Anda di halaman 1dari 23

Portofolio Klinis

PENYAKIT GINJAL KRONIK

Oleh:
dr. Emi Susilowati
Dokter Internsip

Pendamping:
dr. Endayani, MPH

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PADANG PANJANG
PERIODE AGUSTUS 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah dengan
mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuh,
menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta memproduksi
hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah
merah dan menjaga tulang tetap kuat.

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK
ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal,
juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus

Saat ini banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi PGK meningkat di berbagai
wilayah di seluruh dunia. Prevalensi PGK derajat II sampai V terus meningkat sejak tahun
1988 sejalan dengan peningkatan prevalensi penyakit diabetes dan hipertensi yang juga
merupakan penyebab PGK.

Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia
lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis
dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya
usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-
54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun
(0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).

Faktor kebiasaan konsumsi minuman atau zat tertentu yang diduga berhubungan
dengan kejadian PGK V yaitu kebiasaan konsumsi kopi, minuman suplemen energi,
suplemen vitamin C, minuman bersoda/ soft drink, merokok, konsumsi obat AINS (Anti
Inflamasi Non Steroid), dan obat herbal. Belum banyak penelitian tentang faktor kebiasaan
konsumsi minuman atau zat tertentu terhadap kejadian PGK V pada kelompok usia kurang
dari 50 tahun.

Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat sisa
yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif membran
semipermeabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti penurunan
gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Dengan metode tersebut diharapkan
pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia
berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik. 1,11 Hemodialisis dapat
mempengaruhi gambaran klinis penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia,
anemia, pruritus, pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.

Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera jaringan. Cedera sebagian
jaringan ginjal tersebut menyebabkan pengurangan massa ginjal, yang kemudian
mengakibatkan terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal normal
yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi tersebut hanya berlangsung
sementara, kemudian akan berubah menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Pada stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah
meningkat. Secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronis (PGK, chronic kidney disease) adalah adanya kelainan struktural
atau fungsional pada ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria,


sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histologi, pencitraan, atau
riwayat transplantasi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. atau
2. Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m2
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada umumnya PGK akan berakhir dengan gagal ginjal, yang ditandai dengan penurunan
ireversibel fungsi ginjal dan akhirnya memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan pada derajat (stage) dan etiologinya. Derajat penyakit
dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault berikut:

{140 – umur (thn)} x berat (kg)


LFG (ml/mnt/1,73m2) = *)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Pembagian derajat penyakit penting untuk panduan terapi konservatif dan penentuan
dimulainya terapi pengganti ginjal. Klasifikasi seperti pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Klasifikasi PGK berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3a Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan - sedang 45-59
3b Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang - berat 30-44
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Klasifikasi berdasarkan etiologi, tampak pada tabel 2.2


Tabel 2.2 Klasifikasi PGK berdasarkan Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulus interstisial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit rekuren (glomerular)
Transplantasi glomerulopati

2.3 Patofisiologi
Mekanisme dasar penyebab PGK adalah terjadinya cedera jaringan. Pertama, aliran
ginjal sebanyak 400mL per 100 gram jaringan permenitnya merupakan jumlah yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan aliran darah yang melewati bantalan pembuluh darah pada
organ lainnya di dalam tubuh seperti jantung, hati, dan otak. Akibatnya, jaringan ginjal akan
lebih banyak terpapar sejumlah besar zat berbahaya yang bersirkulasi di dalam tubuh. Kedua,
filtrasi glomerulus bergantung kepada tingginya tekanan intra dan trans glomerulus,
menyebabkan kapiler glomerulus lebih rentan terhadap cedera hemodinamik dibanding
pembuluh darah di organ lainnya. Sehingga hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi dikatakan
sebagai kontibutor utama terhadap perkembangan penyakit ginjal. Ketiga, membran filtrasi
glomerulus memiliki molekul bermuatan negatif yang berfungsi sebagai barrier penghambat
makromolekul anionik. Jika terjadi suatu cedera glomerulus, maka barrier tersebut akan
terganggu, sehingga protein plasma akan lebih mudah untuk melalui filtrasi glomerulus.
Keempat, bentuk, susunan dan posisi dari nefron (yang terdiri atas glomerulus dan tubulus)
juga mempengaruhi terhadap penyebaran cedera ke tubulo-interstisial. Beberapa mediator
dari inflamasi glomerulus juga dapat mengalir ke sirkulasi peritubular yang menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi di interstisial. Selain itu, setiap penurunan perfusi preglomerular
ataupun glomerular menyebabkan penurunan aliran darah peritubular (tergantung pada
tingkat hipoksia, cedera interstisial, dan remodelling jaringan). Sedangkan penyebab utama
cedera ginjal pada PGK didasarkan pada reaksi imunologi yang diprakarsai kompleks imun
dan sel-sel imun, hipoksia jaringan dan iskemia, agen eksogen seperti obat-obatan, zat
endogen seperti glukosa atau para protein, defek genetik, dan lainnya.
Pada PGK pengurangan massa ginjal menyebabkan terjadinya hipertrofi nefron yang
masih tersisa sebagai usaha kompensasi untuk mempertahankan fungsi. Hipertrofi
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Keadaan tersebut
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi tersebut berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis pada nefron yang masih tersisa. Proses maladaptasi diikuti
penurunan fungsi nefron yang progresif.
Pada stadium dini PGK terjadi penurunan daya cadang ginjal sementara LFG masih
dalam batasan normal. Kemudian secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Saat LFG
sudah menurun hingga 60% pasien masih belum merasakan keluhan walaupun ureum dan
kreatinin serum telah mulai meningkat. Keluhan biasanya akan timbul sampai LFG mencapai
30%. Keluhan berupa lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Jika
LFG sudah di bawah 30% akan muncul keluhan yang lebih nyata berupa tanda uremia,
seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme, pruritus, dan sebagainya. Pasien juga akan
mudah terkena infeksi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada LFG di bawah
15% akan muncul gejala komplikasi. Estimasi LFG diduga berkaitan dengan tingginya
kejadian komplikasi tersebut.

2.4 Gambaran Klinis


Gambaran klinis PGK meliputi gangguan sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
(seperti diabetes meltitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, Lupus Eritematosus
Sistemik, hipertensi, dan sebagainya), sindroma uremia, dan gejala komplikasi lainnya seperti
hipertensi, anemia, penyakit jantung, dan lainnya.
Pada stadium awal, PGK biasanya asimtomatik. Gambaran klinis mulai muncul bila
kadar ureum lebih dari 200 mg%. Ureum merupakan indikator adanya retensi sisa-sisa
metabolisme protein. Sindrom uremik dan penyakit yang berkaitan dengan gangguan ginjal
tahap lanjut menyebabkan lebih dari sekedar gangguan ekskresi ginjal. Ginjal yang tidak
dapat menjalankan fungsi urinasinya dengan maksimal menimbulkan oliguria bahkan anuria.
Fungsi metabolik dan endokrin yang normalnya dilaksanakan oleh ginjal juga akan
terganggu. Selain itu, juga terjadi perubahan kadar hormon di plasma, seperti paratiroid,
insulin, glukagon, hormon seks, dan prolaktin. Hal ini disebabkan berkurangnya penguraian,
gangguan regulasi, dan adanya retensi urin.
Tanda dan gejala PGK melibatkan berbagai sistem organ, diantaranya gangguan
keseimbangan cairan, gangguan elektrolit dan asam basa, gangguan gastrointestinal dan
nutrisi, kelainan kulit, gangguan neuromuskular, gangguan metabolik endokrin, dan
gangguan hematologi.
1. Gangguan keseimbangan cairan, berupa edema perifer, efusi pleura, hipertensi, dan
asites.
Kerusakan pada ginjal akibat PGK menyebabkan ginjal tidak bisa mengeluarkan
kelebihan cairan dan natrium, yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium tersebut.
Edema juga berkaitan dengan beratnya kehilangnan protein melalui urin yang
menyebabkan hipoalbuminemia. Keadaan hipoalbumiemia tersebut kemudian
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi edema dan asites
Efusi pleura pada PGK berhubungan dengan berbagai faktor. Keadaan uremia pada
penderita dapat langsung menyebabkan terjadinya pleuritis uremia. Selain itu, gagal
jantung kronis, overload volume, dan infeksi penyerta diperkirakan berhubungan dengan
efusi pleura.
Banyak faktor yang memegang peranan terhadap terjadinya hipertensi, yang paling
utama adalah keseimbangan natrium. Retensi natrium dan sekresi renin pada PGK
menyebabkan kenaikan volume plasma, dan volume cairan ekstraselular. Ekspansi
peningakatan volume plasma menyebabkan peningkatan tekanan pengisian jantung dan
cardiac output. Kenaikan cardiac output kemudian mempertinggi tonus arteriol sehingga
tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler dapat mengaktivasi mekanisme
feed-back sehingga curah jantung akan turun kembali sampai batas normal, tetapi
tekanan darah tetap dipertahankan tinggi 200/120 mmHg. Faktor lain yang berperan
yaitu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang juga memperberat kenaikan
tonus vaskuler dan penurunan zat dipresor dari medula ginjal (misalnya prostaglandin
E1) yang menyebabkan hipertensi selintas, aktivitas saraf simpatis, dan faktor
hemodinamik lainnya.
2. Gangguan elektrolit dan asam basa, berupa hiperkalemia, asidosis metabolik, dan
hiperfosfatemia.
Normalnya tubuh orang dewasa menghasilkan asam endogen bersih sekitar 1 mEq/kgbb
setiap harinya. Untuk tetap menjaga keseimbangan asam basa, ginjal akan mereabsorbsi
HCO3- (sekitar 4500 mEq pada dewasa dengan fungsi ginjal normal). Pada PGK sintesis
bikarbonat tidak seimbang dengan pembentukan asam endogen bersih tubuh dikarenakan
kerusakan ginjal yang terjadi, sehingga menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Ginjal mempunyai peranan utama dalam menjaga keseimbangan kalium dengan
menyesuaikan asupan dan pengeluaran kalium. Kalium difiltrasi oleh glomerulus, 90-
95%nya direabsorpsi di tubulus proksimal dan lengkung henle, dan diekskresikan di
tubulus distal hingga tubulus kolektivus. Karenanya jika terjadi penurunan fungsi ginjal
karena PGK mengakibatkan retensi kalium. Kenaikan jumlah kalium tersebut berkorelasi
dengan tingkat kerusakan ginjal.
Sekitar 800 mg fosfor diserap setiap harinya oleh tubuh dan didistribusikan untuk fosfor
intrasel (70%), mineralisasi skeletal (29%), dan fosfor serum (<1%). Kemudian seluruh
fosfor tersebut dipindahkan menjadi deposit di tulang, diekskresikan ginjal, dan
disekresikan usus. Pengaturan eksresi fosfor di ginjal memegang peranan utama dalam
keseimbangan fosfat tubuh. Adanya cedera pada ginjal seperti yang terjadi pada PGK
dapat mengganggu homeostasis fosfat dengan menyebabkan kegagalan ekskresi yang
berakibat terjadinya hiperfosfatemia.
3. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi, berupa mual, muntah, stomatitis, dan malnutrisi.
Pada saluran cerna gangguan yang paling sering menjadi keluhan utama penderita adalah
mual dan muntah. Kejadian mual dan muntah diduga berhubungan dengan urea yang
diuraikan menjadi amonia. Amonia kemudian menyebabkan iritasi dan rangsangan
mukosa lambung dan usus. Selain itu juga dapat terjadi stomatitis azotemia. Stomatitis
pada PGK ditandai dengan mukosa kering disertai lesi ulserasi luas. Stomatitis
disebabkan sekresi cairan saliva yang banyak mengandung urea. Pada pasien dengan
LFG yang lebih rendah cenderung memunculkan gejala gastrointestinal, dimana gejala
tersebut biasanya mulai muncul pada LFG <45 ml/menit/1,73 m2.
Gangguan pada saluran cerna tersebut yang menyebabkan berkurangnya nafsu makan
pada penderita PGK dan berakibat terjadinya malnutrisi. Ginjal merupakan salah satu
organ penting yang berperan dalam menjaga keseimbangan nutrisi tubuh, seperti
metabolisme glukosa dan asam amino. Saat terjadi kerusakan fungsi ginjal seperti pada
PGK maka akan terjadi gangguan metabolisme yang juga dapat mengakibatkan
malnutrisi.
4. Kelainan kulit, berupa kulit terlihat kering dan pruritus (gatal).
Gatal pada kulit juga sering terjadi pada penderita PGK. Gatal diduga berhubungan
dengan hiperparatiroidisme sekunder yang dapat terjadi akibat PGK. Kulit biasanya
kering dan bersisik dan timbul kristal urea pada kulit dan muka, yang dinamakan urea
frost. Easy bruishing juga sering ditemukan dan diduga berhubungan dengan kenaikan
permeabilitas kapiler pembuluh darah. Selain itu, histamin dan uremia toxins juga diduga
berperan sebagai pruritogenic factors yang menyebabkan pruritus.
Beberapa ion juga dikatakan mempengaruhi terjadinya pruritus. Magnesium dapat
merangsang saraf dan mengaktifkan pelepasan histamin dari sel mast. Sementara kalsium
dan fosfat dapat menginduksi reseptor gatal dan menyebabkan kalsifikasi kulit.
5. Gangguan neuromuskular dan psikiatri, berupa kelemahan otot dan ensefalopati
uremikum.
Disfungsi sistem saraf pusat dapat terjadi saat GFR 10% di bawah normal. Gejala dini
ensefalopati terjadi akibat uremia berupa anoreksia, mual, hiperaktifitas, gangguan tidur,
dan gangguan perhatian. Gejala dapat bertambah berat menjadi gangguan kognisi dan
paranoid. Pada ensefalopati berat dapat ditemukan konfusi, gangguan tingkah laku,
hingga kejang. Kelainan mental ringan yang dapat terjadi seperti insomnia, depresi, dan
emosi labil.
6. Gangguan metabolik endokrin, berupa dislipidemia.
Dislipidemia juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap angka
kesakitan dan kematian pada PGK. Profil lipid pada penderita PGK dapat bervariasi.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap perkembangan dislipidemia pada PGK. Pasien
dengan PGK memiliki penurunan aktivitas lipoprotein lipase dan hepatik trigliserida
lipase yang menyebabkan berkurangnya ambilan lipoprotein oleh hati dan jaringan
perifer, sehingga meningkatkan sirkulasi lipoprotein aterogenik yang menyebabkan
dislipidemia.
7. Gangguan hematologi.
Pada sistem hematologi, anemia merupakan yang paling sering ditemukan pada pasien
PGK. Anemia dapat terjadi bila ureum darah lebih dari 100mg% atau penjernihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit. Anemia pada PGK bersifat kompleks,
berhubungan dengan anemia normokrom normositer, anemia hemolisis, dan anemia
akibat defisiensi besi. Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya anemia pada
PGK. Mekanisme utama adalah karena defisiensi eritropoietin oleh sel-sel peritubular
sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional pada PGK.
Eritropoietin tersebut dibutuhkan dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel darah merah di
sumsum tulang. Atrofi tubulus yang terjadi pada PGK menyebabkan terjadinya fibrosis
tubulointerstisial yang akhirnya mempengaruhi sintesis eritropoietin ginjal dan
menyebabkan terjadinya anemia. Selain itu, penurunan masa hidup eritrosit disebabkan
guandine compounds (molekul utama yang berperan dalam toksisitas ureum), defisiensi
Fe yang mengganggu eritropoiesis, defisiensi asam folat dan vitamin B12, dan
perdarahan saluran cerna yang juga turut berperan dalam mekanisme terjadinya anemia
pada penderita PGK.
Anemia pada PGK meningkatkan angka kesakitan dan kematian karena komplikasi
penyakit kardiovaskular, berupa angina, Left Ventricular Hypertrophy (LVH), dan gagal
jantung, yang juga akan memperburuk fungsi ginjal dan berujung pada sindroma anemia
kardiorenal.
8. Kelainan pada mata.
Kelainan yang dapat terjadi pada mata penderita PGK berupa gangguan visus. Visus
hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil penderita. Kelainan
pada retina (retinopati) dapat terjadi dan berhubungan dengan hipertensi maupun anemia.
Penimbunan garam kalsium pada konjungtiva dapat menyebabkan gejala red eye
syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
9. Kelainan selaput serosa.
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada penderita
PGK terutama yang sudah stadium terminal. Selaput serosa menebal, hipervaskularisasi,
dan disertai infiltrasi sel-sel plasma dan histiosit. Cairan pleura biasanya berdarah dengan
jumlah trombosit kurang dari 10.000 mm3.

2.5 Diagnosis
Diagnosis pasien PGK dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran
laboratoris, gambaran radiologis, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal pasien. Adapun
kriteria diagnosis PGK berdasarkan Guideline Kidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO) tahun 2012 adalah:

Tabel 2.3 Kriteria PGK

Kriteria Penjelasan
Tanda kerusakan -Albuminuria (AER ≥30mg/24 jam; ACR ≥30mg/g [≥3mg/mmol])
ginjal (satu atau lebih) -Abnormalitas sedimen urin

-Abnormalitas elektrolit dan lainnya karena gangguan tubulus


-Abnormalitas yang diketahui dari pemeriksaan histologi

-Abnormalitas struktural yang diketahui dari pemeriksaan radiologi

-Riwayat transplantasi ginjal


Penurunan LFG LFG <60ml/menit/1,73 m2

Gambaran laboratoris PGK meliputi gambaran dari penyakit yang mendasari,


penurunan fungsi ginjal, kelainan biokimia darah, dan kelainan urinalisis. Penurunan fungsi
ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Kelainan biokimiawi darah dapat ditandai
dengan penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asidosis
metabolik. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, dan leukosuria.
Gambaran radiologis pasien PGK bisa meliputi terlihatnya gambaran batu radio-opak
pada pemeriksaan foto polos abdomen, dimana ini akan terlihat pada PGK dengan etiologi
batu ginjal. Pemeriksaan pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, dan juga karena kekhawatiran terhadap efek toksik yang
dapat ditimbulkan oleh zat kontras. Ultrasonografi ginjal bisa meperlihatkan ukuran ginjal
yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, dan
kalsifikasi.
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal dan diagnosis dengan cara noninvasif tidak dapat ditegakkan.
Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui penyebab PGK, rencana terapi, mengetahui
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan. Biopsi kontraindikasi dilakukan
pada ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

2.6 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana PGK disesuaikan dengan derajatnya, sebagai berikut:
Tabel 2.4 Rencana Tatalaksana PGK Sesuai dengan Derajatnya

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
perburukan (progresifitas) fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan (progresifitas), fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

Terapi penyakit dasar sebaiknya dilakukan sebelum terjadi penurunan LFG, sehingga
perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak manfaatnya.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid juga perlu dilakukan, karena dapat
memperburuk keadaan pasien. Kondisi komorbid tersebut antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
Menghambat terjadinya perburukan fungsi ginjal merupakan usaha yang penting
dilakukan pada pasien PGK. Faktor utama penyebab progresifitas perburukan fungsi ginjal
tersebut adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus, seperti yang dijelaskan pada patogenesis
PGK. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus tersebut adalah
dengan pembatasan asupan asupan protein dan terapi farmakologis.
Pembatasan asupan protein dilakukan sejak LFG mencapai ≤60 ml/mnt yaitu
diberikan sebanyak 0,6-0,8mg/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi asupan protein dapat
ditingkatkan. Jika protein dalam tubuh jumlahnya berlebih, maka kelebihan tersebut tidak
disimpan di dalam tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tersebut akan dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein juga mengandung
ion hidrogen, fosfat, sulfat dan ion anorganik lain yang juga diekskresikan lewat ginjal. Oleh
karena itu, pemberian diet protein yang berlebih pada pasien PGK, akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik tersebut dan mengakibatkan gangguan
klinis dan metabolik (sindroma uremia). Asupan protein yang berlebih juga akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang mengganggu
hemodinamik ginjal, sehingga juga meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal.
Terapi farmakologis bertujuan untuk memperlambat kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus juga untuk mengurangi
resiko kardiovaskular. Beberapa obat antihipertensi, terutama Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor terbukti memperlambat perburukan fungsi ginjal melalui berbagai studi.
Hemodialisis (HD) masih menjadi terapi pengganti ginjal utama disamping peritoneal
dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia. Hemodialisis merupakan
suatu proses pengubahan komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui
membran semipermeabel (membran dialisis). Prinsip proses dialisis yaitu memisahkan atau
menyaring darah melalui membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik.
Pada HD berlangsung 2 proses penting, yaitu proses difusi dan ultrafiltrasi. Difusi
adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel berdasarkan perbedaan
konsentrasi zat atau molekul. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme utama untuk
mengeluarkan molekul kecil seperti ureum, kreatinin, elektrolit, dan untuk penambahan
serum bikarbonat. Ultrafiltrasi adalah aliran air dan zat terlarut yang terjadi akibat adanya
perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Air dan zat terlarut dengan berat
molekul kecil dapat dengan mudah melalui membran semipermeabel, sedangkan zat terlarut
dengan berat molekul besar tidak akan melalui membran semipermeabel.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arianti, Rachmawati Anisa, Marfianti Erlina. 2020. KARAKTERISTIK FAKTOR


RISIKO PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) YANG MENJALANI
HEMODIALISA DI RS X MADIUN. Jurnal UMS. Vol 1:1

2. Ariyanto. 2018. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Stadium V pada Kelompok Usia Kurang dari 50 Tahun. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas. Volume 2:1

3. Aisara, Sitifa dkk. Gambaran Klinis Penderita PenyakitGinjal Kronik yang


Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
Volume 7:42

4. Fitrianasari, Devita Luthfia dkk. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Tingkat


Depresi Pasien Chronic Kidney Disease Stadium 5 yang Menjalani Hemodialisis di
RSUD dr. Soebandi Jember. E-jurnal Pustaka Kesehatan. Volume 5:1
5. KDIGO (2012). Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/
pdf/CKD/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf - Diakses Februari 2019.

6. Henry Ford Health System (2011). Chronic kidney disease: Clinical practice
recommendations for primary care physcians and healthcare providers. Edition 6.0.
https://www.asn-online.org/education/training/fellows/HFH S_CKD_V6.pdf -
Diakses Februari 2019.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2013).


Riset kesehatan dasar. Bakti Husada. http://www.depkes.go.id/res
ources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf - Diakses Februari 2019.

8. SIGN (2008). Diagnosis and management of chronic kidney disease: A national


clinical guideline. http://www.sign.ac.uk/pdf/sign103.pdf - Diakses Februari 2019

9. PERNEFRI (2011). 4th report of indonesian renal registry. http://www.


indonesianrenalregistry.org/data/4th%20Annual%20Report%20Of%20IRR
%202011.pdf – Diakses Februari 2019.
10. K/DOQI (2015). Clinical practice guideline for hemodialysis adequacy.
https://www.kidney.org/sites/default/files/KDOQI-Clinical-Practice-Guid eline-
Hemodialysis-Update_Public-Review-Draft-FINAL_20150204.pdf - Diakses Februari
2019.

11. Suwitra K (2014). Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1.
Edisi ke 6. Jakarta: Interna Publishing.

12. Matovinović MS (2009). Pathophysiology and classification of kidney diseases. The


Journal Of The International Federation Of Clinical Chemistry And Laboratory
Medicine, 20: 1-10.

13. Lesley AI, Coresh J, Levey AS, Tonelly M, Munter P (2011). Estimatid GFR,
albuminuria, and complication of chronic kidney disease. Journal American Society
of Nephrology, 22: 2322-2331.

14. Tanto C (ed), Hustrini NM (2014). Penyakit ginjal kronis. Dalam: Liwang F, Hanifati
S, Pradipta EA (eds). Kapita selekta kedokteran jilid 2. Edisi ke 4. Jakarta: Media
Aesculapius.

15. Cho S, Adwood E (2002). Peripheral Edema. American Journal Of Medicine, 113:
580-586.

16. Kraut JA, Madias NE (2011). Consequences and therapy of the metabolic acidosis of
chronic kidney disease. Journal Of The International Pediatric Nephrology
Association, 26: 19-28.

17. National Kidney Foundation (2014). Clinical update on hyperkalemia; A chronic risk
for CKD patiens and a potential barrier to recommended CKD treatment.
https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-6785_HBE_Hy
perkalemia_Bulletin.pdf - Diakses Februari 2019.

18. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R (2008). Hyperphosphatemia of chronic
kidney disease. Kidney Int, 74: 148-157.
19. Zhang X, Bansal N, Go AS, Hsu C (2015). Gastrointestinal symptoms, inflammation
and hypoalbuminemia in chronic kidney disease patients: A cross-sectional study.
BMC Nephrology, 16: 211-218.

20. Chung S, Koh ES, Shin SJ, Park CW (2012). Malnutrition in patiens with chronic
kidney disease. Open Journal Of Internal Medicine, 2: 89-99.

21. Mettang T, Kremer AE (2014). Uremic pruritus. Kidney International, 87: 585-591.

22. Aramwit P, Supasyndh O (2015). Uremic pruritus; Its prevalence, pathophysiology


and management. Dalam: Suzuki H (ed.). Updates In Hemodialysis. InTech.
http://www.intechopen.com/books/updates-in-hemodialysis/uremic-pruritus-its-
prevalence-pathophysiology-and-manage ment - Diakses Februari 2019.

23. Weisberg LA, Garcia C, Strub R (eds) (2012). Neurologic complications of systemic
disease. Essentials of Clinical Neurology. http://www2.tulane.
edu/som/departments/neurology/programs/clerkship/upload/wch22.pdf - Diakses
Februari 2019.
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta: Emi Susilowati

Nama Wahana: RSUD Padang Panjang

Topik: Penyakit Ginjal Kronik

Tanggal (kasus): 29 Agustus 2020

Nama Pasien: Ny. N No. RM: 641611

Tanggal Presentasi: 10 September 2020 Nama Pendamping: dr. Endayani, MPH

Obyektif Presentasi:

Keilmuan  Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik  Manajemen Masalah Istimewa

Neonatu Bayi Anak  Remaja Dewasa Lansia  Bumil


s

Deskripsi : Ny. N sudah rutin HD sejak 2,5 taun yang lalu. Pasien datang rujukan dari
RS. Yarsi untuk HD di RSUD Padang Panjang. Nafas terasa sesak, Badan
terasa letih. Batuk (-), nyeri ulu hati (+), mual (+), gatal hampir seluruh tubuh.

Tujuan : Menegakkan diagnosis, penatalaksanaan

Bahan bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit

Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos

Data pasien: Nama:Ny. N Nomor Registrasi: -

Nama klinik: RSUD Padang Telp: - Tedaftar sejak: -


Panjang

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/gambaran klinis: CKD Stage V + Hipertens stg II + Parkinson


2. Riwayat pengobatan:
Obat antihipertensi (+)

OAD (+) metformin

3. Riwayat kesehatan
Pasien sudah HD rutin 2,5 tahun
Riw. DM tipe 2 (+) 25 tahun tidak terkontrol, Riw. Hipertensi (+)

4. Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti pasien

5. Riwayat pekerjaan

Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas fisik sedang

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan)

Tinggal bersama anak

8. Lain-lain:

- Ibu memiliki kebiasaan makan pada malam hari

Daftar Pustaka

1. Arianti, Rachmawati Anisa, Marfianti Erlina. 2020. KARAKTERISTIK


FAKTOR RISIKO PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) YANG
MENJALANI HEMODIALISA DI RS X MADIUN. Jurnal UMS. Vol 1:1

2. Ariyanto. 2018. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Stadium V pada Kelompok Usia Kurang dari 50 Tahun. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas. Volume 2:1

3. Aisara, Sitifa dkk. Gambaran Klinis Penderita PenyakitGinjal Kronik yang


Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. Volume 7:42

4. Fitrianasari, Devita Luthfia dkk. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap


Tingkat Depresi Pasien Chronic Kidney Disease Stadium 5 yang Menjalani
Hemodialisis di RSUD dr. Soebandi Jember. E-jurnal Pustaka Kesehatan.
Volume 5:1
5. KDIGO (2012). Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/
pdf/CKD/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf - Diakses Februari 2019.
6. Henry Ford Health System (2011). Chronic kidney disease: Clinical practice
recommendations for primary care physcians and healthcare providers. Edition 6.0.
https://www.asn-online.org/education/training/fellows/HFH S_CKD_V6.pdf -
Diakses Februari 2019.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2013).
Riset kesehatan dasar. Bakti Husada. http://www.depkes.go.id/res
ources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf - Diakses Februari
2019.
8. SIGN (2008). Diagnosis and management of chronic kidney disease: A national
clinical guideline. http://www.sign.ac.uk/pdf/sign103.pdf - Diakses Februari 2019
9. PERNEFRI (2011). 4th report of indonesian renal registry. http://www.
indonesianrenalregistry.org/data/4th%20Annual%20Report%20Of%20IRR
%202011.pdf – Diakses Februari 2019.
10. K/DOQI (2015). Clinical practice guideline for hemodialysis adequacy.
https://www.kidney.org/sites/default/files/KDOQI-Clinical-Practice-Guid eline-
Hemodialysis-Update_Public-Review-Draft-FINAL_20150204.pdf - Diakses
Februari 2019.
11. Suwitra K (2014). Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
1. Edisi ke 6. Jakarta: Interna Publishing.
12. Matovinović MS (2009). Pathophysiology and classification of kidney diseases. The
Journal Of The International Federation Of Clinical Chemistry And Laboratory
Medicine, 20: 1-10.
13. Lesley AI, Coresh J, Levey AS, Tonelly M, Munter P (2011). Estimatid GFR,
albuminuria, and complication of chronic kidney disease. Journal American Society
of Nephrology, 22: 2322-2331.
14. Tanto C (ed), Hustrini NM (2014). Penyakit ginjal kronis. Dalam: Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA (eds). Kapita selekta kedokteran jilid 2. Edisi ke 4. Jakarta:
Media Aesculapius.
15. Cho S, Adwood E (2002). Peripheral Edema. American Journal Of Medicine, 113:
580-586.
16. Kraut JA, Madias NE (2011). Consequences and therapy of the metabolic acidosis
of chronic kidney disease. Journal Of The International Pediatric Nephrology
Association, 26: 19-28.
17. National Kidney Foundation (2014). Clinical update on hyperkalemia; A chronic
risk for CKD patiens and a potential barrier to recommended CKD treatment.
https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-6785_HBE_Hy
perkalemia_Bulletin.pdf - Diakses Februari 2019.
18. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R (2008). Hyperphosphatemia of
chronic kidney disease. Kidney Int, 74: 148-157.
19. Zhang X, Bansal N, Go AS, Hsu C (2015). Gastrointestinal symptoms,
inflammation and hypoalbuminemia in chronic kidney disease patients: A cross-
sectional study. BMC Nephrology, 16: 211-218.
20. Chung S, Koh ES, Shin SJ, Park CW (2012). Malnutrition in patiens with chronic
kidney disease. Open Journal Of Internal Medicine, 2: 89-99.
21. Mettang T, Kremer AE (2014). Uremic pruritus. Kidney International, 87: 585-591.
22. Aramwit P, Supasyndh O (2015). Uremic pruritus; Its prevalence, pathophysiology
and management. Dalam: Suzuki H (ed.). Updates In Hemodialysis. InTech.
http://www.intechopen.com/books/updates-in-hemodialysis/uremic-pruritus-its-
prevalence-pathophysiology-and-manage ment - Diakses Februari 2019.
23. Weisberg LA, Garcia C, Strub R (eds) (2012). Neurologic complications of
systemic disease. Essentials of Clinical Neurology. http://www2.tulane.
edu/som/departments/neurology/programs/clerkship/upload/wch22.pdf - Diakses
Februari 2019.
Hasil Pembelajaran

1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifestasi Klinis
5. Pemeriksaan Penunjang
6. Diagnosis
7. Penatalaksanaan
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :
 Pasien datang untuk HD rutin 2x seminggu
 Pasien rujukan dari RS Yarsi untuk HD di RSUD Padang Panjang
 Badan terasa letih, batuk (-) dan nafas sesak
 Terasa gatal hampir diseluruh tubuh
 Otot terasa kaku dan gemetaran serta melakukan gerakan tanpa disadari
 Nafsu makan menurun.
 BAK sedikit, BAB tidak ada keluhan.
 Pasien sudah didiagnosa CKD stage V sejak 2,5 tahun yang lalu
 Riw. DM (+), Hipertensi (+) dalam pengobatan
2. Objektif :
a. Vital sign
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan Darah : 170/100 mmHg
- Nadi : 93 x/menit regular
- Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 37,2º C

- Berat badan : 50,3 kg

b. Pemeriksaan sistemik

‐ Kulit : Teraba hangat,tidak ikterik.

‐ Kepala : Bentuk normal, rambut hitam diselingi uban, tidak mudah rontok.

‐ Mata : Konjungtiva anemis,sklera tidak ikterik, pupil isokor,diameter 3 mm,


Reflek cahaya +/+ Normal, Ptosis tidak ada.

‐ THT : Tidak ada kelainan.

‐ Mulut : Tidak ada kelainan, bibir gemetaran terutama ketika berbicara

‐ Leher : Kaku Kuduk tidak ada, kuduk kaku tidak ada.

‐ KGB : Tidak teraba pembesaran KGB.

‐ Thoraks :
Paru : Inspeksi : Simetris

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : suara nafas: vesikuler,ronkhi (-/-),wheezing (-/-)

Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat


Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama teratur,bising tidak ada

Abdomen : Inspeksi : tidak membuncit


Palpasi : distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit baik, nyeri tekan(+), nyeri lepas (-)
Perkusi : timpani, asites (-)
Auskultas : bising usus (+) normal
Genitalia : Tidak diperiksa

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, Refleks Fisiologis ++/++, Reflek
Patologis -/-

Udem pretibial -/-

Motorik 555 555

555 555

c. Pemeriksaan Penunjang

- Hb/Leukosit/Hematokrit/Trombosit: 8,3/ 9720/ 24%/ 214.000

- Ureum/creatinin: 21/ 11,9

- Na/K/Cl: 144/ 5,5/ 122

- EKG: sinus rhytm

6. Assesment (penalaran klinis) :


Telah di laporkan seorang perempuan berusia 65 tahun dengan keluhan sesak
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien rujukan RS Yarsi untuk Hemodialisa. Pasien
merasa letih. Gatal dikeluhkan hampir seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut
dan mual. Nafsu makan menurun. BAK sedikit dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien didiagnosa PGK derajat V sejak 2,5 tahun yang lalu dan rutin HD 2x
seminggu. Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus tipe II dan hipertensi. Saat ini
pasien dalam pengobatan kedua penyakit tersebut.
Pada pemeriksaan fisik didapatakan keadaan pasien sakit sedang, tekanan darah
170/100, nadi 93x/menit, napas 24x/menit, suhu 37 0C. konjunctiva anemis, tidak
ditemukan ronkhi pada auskultasi paru, wheezing tidak ditemukan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan CKD
Stage V On HD, anemia sedang dan Parkinson.

7 .Plan :
Diagnosis klinis : CKD stage V On HD, anemia sedang ec CKD dan Parkinson
Terapi :
- Hemodialisa 2x seminggu
Time dialisis : 4 jam 40 menit
UF Goal : 3000 ml
Quick blood : 250 ml/i
Quick dialysat: 500 ml/i
- Tranfusi PRC 2 bag intra HD jika Hb <6 mg/dl
- Natrium bicarbonat 2x1
- Asam folat 1x1
- Osteocal 2x1
- Candesartan 1x16 mg
- Concor 1x5 mg
- Clonidin 1x1 tab
- Amlodipin 1x10 mg
- Donepezil 1x5 mg
- Siprol 0,375 mg 2x ½ tablet

Anda mungkin juga menyukai