Oleh:
dr. Emi Susilowati
Dokter Internsip
Pendamping:
dr. Endayani, MPH
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah dengan
mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuh,
menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta memproduksi
hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah
merah dan menjaga tulang tetap kuat.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK
ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal,
juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus
Saat ini banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi PGK meningkat di berbagai
wilayah di seluruh dunia. Prevalensi PGK derajat II sampai V terus meningkat sejak tahun
1988 sejalan dengan peningkatan prevalensi penyakit diabetes dan hipertensi yang juga
merupakan penyebab PGK.
Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia
lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis
dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya
usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-
54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun
(0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
Faktor kebiasaan konsumsi minuman atau zat tertentu yang diduga berhubungan
dengan kejadian PGK V yaitu kebiasaan konsumsi kopi, minuman suplemen energi,
suplemen vitamin C, minuman bersoda/ soft drink, merokok, konsumsi obat AINS (Anti
Inflamasi Non Steroid), dan obat herbal. Belum banyak penelitian tentang faktor kebiasaan
konsumsi minuman atau zat tertentu terhadap kejadian PGK V pada kelompok usia kurang
dari 50 tahun.
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat sisa
yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif membran
semipermeabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti penurunan
gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Dengan metode tersebut diharapkan
pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia
berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik. 1,11 Hemodialisis dapat
mempengaruhi gambaran klinis penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia,
anemia, pruritus, pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.
Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera jaringan. Cedera sebagian
jaringan ginjal tersebut menyebabkan pengurangan massa ginjal, yang kemudian
mengakibatkan terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal normal
yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi tersebut hanya berlangsung
sementara, kemudian akan berubah menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Pada stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah
meningkat. Secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronis (PGK, chronic kidney disease) adalah adanya kelainan struktural
atau fungsional pada ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan kriteria sebagai berikut:
Pada umumnya PGK akan berakhir dengan gagal ginjal, yang ditandai dengan penurunan
ireversibel fungsi ginjal dan akhirnya memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan pada derajat (stage) dan etiologinya. Derajat penyakit
dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault berikut:
2.3 Patofisiologi
Mekanisme dasar penyebab PGK adalah terjadinya cedera jaringan. Pertama, aliran
ginjal sebanyak 400mL per 100 gram jaringan permenitnya merupakan jumlah yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan aliran darah yang melewati bantalan pembuluh darah pada
organ lainnya di dalam tubuh seperti jantung, hati, dan otak. Akibatnya, jaringan ginjal akan
lebih banyak terpapar sejumlah besar zat berbahaya yang bersirkulasi di dalam tubuh. Kedua,
filtrasi glomerulus bergantung kepada tingginya tekanan intra dan trans glomerulus,
menyebabkan kapiler glomerulus lebih rentan terhadap cedera hemodinamik dibanding
pembuluh darah di organ lainnya. Sehingga hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi dikatakan
sebagai kontibutor utama terhadap perkembangan penyakit ginjal. Ketiga, membran filtrasi
glomerulus memiliki molekul bermuatan negatif yang berfungsi sebagai barrier penghambat
makromolekul anionik. Jika terjadi suatu cedera glomerulus, maka barrier tersebut akan
terganggu, sehingga protein plasma akan lebih mudah untuk melalui filtrasi glomerulus.
Keempat, bentuk, susunan dan posisi dari nefron (yang terdiri atas glomerulus dan tubulus)
juga mempengaruhi terhadap penyebaran cedera ke tubulo-interstisial. Beberapa mediator
dari inflamasi glomerulus juga dapat mengalir ke sirkulasi peritubular yang menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi di interstisial. Selain itu, setiap penurunan perfusi preglomerular
ataupun glomerular menyebabkan penurunan aliran darah peritubular (tergantung pada
tingkat hipoksia, cedera interstisial, dan remodelling jaringan). Sedangkan penyebab utama
cedera ginjal pada PGK didasarkan pada reaksi imunologi yang diprakarsai kompleks imun
dan sel-sel imun, hipoksia jaringan dan iskemia, agen eksogen seperti obat-obatan, zat
endogen seperti glukosa atau para protein, defek genetik, dan lainnya.
Pada PGK pengurangan massa ginjal menyebabkan terjadinya hipertrofi nefron yang
masih tersisa sebagai usaha kompensasi untuk mempertahankan fungsi. Hipertrofi
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Keadaan tersebut
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi tersebut berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis pada nefron yang masih tersisa. Proses maladaptasi diikuti
penurunan fungsi nefron yang progresif.
Pada stadium dini PGK terjadi penurunan daya cadang ginjal sementara LFG masih
dalam batasan normal. Kemudian secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Saat LFG
sudah menurun hingga 60% pasien masih belum merasakan keluhan walaupun ureum dan
kreatinin serum telah mulai meningkat. Keluhan biasanya akan timbul sampai LFG mencapai
30%. Keluhan berupa lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Jika
LFG sudah di bawah 30% akan muncul keluhan yang lebih nyata berupa tanda uremia,
seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme, pruritus, dan sebagainya. Pasien juga akan
mudah terkena infeksi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada LFG di bawah
15% akan muncul gejala komplikasi. Estimasi LFG diduga berkaitan dengan tingginya
kejadian komplikasi tersebut.
2.5 Diagnosis
Diagnosis pasien PGK dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran
laboratoris, gambaran radiologis, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal pasien. Adapun
kriteria diagnosis PGK berdasarkan Guideline Kidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO) tahun 2012 adalah:
Kriteria Penjelasan
Tanda kerusakan -Albuminuria (AER ≥30mg/24 jam; ACR ≥30mg/g [≥3mg/mmol])
ginjal (satu atau lebih) -Abnormalitas sedimen urin
2.6 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana PGK disesuaikan dengan derajatnya, sebagai berikut:
Tabel 2.4 Rencana Tatalaksana PGK Sesuai dengan Derajatnya
Terapi penyakit dasar sebaiknya dilakukan sebelum terjadi penurunan LFG, sehingga
perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak manfaatnya.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid juga perlu dilakukan, karena dapat
memperburuk keadaan pasien. Kondisi komorbid tersebut antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
Menghambat terjadinya perburukan fungsi ginjal merupakan usaha yang penting
dilakukan pada pasien PGK. Faktor utama penyebab progresifitas perburukan fungsi ginjal
tersebut adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus, seperti yang dijelaskan pada patogenesis
PGK. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus tersebut adalah
dengan pembatasan asupan asupan protein dan terapi farmakologis.
Pembatasan asupan protein dilakukan sejak LFG mencapai ≤60 ml/mnt yaitu
diberikan sebanyak 0,6-0,8mg/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi asupan protein dapat
ditingkatkan. Jika protein dalam tubuh jumlahnya berlebih, maka kelebihan tersebut tidak
disimpan di dalam tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tersebut akan dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein juga mengandung
ion hidrogen, fosfat, sulfat dan ion anorganik lain yang juga diekskresikan lewat ginjal. Oleh
karena itu, pemberian diet protein yang berlebih pada pasien PGK, akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik tersebut dan mengakibatkan gangguan
klinis dan metabolik (sindroma uremia). Asupan protein yang berlebih juga akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang mengganggu
hemodinamik ginjal, sehingga juga meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal.
Terapi farmakologis bertujuan untuk memperlambat kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus juga untuk mengurangi
resiko kardiovaskular. Beberapa obat antihipertensi, terutama Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor terbukti memperlambat perburukan fungsi ginjal melalui berbagai studi.
Hemodialisis (HD) masih menjadi terapi pengganti ginjal utama disamping peritoneal
dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia. Hemodialisis merupakan
suatu proses pengubahan komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui
membran semipermeabel (membran dialisis). Prinsip proses dialisis yaitu memisahkan atau
menyaring darah melalui membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik.
Pada HD berlangsung 2 proses penting, yaitu proses difusi dan ultrafiltrasi. Difusi
adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel berdasarkan perbedaan
konsentrasi zat atau molekul. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme utama untuk
mengeluarkan molekul kecil seperti ureum, kreatinin, elektrolit, dan untuk penambahan
serum bikarbonat. Ultrafiltrasi adalah aliran air dan zat terlarut yang terjadi akibat adanya
perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Air dan zat terlarut dengan berat
molekul kecil dapat dengan mudah melalui membran semipermeabel, sedangkan zat terlarut
dengan berat molekul besar tidak akan melalui membran semipermeabel.
DAFTAR PUSTAKA
2. Ariyanto. 2018. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Stadium V pada Kelompok Usia Kurang dari 50 Tahun. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas. Volume 2:1
6. Henry Ford Health System (2011). Chronic kidney disease: Clinical practice
recommendations for primary care physcians and healthcare providers. Edition 6.0.
https://www.asn-online.org/education/training/fellows/HFH S_CKD_V6.pdf -
Diakses Februari 2019.
11. Suwitra K (2014). Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1.
Edisi ke 6. Jakarta: Interna Publishing.
13. Lesley AI, Coresh J, Levey AS, Tonelly M, Munter P (2011). Estimatid GFR,
albuminuria, and complication of chronic kidney disease. Journal American Society
of Nephrology, 22: 2322-2331.
14. Tanto C (ed), Hustrini NM (2014). Penyakit ginjal kronis. Dalam: Liwang F, Hanifati
S, Pradipta EA (eds). Kapita selekta kedokteran jilid 2. Edisi ke 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
15. Cho S, Adwood E (2002). Peripheral Edema. American Journal Of Medicine, 113:
580-586.
16. Kraut JA, Madias NE (2011). Consequences and therapy of the metabolic acidosis of
chronic kidney disease. Journal Of The International Pediatric Nephrology
Association, 26: 19-28.
17. National Kidney Foundation (2014). Clinical update on hyperkalemia; A chronic risk
for CKD patiens and a potential barrier to recommended CKD treatment.
https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-6785_HBE_Hy
perkalemia_Bulletin.pdf - Diakses Februari 2019.
18. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R (2008). Hyperphosphatemia of chronic
kidney disease. Kidney Int, 74: 148-157.
19. Zhang X, Bansal N, Go AS, Hsu C (2015). Gastrointestinal symptoms, inflammation
and hypoalbuminemia in chronic kidney disease patients: A cross-sectional study.
BMC Nephrology, 16: 211-218.
20. Chung S, Koh ES, Shin SJ, Park CW (2012). Malnutrition in patiens with chronic
kidney disease. Open Journal Of Internal Medicine, 2: 89-99.
21. Mettang T, Kremer AE (2014). Uremic pruritus. Kidney International, 87: 585-591.
23. Weisberg LA, Garcia C, Strub R (eds) (2012). Neurologic complications of systemic
disease. Essentials of Clinical Neurology. http://www2.tulane.
edu/som/departments/neurology/programs/clerkship/upload/wch22.pdf - Diakses
Februari 2019.
BORANG PORTOFOLIO
Obyektif Presentasi:
Deskripsi : Ny. N sudah rutin HD sejak 2,5 taun yang lalu. Pasien datang rujukan dari
RS. Yarsi untuk HD di RSUD Padang Panjang. Nafas terasa sesak, Badan
terasa letih. Batuk (-), nyeri ulu hati (+), mual (+), gatal hampir seluruh tubuh.
3. Riwayat kesehatan
Pasien sudah HD rutin 2,5 tahun
Riw. DM tipe 2 (+) 25 tahun tidak terkontrol, Riw. Hipertensi (+)
4. Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti pasien
5. Riwayat pekerjaan
8. Lain-lain:
Daftar Pustaka
2. Ariyanto. 2018. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Stadium V pada Kelompok Usia Kurang dari 50 Tahun. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas. Volume 2:1
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifestasi Klinis
5. Pemeriksaan Penunjang
6. Diagnosis
7. Penatalaksanaan
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif :
Pasien datang untuk HD rutin 2x seminggu
Pasien rujukan dari RS Yarsi untuk HD di RSUD Padang Panjang
Badan terasa letih, batuk (-) dan nafas sesak
Terasa gatal hampir diseluruh tubuh
Otot terasa kaku dan gemetaran serta melakukan gerakan tanpa disadari
Nafsu makan menurun.
BAK sedikit, BAB tidak ada keluhan.
Pasien sudah didiagnosa CKD stage V sejak 2,5 tahun yang lalu
Riw. DM (+), Hipertensi (+) dalam pengobatan
2. Objektif :
a. Vital sign
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan Darah : 170/100 mmHg
- Nadi : 93 x/menit regular
- Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 37,2º C
b. Pemeriksaan sistemik
‐ Kepala : Bentuk normal, rambut hitam diselingi uban, tidak mudah rontok.
‐ Thoraks :
Paru : Inspeksi : Simetris
Perkusi : sonor
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, Refleks Fisiologis ++/++, Reflek
Patologis -/-
555 555
c. Pemeriksaan Penunjang
7 .Plan :
Diagnosis klinis : CKD stage V On HD, anemia sedang ec CKD dan Parkinson
Terapi :
- Hemodialisa 2x seminggu
Time dialisis : 4 jam 40 menit
UF Goal : 3000 ml
Quick blood : 250 ml/i
Quick dialysat: 500 ml/i
- Tranfusi PRC 2 bag intra HD jika Hb <6 mg/dl
- Natrium bicarbonat 2x1
- Asam folat 1x1
- Osteocal 2x1
- Candesartan 1x16 mg
- Concor 1x5 mg
- Clonidin 1x1 tab
- Amlodipin 1x10 mg
- Donepezil 1x5 mg
- Siprol 0,375 mg 2x ½ tablet