Anda di halaman 1dari 31

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS

PSIKOLOGI UNJANI YANG SEDANG MENGERJAKAN SKRIPSI

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PADA MAHASISWA


FAKULTAS PSIKOLOGI UNJANI YANG SEDANG MENGERJAKAN SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Metodologi Penelitian

Disusun oleh :
ADE PURNAMA YUDHA PUTRA
7111101157
KELAS 6 C

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang merupakan
kelanjutan dari pendidikan menengah dijalur pendidikan sekolah. Sedang orang yang belajar
diperguruan tinggi dikenal sebagai mahasiswa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990).
Seseorang yang belajar di perguruan tinggi memiliki beragam alasan, antara lain:
mempersiapkan diri untuk karir khusus atau mencapai kualifikasi profesional yang akan
membantu dalam karir yang telah ditempuh; belum jelas apa yang dilakukan tetapi yakin
bahwa gelar/kualifikasi dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik; betul-betul
berminat pada pengetahuan yang bersangkutan; ingin menjadi mahasiswa dan sekaligus
memberi waktu untuk memikirkan masa depan; terpaksa karena dituntut oleh lingkungan;
menjadi mahasiswa merupakan cara untuk menunda keputusan dalam hidup atau alternatif
yang lebih baik daripada menganggur atau pekerjaan yang membosankan (Wright dalam
Zarfiel, 2001). Ditambahkan pula oleh Ganda (1992) bahwa tujuan mahasiswa adalah untuk
mencapai dan meraih taraf keilmuan yang matang, artinya ia ingin menjadi sarjana yang
menguasai sesuatu ilmu serta memahami wawasan ilmiah yang luas, sehingga mampu
bersikap dan bertindak ilmiah dalam segala hal yang berkaitan dengan keilmuannya, untuk
diabdikan kepada masyarakatnya dan umat manusia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut,
terlihat bahwa perguruan tinggi merupakan suatu tempat di mana para mahasiswa belajar
untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depannya.
Salah satu persyaratan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa dalam menempuh
pendidikan di perguruan tinggi adalah pembuatan skripsi. Namun, ada juga beberapa
perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat tugas karya akhir sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjananya. Tugas karya akhir merupakan suatu hasil
pemikiran dan analisis penulis terhadap suatu objek atau masalah, biasanya berbentuk kajian
literatur yang dibuat berdasarkan kekhasan keilmuan masing-masing program studi. Sedang
skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai
bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,1990).
Setiadi, Matindas, dan Chairy (1998) menyatakan bahwa skripsi merupakan karya
tulis dan penelitian mandiri mahasiswa, sebagai suatu karya mandiri maka skripsi harus
merupakan karya yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dari skripsi mahasiswa

lainnya, terutama dalam masalah penelitian, metode penelitian, dan kesimpulan yang dibuat.
Kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan
penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh mahasiswa.
Lamanya waktu penulisan skripsi yang diberikan adalah selambat - lambatnya dua
semester. Namun, pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang mengerjakan skripsi
dalam waktu yang lebih lama dari yang ditentukan. Banyak faktor yang mungkin bisa
menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah karena mahasiswa tersebut merasa bahwa
pembuatan skripsi itu memang susah, sehingga mereka membutuhkan waktu yang lebih lama
dari yang diberikan. Toleransi terhadap waktu pengerjaan skripsi ini diberikan oleh dekan
dengan melihat perkembangan penulisan skripsi (Setiadi, Matindas, & Chairy, 1998). Seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, skripsi merupakan sebuah tugas mandiri sebagai salah
satu syarat kelulusan bagi seorang mahasiswa, tentulah mempunyai tujuan. Adapun tujuannya
itu adalah (Djarwanto, 1995) :untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi
dan memecahkan masalah secara ilmiah serta juga untuk mengevaluasi keterampilan
metodologi penelitian dari mahasiswa. Namun, pada tiap fakultas memiliki tujuan penulisan
skripsi yang berbeda-beda pula. Hal ini dikarenakan perbedaan bidang keilmuan yang
dipelajari, sehingga dalam tujuan penulisan skripsinya lebih ditekankan pada karektiristik
ilmu dari masing-masing fakultas.
Seperti pada fakultas psikologi tugas penulisan skripsi memiliki tujuan sebagai
berikut: untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memecahkan
masalah psikologi secara ilmiah, untuk mengevaluasi ketrampilan mahasiswa dalam
menerapkan metode penelitian secara benar, untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa
dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis terhadap gejalagejala psikologis yang ada, dan untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam
menyampaikan hasil penelitian secara tertulis (Setiadi, Martindas, & Chairy,1998). Hal itu
tentu

menimbulkan

perasaan

yang

berbeda-beda

pada

setiap

mahasiswa

yang

menghadapinya. Ada yang merasa bahwa skripsi sebagai suatu hal yang memang harus
dilewati sebagai bagian dari pendewasaan diri, ada yang merasa bahwa hal itu adalah
momok dan menyebabkan ketakutan, ada yang berupaya mengerjakan secara cepat
sehingga dapat cepat pula terbebas dari beban yang ada, sampai ada yang terkesan seperti
melarikan diri dari kenyataan (Komunikasi personal, 2006).
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam proses penyelesaian
skripsi, selain keterampilan untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan
untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut

ilmiah. Menulis laporan ilmiah, menurut Dominice dalam bukunya yang berjudul Learning
from our lives(2000)- merupakan sebuah kewajiban rutin bagi seseorang yang menempuh
pendidikan pada jenjang universitas. Hal itu dapat menimbulkan kecemasan bagi kebanyakan
mahasiswa, yang oleh Dominice disebut dengan writing anxiety. Sejalan dengan itu,
penelitian yang dilakukan oleh Primusanto (2000) terhadap mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa
pada saat pembuatan skripsi dengan tingkat kecemasannya sehari-hari atau normal. Hal ini
bisa saja terjadi karena mahasiswa tersebut merasa terbebani dengan tugas pembuatan skripsi
yang nantinya akan menjadi bahan evaluasi kelulusan Selama menuntut ilmu di perguruan
tinggi, mahasiswa diberikan waktu masa studi. Biasanya masa studi maksimal yang diberikan
selama 6 tahun. Secara normal mahasiswa membutuhkan waktu hanya selama 4 tahun atau 8
semester untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Bagi mahasiswa yang melebihi waktu normal
atau yang lebih dikenal dengan istilah mahasiswa tidak tepat waktu, tentunya akan
mengalami tekanan yang berlebih selama menuntut ilmu. Terutama lagi jika mereka sudah
menghadapi masa-masa deadline, karena jika tidak dapat menyelesaikan kuliahnya dalam
waktu yang tersisa maka mereka akan droup out. Hal ini akan semakin dirasakan menekan
pada saat-saat harus mengerjakan skripsi, karena waktu yang mereka miliki semakin sempit.
Sementara itu, proses pembuatan skripsi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Menurut
hasil wawancara terhadap 10 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Jenderal
Achamad Yani yang sedang mengerjakan skripsi mereka merasa seperti berkejar-kejaran
dengan waktu dalam mengerjakan skripsi. Kondisi seperti ini tentulah dapat meningkatkan
kecemasan yang mereka rasakan.
Kecemasan adalah sebuah keadaan yang tidak jelas, ketakutan terhadap sesuatu yang
tidak terdefinisikan, atau perasaan ketakutan (Morgan, King, Weisz, dan Schopler, 1986).
Kowalski (dalam Santrock, 2001) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan yang samar,
perasaan tidak nyaman yang tinggi berkaitan dengan ketakutan dan keprihatinan. Secara
umum, seseorang dapat mengetahui apa yang ditakutkannya dan bagaimana menanganinya,
tetapi orang yang mengalami kecemasan dapat merasakan bahaya tanpa mengetahui apa dan
bagaimana menangani ketakutannya (Atwater, 1983). Kecemasan memiliki dua elemen
utama, yaitu: ketakutan terhadap beban persyaratan eksternal yang dilihat sebagai sebuah
ancaman, dan kekhawatiran mengenai kapasitas untuk menanggulanginya (Rogers, 1996).
Terkadang ketakutan dan kecemasan dapat dialami secara bersamaan, sehingga seorang
mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi dalam menghadapi ujian kesarjanaannya
akan menjadi sangat ketakutan terhadap ujian tersebut (Atwater, 1983). Ditambahkan pula

oleh Pervin dan John (1997) bahwa yang mendasari kecemasan bukan diakibatkan oleh
kejadian yang mengancam, tetapi lebih kepada persepsi mengenai ketidakmampuan diri
dalam mengatasinya. Terkait dengan pengerjaan skripsi, seringkali mahasiswa memiliki
persepsi bahwa dia tidak mampu untuk menyelesaikan tugas pembuatan skripsinya, sehingga
timbullah perasaan cemas. Persepsi atau keyakinan terhadap ketidak mampuan diri ini
berkaitan erat dengan tinggi atau rendahnya tingkat self efficacy mahasiswa tersebut.
Self efficacy adalah penilaian seseorang tentang apa yang dapat ia lakukan dengan
ketrampilan apapun yang dimilikinya (Bandura, 1986). Lebih lanjut lagi, Bandura (dalam
Schultz dan Schultz, 2005) menyatakan bahwa self efficacy merupakan sebuah bentuk
persepsi yang berkaitan dengan kontrol yang dipunyai oleh seseorang dalam hidupnya.
Schultz dan Schultz (2005) menyimpulkan adanya perbedaan antara orang yang memiliki self
efficacy rendah dan tinggi. Seseorang yang memiliki self efficacy rendah akan cenderung
merasa helpless, tidak mampu melakukan pengaturan pada keadaan yang terjadi dalam
hidupnya. Pada saat mereka menghadapi hambatan, mereka akan dengan cepat menyerah,
bila pada usaha pertama sudah mengalami kegagalan. Seseorang yang memiliki self
efficacy sangat rendah tidak akan melakukan upaya apapun untuk mengatasi hambatan yang
ada, karena mereka percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak akan membawa
pengaruh apapun. Self efficacy yang rendah dapat merusak motivasi, menurunkan aspirasi,
mengganggu kemampuan kognitif, dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan
fisik.
Di sisi lain, seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat
menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self
efficacyrendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri.
Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan
sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan
situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan,
meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir
analitis. Dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa diharapkan memiliki self efficacy yang
tinggi agar memberikan hasil unjuk kerja yang baik yaitu penyelesaian pembuatan tugas
skripsinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bandura dan Locke; Stajkovic dan Luthans
(dalam John, 2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat tinggi antara self
efficacy dengan performance.Semakin tinggi self efficacy maka semakin baik pula hasil kerja
seseorang.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dari 10 (angkatan 2009) orang mahasiswa
yang sedang mengerjakan skripsi di dapat data mengenai symptom kecemasan yang muncul
sebagai berikut.
Simptom

Banyaknya mahasiswa

yang merasakan
Keluarnya keringat dingin saat hendak bimbingan skripsi.
8 orang.
Sulit untuk berkonsentrasi saat mengerjakan skripsi.
6 orang.
Sering mengepalkan tangan atau menggerak gerakan kakinya saat 3 orang.
hendak bimbingan skripsi.
Jantung merasa berdegup lebih kencang ketika bimbingan skripsi.

3 orang.

Dari hasil interview dari 10 orang (angkatan 2009) mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi menyatakan bahwa mereka menetapkan target untuk menyelesaikan
skripsi ( 4 orang), mereka menetapkan target agar bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu.
Dan 6 orang lainnya yang tidak menetapkan target karena merasa bahwa dosen pembimbing
akan membantu dan cenderung merasa tergantung dengan dosen pembimbing dengan target
waktu penyelesaian skripsi. Dan dari 10 orang yang diinterview, 5 orang menyatakan bahwa
ia yakin akan menyelesaikan skripsi tepat waktu dan tidak telat untuk wisuda.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa kecemasan pada mahasiswa yang
sedang membuat skripsi itu dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasakan
bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi mahasiswa terhadap
kemampuan dia untuk menyelesaikan tugas skripsi tersebut yang merupakan self efficacy.
Sehingga penulis merasa tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara self
efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Ditambahkan
pula pada penelitian ini ingin dilihat seberapa besar tingkat kecemasan mahasiswa saat
mengerjakan skripsi.
1.2. Identifikasi Masalah
Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat
menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self
efficacyrendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri.
Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan
sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan
situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan,

meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir


analitis. Dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa diharapkan memiliki self efficacy yang
tinggi agar memberikan hasil unjuk kerja yang baik yaitu penyelesaian pembuatan tugas
skripsinya. Semakin tinggi self efficacy maka semakin baik pula hasil kerja seseorang.
Kecemasan pada mahasiswa yang sedang membuat skripsi itu dapat timbul bukan
hanya disebabkan oleh beban yang dirasakan bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan
bagaimana persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dia untuk menyelesaikan tugas skripsi
tersebut yang merupakan self efficacy. Sehingga penulis merasa tertarik untuk melihat apakah
ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi terutama dalam proses bimbingan skripsi.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini berusaha
untuk memperoleh gambaran tentang: Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan
kecemasan sesaat pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi?

1.3. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data data empiris mengenai self
efficacy dan kecemasan sesaat yang muncul pada aktivitas mengerjakan skripsi khususnya
pada saat bimbingan skripsi.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat hubungan
antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada proses bimbingan skripsi.
1.4. Manfaat dan Kegunaan
1.4.1

Manfaat Praktis
Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat membantu memberikan informasi bagi
mahasiswa psikologi Universitas Jenderal Ahmad Yani yang sedang mengerjakan skripsi
untuk lebih memahami serta meningkatkan self efficacy mereka dalam mengerjakan
skripsi, serta mampu untuk mengatasi dan mencegah hal hal yang bisa memunculkan
kecemasan saat mengerjakan skripsi.

1.4.2

Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk dapat lebih mengetahui dan memahami
teori Psikologi Klinis yang membahas mengenai kecemasaan sesaat dari Spielberger
(1972) serta teori Psikologi Sosial mengenai self efficacy dari Bandura.

b.

Penelitian ini berguna untuk menambah pengembangan keilmuwan dan pengetahuan


mengenai keyakinan kemampuan diri (self efficacy) dan kecemasan sesaat (state
anxiety).

1.5. Kerangka Pikir


Di dalam perkuliahan seorang mahasiswa terutama mahasiwa fakultas psikologi
unjani dituntut untuk mampu membuat skripsi sebagai salah satu persyaratan yang harus
dikerjakan oleh mahasiswa dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah
pembuatan skripsi. Skripsi merupakan sebuah tugas akhir seorang mahasiswa untuk
mendapatkan gelar strata 1.
Skripsi merupakan karya tulis dan penelitian mandiri mahasiswa, sebagai suatu karya
mandiri maka skripsi harus merupakan karya yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda
dari skripsi mahasiswa lainnya, terutama dalam masalah penelitian, metode penelitian, dan
kesimpulan yang dibuat. Kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa
perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh
mahasiswa.
Ketika individu (mahasiswa) dihadapkan dengan situasi yang di dalamnya terdapat
suatu tuntutan tertentu, maka individu (mahasiswa) akan melakukan penilaian kognitif
(cognitive appraisals). Jika tuntutan dari tugas pembuatan skripsi dinilai mengancam bagi
individu maka individu itu tersebut dapat merasakan kecemasan, begitu juga sebaliknya.
Dimana aktivitas penyusunan skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan salah satu
contoh situasi yang didalamnya terdapat suatu tuntutan yang harus dilakukan oleh
mahasiswa, yaitu memiliki keterampilan untuk menemukan permasalahan yang menarik,
kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga
dituntut ilmiah. Oleh karena itu aktivitas penyusunan skripsi oleh mahasiswa, dapat
menimbulkan kecemasan bagi mahasiswa tersebut.
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang di sertai dengan perubahan pada
sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan, dan
kegelisahan. State anxiety didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena
dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger
menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran. Khawatir
menunjukan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu merespon sesuatu

yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan
mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Kecemasan sesaat (A-state) tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif
merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap
saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai
munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut
(apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang
bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas
sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxiety memberikan gambaran
kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang
akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi dalam penyusunan dan bimbingan
skripsi.
Dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi menuntut mahasiswa memiliki
ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk
memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah.
Tuntutan ini dapat dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi
mahasiswa yang melakukan aktivitas penyusunan skripsi sehingga hal ini dapat
meningkatkan intensitas situasi emosional yang di tandai dengan adanya ketegangan atau
kekhawatiran, serta peningkatan kegiatan saraf otonom yang merupakan tanda kecemasan
sesaat. Dimana state anxiety dikonsepkan sebagai keadaan emosional sesaat dimana kadarnya
akan meningkat dalam keadaan yang dianggap semakin mengancam dan kadarnya semakin
menurun dalam keadaan yang semakin tidak mengancam.
Fokus dari teori yang dikemukakan oleh spielberger adalah pentingnya penilaian
kognitif (cognitive appraisals) dalam memunculkan kecemasaan sesaat. Proses yang terjadi
adalah sebgai berikut ; penilaian kognitif seseorang terhadap stimulus internal ( berupa
pikiran, perasaan, maupun kebutuhan biologisnya) dan stimulus eksternal yang ditangkapnya
sebagai stressor dipengaruhi tingkat kecemasan dasarnya di dalam memunculkan kecemasan
ini sampai pada tingkah laku dan munculnya mekanisme pertahanan diri.
Stimulus eksternal (stressor) dalam penelitian ini adalah aktivitas penyusunan dan
bimbingan tugas skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa, dimana aktivitas ini memiliki
komponen komponen khas yang membedakannya dengan tugas biasa, dimana kekhasan ini
menuntut mahasiswa memiliki ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang

menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat,
mahasiswa juga dituntut ilmiah. Masing masing mahasiswa dalam aktivitas ini memiliki
harapan tertentu yang ingin dicapai, dimana harapn ini yang menjadi alasan penyusunan
skripsi mereka, sehingga tercapai atau tidaknya harapan ini dapat ditunujukan baik secara
verbal maupun nonverbal.
Selain hal tersebut, dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi kepada dosen
pembimbing, kelemahan kelemahan diri yang dianggap penting oleh mahasiswa memiliki
peluang untuk tampak dan bisa diamati oleh orang lain. Oleh karena itu, aktivitas ini secara
potensial ditangkap sebagai sebagai suatu stressor oleh mahasiswa, sedangkan stimulus
internal adalah dirinya. Penilaian kognitif terhadap kedua stimulus ini (internal dan eksternal)
dengan dipengaruhi oleh kecemasan dasarnya kemudian muncul dala bentuk kecemasan
sesaat. Dimana kecemasan sesaat dalam hal ini adalah kecemasan ketika akan bimbingan
skripsi, yang dimanifestasikan dalam tingkah laku berupa cemas, tegang, takut, gugup yang
ditandai dengan keluarnya keringat, jantung berdebarketika individu melakukan maupun
sekedar mengantisipasi aktivitas penyusunan skripsi sebagai stimulus eksternal (stressor).
Skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa
sebagai bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar
Bahasa Indonesia,1990). Dalam aktivitas ini terdapat tuntutan tuntutan tertentu dimana
seorang mahasiswa diharapkan kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa
perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh
mahasiswa. Suatu aktivitas yang didalamnya terdapat tuntutan tertentu maka penilaian
seseorang mahasiswa terhadap keyakinan diri akan kemampuan dirinya untuk mengatur dan
melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang di inginkan
dalam aktivitas presentasi tersebut turut berperan (self efficacy).
Albert Bandura mendefiniskan self efficacy as beliefs in ones capabilities to
organize and execute the courses of action required to produce given attainments (Bandura,
1997 ), yaitu bahwa self efficacy adalah keyakinan dalam diri seseorang mengenai
kemampuannya untuk mengorganisir dan melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan (Bandura,1997). Yaitu dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam
mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang
diinginkan dari tuntutan tugas akademik yang di berikan. Self efficacy tersebut mempengaruhi
persepsi, motivasi dan tindakannya dalam berbagai cara, termasuk dalam kemampuan
akademiknya.

Selain kemampuan akademik, seorang mahasiswa juga dituntut untuk yakin pada
kemampuan yang dimilikinya ketika melaksanakan tuntutan akademik yaitu mengidentifikasi
dan memecahkan masalah psikologi secara ilmiah, untuk menerapkan ketrampilan mahasiswa
dalam menerapkan metode penelitian secara benar, untuk menerapkan kemampuan
mahasiswa dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis
terhadap gejala-gejala psikologis yang ada, dan untuk menerapkan kemampuan mahasiswa
dalam menyampaikan hasil penelitian secara tertulis, maupun tuntutan lingkungannya yaitu
mampu mengemukakan ide dan penelitiannya serta dapat mengkomunikasikan secara tertulis
apa yang menjadi gagasan penelitiannya sehingga dapat berguna bagi masyarakt. Yakin akan
kemampuan yang dimilikinya ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi ini dikenal
dengan self efficacy. Tinggi rendahnya keyakinan akan kemampuan diri dalam menhadapi
dan melaksanakan tuntutan ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi tersebut
berdampak juga pada tinggi rendahnya derajat kecemasan yang dirasakan oleh seorang
mahasiswa. Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan membangun lebih
banyak kemampuan kemampuan melalui usaha usaha mereka terus menerus, sedangkan
self efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari
kemampuan kemapuan yang di butuhkan seseorang.
Albert bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy bersumber dari beberapa
faktor, yaitu :
1. Pencapaian pengalaman secara aktif (enactive mastery experience)
2. Belajar dari pengalaman orang lain (vicarious experience)
3. Pengalaman persuasif verbal (persuasive experience)
4. Pembangkit fisiologis (physiological and affective state)
Kemudian bandura mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek (dimensi) yang dapat
menentukan self efficacy seseorang, yaitu :
a. Magnitude of self efficacy yaitu keyakinan akan tingkat kesulitan tugas. Hal ini
berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan
pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of difficulty). Individu akan
mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan
menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk dapat mengatasi
kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi berkaitan dengan aktivitas
penyusunan skripsi. Mahasiwa dengan magnitude yang tinggi akan merasa yakin
bahwa ia mampu menjalankan aktivitas penyusunan skripsi sekalipun cukup sulit dan
dapat menetapkan target atau tujuan yang menantang untuk dicapai. Sedangkan

mahasiswa dengan magnitude yang rendah meyakini bahwa ia hanya mampu


melakukan tugas tugas yang ringan dan tidak merasa tertantang untuk menetapkan
suatu tujuan atau target tertentu dalam melakukan aktivitas penyusunan skripsi karena
merasa dirinya tidak mampu dan tidak siap menerima kegagalan.
b. Strength of self efficacy yaitu sejauh mana kekuatan akan keyakinan individu
mengenai kompetensi diri dikaitkan dengan tingkat kesulitan akan tugas atau situasi
pekerjaan yang di persepsikan. Mahasiswa dengan strength yang tinggi akan
meningkatkan usaha ketika mengalami kegagalan dan tetap focus pada aktivitas
penyusunan skripsi tersebut ketika menemui hambatan. Sedangkan mahasiswa yang
memiliki strength of self efficacy yang rendah tidak dapat bertahan ketika
menghadapi hambatan atau kegagalan. Pa menjadi lebih pesimis dan cenderung raguragu.
c. Generality

of

self

efficacy

yaitu

keyakinan

akan

kemampuannya

dalam

menggeneralisasikan tugas tugas dan pengalaman pengalaman sebelumnya untuk


menghadapi tugas atau pekerjaan lain. Atau dengan kata lain sejauh mana individu
yakin akan kemampuannya dalam berbagai tugas, mulai dari dalam melakukan suatu
aktivitas tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi. Seorang
mahasiswa yang memiliki generality yang tinggi akan menggunakan pengalamn untuk
menampilkan perilaku yang lebih dan menjadikan pengalaman sebagai hal yang
berharga untuk mencapai kesuksesan di masa mendatang. Sedangkan mahasiswa
dengan generality yang rendah cenderung tidak mampu menggunakan penglamnnya
untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan saat ini bahkan menjadikan kegagalan
sebagai penghambat bagi dirinya untuk meraih kesuksesan tersebut ketika melakukan
aktivitas penyusunan skripsi.
Individu memiliki kecenderungan meragukan kemampuannya dirinya untuk
melaksanakan tugas yang ada. Individu dengan self efficacy yang rendah sering kali
menganggap segala sesuatu sangat sulit dan mereka sukar untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan yang ada sehingga membuatnya menjadi cemas. Hal ini disebabkan
karena ia menghayati dirinya dalam keadaan yang mengancam sehingga
menimbulkan kecemasan. Hal ini menunjukan peran self efficacy dalam menculnya
kecemasan.
Tuntutan dalam melakukan suatu aktivitas penyusunan skripsi yang harus
dijalani dan dipenuhi oleh mahasiwa dapat membuat mahasiswa yang memiliki
keyakinan akan kemampuan diri yang rendah memiliki penilaian terhadap aktivitas

penyusunan skripsi sebagai sesuatu yang mengancam sehingga memunculkan


kecemasan sesaat dalam diri mahasiswa tersebut.
Kecemasan yang terjadi pada mahasiswa ketika melakuaka aktivitas
bimbingan skripsi, dapat dikarenakan oleh suatu faktor internal mahasiswa seperti
keyakinan akan kemampuan diri, dan cara berpikir mahasiswa tersebut.
Mahasiswa yang memiliki keyakinan dalam memenuhi tuntutan penyusunan
dan bimbingan skripsi, menguasi kondisi yang mungkin muncul ketika mengerjakan
skripsi, menilai skripsi sebagai suatu kondisi yang menantang, memiliki minat yang
besar, mampu menetukan target, serta mampu mengeneralisasikan tugas atau
pengalaman bimbingan sebelumnya menunjukan bahwa mahasiswa tersebut memiliki
self efficacy yang tinggi.

Mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung memiliki

penilaian terhadap aktivitas penyusunan skripsi sebagai sesuatu yang menantang


sehingga memiliki tingkat kecemasan yang rendah ketika melakukan aktivitas
penyusunan skripsi. Begitu juga sebaliknya.
1.6. Hipotesa Penelitian
Dari penjelasan kerangka pikir di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah :Terdapat
hubungan negative antara self efficacy dengan kecemasan sesaat (state anxiety) pada
mahasiswa Fakultas psikologi ketika sedang mengerjakan skripsi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori Self Efficacy

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai definisi self efficacy, fungsi self efficacy,dan faktor
yang mempengaruhi self efficacy.
2.1.1. Definisi Self Efficacy
Self efficacy menurut Bandura (1997) didefinisikan sebagai: perceived self efficacy refers
to beliefs in ones capabilities to organize and executer the courses of action required to
produce given attainments .
Sejalan dengan itu, Myers (1994) menyatakan bahwa self efficacy adalah: A sense that
one is competent and effective. Distinguished from self esteem, a sense of ones self worth. A
bombardier might feel high self efficacy and low self esteem(hal 81).
Panjares (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa self efficacy adalah: sebuah
penilaian spesifik yang berkaitan dengan konteks mengenai kompetensi untuk mengerjakan
sebuah tugas spesifik. Woolfolk (2004) juga menyebutkan bahwa self efficacy adalah
kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi khusus.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah penilaian
seseorang tentang apa yang dapat dilakukan dengan ketrampilan apapun yang dimilikinya.
Penilaian atau perasaan itu berkaitan dengan kompetensi dan efektifitas.
2.1.2. Fungsi Self Efficacy
Self efficacy yang dipersepsikan tidak hanya sekedar perkiraan tentang tindakan apa yang
akan dilakukan pada masa mendatang (Bandura, 1986). Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan diri juga berfungsi sebagai suatu determinan bagaimana individu tersebut
berperilaku, berpola pikir, dan bereaksi emosional terhadap situasi-situasi yang sedang
dialami. Keyakinan diri juga memberikan kontribusi terhadap kualitas dari fungsi psikososial
seseorang.
Bandura (1986) menjelaskan fungsi dan berbagai dampak dari penilaian self
efficacy antara lain sebagai berikut:
a. Perilaku memilih.
Dalam kehidupan sehari-hari, individu seringkali dihadapkan dengan pengambilan
keputusan, meliputi pemilihan tindakan dan lingkungan sosial yang ditentukan dari
penilaian efficacy individu. Seseorang cenderung untuk menghindar dari tugas dan
situasi yang diyakini melampaui kemampuan diri mereka, dan sebaliknya mereka
akan mengerjakan tugas-tugas yang dinilai mampu untuk mereka lakukan (Bandura,

1977b, dalam Bandura, 1986). Self efficacy yang tinggi akan dapat memacu
keterlibatan aktif dalam suatu kegiatan atau tugas yang kemudian akan
meningkatkan kompetensi seseorang. Sebaliknya, self efficacy yang rendah dapat
mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungan dan kegiatan sehingga
dapat menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya.
Seseorang yang memiliki penilaian self efficacy-nya secara berlebihan
cenderung akan menjalankan kegiatan yang jelas di atas jangkauandengan kegagalan
kemampuannya. Akibatnya dia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang berakhir
yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan hal ini bisa mengurangi kredibilitasnya.
Sebaliknya, seseorang yang menganggap rendah kemampuannya juga akan
mengalami kerugian, walaupun kondisi ini lebih seperti memberi batasan pada diri
sendiri

daripada

suatu

bentuk

keengganan.

Melalui

kegagalan

dalam

mengembangkan potensi kemampuan yang dimiliki dan membatasi kegiatankegiatannya, seseorang dapat memutuskan dirinya dari banyak pengalaman
berharga. Seharusnya ia berusaha untuk mencoba tugas-tugas yang memiliki
penilaian yang penting, tetapi ia justru menciptakan suatu halangan internal dalam
menampilkan kinerja yang efektif melalui pendekatan dirinya pada keraguan
(Bandura, 1986).
b. Usaha yang dilakukan dan daya tahan
Penilaian terhadap efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang akan
dilakukan seseorang dan seberapa lama ia akan bertahan dalam menghadapi
hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Semakin tinggi self
efficacy seseorang, maka akan semakin besar dan gigih pula usaha yang dilakukan.
Ketika dihadapkan dengan kesulitan, individu yang memiliki self efficacy tinggi
akan mengeluarkan usaha yang besar untuk mengatasi tantangan tersebut.
Sedangkan orang yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usahanya atau
bahkan menyerah sama sekali (Bandura dan Cervone; Brown dan Inouye; Schunk;
Winberg, Gould, dan Jackson, dalam Bandura, 1986).
c. Pola berpikir dan reaksi emosi.
Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga mempengaruhi pola berpikir dan
reaksi emosionalnya selama interaksi aktual dan terantisipasi dengan lingkungan.
Individu yang menilai dirinya memiliki self efficacy rendah, merasa tidak mampu
dalam mengatasi masalah atau tuntutan lingkungan, hanya akan terpaku pada
kekurangannya sendiri dan berpikir kesulitan yang mungkin timbul lebih berat dari
kenyataannya (Beck; Lazarus dan Launier; Meichenbaum; Sarason, dalam Bandura,

1986). Sebaliknya, individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan lebih
memusatkan perhatian dan mengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi
yang dihadapinya, dan setiap hambatan yang muncul akan mendorongnya untuk
berusaha lebih keras lagi.
Self efficacy juga dapat membentuk pola berpikir kausal (Collin, dalam
Bandura, 1986). Dalam mengatasi persoalan yang sulit, individu yang memilikiself
efficacy tinggi akan menganggap kegagalan terjadi karena kurangnya usaha yang
dilakukan, sedang yang memiliki self efficacy rendah lebih menganggap kegagalan
disebabkan kurangnya kemampuan yang ia miliki.
d. Perwujudan dari keterampilan yang dimiliki.
Banyak penelitian membuktikan bahwa self efficacy dapat meningkatkan kualitas
dari fungsi psikososial seseorang (Bandura, 1986). Seseorang yang memandang
dirinya sebagai orang yang self efficacy-nya tinggi akan membentuk tantangantantangan terhadap dirinya sendiri yang menunjukkan minat dan keterlibatan dalam
suatu kegiatan. Mereka akan meningkatkan usaha jika kinerja yang dilakukan
mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, menjadikan kegagalan sebagai
pendorong untuk mencapai keberhasilan, dan memiliki tingkat stres yang rendah bila
menghadapi situasi yang menekan. Individu yang memilikiself efficacy rendah
biasanya akan menghindari tugas yang sulit, sedikit usaha yang dilakukan dan
mudah menyerah menghadapi kesulitan, mengurangi perhatian terhadap tugas,
tingkat aspirasi rendah, dan mudah mengalami stress dalam situasi yang menekan.
2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy dapat
diperoleh dari empat prinsip sumber informasi yaitu: (1) pencapaian kinerja (performance
attainment), (2) pengalaman orang lain (vicarious experience), (3) persuasi verbal (verbal
persuasion), dan (4) keadaan dan reaksi fisiologis (physiological state).
a. Pencapaian kinerja (Performance attainment
Hasil yang didapatkan secara nyata merupakan sumber penting tentang informasi self
efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik yang telah dikuasai (Bandura,Adam,
dan Beyer; Biran dan Wilson; Feltz, Landers, dan Raeder, dalam Bandura, 1986).
Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seseorang pada tingkat self efficacy yang
lebih tinggi, sedang kegagalan akan merendahkan self efficacy, terutama jika kegagalan
tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan disebabkan oleh kurangnya
usaha atau juga karena hambatan dari faktor eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena

bantuan dari faktor eksternal atau keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai
hasil dari kemampuan sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap
peningkatan self efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru
tergantung pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self
efficacy terbentuk karena keberhasilan yang berulang, kegagalan yang muncul tidak
memberikan dampak yang besar terhadap penilaian individu terhadap kemampuannya.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience).
Self efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman dari orang lain. Individu yang
melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbulkan
persepsi self efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat
meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang
yang dia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya,
ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang
memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha dengan
keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga
akan mengurangi usaha yang akan dilakukan (Brown dan Inouye, dalam Bandura,
1986).
Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self efficacy khususnya sensitif
pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidak pastian mengenai kemampuan
yang dimiliki individu. Self efficacy dapat diubah melalui pengaruhmodeling yang
relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian
kemampuannya. Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri
sangat terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada indikator yang
dicontohkan (Takata dan Takata, dalam Bandura, 1986). Kedua adalah penilaian self
efficacy selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi (Festinger; Suls dan
Miller, dalam Bandura, 1986). Kegiatan yang bisa memberikan informasi eksternal
mengenai tingkat kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi,
sebagian besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga
penilaianself efficacy diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari orang lain
(Bandura, 1986).
c. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia
memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang diinginkan.
Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang

lebih keras jika dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya
memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan
keyakinan individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui
kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan orang lain kepada orang yang
mempersuasi dan juga akan mengurangi self efficacy orang yang dipersuasi.
d. Keadaan dan reaksi fisiologis (Physiological state)
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk
memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya. Individu merasa gejala-gejala
somatik atau ketegangan yang timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda
bahwa ia tidak dapat untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini
dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan
stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dia alami
merupakan tanda - tanda kelemahan fisik, dan hal ini menurunkan keyakinan akan
kemampuan fisiknya.
2.2. Dasar Teori Kecemasan
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang di sertai dengan perubahan pada
sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan, dan
kegelisahan. State anxiety didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena
dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger
menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran. Khawatir
menunjukan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu merespon sesuatu
yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan
mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Spielberger mendefinisikan kecemasan sesaat yaitu : State anxiety (A-State) may be
conceived of as a complex, relatively unique emotional condition or reaction that may vary
in intensity and fluctuate over time. More specifically, A-State may be conceptualized as
consisting of unpleasant, concioulsy-percieved feelings of tension and apprehension with
associated activation or arousal of the autonomic nervous system (Spielberger, 1972).
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif merupakan
kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap saat
berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai
munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan
takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.

State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang
bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas
sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxietymemberikan gambaran
kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang
akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi menghadapi kebakaran.
Spielberger (1972)

dan rekanya

membedakan

antara state

anxiety dan trait

anxiety. State anxiety bersifat sementara, dimana kecemasan itu muncul ketika individu
menerima stimulis yang berpotensi untuk melukai dirinya. Trait anxiety lebih mengarahkan
pada kestabilan perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa cemas. Trait
anxiety tidak langsung telihat pada tingkah laku individu, tetapi dapat di lihat dari
frekuensistates anxiety individu.
Spielberger, melihat ada tiga unsur faktor yang mempengaruhi penghayatan
kecemasan, yaitu:
1. Adanya perasaan ketidakpastian (uncertainty)
2. Adanya perasaan ketidakberdayaan (helpleness)
3. Dan kedua perasaan tersebut yang tertuju pada masalah yang akan dihadapi (future
orientation).
Munculnya A-State melibatkan suatu proses atau rangkaian kejadian sesaat yang berkaitan
dengan yang lain, yang ditandai baik oleh stimulus eksternal maupun internal yang diartikan
sebagai bahaya atau ancaman bagi seseorang. Semua stimulus internal yang menyebabkan
individu berfikir atau mengantisipasi situasi berbahaya atau menakutkan, dapat juga
meningkatkan A-State menjadi lebih tinggi. Penilaian bahwa suatu stimulus atau situasi itu
merupakan suatu ancaman, juga dipengaruhi oleh bakat, kemampuan dan pengalaman masa
lalu dari individu. Seperti juga di pengaruhi oleh tingkat A-Traitnya (bagaimana keadaan
individu pada umumnya atau biasanya ketika cemas atau kecemasan menetap) dan bahaya
objektif yang ada dalam situasi tersebut.
Bagan. Mekanisme munculnya Trait Anxiety dan State Anxiety
1. Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif individu terhadap stimusus yang dihadapi individu memegang
peranan penting dalam memunculkan kecemasan sesaat. Penilaian kognitif terhadap
stimulus sebagai sesuatu yang menakutkan, mengancam, dan sebagai sesuatu yang
berbahaya dapat menyebabkan munculnya kecemasan sesaat dengan intensitas yang
tinggi tanpa adanya pengaruh dari kecemasan dasar individu. Penilaian kognitif ini
meliputu penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal maupun stimulus internal.
Penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal sebagai sesuatu yang menakutkan

merupakan ancaman bagi kondisi individu yang dapat menggugah munculnya


kecemasan sasaat. Begitu juga dengan penilaian kognitif terhadap stimulus internal yang
dapat menyebabkan individu berfikir atau mengantisipasi situasi yang menakutkan atau
membahayakan juga dapat menggugah munculnya kecemasan sesaat dalam intensitas
yang tinggi terlepas dari kecemasan dasar individu.
2. Meningkatnya Aktivitas Sistem Saraf
Kecemasan sesaat yang muncul diikuti dengan peningkatan sistem saraf. Peningkatan
sistem saraf ini meliputi perubahan sistem faal tubuh, misalnya mengeluarkan keringat
secara tiba-tiba, nafas menjadi lebih cepat, jantung bertedak lebih cepat, tremor pada
bagian tertentu. Munculnya masalah yang berkaitan psikosomatis tubuh, seperti menjadi
sesak nafas, kepala menjadi pusing dan lain-lain.
3. Munculnya Perasaan Cemas
Perasaan tegang dan cemas ini ditandai dengan adanya kesadaran individu mengenai
munculnya kecemasan, adanya kemampuan individu untuk mengatasi kecemasan yang
muncul, berkurangnya kemampuan konsenterasi individu dan munculnya perasaan
gugup dan tegang yang dirasakan individu.
4. Defence Mechanism
Pada kecemasan ini juga membahas atau menekankan pada pentingnyaDefence
Mechanism yang di lakukan individu pada saat berada pada situasi yang dinilai
membahayakan. Defence Mechanism ini terjadi dari pentingnya proses kognitif dan juga
pentingnya proses motorik untuk mengurangi kecemasan yang muncul.
Selanjutnya, Spielberger mengajukan huungan antara (State Anxiety) kecemasan sesaat
dan (Trait Anxiety) kecemasan dasar sebagai berikut :
1. Kecemasan sesaat muncul ketika individu merasa berada dalam situasi yang
2.

mengancam.
Intensitas dari kecemasan adalah sebanding dengan besaranya ancaman yang

3.

dirasakan individu.
Lamanya raksi kecemasan sesaat ini akan tergantung pada presistensi dan
interpretasi mengancam yang dimiliki individu atas situasi yang dihadapinya

4.

(kecemasan sesaat akan berlangsung lama jika individu merasa terus menerus).
Individu dengan kecemasan dasar yang tinggi akan mempersepsikan situasi,
khususnya situasi yang mengandung unsur kegagalan atau ancaman terhadap selfefficacynya sebagai sesuatu hal yang lebih mengancam daripada individu dengan

5.

kecemasan dasar yang lebih rendah.


Peningkatan kecemasan sesaat mempunyai stimulus dan penggerak (drive), yang
mungkin dapat terlihat langsung melalui perilaku atau yang akan menggerakan
pertahanan psikologisnya, yang pada masa lalu pernah berhasil mengurangi

kecemasannya, atau yang di pandang efektif untuk meredakan kecemasan sesaat


ini.

6.

Situasi-situasi menekan yang di hadapai dapat menyebabkan individu

mengembangkancoping response atau membentuk defence mechanism untuk


mengurangi kecemasan tersebutBAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan oleh penulis pada kesempatan ini adalah jenis
penelitiannon eksperimental. Penelitian non eksperimental adalah telaah empirik
sistematis dimana ilmuwan tidak mengontrol secara langsung variable yang
menifestasinya telah muncul, atau karena sifat hakekat variable itu memang menutup
kemunginnan manipulasi (karlinger, 2006). Peneliti meneliti sejauh mana perubahan
nilai suatu variabel berkaitan dengan perubahan nilai pada variabel lainnya dengan
tidak memberikan intervensi atau perlakuan apapun.
Adapun di dalam penelitian non eksperimental ini,peneliti menggunakan
spesifikasi jenis penelitian korelasional, dalam usaha untuk menjelaskan korelasi
antara dua atau lebih gejala atau variabel (silalahi,1999). Dengan demikian melalui
metode korelasional akan dicari hubungan antara variabel-variabel penelitian yang
dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. Metode ini digunakan sehubungan
dengan tujuan dari peneliti ini yaitu untuk mengetahui apakah terdapat hubungan
antara self efficacy dengan kecemasan sesaat (state anxiety) berbicara di depan
umum.
3.2. Variabel Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian korelasional dengan menggunakan dua variabel, yaitu
a. variabel 1 adalah Self efficacy.
b. variabel 2 adalah kecemasan sesaat (state anxiety).
3.2.1 Definisi Konseptual
Definisi Konseptual Self efficacy
Self efficacy menurut Bandura (1997) didefinisikan sebagai: perceived self
efficacy refers to beliefs in ones capabilities to organize and executer the courses of
action required to produce given attainments .
Self efficacy merupakan suatu keyakinan sesorang akan kemampuan dirinya
untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tipe tipe kerja yang dimaksud, yaitu dapat menampilkan perilaku yang
dibutuhkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan darituntutan tugas
yang diberikan. Adapun keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya tersebut
mencakup dimensi magnitude, strength, dan generality.
2. Definisi konseptual State Anxiety

State anxiety (A-State) may be conceived of as a complex, relatively unique


emotional condition or reaction that may vary in intensity and fluctuate over time.
More specifically, A-State may be conceptualized as consisting of unpleasant,
concioulsy-percieved feelings of tension and apprehension with associated
activation or arousal of the autonomic nervous system (Spielberger, 1972).
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif
merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas
dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di
konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan
tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya
peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
3.2.2

Definisi Operasional
Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan hipotesis penelitian, maka
perlu diadakan pengukuran terhadap variable yang telah di definisikan secara
konseptual. Pengukuran terhadap variable tersebut dapat dilakukan setelah terlebih
dahulu dibuat definisi variable secara operasional. Melalui definisi operasional ini
ditetapkan langkah langkah pelaksanaan dan pengukuran yang menggambarkan
konsep variable yang hendak diukur.
a. Keyakinan Akan Kemampuan Diri (Self efficacy)
Self efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki oleh mahasiswa akan
kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang
diperlukan ketika bimbingan skripsi untuk dapat mencapai hasil yang
diinginkan dari tuntutan tugas pembuatan skripsi. Untuk mengukur self
efficacydidapatkan dari hasil skor total questioner self efficacy yang meliputi
tiga dimensi, Menurut Bandura (1977), dimensi dalam self efficacy meliputi :
a. Magnitude of self efficacy
Dalam hal ini magnitude merupakan tingkat keyakinan individu akan
derajat kesulitan tugas. Yaitu tingkat keyakinan individu akan derajat
kesulitan dari skripsi dan tuntutan selama melakukan bimbingan skripsi.
Penilaian individu terhadap derajat kesulitan skripsi
Pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan
pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of

difficulty).
Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk
dapat mengatasi kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi
berkaitan dengan aktivitas penyusunan skripsi.

2. Strength of self efficacy


Merupakan seberapa besar kekuatan akan keyakinan individu mengenai kompetensi diri
yang dimilikinya. Yaitu tingkat atau kuat lemahnya keyakinan individu terhadap kompetensi
dirinya dalam melaksanakan aktivitas bimbingan skripsi.

Yakin terhadap kompetensi diri untuk mengerjakan skripsi.

Yakin dapat melaksanakan tugas dengan kemampuan yang dimiliki

Memiliki keyakinan yang positif akan keberhasilannya mengatsi dan memenuhi tuntutan
tugas skripsi yang diberikan.

Ketekunan.

3)

Generality of self efficacy


Merupakan sebagai keleluasaan dari bentuk self efficacy yang dimiliki seseorang untuk
digunakan dalam situasi lain yang berbeda.

Yakin mampu mengambil hikmah dari keberhasilan dari tugas yang telah di lakukan
sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest.

Yakin mampu mengambil hikmah dari kegagalan dari tugas yang telah di lakukan
sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest .

Yakin mampu memberikan dukungan pada diri sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam
mengerjakan skripsi.

b.

Kecemasan Sesaat (state anxiety)


Kecemasan sesaat merupakan sejumlah skor total yang dicapai individu penelitian pada
dimensi-dimensi dalam kecemasan sesaat ketika pemadam mendapatkan tugas memadamkan
kebakaran. Kecemasan sesaat ditentukan oleh empat aspek yaitu:

1.

Penilaian kognitif, merupakan aspek internal dan eksternal yang berkaitan dengan penilaian
pemadam kebakaran kota cimahi terhadap pemberian tugas memadamkan kebakaran.

2.

Peningkatan aktifitas sistem saraf, merupakan aspek yang berhubungan dengan adanya
perubahan yang terjadi dan berkaitan dengan aktifitas sistem saraf manusia dan fisiologis
manusia.

3.

Perasaan cemas dan tegang, merupakan aspek yang berkaitan dengan kesadaran individu
mengenai

munculnya

kecemasan

yang

dirasakan

dam

mampu

mengatasi

atau

menanggulanginya.
4.

Defence mechanism, merupakan aspek yang berhubungan dengan pentingnya proses yang
dilakukan oleh individu untuk mengurangi kecemasan sesaat yang dirasakan muncul.

3.3.

Lokasi Penelitian dan subjek penelitian

3.3.1.

Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi.
Alasan peneliti mengambil sampel di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas
Psikologi karena mahasiswa yang mengerjakan skripsi adanya menunjukan self efficacy dan
kecemasan.

3.3.2.

Populasi
Menurut Arikunto (2002:108) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Azwar
(2004:77) mengemukakan tentang populasi adalah sebagai kelompok subjek yang dikenai
generalisasi hasil penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi
dengan jumlah sekitar 76 orang.

3.3.3.

Teknik Penentuan Sampling


Sampel yang digunakan sebanyak 76 orang (n = 76) dengan menggunakan teknik
total sampling, dimana sampel yang digunakan merupakan populasi penelitian itu sendiri.
Maksudnya seluruh populasi dalam penelitian ini diperlukan sebagai sample. Suharsini
Arikunto (1988)mengungkapkan sebagai berikut : untuk sekedar perkiraan, maka apabila
subjeknya kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semuanya sebagai sampel.

3.3.4.

Karakteristik Sampel
Dengan karakteristik, sampel sebagai berikut :

Mahasiswa Unjani Fakultas Psikologi yang sedang menyusun skripsi.

Jenis kelamin pria dan wanita.

Yang sudah mencapai 8 semester atau lebih.

3.4.

Alat Ukur

3.4.1.

Kisi Kisi Alat Ukur


Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang dirancang berdasarkan indikator-

indikator yang berada pada definisi operasional, yang diturunkan dari konsep teori yang
digunakan.
1)

Kisi-kisi alat ukur Self Efficacy

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner kecerdasan emosional yang diturunkan
berdasarkan konsep Self Efficacy dari Bandura (1997), yang meliputi tiga dimensi self
efficacy. Meliputi Magnitude, Strength, dan Generality.
Skala self efficacy yang digunakan disusun dengan berdasarkan pada skala Liket, yang
dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban. Hal tersebut dilakukan dengan alasan :

Dengan disediakannya jawaban di tengah, akan menimbulkan kecenderungan untuk


menjawab di tengah, selain itu juga menunjukan keragu-raguan atau netral.

Maksud jawaban dengan empat tingkat kategori untuk melihat kecenderungan pendapat
responden kearah yang tidak sesuai, sehingga dapat mengurangi data penelitian yang
hilang. (Sutrisno Hadi, 1991).
Kriteria penilaian skala pada alat ukur ini adalah sebagai berikut:
Item Positif
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)

4
3

Tidak Setuju (TS)

Sangat Tidak Setuju (STS)

Item Negatif

2)

Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)

1
2

Tidak Setuju (TS)

Sangat Tidak Setuju (STS)

kisi-kisi alat ukur Kecemasan Sesaat (state anxiety)


Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner perilaku agresi yang diturunkan berdasarkan
konsep teori state anxiety dari Speilberger (1972),yang meliputi empat dimensi yaitu
penilaian kognitif, peningkatan aktifitas sistem saraf. Skala state anxiety yang digunakan
disusun dengan berdasarkan pada skala Likert, yang dimodifikasi menjadi 4 alternatif
jawaban, sebagai berikut :
Item Positif
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)

4
3

Tidak Setuju (TS)

Sangat Tidak Setuju (STS)

Item Negatif
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)

1
2

Tidak Setuju (TS)

Sangat Tidak Setuju (STS)

3.5.

Pengujian Alat ukur

3.5.1.

Validitas Alat Ukur


Validitas adalah ketepatan atau kesesuaian penilaian, maksudnya adalah apakan alat ukur
tersebut benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Validitas yang digunakan dalam
penelitian yang dilakukan ini adalah validitas konstruk (Construct Validity), Jadi suatu alat
ukur dikatakan valid apabila hasil yang didapatkan dari pengukuran ini sesuai dengan konsep
operasional yang telah ditentukan atau apakah item-item tersebut sesuai dengan indikator dan
dimensi yang ada pada teori yang digunakan (Agus Permana,2009).
Untuk menguji tingkat validitas alat ukur digunakan teknik korelasi, yaitu dengan
mengkorelasikan masing-masing item pernyataan totalnya, yang bertujuan untuk memilih
item-item yang benar-benar telah selaras dan sesuai dengan faktor yang ingin diteliti. Cara
perhitungan uji coba validitas item yaitu dengan cara mengkorelasikan skor tiap item dengan
skor total item. Metode penghitungan validitas alat ukur pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan rumus koefisien korelasi Spearmans rho dan perhitungannya dibantu dengan
menggunakan program SPSS 17 for windows dengan rumus sebagai berikut :

Penentuan validasi item pernyataan/pertanyaan menggunakan batas koefisienkorelasi terke


cil berdasarkan parameter dari Guilford (1956). Kriteria koefisien korelasi menurut Guilford :
Koefisien Korelasi

Derajat Hubungan

0,00 0,20

Derajat hubungan tidak ada

0,21-0,40

Derajat hubungan rendah

0,41-0,70

Derajat hubungan sedang

0,71-0,90

Derajat hubungan tinggi

0,91-1,00

Derajat hubungan sangat tinggi

Langkah-langkah perhitungan Validitas SPSS 17.0 :


1.

Buka menu SPSS 17.00

2.

Klik Type in data

3.

Pindahkan seluruh skor responden pada setiap item dan total skor seluruh item pada kolom
data view.

4.

Klik analize, pilih correlat, klik bivariete carrelation.

5.

Pilih Sperman pada correlated coefiticient

6.

Pilih two-failed pada kolom test of significance, kemudian tekan ok

3.5.2.

Reliabilitas Alat Ukur


Reliabilitas adalah nilai yang menunjukkan sampai sejauh mana suatu alat ukur memiliki
ketelitian, kepercayaan, ataupun kekonstanan. Apabila suatu alat ukur dapat dipakai dua kali
untuk mengukur gejala yang sama dengan hasil pengukuran yang relatif konsisten, maka alat
tersebut dikatakan reliabel. Metode penghitungan reliabilitas alat ukur pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan menggunakan bantuan program
SPSS 17 for windows dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
rxx = Koefisien Reliabilitas
k = banyaknya pertanyaan (item)
sx2 = Jumlah skor dalam Variabel X
si2 = Pertanyaan (item) variabel yang spesifik.
Ssi2 = Jumlah semua pertanyaan (item) variabel
Dengan kriteria Brown Thompson sebagai berikut :

Jika Alpha Cronbach () 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap reliabel

Jika Alpha Cronbach () 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap tidak reliabel.
Langkah-langkah perhitungan SPSS 17.0 :

1.

Buka menu SPSS 17.0

2.

Klik type in data

3.

Masukan data hasil try out

4.

Klik analyze, kemudian pilih Scale, klik reability analiyze.

5.

Pindahkan semua angka pada kolom item

6.

Klik statistic, klik cheklist scale dan if scale deleted jika sudah selesai klik continue.

7.

Pilih model dengan memilih rumus yang digunakan. Misal : Alpha klik ok.

3.6.

Pengolahan Data / Analisa Data


Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji koefisien korelasi Rank
Spearman yang digunakan untuk melihat sejauh mana korelasi antara dua variabel yang
diujikan, Self efficacy dengan State anxiety. Alasan menggunakan koefisien korelasi Rank
Spearman adalah karena data yang diperoleh merupakan data ordinal yang memiliki ciri
sebagai berikut :

a.

Data berupa rangking

b.

Tidak memiliki angka nol mutlak

c.

Menunjukkan urutan

Keterangan :
rs = Koefisien Korelasi rank spearman
di = Selisih rangking daya variabel x dan variabel y
n = banyaknya sampel
Penentuan untuk menentukan kekuatan hubungan (strength of association) menggunakan
parameter dari Champion, 1981. Kriteria koefisien korelasi menurut Champion

3.7.
3.7.1.

Koefisien Korelasi
(+0,01) (+0,25)

Derajat hubungan
Hubungan lemah

(-0,01) (-0,25)
(+0,26) (+0,50)

(weak association)
Hubungan sedang

(-0,26) (-0,26)
(+0,51) (+0,75)

(moderately weak association)


Hubungan cukup

(-0,51) (-0,75)
(+0,76) (+1,00)

(moderately strong association)


Hubungan kuat

(+0,76) (+1,00)

(strong association)

Hipotesa Statistika
Pengujian hipotesa
Kriteria pengambilan keputusan hipotesa adalah :

Jika H0 : r = 0 maka H0 ditolak : tidak ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan
sesaat.
Jika H1 : r 0 maka H 0 diterima : ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan
sesaat.
3.7.2.

Hipotesa Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban, dugaan, penjelasan atau pernyataan tentatif mengenai suatu
masalah yang dirumuskan dalam bentuk proposional dan dapat diuji secara empirik (Ulber
Silalahi, 1999). Hipotesis penelitian yang telah disebutkan sebagai berikut :

H0 : r = 0 : Tidak terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani
Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.
Ha : r 0 : Terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani
Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.

3.8.
3.8.1.
1.

Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan penelitian
Mempersiapkan perizinan yang diperlukan untuk melakukan penelitian dari pihak
Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani.

2.

Mencari literature

3.

Melaksanakan observasi lapangan terhadap objek penelitian

4.

Melakukan Perumusan masalah

3.8.2.

Tahap Pelaksanaan Penelitian

3.8.3.

Tahap Penyelesaian

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1995). Self efficacy in changing societies. New York : Cambridge University
Press.

Saiffudin Azwar, 1999, Dasar dasar psikometri (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).

Ulber Silalahi, 1999, Metode dan metodologi penelitian (Bandung : Bina Budaya)

M. Anton Oktary K., 2007, Skripsi : Hubungan self efficacy dengan kecemasan pada
mahasiswa yang sedang mengerjakan Tugas Akhir.

Rindi O., 2005, Skripsi : Hubungan Kecemasan dengan self efficacy ketika Presentasi di
kelas.

Anda mungkin juga menyukai