Disusun oleh :
ADE PURNAMA YUDHA PUTRA
7111101157
KELAS 6 C
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang merupakan
kelanjutan dari pendidikan menengah dijalur pendidikan sekolah. Sedang orang yang belajar
diperguruan tinggi dikenal sebagai mahasiswa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990).
Seseorang yang belajar di perguruan tinggi memiliki beragam alasan, antara lain:
mempersiapkan diri untuk karir khusus atau mencapai kualifikasi profesional yang akan
membantu dalam karir yang telah ditempuh; belum jelas apa yang dilakukan tetapi yakin
bahwa gelar/kualifikasi dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik; betul-betul
berminat pada pengetahuan yang bersangkutan; ingin menjadi mahasiswa dan sekaligus
memberi waktu untuk memikirkan masa depan; terpaksa karena dituntut oleh lingkungan;
menjadi mahasiswa merupakan cara untuk menunda keputusan dalam hidup atau alternatif
yang lebih baik daripada menganggur atau pekerjaan yang membosankan (Wright dalam
Zarfiel, 2001). Ditambahkan pula oleh Ganda (1992) bahwa tujuan mahasiswa adalah untuk
mencapai dan meraih taraf keilmuan yang matang, artinya ia ingin menjadi sarjana yang
menguasai sesuatu ilmu serta memahami wawasan ilmiah yang luas, sehingga mampu
bersikap dan bertindak ilmiah dalam segala hal yang berkaitan dengan keilmuannya, untuk
diabdikan kepada masyarakatnya dan umat manusia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut,
terlihat bahwa perguruan tinggi merupakan suatu tempat di mana para mahasiswa belajar
untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depannya.
Salah satu persyaratan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa dalam menempuh
pendidikan di perguruan tinggi adalah pembuatan skripsi. Namun, ada juga beberapa
perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat tugas karya akhir sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjananya. Tugas karya akhir merupakan suatu hasil
pemikiran dan analisis penulis terhadap suatu objek atau masalah, biasanya berbentuk kajian
literatur yang dibuat berdasarkan kekhasan keilmuan masing-masing program studi. Sedang
skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai
bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,1990).
Setiadi, Matindas, dan Chairy (1998) menyatakan bahwa skripsi merupakan karya
tulis dan penelitian mandiri mahasiswa, sebagai suatu karya mandiri maka skripsi harus
merupakan karya yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dari skripsi mahasiswa
lainnya, terutama dalam masalah penelitian, metode penelitian, dan kesimpulan yang dibuat.
Kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan
penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh mahasiswa.
Lamanya waktu penulisan skripsi yang diberikan adalah selambat - lambatnya dua
semester. Namun, pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang mengerjakan skripsi
dalam waktu yang lebih lama dari yang ditentukan. Banyak faktor yang mungkin bisa
menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah karena mahasiswa tersebut merasa bahwa
pembuatan skripsi itu memang susah, sehingga mereka membutuhkan waktu yang lebih lama
dari yang diberikan. Toleransi terhadap waktu pengerjaan skripsi ini diberikan oleh dekan
dengan melihat perkembangan penulisan skripsi (Setiadi, Matindas, & Chairy, 1998). Seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, skripsi merupakan sebuah tugas mandiri sebagai salah
satu syarat kelulusan bagi seorang mahasiswa, tentulah mempunyai tujuan. Adapun tujuannya
itu adalah (Djarwanto, 1995) :untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi
dan memecahkan masalah secara ilmiah serta juga untuk mengevaluasi keterampilan
metodologi penelitian dari mahasiswa. Namun, pada tiap fakultas memiliki tujuan penulisan
skripsi yang berbeda-beda pula. Hal ini dikarenakan perbedaan bidang keilmuan yang
dipelajari, sehingga dalam tujuan penulisan skripsinya lebih ditekankan pada karektiristik
ilmu dari masing-masing fakultas.
Seperti pada fakultas psikologi tugas penulisan skripsi memiliki tujuan sebagai
berikut: untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memecahkan
masalah psikologi secara ilmiah, untuk mengevaluasi ketrampilan mahasiswa dalam
menerapkan metode penelitian secara benar, untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa
dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis terhadap gejalagejala psikologis yang ada, dan untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam
menyampaikan hasil penelitian secara tertulis (Setiadi, Martindas, & Chairy,1998). Hal itu
tentu
menimbulkan
perasaan
yang
berbeda-beda
pada
setiap
mahasiswa
yang
menghadapinya. Ada yang merasa bahwa skripsi sebagai suatu hal yang memang harus
dilewati sebagai bagian dari pendewasaan diri, ada yang merasa bahwa hal itu adalah
momok dan menyebabkan ketakutan, ada yang berupaya mengerjakan secara cepat
sehingga dapat cepat pula terbebas dari beban yang ada, sampai ada yang terkesan seperti
melarikan diri dari kenyataan (Komunikasi personal, 2006).
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam proses penyelesaian
skripsi, selain keterampilan untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan
untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut
ilmiah. Menulis laporan ilmiah, menurut Dominice dalam bukunya yang berjudul Learning
from our lives(2000)- merupakan sebuah kewajiban rutin bagi seseorang yang menempuh
pendidikan pada jenjang universitas. Hal itu dapat menimbulkan kecemasan bagi kebanyakan
mahasiswa, yang oleh Dominice disebut dengan writing anxiety. Sejalan dengan itu,
penelitian yang dilakukan oleh Primusanto (2000) terhadap mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa
pada saat pembuatan skripsi dengan tingkat kecemasannya sehari-hari atau normal. Hal ini
bisa saja terjadi karena mahasiswa tersebut merasa terbebani dengan tugas pembuatan skripsi
yang nantinya akan menjadi bahan evaluasi kelulusan Selama menuntut ilmu di perguruan
tinggi, mahasiswa diberikan waktu masa studi. Biasanya masa studi maksimal yang diberikan
selama 6 tahun. Secara normal mahasiswa membutuhkan waktu hanya selama 4 tahun atau 8
semester untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Bagi mahasiswa yang melebihi waktu normal
atau yang lebih dikenal dengan istilah mahasiswa tidak tepat waktu, tentunya akan
mengalami tekanan yang berlebih selama menuntut ilmu. Terutama lagi jika mereka sudah
menghadapi masa-masa deadline, karena jika tidak dapat menyelesaikan kuliahnya dalam
waktu yang tersisa maka mereka akan droup out. Hal ini akan semakin dirasakan menekan
pada saat-saat harus mengerjakan skripsi, karena waktu yang mereka miliki semakin sempit.
Sementara itu, proses pembuatan skripsi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Menurut
hasil wawancara terhadap 10 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Jenderal
Achamad Yani yang sedang mengerjakan skripsi mereka merasa seperti berkejar-kejaran
dengan waktu dalam mengerjakan skripsi. Kondisi seperti ini tentulah dapat meningkatkan
kecemasan yang mereka rasakan.
Kecemasan adalah sebuah keadaan yang tidak jelas, ketakutan terhadap sesuatu yang
tidak terdefinisikan, atau perasaan ketakutan (Morgan, King, Weisz, dan Schopler, 1986).
Kowalski (dalam Santrock, 2001) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan yang samar,
perasaan tidak nyaman yang tinggi berkaitan dengan ketakutan dan keprihatinan. Secara
umum, seseorang dapat mengetahui apa yang ditakutkannya dan bagaimana menanganinya,
tetapi orang yang mengalami kecemasan dapat merasakan bahaya tanpa mengetahui apa dan
bagaimana menangani ketakutannya (Atwater, 1983). Kecemasan memiliki dua elemen
utama, yaitu: ketakutan terhadap beban persyaratan eksternal yang dilihat sebagai sebuah
ancaman, dan kekhawatiran mengenai kapasitas untuk menanggulanginya (Rogers, 1996).
Terkadang ketakutan dan kecemasan dapat dialami secara bersamaan, sehingga seorang
mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi dalam menghadapi ujian kesarjanaannya
akan menjadi sangat ketakutan terhadap ujian tersebut (Atwater, 1983). Ditambahkan pula
oleh Pervin dan John (1997) bahwa yang mendasari kecemasan bukan diakibatkan oleh
kejadian yang mengancam, tetapi lebih kepada persepsi mengenai ketidakmampuan diri
dalam mengatasinya. Terkait dengan pengerjaan skripsi, seringkali mahasiswa memiliki
persepsi bahwa dia tidak mampu untuk menyelesaikan tugas pembuatan skripsinya, sehingga
timbullah perasaan cemas. Persepsi atau keyakinan terhadap ketidak mampuan diri ini
berkaitan erat dengan tinggi atau rendahnya tingkat self efficacy mahasiswa tersebut.
Self efficacy adalah penilaian seseorang tentang apa yang dapat ia lakukan dengan
ketrampilan apapun yang dimilikinya (Bandura, 1986). Lebih lanjut lagi, Bandura (dalam
Schultz dan Schultz, 2005) menyatakan bahwa self efficacy merupakan sebuah bentuk
persepsi yang berkaitan dengan kontrol yang dipunyai oleh seseorang dalam hidupnya.
Schultz dan Schultz (2005) menyimpulkan adanya perbedaan antara orang yang memiliki self
efficacy rendah dan tinggi. Seseorang yang memiliki self efficacy rendah akan cenderung
merasa helpless, tidak mampu melakukan pengaturan pada keadaan yang terjadi dalam
hidupnya. Pada saat mereka menghadapi hambatan, mereka akan dengan cepat menyerah,
bila pada usaha pertama sudah mengalami kegagalan. Seseorang yang memiliki self
efficacy sangat rendah tidak akan melakukan upaya apapun untuk mengatasi hambatan yang
ada, karena mereka percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak akan membawa
pengaruh apapun. Self efficacy yang rendah dapat merusak motivasi, menurunkan aspirasi,
mengganggu kemampuan kognitif, dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan
fisik.
Di sisi lain, seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat
menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self
efficacyrendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri.
Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan
sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan
situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan,
meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir
analitis. Dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa diharapkan memiliki self efficacy yang
tinggi agar memberikan hasil unjuk kerja yang baik yaitu penyelesaian pembuatan tugas
skripsinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bandura dan Locke; Stajkovic dan Luthans
(dalam John, 2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat tinggi antara self
efficacy dengan performance.Semakin tinggi self efficacy maka semakin baik pula hasil kerja
seseorang.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dari 10 (angkatan 2009) orang mahasiswa
yang sedang mengerjakan skripsi di dapat data mengenai symptom kecemasan yang muncul
sebagai berikut.
Simptom
Banyaknya mahasiswa
yang merasakan
Keluarnya keringat dingin saat hendak bimbingan skripsi.
8 orang.
Sulit untuk berkonsentrasi saat mengerjakan skripsi.
6 orang.
Sering mengepalkan tangan atau menggerak gerakan kakinya saat 3 orang.
hendak bimbingan skripsi.
Jantung merasa berdegup lebih kencang ketika bimbingan skripsi.
3 orang.
Dari hasil interview dari 10 orang (angkatan 2009) mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi menyatakan bahwa mereka menetapkan target untuk menyelesaikan
skripsi ( 4 orang), mereka menetapkan target agar bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu.
Dan 6 orang lainnya yang tidak menetapkan target karena merasa bahwa dosen pembimbing
akan membantu dan cenderung merasa tergantung dengan dosen pembimbing dengan target
waktu penyelesaian skripsi. Dan dari 10 orang yang diinterview, 5 orang menyatakan bahwa
ia yakin akan menyelesaikan skripsi tepat waktu dan tidak telat untuk wisuda.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa kecemasan pada mahasiswa yang
sedang membuat skripsi itu dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasakan
bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi mahasiswa terhadap
kemampuan dia untuk menyelesaikan tugas skripsi tersebut yang merupakan self efficacy.
Sehingga penulis merasa tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara self
efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Ditambahkan
pula pada penelitian ini ingin dilihat seberapa besar tingkat kecemasan mahasiswa saat
mengerjakan skripsi.
1.2. Identifikasi Masalah
Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat
menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self
efficacyrendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri.
Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan
sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan
situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan,
Manfaat Praktis
Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat membantu memberikan informasi bagi
mahasiswa psikologi Universitas Jenderal Ahmad Yani yang sedang mengerjakan skripsi
untuk lebih memahami serta meningkatkan self efficacy mereka dalam mengerjakan
skripsi, serta mampu untuk mengatasi dan mencegah hal hal yang bisa memunculkan
kecemasan saat mengerjakan skripsi.
1.4.2
Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk dapat lebih mengetahui dan memahami
teori Psikologi Klinis yang membahas mengenai kecemasaan sesaat dari Spielberger
(1972) serta teori Psikologi Sosial mengenai self efficacy dari Bandura.
b.
yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan
mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Kecemasan sesaat (A-state) tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif
merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap
saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai
munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut
(apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang
bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas
sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxiety memberikan gambaran
kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang
akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi dalam penyusunan dan bimbingan
skripsi.
Dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi menuntut mahasiswa memiliki
ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk
memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah.
Tuntutan ini dapat dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi
mahasiswa yang melakukan aktivitas penyusunan skripsi sehingga hal ini dapat
meningkatkan intensitas situasi emosional yang di tandai dengan adanya ketegangan atau
kekhawatiran, serta peningkatan kegiatan saraf otonom yang merupakan tanda kecemasan
sesaat. Dimana state anxiety dikonsepkan sebagai keadaan emosional sesaat dimana kadarnya
akan meningkat dalam keadaan yang dianggap semakin mengancam dan kadarnya semakin
menurun dalam keadaan yang semakin tidak mengancam.
Fokus dari teori yang dikemukakan oleh spielberger adalah pentingnya penilaian
kognitif (cognitive appraisals) dalam memunculkan kecemasaan sesaat. Proses yang terjadi
adalah sebgai berikut ; penilaian kognitif seseorang terhadap stimulus internal ( berupa
pikiran, perasaan, maupun kebutuhan biologisnya) dan stimulus eksternal yang ditangkapnya
sebagai stressor dipengaruhi tingkat kecemasan dasarnya di dalam memunculkan kecemasan
ini sampai pada tingkah laku dan munculnya mekanisme pertahanan diri.
Stimulus eksternal (stressor) dalam penelitian ini adalah aktivitas penyusunan dan
bimbingan tugas skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa, dimana aktivitas ini memiliki
komponen komponen khas yang membedakannya dengan tugas biasa, dimana kekhasan ini
menuntut mahasiswa memiliki ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang
menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat,
mahasiswa juga dituntut ilmiah. Masing masing mahasiswa dalam aktivitas ini memiliki
harapan tertentu yang ingin dicapai, dimana harapn ini yang menjadi alasan penyusunan
skripsi mereka, sehingga tercapai atau tidaknya harapan ini dapat ditunujukan baik secara
verbal maupun nonverbal.
Selain hal tersebut, dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi kepada dosen
pembimbing, kelemahan kelemahan diri yang dianggap penting oleh mahasiswa memiliki
peluang untuk tampak dan bisa diamati oleh orang lain. Oleh karena itu, aktivitas ini secara
potensial ditangkap sebagai sebagai suatu stressor oleh mahasiswa, sedangkan stimulus
internal adalah dirinya. Penilaian kognitif terhadap kedua stimulus ini (internal dan eksternal)
dengan dipengaruhi oleh kecemasan dasarnya kemudian muncul dala bentuk kecemasan
sesaat. Dimana kecemasan sesaat dalam hal ini adalah kecemasan ketika akan bimbingan
skripsi, yang dimanifestasikan dalam tingkah laku berupa cemas, tegang, takut, gugup yang
ditandai dengan keluarnya keringat, jantung berdebarketika individu melakukan maupun
sekedar mengantisipasi aktivitas penyusunan skripsi sebagai stimulus eksternal (stressor).
Skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa
sebagai bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar
Bahasa Indonesia,1990). Dalam aktivitas ini terdapat tuntutan tuntutan tertentu dimana
seorang mahasiswa diharapkan kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa
perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh
mahasiswa. Suatu aktivitas yang didalamnya terdapat tuntutan tertentu maka penilaian
seseorang mahasiswa terhadap keyakinan diri akan kemampuan dirinya untuk mengatur dan
melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang di inginkan
dalam aktivitas presentasi tersebut turut berperan (self efficacy).
Albert Bandura mendefiniskan self efficacy as beliefs in ones capabilities to
organize and execute the courses of action required to produce given attainments (Bandura,
1997 ), yaitu bahwa self efficacy adalah keyakinan dalam diri seseorang mengenai
kemampuannya untuk mengorganisir dan melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan (Bandura,1997). Yaitu dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam
mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang
diinginkan dari tuntutan tugas akademik yang di berikan. Self efficacy tersebut mempengaruhi
persepsi, motivasi dan tindakannya dalam berbagai cara, termasuk dalam kemampuan
akademiknya.
Selain kemampuan akademik, seorang mahasiswa juga dituntut untuk yakin pada
kemampuan yang dimilikinya ketika melaksanakan tuntutan akademik yaitu mengidentifikasi
dan memecahkan masalah psikologi secara ilmiah, untuk menerapkan ketrampilan mahasiswa
dalam menerapkan metode penelitian secara benar, untuk menerapkan kemampuan
mahasiswa dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis
terhadap gejala-gejala psikologis yang ada, dan untuk menerapkan kemampuan mahasiswa
dalam menyampaikan hasil penelitian secara tertulis, maupun tuntutan lingkungannya yaitu
mampu mengemukakan ide dan penelitiannya serta dapat mengkomunikasikan secara tertulis
apa yang menjadi gagasan penelitiannya sehingga dapat berguna bagi masyarakt. Yakin akan
kemampuan yang dimilikinya ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi ini dikenal
dengan self efficacy. Tinggi rendahnya keyakinan akan kemampuan diri dalam menhadapi
dan melaksanakan tuntutan ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi tersebut
berdampak juga pada tinggi rendahnya derajat kecemasan yang dirasakan oleh seorang
mahasiswa. Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan membangun lebih
banyak kemampuan kemampuan melalui usaha usaha mereka terus menerus, sedangkan
self efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari
kemampuan kemapuan yang di butuhkan seseorang.
Albert bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy bersumber dari beberapa
faktor, yaitu :
1. Pencapaian pengalaman secara aktif (enactive mastery experience)
2. Belajar dari pengalaman orang lain (vicarious experience)
3. Pengalaman persuasif verbal (persuasive experience)
4. Pembangkit fisiologis (physiological and affective state)
Kemudian bandura mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek (dimensi) yang dapat
menentukan self efficacy seseorang, yaitu :
a. Magnitude of self efficacy yaitu keyakinan akan tingkat kesulitan tugas. Hal ini
berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan
pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of difficulty). Individu akan
mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan
menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk dapat mengatasi
kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi berkaitan dengan aktivitas
penyusunan skripsi. Mahasiwa dengan magnitude yang tinggi akan merasa yakin
bahwa ia mampu menjalankan aktivitas penyusunan skripsi sekalipun cukup sulit dan
dapat menetapkan target atau tujuan yang menantang untuk dicapai. Sedangkan
of
self
efficacy
yaitu
keyakinan
akan
kemampuannya
dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori Self Efficacy
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai definisi self efficacy, fungsi self efficacy,dan faktor
yang mempengaruhi self efficacy.
2.1.1. Definisi Self Efficacy
Self efficacy menurut Bandura (1997) didefinisikan sebagai: perceived self efficacy refers
to beliefs in ones capabilities to organize and executer the courses of action required to
produce given attainments .
Sejalan dengan itu, Myers (1994) menyatakan bahwa self efficacy adalah: A sense that
one is competent and effective. Distinguished from self esteem, a sense of ones self worth. A
bombardier might feel high self efficacy and low self esteem(hal 81).
Panjares (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa self efficacy adalah: sebuah
penilaian spesifik yang berkaitan dengan konteks mengenai kompetensi untuk mengerjakan
sebuah tugas spesifik. Woolfolk (2004) juga menyebutkan bahwa self efficacy adalah
kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi khusus.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah penilaian
seseorang tentang apa yang dapat dilakukan dengan ketrampilan apapun yang dimilikinya.
Penilaian atau perasaan itu berkaitan dengan kompetensi dan efektifitas.
2.1.2. Fungsi Self Efficacy
Self efficacy yang dipersepsikan tidak hanya sekedar perkiraan tentang tindakan apa yang
akan dilakukan pada masa mendatang (Bandura, 1986). Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan diri juga berfungsi sebagai suatu determinan bagaimana individu tersebut
berperilaku, berpola pikir, dan bereaksi emosional terhadap situasi-situasi yang sedang
dialami. Keyakinan diri juga memberikan kontribusi terhadap kualitas dari fungsi psikososial
seseorang.
Bandura (1986) menjelaskan fungsi dan berbagai dampak dari penilaian self
efficacy antara lain sebagai berikut:
a. Perilaku memilih.
Dalam kehidupan sehari-hari, individu seringkali dihadapkan dengan pengambilan
keputusan, meliputi pemilihan tindakan dan lingkungan sosial yang ditentukan dari
penilaian efficacy individu. Seseorang cenderung untuk menghindar dari tugas dan
situasi yang diyakini melampaui kemampuan diri mereka, dan sebaliknya mereka
akan mengerjakan tugas-tugas yang dinilai mampu untuk mereka lakukan (Bandura,
1977b, dalam Bandura, 1986). Self efficacy yang tinggi akan dapat memacu
keterlibatan aktif dalam suatu kegiatan atau tugas yang kemudian akan
meningkatkan kompetensi seseorang. Sebaliknya, self efficacy yang rendah dapat
mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungan dan kegiatan sehingga
dapat menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya.
Seseorang yang memiliki penilaian self efficacy-nya secara berlebihan
cenderung akan menjalankan kegiatan yang jelas di atas jangkauandengan kegagalan
kemampuannya. Akibatnya dia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang berakhir
yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan hal ini bisa mengurangi kredibilitasnya.
Sebaliknya, seseorang yang menganggap rendah kemampuannya juga akan
mengalami kerugian, walaupun kondisi ini lebih seperti memberi batasan pada diri
sendiri
daripada
suatu
bentuk
keengganan.
Melalui
kegagalan
dalam
mengembangkan potensi kemampuan yang dimiliki dan membatasi kegiatankegiatannya, seseorang dapat memutuskan dirinya dari banyak pengalaman
berharga. Seharusnya ia berusaha untuk mencoba tugas-tugas yang memiliki
penilaian yang penting, tetapi ia justru menciptakan suatu halangan internal dalam
menampilkan kinerja yang efektif melalui pendekatan dirinya pada keraguan
(Bandura, 1986).
b. Usaha yang dilakukan dan daya tahan
Penilaian terhadap efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang akan
dilakukan seseorang dan seberapa lama ia akan bertahan dalam menghadapi
hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Semakin tinggi self
efficacy seseorang, maka akan semakin besar dan gigih pula usaha yang dilakukan.
Ketika dihadapkan dengan kesulitan, individu yang memiliki self efficacy tinggi
akan mengeluarkan usaha yang besar untuk mengatasi tantangan tersebut.
Sedangkan orang yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usahanya atau
bahkan menyerah sama sekali (Bandura dan Cervone; Brown dan Inouye; Schunk;
Winberg, Gould, dan Jackson, dalam Bandura, 1986).
c. Pola berpikir dan reaksi emosi.
Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga mempengaruhi pola berpikir dan
reaksi emosionalnya selama interaksi aktual dan terantisipasi dengan lingkungan.
Individu yang menilai dirinya memiliki self efficacy rendah, merasa tidak mampu
dalam mengatasi masalah atau tuntutan lingkungan, hanya akan terpaku pada
kekurangannya sendiri dan berpikir kesulitan yang mungkin timbul lebih berat dari
kenyataannya (Beck; Lazarus dan Launier; Meichenbaum; Sarason, dalam Bandura,
1986). Sebaliknya, individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan lebih
memusatkan perhatian dan mengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi
yang dihadapinya, dan setiap hambatan yang muncul akan mendorongnya untuk
berusaha lebih keras lagi.
Self efficacy juga dapat membentuk pola berpikir kausal (Collin, dalam
Bandura, 1986). Dalam mengatasi persoalan yang sulit, individu yang memilikiself
efficacy tinggi akan menganggap kegagalan terjadi karena kurangnya usaha yang
dilakukan, sedang yang memiliki self efficacy rendah lebih menganggap kegagalan
disebabkan kurangnya kemampuan yang ia miliki.
d. Perwujudan dari keterampilan yang dimiliki.
Banyak penelitian membuktikan bahwa self efficacy dapat meningkatkan kualitas
dari fungsi psikososial seseorang (Bandura, 1986). Seseorang yang memandang
dirinya sebagai orang yang self efficacy-nya tinggi akan membentuk tantangantantangan terhadap dirinya sendiri yang menunjukkan minat dan keterlibatan dalam
suatu kegiatan. Mereka akan meningkatkan usaha jika kinerja yang dilakukan
mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, menjadikan kegagalan sebagai
pendorong untuk mencapai keberhasilan, dan memiliki tingkat stres yang rendah bila
menghadapi situasi yang menekan. Individu yang memilikiself efficacy rendah
biasanya akan menghindari tugas yang sulit, sedikit usaha yang dilakukan dan
mudah menyerah menghadapi kesulitan, mengurangi perhatian terhadap tugas,
tingkat aspirasi rendah, dan mudah mengalami stress dalam situasi yang menekan.
2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy dapat
diperoleh dari empat prinsip sumber informasi yaitu: (1) pencapaian kinerja (performance
attainment), (2) pengalaman orang lain (vicarious experience), (3) persuasi verbal (verbal
persuasion), dan (4) keadaan dan reaksi fisiologis (physiological state).
a. Pencapaian kinerja (Performance attainment
Hasil yang didapatkan secara nyata merupakan sumber penting tentang informasi self
efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik yang telah dikuasai (Bandura,Adam,
dan Beyer; Biran dan Wilson; Feltz, Landers, dan Raeder, dalam Bandura, 1986).
Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seseorang pada tingkat self efficacy yang
lebih tinggi, sedang kegagalan akan merendahkan self efficacy, terutama jika kegagalan
tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan disebabkan oleh kurangnya
usaha atau juga karena hambatan dari faktor eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena
bantuan dari faktor eksternal atau keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai
hasil dari kemampuan sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap
peningkatan self efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru
tergantung pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self
efficacy terbentuk karena keberhasilan yang berulang, kegagalan yang muncul tidak
memberikan dampak yang besar terhadap penilaian individu terhadap kemampuannya.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience).
Self efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman dari orang lain. Individu yang
melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbulkan
persepsi self efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat
meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang
yang dia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya,
ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang
memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha dengan
keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga
akan mengurangi usaha yang akan dilakukan (Brown dan Inouye, dalam Bandura,
1986).
Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self efficacy khususnya sensitif
pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidak pastian mengenai kemampuan
yang dimiliki individu. Self efficacy dapat diubah melalui pengaruhmodeling yang
relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian
kemampuannya. Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri
sangat terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada indikator yang
dicontohkan (Takata dan Takata, dalam Bandura, 1986). Kedua adalah penilaian self
efficacy selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi (Festinger; Suls dan
Miller, dalam Bandura, 1986). Kegiatan yang bisa memberikan informasi eksternal
mengenai tingkat kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi,
sebagian besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga
penilaianself efficacy diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari orang lain
(Bandura, 1986).
c. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia
memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang diinginkan.
Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang
lebih keras jika dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya
memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan
keyakinan individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui
kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan orang lain kepada orang yang
mempersuasi dan juga akan mengurangi self efficacy orang yang dipersuasi.
d. Keadaan dan reaksi fisiologis (Physiological state)
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk
memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya. Individu merasa gejala-gejala
somatik atau ketegangan yang timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda
bahwa ia tidak dapat untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini
dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan
stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dia alami
merupakan tanda - tanda kelemahan fisik, dan hal ini menurunkan keyakinan akan
kemampuan fisiknya.
2.2. Dasar Teori Kecemasan
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang di sertai dengan perubahan pada
sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan, dan
kegelisahan. State anxiety didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena
dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger
menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran. Khawatir
menunjukan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu merespon sesuatu
yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan
mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Spielberger mendefinisikan kecemasan sesaat yaitu : State anxiety (A-State) may be
conceived of as a complex, relatively unique emotional condition or reaction that may vary
in intensity and fluctuate over time. More specifically, A-State may be conceptualized as
consisting of unpleasant, concioulsy-percieved feelings of tension and apprehension with
associated activation or arousal of the autonomic nervous system (Spielberger, 1972).
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif merupakan
kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap saat
berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai
munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan
takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang
bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas
sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxietymemberikan gambaran
kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang
akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi menghadapi kebakaran.
Spielberger (1972)
dan rekanya
membedakan
antara state
anxiety. State anxiety bersifat sementara, dimana kecemasan itu muncul ketika individu
menerima stimulis yang berpotensi untuk melukai dirinya. Trait anxiety lebih mengarahkan
pada kestabilan perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa cemas. Trait
anxiety tidak langsung telihat pada tingkah laku individu, tetapi dapat di lihat dari
frekuensistates anxiety individu.
Spielberger, melihat ada tiga unsur faktor yang mempengaruhi penghayatan
kecemasan, yaitu:
1. Adanya perasaan ketidakpastian (uncertainty)
2. Adanya perasaan ketidakberdayaan (helpleness)
3. Dan kedua perasaan tersebut yang tertuju pada masalah yang akan dihadapi (future
orientation).
Munculnya A-State melibatkan suatu proses atau rangkaian kejadian sesaat yang berkaitan
dengan yang lain, yang ditandai baik oleh stimulus eksternal maupun internal yang diartikan
sebagai bahaya atau ancaman bagi seseorang. Semua stimulus internal yang menyebabkan
individu berfikir atau mengantisipasi situasi berbahaya atau menakutkan, dapat juga
meningkatkan A-State menjadi lebih tinggi. Penilaian bahwa suatu stimulus atau situasi itu
merupakan suatu ancaman, juga dipengaruhi oleh bakat, kemampuan dan pengalaman masa
lalu dari individu. Seperti juga di pengaruhi oleh tingkat A-Traitnya (bagaimana keadaan
individu pada umumnya atau biasanya ketika cemas atau kecemasan menetap) dan bahaya
objektif yang ada dalam situasi tersebut.
Bagan. Mekanisme munculnya Trait Anxiety dan State Anxiety
1. Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif individu terhadap stimusus yang dihadapi individu memegang
peranan penting dalam memunculkan kecemasan sesaat. Penilaian kognitif terhadap
stimulus sebagai sesuatu yang menakutkan, mengancam, dan sebagai sesuatu yang
berbahaya dapat menyebabkan munculnya kecemasan sesaat dengan intensitas yang
tinggi tanpa adanya pengaruh dari kecemasan dasar individu. Penilaian kognitif ini
meliputu penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal maupun stimulus internal.
Penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal sebagai sesuatu yang menakutkan
mengancam.
Intensitas dari kecemasan adalah sebanding dengan besaranya ancaman yang
3.
dirasakan individu.
Lamanya raksi kecemasan sesaat ini akan tergantung pada presistensi dan
interpretasi mengancam yang dimiliki individu atas situasi yang dihadapinya
4.
(kecemasan sesaat akan berlangsung lama jika individu merasa terus menerus).
Individu dengan kecemasan dasar yang tinggi akan mempersepsikan situasi,
khususnya situasi yang mengandung unsur kegagalan atau ancaman terhadap selfefficacynya sebagai sesuatu hal yang lebih mengancam daripada individu dengan
5.
6.
Definisi Operasional
Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan hipotesis penelitian, maka
perlu diadakan pengukuran terhadap variable yang telah di definisikan secara
konseptual. Pengukuran terhadap variable tersebut dapat dilakukan setelah terlebih
dahulu dibuat definisi variable secara operasional. Melalui definisi operasional ini
ditetapkan langkah langkah pelaksanaan dan pengukuran yang menggambarkan
konsep variable yang hendak diukur.
a. Keyakinan Akan Kemampuan Diri (Self efficacy)
Self efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki oleh mahasiswa akan
kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang
diperlukan ketika bimbingan skripsi untuk dapat mencapai hasil yang
diinginkan dari tuntutan tugas pembuatan skripsi. Untuk mengukur self
efficacydidapatkan dari hasil skor total questioner self efficacy yang meliputi
tiga dimensi, Menurut Bandura (1977), dimensi dalam self efficacy meliputi :
a. Magnitude of self efficacy
Dalam hal ini magnitude merupakan tingkat keyakinan individu akan
derajat kesulitan tugas. Yaitu tingkat keyakinan individu akan derajat
kesulitan dari skripsi dan tuntutan selama melakukan bimbingan skripsi.
Penilaian individu terhadap derajat kesulitan skripsi
Pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan
pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of
difficulty).
Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk
dapat mengatasi kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi
berkaitan dengan aktivitas penyusunan skripsi.
Memiliki keyakinan yang positif akan keberhasilannya mengatsi dan memenuhi tuntutan
tugas skripsi yang diberikan.
Ketekunan.
3)
Yakin mampu mengambil hikmah dari keberhasilan dari tugas yang telah di lakukan
sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest.
Yakin mampu mengambil hikmah dari kegagalan dari tugas yang telah di lakukan
sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest .
Yakin mampu memberikan dukungan pada diri sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam
mengerjakan skripsi.
b.
1.
Penilaian kognitif, merupakan aspek internal dan eksternal yang berkaitan dengan penilaian
pemadam kebakaran kota cimahi terhadap pemberian tugas memadamkan kebakaran.
2.
Peningkatan aktifitas sistem saraf, merupakan aspek yang berhubungan dengan adanya
perubahan yang terjadi dan berkaitan dengan aktifitas sistem saraf manusia dan fisiologis
manusia.
3.
Perasaan cemas dan tegang, merupakan aspek yang berkaitan dengan kesadaran individu
mengenai
munculnya
kecemasan
yang
dirasakan
dam
mampu
mengatasi
atau
menanggulanginya.
4.
Defence mechanism, merupakan aspek yang berhubungan dengan pentingnya proses yang
dilakukan oleh individu untuk mengurangi kecemasan sesaat yang dirasakan muncul.
3.3.
3.3.1.
Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi.
Alasan peneliti mengambil sampel di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas
Psikologi karena mahasiswa yang mengerjakan skripsi adanya menunjukan self efficacy dan
kecemasan.
3.3.2.
Populasi
Menurut Arikunto (2002:108) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Azwar
(2004:77) mengemukakan tentang populasi adalah sebagai kelompok subjek yang dikenai
generalisasi hasil penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi
dengan jumlah sekitar 76 orang.
3.3.3.
3.3.4.
Karakteristik Sampel
Dengan karakteristik, sampel sebagai berikut :
3.4.
Alat Ukur
3.4.1.
indikator yang berada pada definisi operasional, yang diturunkan dari konsep teori yang
digunakan.
1)
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner kecerdasan emosional yang diturunkan
berdasarkan konsep Self Efficacy dari Bandura (1997), yang meliputi tiga dimensi self
efficacy. Meliputi Magnitude, Strength, dan Generality.
Skala self efficacy yang digunakan disusun dengan berdasarkan pada skala Liket, yang
dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban. Hal tersebut dilakukan dengan alasan :
Maksud jawaban dengan empat tingkat kategori untuk melihat kecenderungan pendapat
responden kearah yang tidak sesuai, sehingga dapat mengurangi data penelitian yang
hilang. (Sutrisno Hadi, 1991).
Kriteria penilaian skala pada alat ukur ini adalah sebagai berikut:
Item Positif
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
4
3
Item Negatif
2)
1
2
4
3
Item Negatif
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
1
2
3.5.
3.5.1.
Derajat Hubungan
0,00 0,20
0,21-0,40
0,41-0,70
0,71-0,90
0,91-1,00
2.
3.
Pindahkan seluruh skor responden pada setiap item dan total skor seluruh item pada kolom
data view.
4.
5.
6.
3.5.2.
Jika Alpha Cronbach () 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap reliabel
Jika Alpha Cronbach () 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap tidak reliabel.
Langkah-langkah perhitungan SPSS 17.0 :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Klik statistic, klik cheklist scale dan if scale deleted jika sudah selesai klik continue.
7.
Pilih model dengan memilih rumus yang digunakan. Misal : Alpha klik ok.
3.6.
a.
b.
c.
Menunjukkan urutan
Keterangan :
rs = Koefisien Korelasi rank spearman
di = Selisih rangking daya variabel x dan variabel y
n = banyaknya sampel
Penentuan untuk menentukan kekuatan hubungan (strength of association) menggunakan
parameter dari Champion, 1981. Kriteria koefisien korelasi menurut Champion
3.7.
3.7.1.
Koefisien Korelasi
(+0,01) (+0,25)
Derajat hubungan
Hubungan lemah
(-0,01) (-0,25)
(+0,26) (+0,50)
(weak association)
Hubungan sedang
(-0,26) (-0,26)
(+0,51) (+0,75)
(-0,51) (-0,75)
(+0,76) (+1,00)
(+0,76) (+1,00)
(strong association)
Hipotesa Statistika
Pengujian hipotesa
Kriteria pengambilan keputusan hipotesa adalah :
Jika H0 : r = 0 maka H0 ditolak : tidak ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan
sesaat.
Jika H1 : r 0 maka H 0 diterima : ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan
sesaat.
3.7.2.
Hipotesa Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban, dugaan, penjelasan atau pernyataan tentatif mengenai suatu
masalah yang dirumuskan dalam bentuk proposional dan dapat diuji secara empirik (Ulber
Silalahi, 1999). Hipotesis penelitian yang telah disebutkan sebagai berikut :
H0 : r = 0 : Tidak terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani
Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.
Ha : r 0 : Terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani
Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.
3.8.
3.8.1.
1.
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan penelitian
Mempersiapkan perizinan yang diperlukan untuk melakukan penelitian dari pihak
Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani.
2.
Mencari literature
3.
4.
3.8.2.
3.8.3.
Tahap Penyelesaian
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1995). Self efficacy in changing societies. New York : Cambridge University
Press.
Ulber Silalahi, 1999, Metode dan metodologi penelitian (Bandung : Bina Budaya)
M. Anton Oktary K., 2007, Skripsi : Hubungan self efficacy dengan kecemasan pada
mahasiswa yang sedang mengerjakan Tugas Akhir.
Rindi O., 2005, Skripsi : Hubungan Kecemasan dengan self efficacy ketika Presentasi di
kelas.