relaksasi anal spingter. Feses
didorong ke saluran anal, signalnya disampaikan ke otak dimana timbul pengiriman sinyal
“disadari” ke otot spingter anal untuk membuka atau menutup saat feses keluar. Bila
defekasi terlambat maka reflek ini berhenti beberapa saat dan mulai kembali sehingga
menimbulkan dorongan defekasi yang lama-kelamaan tidak dapat dihindari lagi (Guyton,
2005).
2.5. Etiologi
Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui, Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker kolorektal.
Mutasi dari gen APC adalah penyebab familial adenomatosa poliposis (FAP), yang
mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100% mengembangkan kanker usus
besar pada usia 40 tahun (Tomislav Dragovich, 2014).
2.7. Patofisiologi
Umumnya kanker kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip
adenoma. Insiden tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih terjadi di
rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi,
menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar
ke dalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker
kolorektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa
dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan seperti hepar, kurvatura mayor, lambung,
duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinari dan dinding abdomen juga
dapat dikenai oleh perluasan. Metastase ke kelenjar getah bening regional sering berasal
dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah
dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way, 1994). Sel-sel kanker dari tumor
primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder
seperti hepar, paru-paru, otak, tulang dan ginjal.
Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut karena
pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul gejala (Way, 1994).
Manifestasi tergantung pada lokasi, tipe dan perluasan serta komplikasi. Perdarahan sering
sebagai manifestasi yang membawa pasien datang berobat. Gejala awal yang lain sering
terjadi perubahan kebiasaan buang air besar, diare atau konstipasi. Karekteristik lanjut
adalah nyeri, anoreksia dan kehilangan berat badan. Mungkin dapat teraba massa di
abdomen atau rektum. Biasanya pasien tampak anemis akibat dari perdarahan.
Prognosis kanker kolorektal tergantung pada stadium penyakit saat terdeteksi dan
penanganannya. Sebanyak 75 % pasien kanker kolorektal mampu bertahan hidup selama 5
tahun. Daya tahan hidup buruk / lebih rendah pada usia dewasa tua (Hazzard et al., 1994).
Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal : (1) obstruksi usus diikuti
dengan penyempitan lumen akibat lesi; (2) perforasi dari dinding usus oleh tumor, diikuti
kontaminasi dari rongga peritoneal oleh isi usus; (3) perluasan langsung tumor ke organ-
organ yang berdekatan.
Gejala dan tanda dini kanker kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Kanker kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti
konstipasi. Makin ke distal letak tumor feses makin menipis atau seperti kotoran kambing,
atau lebih cair disertai darah atau lendir. Perdarahan akut jarang dialami, demikian juga
nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Pada obstruksi penderita merasa lega
saat flatus (De Jong, 2005).
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker kolorektal antara lain ialah:
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam.
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.
4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut atau nyeri.
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya.
6. Mual dan muntah.
7. Rasa letih dan lesu.
8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah
gluteus.
2.9. Pemeriksaan
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukan
keadaan sudah lanjut. Massa pada sigmoid lebih jelas teraba daripada massa di bagian lain
kolon.
Karena kanker kolorektal sering berkembang lamban dan penanganan stadium awal
sangat dibutuhkan, maka organisasi kanker Amerika merekomendasikan prosedur skrining
rutin bagi deteksi awal penyakit. Rekomendasinya sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rektal tusse untuk semua orang usia lebih dari 40 tahun.
2. Test Guaiac untuk pemeriksaan darah feses bagi usia lebih dari 50 tahun.
3. Sigmoidoskopi tiap 3-5 tahun untuk tiap orang usia lebih dari 50 tahun.
15
2.10. Diagnosis
Diagnosis kanker kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, colok
dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda (De Jong, 2005).
Pasien dengan sangkaan kanker kolorektal dapat dilakukan prosedur diagnostik
lanjut untuk pemeriksaan fisik. test laboratorium, radiograpi dan biopsi untuk memastikan.
Test laboratorium yang dianjurkan sebagai berikut :
1. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik ditandai dengan
sel-sel darah merah yang kecil tanpa terlihat penyebab adalah indikasi umum
untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker kolorektal.
2. Test Guaiac pada feses untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feses, karena
semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
3. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di membran
sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Karena tes ini tidak spesifik
bagi kanker kolorektal dan positif pada lebih dari separuh pasien dengan lokalisasi
penyakit, ini tidak termasuk dalam skrining atau test diagnostik dalam pengobatan
penyakit. Ini terutama digunakan sebagai prediktor pada prognosis postoperatif
dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan pembedahan (Way, 1994).
4. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat meninggi,
indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi serum protein,
kalsium dan kreatinin.
16
5. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya dan
lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam usus
bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus, konstriksi atau
gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor dan pola mukosa normal
hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata
dalam mendeteksi rektum (Way,1994).
6. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru.
7. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI) atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah mengenai
organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
8. Endoskopi (sigmoidoskopi atau kolonoskopi) adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor. Sekalian dilakukan biopsi
jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50-65% dari kanker
kolorektal. Pemeriksaan endoskopi dan kolonoskopi direkomendasikan untuk
mengetahui lokasi dan biopsi lesi pada pasien dengan perdarahan rektum. Bila
kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak
dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah, ulseratif sentral, seperti
penyakit divertikel, ulseratif kolitis dan penyakit Crohn’s (Harahap, 2004).
2.11. Stadium
Ketika diagnosa kanker kolorektal sudah dipastikan, maka dilakukan prosedur untuk
menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed tomography scan (CT scan) dada,
abdomen dan pelvis, complete blood count (CBC), tes fungsi hepar dan ginjal, urinalisis
dan pengukuran tumor marker CEA (carcinoembryonic antigen).
Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini adalah untuk mengetahui perluasan dan
lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan prognosis. Stadium
penyakit pada kanker rektum hampir mirip dengan stadium pada kanker kolon. Awalnya
terdapat Duke's classification system yang menempatkan kanker dalam 3 kategori stadium
A, B dan C. Sistem ini kemudian dimodifikasi oleh Astler-Coller menjadi 4 stadium
(Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun 1978 oleh Gunderson & Sosin.
Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer (AJCC)
memperkenalkan TNM staging system yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4
stadium (Stadium I-IV).
17
1. Stadium 0
Kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rectum yaitu pada mukosa saja.
Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar ke bagian terluar
dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Kanker telah menyebar keluar rektum ke jaringan terdekat namun tidak menyebar
ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh seperti hati, paru atau ovarium.
Disebut juga Dukes D rectal cancer.
Stadium Deskripsi
T1 Intraluminal polypoid mass; no thickening of bowel wall
T2 Thickened rectal wall >6 mm; no perirectal extension
T3a Thickened rectal wall plus invasion of adjacent muscle or organs
T3b Thickened rectal wall plus invasion of pelvic side wall or abdominal wall
T4 Distant metastases, usually liver or adrenal
Modified from Thoeni (Radiology, 1981)
18
2.12. Penatalaksanaan
Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai penyebaran
tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi
dan perdarahan. Tujuan ideal penanganan kanker adalah eradikasi keganasan dengan
preservasi fungsi anatomi dan fisologi. Kriteria untuk menetukan jenis tindakan adalah
letak tumor, jenis kelamin dan kondisi penderita.
Tindakan untuk kanker rektum :
1. Tumor yang berjarak < 5 cm dari anal verge dilakukan eksisi abdomino perineal.
2. Tumor yang berjarak 5-10 cm dari anal verge dilakukan low anterior reseksi.
3. Tumor yang berjarak > 5 cm dari anal verge dilakukan reseksi anterior standar.
Pada tumor yang kecil dan masih terlokalisir, reseksi sudah mencukupi untuk kuratif.
Pertimbangan untuk melakukan reseksi atau tidak pada kanker rektum tidak hanya kuratif
tetapi juga paliatif seperti elektrokoagulasi dan eksisi lokal, fulgurasi, endokaviti irradiasi
atau braki terapi. Beberapa pilihan pada penderita berisiko tinggi dapat dilakukan
laparoskopi, eksternal beam radiation, elektrokoagulasi, ablasi laser, eksisi lokal dan stent
endoskopi. Sebelum melakukan tindakan operasi harus terlebih dahulu dinilai keadaan
umum dan toleransi operasi serta ekstensi dan penyebaran tumor. Pada eksisi radikal
rektum harus diusahakan pengangkatan mesorektum dan kelenjar limfa sekitarnya.
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker kolorektal. Satu-satunya
kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuan utama tindakan bedah adalah
memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun non kuratif. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Terapi standar untuk
kanker rektum yang digunakan antara lain adalah :
1. Pembedahan
Pembedahan pada tumor kolon yang berdekatan dan kelenjar getah bening yang
berdekatan adalah penanganan pilihan untuk kanker kolorektal. Penanganan pembedahan
bervariasi dari pengrusakan tumor oleh laser photokoagulasi selama endoskopi sampai
pemotongan abdominoperineal (APR = abdominoperineal resection) dengan kolostomi
permanen. Bila memungkinkan spingter ani dipertahankan dan hindari kolostomi
(Way, 1994).
Laser photokoagulasi digunakan sangat kecil, usus diberi sorotan sinar untuk
pemanasan langsung jaringan didalamnya. Panas oleh laser umumnya dapat digunakan
untuk merusak tumor kecil. Juga digunakan untuk bedah paliatif atau tumor lanjut untuk
20
tembak. Penyambungan kembali atau anastomosis dari bagian kolon tidak dilakukan
segera karena kolonisasi bakteri berat dari luka kolon tidak diikuti penyembuhan sempurna
dari anastomosis. Berkisar 3 – 6 bulan kolostomi ditutup dan dibentuk anastomosis kolon
(Harahap, 2004).
2. Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai tambahan dari pengangkatan bedah dari tumor
usus. Bagi kanker rektum yang kecil, intrakavitari, eksternal atau implantasi radiasi dapat
dengan atau tanpa eksisi bedah dari tumor. Radiasi preoperatif diberikan bagi pasien
dengan tumor besar sampai lengkap pengangkatan. Bila terapi radiasi megavoltase
digunakan, kemungkinan dalam kombinasi dengan kemoterapi, kanker rektum berkurang
ukurannya, sel-sel jaringan limpatik regional dibunuh dan kekambuhan lamban atau tidak
kambuh sama sekali (Berkow & Fletcher, 1992; way, 1994). Terapi radiasi megavoltase
juga dapat digunakan postoperatif untuk mengurangi risiko kekambuhan dan untuk
mengurangi nyeri. Lesi yang terfiksir luas tidak diangkat, dapat ditangani dengan
mengurangi pemisah / hambatan dan memperlambat berkembangnya kanker.
3. Kemoterapi
Agen-agen kemoterapi seperti levamisole oral dan intravenous fluorouracil (5-FU), juga
digunakan postoperatif sebagai terapi adjuvan untuk kanker kolorektal. Bila dikombinasi
dengan terapi radiasi, kontrol pemberian kemoterapi lokal dan survive bagi pasien dengan
stadium II dan III dengan kanker rektum. Keunggulan bagi kanker kolon adalah bersih,
tetapi kemoterapi dapat digunakan untuk menolong mengurangi penyebaran ke hepar dan
mencegah kekambuhan.Leucoverin dapat juga diberikan dengan 5-FU untuk meningkatkan
efek anti tumor (Harahap, 2004).
4. Terapi Terkini
Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir ini adalah:
a. Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah tumor.
b. Terapi Gen.
c. Modifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-late synthase dan 5 fluoro urasil.
d. Extra corporal transcutaneus application : ultrasonografi intensitas tinggi.
e. Imunoterapi : Interleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon.
22
2.13. Prognosis
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker kolorektal adalah sebagai berikut :
Stadium I - 72%
Stadium II - 54%
Stadium III - 39%
Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan
lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi. Penyakit kambuh
pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang
mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor,
lokasi dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor.
Tumor poorly differentiated mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan
well differentiated. Bila dijumpai gambaran agresif berupa”signet ring cell” dan karsinoma
musinus prognosis lebih buruk.
Rekurensi lokal setelah operasi reseksi dilaporkan mencapai 3-32% penderita.
Beberapa faktor seperti letak tumor, penetrasi dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa,
perforasi rektum pada saat diseksi dan diferensiasi tumor diduga sebagai faktor yang
mempengaruhi rekurensi lokal.
2.14. CEA
Antigen Carcinoembryonic (CEA) pertama kali dikemukakan pada tahun 1965 oleh Gold
dan Freedman, ketika mereka mengidentifikasi antigen yang ada di kedua janin usus besar
dan usus adenokarsinoma tetapi tidak dijumpai pada usus orang dewasa yang sehat. Karena
protein terdeteksi pada kanker dan jaringan embrio maka diberi nama antigen
Carcinoembryonic atau CEA. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa CEA atau
setidaknya sebuah molekul seperti CEA, juga terdapat dalam jaringan sehat, walaupun
konsentrasi pada tumor yang rata-rata 60 kali lipat lebih tinggi daripada di jaringan
nonmalignan. Dalam salah satu laporan pertama CEA dalam serum, Thomson et al.
ditemukan peningkatan konsentrasi di 35 dari 36 pasien dengan kanker kolorektal.
Sebaliknya nilai tinggi tidak ditemukan dalam "normal" subyek, wanita hamil, pasien
dengan kanker nongastrointestinal atau pada pasien dengan penyakit gastrointestinal jinak.
Tiga puluh tahun setelah deteksi awal dalam serum, CEA adalah salah satu penanda tumor
yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan penanda yang paling sering digunakan
pada kanker kolorektal.
23
tumor histologis. Dalam adenokarsinoma juga dibedakan > 95% dari tumor kelenjar
pembentuk.
Amerika Kanker (AJCC), kanker staging manual, invasi mukosa diklasifikasikan sebagai
karsinoma in situ (Tis). Namun demikian, istilah karsinoma intramukosa masih dapat
digunakan oleh beberapa ahli patologi. Identifikasi displasia grading tinggi atau kanker
intramukosa dibiopsi atau polipektomi spesimen tidak akan mempengaruhi manajemen
pasien pengambilan keputusan. Keputusan untuk melakukan reseksi ditentukan oleh
penampilan lesi, temuan ultrasonografi endoskopik dan resektabilitas endoskopi.