Anda di halaman 1dari 25

Bias

1. Pelaksanaan BIAN di SDN 211, Pematang Kandis

Siswa-siswi kelas 1-6 SD (95 peserta)

BIAS ( Bulan Imunisasi Anak Sekolah ) adalah merupakan Program Kesehatan secara nasional
meliputi pemberian Imunisasi pada anak sekolah tingkat dasar dilaksanakan satu kali
setahun pada setiap bulan Agustus untuk Imunisasi Campak dan Bulan November untuk
imunisasi DT dan Td.
Pemberian imunisasi atau vaksin kepada anak sekolah ini merupakan kebijakan pemerintah
pusat yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia. Imunisasi adalah suatu cara untuk
menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit
tersebut. Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat
kekebalan di atas ambangperlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan.
Pelaksanaan kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dilaksanakan oleh puskesmas dan
monitoring dilakukan oleh dinas kesehatan. Pada masa Pandemi ini Puskesmas Pajangan
juga melaksanakan kegiatan BIAS di SDIT Ibnu Abas.
Selain melakukan pelaksanaan imunisasi Campak, DT dan Td yang biasa dilakukan saat
melaksanaan BIAS, Program vaksinasi HPV masuk dalam jajaran vaksinasi wajib di Indonesia
seperti COVID-19 maupun imunisasi dasar lengkap. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi
Sadikin mengatakan vaksinasi Human Papillomavirus (HPV) untuk memberi perlindungan
terhadap risiko virus penyebab kanker serviks bersifat wajib dan dibiayai oleh negara.
Vaksinasi HPV tahap awal menyasar pelajar perempuan kelas 5 dan 6 sekolah dasar masing-
masing sebanyak dua dosis.
Adapun pelaksanaan vaksinasi HPV digelar bersamaan dengan program Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS) yang rutin diselenggarakan pada Agustus dan November setiap tahun.

Gambaran Pelaksanaan
Hari / tanggal: 31 Agustus 2022
Pukul: 08.00 WIB – selesai
Acara: Pelaksanaan BIAS
Tempat: Sekolah Dasar Negeri 211
Peserta: Siswa-siswi kelas 1-6 SD (95 peserta)
Petugas: 2 dokter internsip, 4 staf pkm

Teknis:
- Edukasi pentingnya melengkapi imunisasi.
- Pemberian imunisasi tambahan bagi anak yang belum mendapatkan imunisasi tambahan
Campak, DT dan Td.
- Pemberian imunisasi HPV bagi siswi-siswi kelas 5 dan 6 sekolah dasar

Detail Peserta:
Kelas 1: 13 (L) dan 7 (P)
Kelas 2: 7 (L) dan 9 (P)
Kelas 3: 7 (L) dan 11 (P)
Kelas 4: 4 (L) dan 10 (P)
Kelas 5: 6 (L) dan 7 (P)
Kelas 6: 6 (L) dan 8 (P)
*L: laki-laki
*P: perempuan
Total terdapat 95 siswa siswi

2. Pemberian Imunisasi di Posyandu Harapan Bunda, Sei Piul

1. Alisa
2. Khalid
3. Byantara
4. Azka
5. Kevin
6. Hasan
7. Haikal
8. Aura
9. Athaya
10. Sanindiya

Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan
yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama
pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama, dengan melakukan
imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan perlindungan pada
anak lainnya, karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
penyebaran infeksi. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi untuk
mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan. Jenis- jenis imunisasi dasar, yaitu:
BCG, yaitu imunisasi dasar yang diberikan untuk mencegah penyakit TBC. Kemudian
imunisasi dasar Hepatitis B, yang diberikan untuk mencegah penyakit hepatitis B.
Selanjutnya DPT, yaitu imunisasi dasar yang diberikan untuk mencegah penyakit difteri,
pertusis, dan tetanus. Kemudian imunisasi dasar Campak, yang diberikan untuk mencegah
penyakit campak dan yang terakhir imunisasi dasar Polio, yang diberikan untuk mencegah
penyakit polio.

Imuniasi di berikan kepada ibu yang datang dengan anaknya ke Posyandu Harapan Bunda
serta membawa Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Di posyandu terdapat 5 meja yaitu, Meja 1
Pendaftaran/registrasi, Meja 2 Pengukuran tinggi badan dan berat badan, Meja 3 Pengisian
KMS, Meja 4 Penyuluhan, Meja 5 Pelayanan oleh tenaga kesehatan berupa pemberian
Imunisasi. Tenaga kesehatan terdiri dari 1 orang dokter, 2 orang puskesmas. Kegiatan
berjalan lancar dan peserta sangat kooperatif.

Permasalahan
1. Masih banyaknya orang tua yang tidak datang membawa anaknya untuk
mendapatkan Imunisasi.
2. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang vaksinasi dasar anak yang berguna bagi
anaknya untuk meningkatkan sistem imun anak untuk mencagah penyakit campak.

Intervensi:
Melakukan pertemuan rutin dan sosialisai kader posyandu dalam pencapaian program
imunisasi, Melakukan penyuluhan kepada orangtua pentingnya manfaat imunisasi bagi anak-
anak.

Monitoring dan Evaluasi:


Sejauh ini kegiatan di lakukan secara berkala yang di laksanakan di posayandu wilayah kerja
puskesmas muara bulian. Setalah dilakukan penyuluhan mulai banyak orangtua yang
membawa anak nya untuk imunisasi.

3. Pemberian Imunisasi Campak-Rubella Sekolah Dasar, Pematang Kandis

1. Aqila
2. Reiza
3. Iqbal
4. Reki
5. Evano
6. Mumtaz
7. Qiana
8. Hanna
9. Rivania
10. Zahra

Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan kematian pada bayi dengan memberikan
vaksin. Dengan imunisasi, seseorang menjadi kebal terhadap penyakit khususnya penyakit
infeksi. Dengan demikian, angka kejadian penyakit infeksi akan menurun, kecacatan serta
kematian yang ditimbulkannya akan berkurang. Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional
adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan
angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif
merupakan prioritas utama, dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita,
tidak hanya memberikan perlindungan pada anak lainnya, karena terjadi tingkat imunitas
umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Imunisasi dasar adalah
pemberian imunisasi awal pada bayi untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang
perlindungan. Jenis- jenis imunisasi dasar, yaitu: BCG, yaitu imunisasi dasar yang diberikan
untuk mencegah penyakit TBC. Kemudian imunisasi dasar Hepatitis B, yang diberikan untuk
mencegah penyakit hepatitis B. Selanjutnya DPT, yaitu imunisasi dasar yang diberikan untuk
mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Kemudian imunisasi dasar Campak, yang
diberikan untuk mencegah penyakit campak dan yang terakhir imunisasi dasar Polio, yang
diberikan untuk mencegah penyakit polio.

Vaksin yang diberikan adalah vaksin MR. Siswa/i beserta orangtua telah diberitahu mengenai
penyakit campak dan rubella, manfaat imunisasi, serta reaksi KIPI yang sering muncul.
Orangtua juga dibekali dengan tablet Paracetamol untuk dikonsumsi oleh anak bilamana
demam, kemudian dianjurkan berobat ke faskes terdekat apabila terjadi reaksi alergi
maupun demam yang tidak kunjung membaik selama lebih dari tiga hari. . Vaksinator terdiri
dari 1 orang dokter, 2 orang puskesmas. Kegiatan berjalan lancar dan peserta sangat
kooperatif.
Permasalahan:
1. Masih banyaknya orang tua yang tidak mengizinkan anaknya untuk mendapat
vaksinasi dasar.
2. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang vaksinasi dasar anak yang berguna bagi
anaknya untuk meningkatkan sistem imun anak untuk mencagah penyakit campak.
Interpensi:
Melakukan penyuluhan bagi orang tua agar memahami tentang berbagai
macam vaksinasi dasar yang harus diberikan kepada anak.

Monitoring dan Evaluasi:


Sejauh ini kegiatan di lakukan sesuai bulan BIAS yang di lakukan di setiap
Sekolah Dasar. Setelah dilakukan penyuluhan di bulan berikutnya semakin banyak yang
mengizin anaknya di berikan imunisasi.

4. Kegiatan Imunisasi di Puskesmas Pematang Kandis

Seluruh bayi/anak yang datang ke Puskesmas sejak usia 1 bulan hingga 9 bulan

Imunisasi dasar adalah imunisasi yang diberikan pada anak untuk mendapat kekebalan awal
secara aktif sebelum anak berusia setahun yang mencakup imunisasi BCG (Bacille, Calmette,
Guerin), hepatitis B, DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus), polio, dan campak. Imunisasi dasar
juga merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan penyakit infeksi untuk meningkatkan
kualitas hidup.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/ 2005, program


pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali
imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG
diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan
tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT-HB
pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu;
dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.

Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) tidak hanya dapat menimbulkan
penyakit tetapi dapat berdampak pada kematian dan kecacatan. Oleh karena itu,program
Imunisasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan mendapat dukungan dari berbagai
pihak.

5. Pelaksanaan BIAN di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Kandis

Sasaran Penerima Vaksin 110 Siswa

Pada tahun 2022 pemerintah menyelenggarakan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN)
dalam rangka meningkatkan cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak. Hal ini disebabkan
saat pandemi Covid-19 terjadi penurunan cakupan imunisasi dasar lengkap.
Berdasarkan data rutin terbaru Kementerian Kesehatan RI cakupan imunisasi dasar lengkap
telah menurun secara signifikan sejak awal pandemi COVID-19, dari 84,2% pada tahun 2020
menjadi 79,6% pada tahun 2021. Faktor yang mempengaruhi antara lain gangguan rantai
pasokan vaksin, aturan pembatasan kegiatan dan berkurangnya ketersediaan tenaga
kesehatan, yang menyebabkan penghentian sebagian layanan vaksinasi pada puncak
pandemi COVID-19. Sebagian orang tua/pengasuh enggan membawa anak ke fasilitas
kesehatan karena takut tertular Covid-19.
Pelaksanaan BIAN dibagi dalam 2 tahap :
a. Tahap I dimulai pada Mei 2022 di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua
b. Tahap II akan berlangsung pada Agustus 2022 di Jawa dan Bali
Selama periode BIAN, satu dosis imunisasi campak-rubella akan diberikan terlepas dari
status imunisasi sebelumnya sesuai target berdasarkan rekomendasi yang ditetapkan untuk
masing-masing wilayah. Satu atau lebih jenis imunisasi akan diberikan untuk melengkapi
status imunisasi anak usia kurang dari 5 tahun.

PERENCANAAN DAN INTERVENSI


- melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengunjungi lokasi pelaksanaan BIAN bagi
anak yang belum lengkap di imunisasi.
- pencatatan jumlah vaksin yang di berikan kepada balita

Hari / tanggal: 22 Agustus 2022


Pukul: 08.30 WIB - selesai
Acara: penyuluhan dan pemberian BIAN
Peserta: 110 siswa
Petugas: 1 dokter internsip, 2 staf pkm

Teknis:
- Edukasi pentingnya melengkapi imunisasi anak.
- Pemberian imunisasi lengkap bagi balita yang belum melengkapi imunisasi.

Monitoring dan evaluasi :


Untuk perkembangan ke depan diharapkan para balita di wilayah Puskesmas menjalani
imunisasi lengkap sesuai jadwal, sehingga terbebas dari penyakit-penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, dan dibutuhkan peran serta aktif dari para kader supaya kegiatan
posyandu berjalan lancar.

Vaksinaor covid

1. Kegiatan Vaksinator Covid-19

Masyarakat terjadwal untuk mendapatkan Vaksin Covid-19

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus baru, ‘CO’ diambil
dari corona, ‘VI’ virus, dan ‘D’ disease (penyakit). Sebelumnya, penyakit ini disebut ‘2019
novel coronavirus’ atau ‘2019-nCoV.’ Virus COVID-19 adalah virus baru yang terkait
dengan keluarga virus yang sama dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
dan beberapa jenis virus flu biasa (WHO, 2020). Coronavirus 2019 (Covid-19) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (Sars-
CoV-2).
Pada Penelitian ini dilakukan review untuk mengidentifikasi terapi pengobatan COVID-
19, HY dan AZ pada tahap awal COVID-19 dapat menghambat replikasi dan mencegah
virus perkembangan ke bentuk parah penyakit, tidak ada efek samping yang serius pada
pasien yang diobati dengan hidroklorokuin ditambah azitromisin (Esper dkk, 2020) jurnal
yang membahas tentang pengobatan empiris dengan HY dan AZ, sebuah laporan baru ini
memberikan kesan bahwa kombinasi hidroklorokuin dan azitromisin (HY / AZ) dapat
memiliki efek terapi yang menguntungkan pada hasil klinis pengobatan, sehingga secara
signifikan pengobatan ini dapat diperpanjang (Clorin dkk, 2020).

Monitoring dan Evaluasi


Dilakukan vaksinasi Booster pada pasien yang telah datang sesuai dengan jadwal
kunjungan dan telah mendapatkan tiket untuk Vaksinasi Booster

Tracking penyakit menular

1. Pemantauan Penyakit Menular Tuberculosis di Puskesmas Pematang Kandis


Tn. SB 57 tahun, BB: 41 kg, TB: 158 cm

Tuberkulosis adalah salah satu penyakit yang mematikan di dunia. Satu pertiga dari populasi di dunia
terinfeksi TB. Pada tahun 2015, 10,4 juta orang di dunia menderita penyakit TB. Dan TB merupakn
pembunuh no satu orang yang terinfeksi HIV. WHO telah menerbitkan laporan TB golobal setiap
tahu sejak 1997.

Berdasarkan data dari WHO Global Tuberculosis Report 2016 menyatakan bahwa Indonesia dengan
jumlah penduduk 254.831.222, menempatkan posisi kedua dengan beban TB tertinggi di dunia. TB di
Indonesi juga merupakan penyebab no empat kematian setelah penyakit kardiovaskuler. Indonesi
melalui Kementerian Kesehtan memiliki target “Indonesia Bebas TB 2050”. Untuk mencapai target
hal itu, peran serta masyarakat sangat. Diperlukan, terutama dalam membantu menemukan kasus
TB dan membantu melakukan pengawasab terhadap pengobatan pasien TB sampai sembuh, agar
rantai penularan TB di Indonesia dapat dihentikan. Adanya dukungan dari masyarakat dapat
memberikan semnagat positif dan kepatuhan pasien untuk minum obat.

Permasalahan

• Masyarakat masih banyak yang mengalami penyakit tuberculosis.


• Kurangnya pengetahuan pasien terhadap penyakit tuberculosis.
• Kurangnya pengetahuan pasien terhadap penyebab penyakit tuberculosis
• Kurangnya perhatian pasien terhadap kebersihan diri dan lingkungan.

Intervensi

Melakukan penyuluhan tentang penyakit tuberculosis

Gambaran Pelaksanaan

Tn. SB 57 tahun, BB: 41 kg, TB: 158 cm


Anamnesis

S: Batuk Berdahak

RPS: Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 2 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu
terakhir. Batuk disertai dengan lender warnaputh, darah tidak ada. Kadang kadang pasien merasa
sesak. Pasien merasa lemas dan mengalami penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir. BAK dan
BAB tidak ada kelainan.

RPD: Pasien belum pernah mengalami gejala serupa

RPK: Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang serupa atau mengalami pengobatan
selama 6 bulan

Pemeriksaan Fisik

Ku: sedang, kes: composmentis, TD: 133/88mmHg, HR: 88x/I, RR: 19x/I, S: 37,8

- Mata : konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

- Hidung : cavum nasi lapang

- Paru : SN vesikuler (+/+), Wh (-/-), Rh (+/+)

- Jantung : dbn

- Abdomen : dbn-

- Ekstremitas : akral hangat, CRT<2"

A: TB Paru Kasus Baru dalam pengobatan OAT Kategori 1

P: Pasien diberikan OAT Kategori 1 selama 6 bulan dengan tahap awal selama 56 hari dosis RHZE
(150/75/400/275) mg dan tahap lanjutan selama 16 minggu dosis HR (150/150) mg.

Serumah dengan 4 Orang ( 1 Istri, 2 Anak)

Kondisi Rumah: 3 Kamar (1 Kamar orang tua, 2 Kamar anak)

Informasi Gejala orang serumah:

Istri: Tidak ada gejala demam, batuk, pilek, penurunan berat badan, sesak napas, rasa menggigil dan
keringat malam

Anak Pasien: Tidak ada gejala demam, batuk, pilek, penurunan berat badan, sesak napas, rasa
menggigil dan keringat malam

Kegiatan yang dilakukan:


• Mengidentifikasi kejadian ISPA yang berpotensi mengarah pada kasus KLB Covid-19

• Menjelaskan tentang penyakit Tb Paru.

• Menjelaskan tentang penularan Tb Paru.

• Menjelaskan tentang kepatuhan minum obat

• Memberikan dukungan dan motivasi kepada pasien dan keluarga

Monitoring dan Evaluasi

Dilakukan setiap pasien mengunjungi poli tb setiap bulannya, dan kejadian ISPA yang berpotensi
mengarah pada kasus KLB Covid-19

2. Tracing Covid-19 di BTN LP

Tn. Alkarim berusia 45 tahun yang terdiagnosa Covid-19, tinggal dengan istri usia 42
tahun dan 2 orang anak yang berusia masing-masing 23 tahun dan 19 tahun.

COVID-19 merupakan jenis baru dari coronavirus yang belum pernah ditemukan
sebelumnya ada pada manusia. Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang
menyebabkan gejala penyakit mulai dari gejala ringan sampai gejala berat.
Penambahan jumlah kasus Covid-19 cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran
antar negara. WHO menyatakan Covid-19 merupakan pandemi pada 12 Maret 2020.
Indonesia sendiri melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, kasus ini
meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut WHO salah satu cara penularan COVID-19 yaitu melalui kontak langsung,
kontak tidak langsung dan kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui air liur
dan saluran pernapasan yang keluar saat orang yang terinfeksi tersebut batuk,
bersin dan berbicara.Menurut Kementerian Kesehatan, COVID-19 bisa menular dari
manusia ke manusia melalui kontak erat dan droplet. Orang yang melakukan kontak
erat dengan pasien COVID-19 dan yang merawat pasien COVID-19 merupakan orang
yang paling berisiko tertularnya penyakit ini. Menurut Kementerian Kesehatan
kontak erat yaitu orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau
probable 2 hari sebelum dan 14 hari sesudah munculnya gejala.
Upaya yang dilakukan dalam penanggulangan Covid-19 yaitu meningkatkan
pelacakan kontak (contact tracing) yang merupakan bagian dari 3T (test atau 3
pemeriksaan laboratorium, trace atau pelacakan kontak, treat atau isolasi) sehingga
dapat memutuskan rantai penularan Covid-19. Ketika hasil test RT-PCR positif dan
pasien dinyatakan sebagai kasus konfirmasi, maka tindakan selanjutnya yang
dilakukan yaitu pelacakan kontak (trace) harus segera dilakukan segera setelah kasus
konfirmasi/probable ditemukan. Kontak erat yang diidentifikasi akan segera
dikarantina selama 14 hari. Jika setelah melakukan karantina selama 14 hari tidak
muncul gejala, maka pemantauan terhadap kontak erat bisa dihentikan. Namun jika
selama pemantauan, kontak erat muncul adanya gejala maka kontak erat harus
segera diisolasi dan melakukan test swab (RT-PCR).
Tn. Alkarim sebelumnya datang ke Puskesmas Pematang Kandis ingin melakukan
pemeriksaan rapid antigen test untuk persyaratan mengatar keberangkatan haji,
setelah dilakukan pemeriksaan hasil nya positif covid-19. Tracking penyakit Covid-19
di lakukan kepada semua keluarga Tn. Alkarim yang tinggal satu rumah yaitu istri
berusia 42 tahun serta 2 orang anak masing-masing usia 23 tahun dan 19 tahun.
Kegiatan berupa:
1. Menganamnesia semua keluarga pasien berupa gejala dan keluhan penyakit
Covid-19.
2. Melakukan pemeriksaan Rapid Antigen test kepada semua keluarga yang
tinggal serumah
3. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk melakukan isilasi
mandiri di rumah.

Permasalahan:
Keluarga dan masyarakat setempat masih belum paham tentang gejala
covid-19. Masih banyaknya masyarakat yang kurang perhatian dengan covid-19
seperti tidak memakai masker saat keluar rumah. Sebagian masyarakat memilih
diam dan tidak mau memeriksaan dengan gejala yang mengarah ke covid-19 karena
tidak ingi isolaso. Masyarakat mengabaikan penyakit covid 19.

Intervensi:
1. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahayanya penyakit
covid-19
2. Mengedukasi masyarkat agar memakai masker karena virus covid-19
penularannya bisa melalui udara.
3. Mensosialisasi dan mempromosikan Covid-19 kepada masyarakat dan
pejabat setempat agar lebih perhatian terhadap penyakit ini.
4. Melakukan pemantau berkala terhadap pasien covid-19

Monitoring Evaluasi:
Setelah dilakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat
daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali gejala penyakit
Covid-19 dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapatnya perhatian dari
masyarakat dan pejabat setempat tidak mendiskriminasi pasien yang terdiagnosa
covid-19. Ada nya kemajuan pemantauan berkala dari puskesmas dan masyarakat
yang ikut membantu pemantauan.

Penapisan TB
1. Pemeriksaan Dahak Pasien Poli Puskesmas Pematang Kandis
Ny. Wina Usia 38 tahun, BB 55 kg, TB 157 cm

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20


tahun World Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang
tergabung di dalamnya mengupayakan untuk mengurangi TB Paru.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan
oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber
penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau pengobatannya
tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian
(Kemenkes RI, 2015).
Menurut Depkes RI 2008, TB Paru memberikan gejala berupa batuk terus
menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih. Gejala lain yang sering
dijumpai adalah : Dahak bercampur darah, Batuk darah, Sesak nafas dan nyeri
dada, Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang
enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam
meriang lebih dari sebulan.
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis juga dapat
menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak sewaktu-
pagi (SP) dan pagi-sewaktu (PS). Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan
metode Xpert MTB/RIF.TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan. Untuk
menjamin hasil pemeriksaan laboratorium diperlukan contoh uji dahak yang
berkualitas.

Kegiatan ini dilaksanakan di Puskesmas Pematang Kandis


Pasien Ny.Wina datang ke Poli Puskesmas Pematang Kandis dengan keluhan
batuk berdahak sejak lebih dari 2 minggu lalu. Batuk terus menerus. Keluhan
batuk darah (-), keringat dingin (-), penurunan berat badan dan lemas (+). Pasien
mengaku sudah 3 kali berobat dan tidak ada perubahan. Pada pemeriksaan Fisik
tidak didapatkan adanya Ronki (-), wheezing (-) Kemudian dilakukan
pemeriksaan sputum untuk memastikan diagnosis. Kegiatan berupa:
1. Melakukan anamnesa berupa keluhan yang diderita serta riwayat
pengobatan sebelumnya.
2. Memberikan penjelas tentang penyebab penyakit TBC, cara penularan, serta
penanganan penyakit TBC.
3. Mengarahkan pasien untuk memakai masker
4. Memberikan edukasi berupa etika batuk dan membuang dahak yang benar
5. Memberikan pot dahak kepada pasien agar di lakukan pengecekan bakteri
M.tuberculosis.

Permasalahan:
Terdapat banyak pasien yang belum mengetahui gejala penyakit
TBC. Pasien tidak mengetahui penyebab penyakit TBC, cara penularan serta
bagaimana penanganannya. Masih banyak pasien saat datang ke puskesmas
ataupun keluar rumah yang tidak memakai masker. Masih banyak pasien yang
membuang dahak sembarangan. Kurangnya sumber daya manusia dari
puskesmas untuk melakukan pemantauan. Masih banyaknya pasien yang tidak
mau untuk dilakukan pengecekan dahak.

Intervensi:
1. Memberikan penyuluhan tentang Penyakit TBC berupa penyebab, cara
penularan serta penanganan yang tepat.
2. Memberikan penjelasan etika batuk, membuang dahak serta memakai
masker.
3. Menjelaskan cara menampung dahak yang benar.
4. Merekrut Sumber daya manusia agar lebih aktif dalam pemantauan penyakit
TBC
5. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada kepala puskesmas agar
mendukung program-program yang berkaitan penyakit TBC

Monitoring Evaluasi:
Setelah dilakukan sosialisai dan promosi kepada keluarga, masyarakat dan
pejabat daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali
gejala penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapat
penamnahan sumberdaya manusia dari puskesmas untuk pemantauan berkala
penyakit TBC.

2. Kegiatan Deteksi Dini Kasus Suspek TB Paru di Puskesmas Pematang Kandis

Tn. R, usia 36 tahun. BB 72 kg, TB 165 cm

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium


tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun
1882.
Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan
dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah
India dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah penderita TBC
paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit
muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu
penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu
orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya
belum lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal
dengan sistem pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip
pengobatan jangka pendek adalah membunuh dan mensterilkan kuman yang
berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering digunakan dalam pengobatan
jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin
dan etambutol.
Menurut keputusan menteri Kesehatan nomor 364/MenKes/SK/V/2009 tentang
pedoman penanggulangan Tuberkulosis, kegiatan penemuan pasien terdiri dari
pernjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara
bermakan akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di amsyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat.
Intervensi akan dilaksanakan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara menyeluruh pada setiap pasien yang datang ke poli umum dan anak.
Menanyakan kondisi lingkungan rumah dan kebiasaan pasien dalam menjaga
kebersihan pasien dalam menjaga serta tempat tinggal pasien. Setelah itu,
pasien disarankan menjalankan pengobatan agar semua penderita sembuh dan
terhindar dari mekanisme tular-menular akibat masih adanya keluarga atau
orang terdekat pasien yang belum berobat.

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan sputum


Nama: Tn. R
Usia: 36 th
Jenis kelamin: laki-laki
Pendidikan: SD
Pekerjaan: Petani

Keluhan Utama: batuk selama 1 bulan


Riwayat penyakit sekarang: Pasien awalnya mengalami batuk kering 2 minggu,
kemudian menjadi berdahak 4 minggu berikutnya, berwarna kuning kental,
berkeringat dingin dimalam hari, nafsu makan menurun 2 minggu terakhir dan
mengalami penurunan berat badan 1 bulan terakhir
Riwayat penyakit dahulu: Keluhan serupa(-), alergi/asma(-), merokok(-)
Riwayat penyakit keluarga: keluhan serupa atau keluarga yang menjalani
pengobatan 6 bulan (-). Namun ada tetangga pasien yang menjalani pengobatan
6 bulan sebulan yang lalu.

Pemeriksaan fisik:
KU: sakit sedang
GCS: E4V5M6
N: 88x/menit
CA(-/-), SI(-/-)
Faring hiperemis(-/-), tonsil T1-T1
Thoraks: dinding thorax simetris, sonor dikedua lapang paru, suara nafas bronco
vesicular, ronki(-), wheezing(-)
Abdomen: supel, Nyeri tekan(-)
Extremitas: akral hangat(+/+), edema(-/-)

Penatalaksanaan:
Merujuk untuk dilakukan pemeriksaan sputum SPS agar psien dapat diberikan
pengobatan medikamentosa yang sesuai kausa penyakit. Pasien juga diedukasi
mengenai kecurigaan diagnose penyakit TB paru agar pasien mengerti apa dan
bagaimana penyakit tersebut menular, dan pentingnya pengobatan tuntas bagi
diri sendiri dan orang sekitar.

Monitoring Evaluasi:
Setelah dilakukan pemeriksaan sputum SPS pada pasien hasilnya BTA negative.
Pasien diberikan antibiotic yang sesuai dengan keluhan ISPA dan
medikamentosa lain untuk gejala penyerta. Diharapkan ketelitian tenaga
kesehatan untuk lebih aktif menjaring pasien yang dicurigai TB paru agar tidak
terjadi penularan lebih lanjut keorang sekitar pasien. Selain itu diperlukan
edukasi yang jelas kepada pasien mengenai bahaya TB paru yang tidak diobati
agar mereka tidak takut berobat serta memeriksakan keluarga dan tetangga
yang batuk lama ke puskesmas.
3. Pemeriksaan Mantoux Test pada Ny. S, 34 tahun

Ny. Santi usia 34 tahun BB 47kg TB 155cm memiliki kontak erat dengan pasien
TBC.

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20


tahun World Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung
di dalamnya mengupayakan untuk mengurangi TB Paru. Tuberkulosis paru
adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh infeksi menular
oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber penularan yaitu pasien TB
BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila
tidak segera diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015).
Tes tuberculin (Mantoux Test) merupakan salah satu Tes diagnostic TB untuk
mendeteksi adanya infeksi M. tuberculosis, TST hingga saat ini masih memiliki
nilai tes diagnostik yang sangat tinggi. Tes ini dilakukan berdasarkan adanya
hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh M.Tuberkulosis sebelumnya.
Hal ini yang dimediasi oleh sel2 limfosit T (CMI) yang telah tersensitisasi akibat
terinfekasi oleh M.Tuberkulosis secara alamiah. Tes ini dilakukan dengan
menginjeksikan tuberculin tes (PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU), dosis 0,1 cc,
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi tuberculin mulai 5-6 jam
setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah 48 – 72 jam dan
selanjutnya berkurang selama beberapa hari. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul,
bukan pada bagian yang hiperemis atau eritemanya. dilakukan pada ruangan
dengan pencahayaan yang baik dan lengan bawah sedikit difleksikan pada siku.
Hasil pembacaan diukur dan ditulis dalam ukuran millimeter. Hasil interpretasi:
0–4 mm: negative, 5 – 9 mm: ragu-ragu, ≥10 mm: positif.

Kegiatan ini dilaksanakan di Puskesmas Pematang Kandis


Pasien tidak mengeluhkan adanya gejala penyakit TBC. Pemeriksaan Mantoux
test dilakukan pada keluarga yang tinggal serumah yang memiliki kontak erat.
Setelah dilakukan pemeriksaan mantoux test akan di pantau selama 3 hari oleh
kader jika hasil posif akan di laporkan ke puskesmas dan akan diberikan
pengobatan: Kegiatan berupa:
1. Menganamnesia semua keluarga pasien berupa gejala dan keluhan penyakit
TBC.
2. Melakukan pemeriksaan mantoux test kepada semua keluarga yang tinggal
serumah
3. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien etika batuk dan membuang
dahak serta memakai masker agar mencegah penyebaran penyakit TBC tidak
semakin luas.
4. Melakukan inspeksi sekeliling rumah pasien berupa pencahyaan rumah,
ventilasi rumah.

Permasalahan:
Masih banyaknya yang kurang mengetahui gejala penyakit TBC bukan sekedar
hanya batuk biasa. Sebagian masyarakat tidak mau melakukan pemeriksaan
mantoux test ataupun pengecekan dahak. Pasien yang terdiagnosa TBC tidak
memakai masker, batuk dan buang dahak sembarangan. Kehidupan ekonomi
masyarakat rt 02 kilangan sulit sebagian besar bekerja membuat batu bata.
Kurangnya sumberdaya manusia seperti kader yang melakukan kunjungan
kerumah pasien terdiagnosa TBC.

Intervensi:
1. Memberikan penyuluhan kepada mayarakat tentang penyakit TBC berupa
gejala dan pemeriksaan lanjutan serta pengobatan yang tepat.
2. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang etika batuk yang baik dan
benar
3. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat daerah
agar lebih memperhatikan kehidupan masyarakatnya
4. Merekrut kader tambahan dan membina kader agar lebih aktif dalam
kegiatan kunjungan rumah-rumah.

Monitoring Evaluasi:
Setelah dilakukan sosilisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat
daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali gejala
penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Bertambahnya
sumberdaya manusia berupa kader TBC melakukan pemantauan secara berkala.

4. Pemeriksaan Mantoux Test pada Tn. M, 35 tahun

Tn. Marianto usia 35 tahun, BB 55kg, TB 160cm memiliki kontak erat dengan
pasien TBC.

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20


tahun World Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung
di dalamnya mengupayakan untuk mengurangi TB Paru. Tuberkulosis paru
adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh infeksi menular
oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber penularan yaitu pasien TB
BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila
tidak segera diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015).
Tes tuberculin (Mantoux Test) merupakan salah satu Tes diagnostic TB untuk
mendeteksi adanya infeksi M. tuberculosis, TST hingga saat ini masih memiliki
nilai tes diagnostik yang sangat tinggi. Tes ini dilakukan berdasarkan adanya
hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh M.Tuberkulosis sebelumnya.
Hal ini yang dimediasi oleh sel2 limfosit T (CMI) yang telah tersensitisasi akibat
terinfekasi oleh M.Tuberkulosis secara alamiah. Tes ini dilakukan dengan
menginjeksikan tuberculin tes (PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU), dosis 0,1 cc,
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi tuberculin mulai 5-6 jam
setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah 48 – 72 jam dan
selanjutnya berkurang selama beberapa hari. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul,
bukan pada bagian yang hiperemis atau eritemanya. dilakukan pada ruangan
dengan pencahayaan yang baik dan lengan bawah sedikit difleksikan pada siku.
Hasil pembacaan diukur dan ditulis dalam ukuran millimeter. Hasil interpretasi:
0–4 mm: negative, 5 – 9 mm: ragu-ragu, ≥10 mm: positif.

Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mudo wilayah kerja Puskesmas Pematang


Kandis
Pasien tidak mengeluhkan adanya gejala penyakit TBC. Pemeriksaan Mantoux
test dilakukan pada keluarga yang tinggal serumah yang memiliki kontak erat.
Setelah dilakukan pemeriksaan mantoux test akan di pantau selama 3 hari oleh
kader jika hasil posif akan di laporkan ke puskesmas dan akan diberikan
pengobatan: Kegiatan berupa:
1. Menganamnesia semua keluarga pasien berupa gejala dan keluhan penyakit
TBC.
2. Melakukan pemeriksaan mantoux test kepada semua keluarga yang tinggal
serumah
3. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien etika batuk dan membuang
dahak serta memakai masker agar mencegah penyebaran penyakit TBC tidak
semakin luas.
4. Melakukan inspeksi sekeliling rumah pasien berupa pencahyaan rumah,
ventilasi rumah.

Permasalahan:
Masih banyaknya yang kurang mengetahui gejala penyakit TBC bukan sekedar
hanya batuk biasa. Sebagian masyarakat tidak mau melakukan pemeriksaan
mantoux test ataupun pengecekan dahak. Pasien yang terdiagnosa TBC tidak
memakai masker, batuk dan buang dahak sembarangan. Kehidupan ekonomi
masyarakat rt 02 kilangan sulit sebagian besar bekerja membuat batu bata.
Kurangnya sumberdaya manusia seperti kader yang melakukan kunjungan
kerumah pasien terdiagnosa TBC.

Intervensi:
1. Memberikan penyuluhan kepada mayarakat tentang penyakit TBC berupa
gejala dan pemeriksaan lanjutan serta pengobatan yang tepat.
2. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang etika batuk yang baik dan
benar
3. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat daerah
agar lebih memperhatikan kehidupan masyarakatnya
4. Merekrut kader tambahan dan membina kader agar lebih aktif dalam
kegiatan kunjungan rumah-rumah.

Monitoring Evaluasi:
Setelah dilakukan sosilisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat
daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali gejala
penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Adanya bantuan
bahan makanan untuk masyarakat dari pejabat daerah setempat. Bertambahnya
sumber daya manusia berupa kader TBC melakukan pemantauan secara berkala.
5. Kegiatan Skrining TB Anak di Puskesmas Pematang Kandis

An. N, 3 tahun, BB 14 kg, TB 115 cm

Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TB. Kasus


tuberkulosis di Indonesia dalam kurun tiga tahun terakhir ini mengalami tren
karena kasus terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015 jumlah kasus
tuberkulosis yang ditemukan sebesar 330.910 kasus, tahun 2016 sebesar
360.565 kasus, dan tahun 2017 sebesar 425.089 kasus. Berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TB dengan konfirmasi
bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun
ke atas dan prevalensi TB BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien yang
mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB. Terdapat beberapa jenis tes yang dilakukan untuk
mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak, skrining TB umumnya dilakukan
dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien dewasa, pemeriksaan ini bisa
berupa tes dahak dan rontgen dada. Selain identifikasi pada orang dengan gejala
tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang dengan faktor
risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru

An. N, 3 tahun, BB 14 kg
Pasien datang dibawa oleh orangtua untuk dibacakan hasil mantoux test yang
dilakukan 3 hari lalu pada lengan bawah kanan. Pasien memiliki riwayat demam
dan menggigil malam hari hilang-timbul, berat badan tidak sesuai kurva di
posyandu, batuk kering kadang-kadang. Kakek pasien (kontak + namun tidak
tinggal serumah) terdiagnosis TB paru dan sedang pengobatan.
Pemeriksaan Fisik
KU sedang, kes: composmentis, HR: 88x/I, RR: 19x/I, S: 37,8
- Mata : konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
- Hidung : cavum nasi lapang
- Paru : SN vesikuler (+/+), Wh (-/-), Rh (+/+)
- Jantung : dbn
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : akral hangat, CRT<2"Pasien sudah dilakukan rontgen paru -->
gambaran pneumonia dd/TB paru

- Mantoux test : 12 mm --> Positif


- Berdasarkan sistem skoring : 9 --> TB Paru klinis
- Kontrol poli anak untuk pengobatan TB OAT
- 10-14 kg : 2 tab FDC anak/hari selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan 2 tab
FDC anak/hari selama 4 bulan fase lanjutan

MONITORING DAN EVALUASI


Dilakukan setiap pasien mengunjungi poli tb setiap bulannya, dan kejadian ISPA
yang berpotensi mengarah pada kasus KLB Covid-19

Pengobatan TB

1. Kegiatan Pengobatan TB Ny. T usia 35 tahun

Ny. Tatik usia 35 tahun, Berat badan 87kg, Tinggi badan 166cm.

Tuberculosis paru adalah penykit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang
organ tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu,
disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung namun dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab (Muttaqin, 2012). Tuberculosis (TBC) adalah
infeksius kronik yang biasanya mengenai paruparu yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini ditularkan oleh droplet nucleus,
droplet yang ditularkan melalui udara dihasilkan ketika orang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi (Priscilla, 2012)
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan
tuberkulosis paru menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
• Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA (+), BTA (-) 18
2)
• Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien ulangan
pengobatan kategorinya I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
• Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
4)
• Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan tuberkulosis
kronik 5)
• Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien MDR TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (KemenKes
RI, 2014). Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya
adalah: 1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi. 2) Diberikan dalam dosis yang tepat. 3)
Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) 4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pasien datang ke puskesmas mengeluhkan benjolan di leher sebesar ±5cm,


napsu makan yang berkurang dan sering mual. Dilakukan pemeriksaan
Mantoux test hasil menggembung besar dan pemeriksaan TCM (+). Pasien
diberikan tatalaksana dan non farmakologi. Pasien merupakan pasien baru
dengan Limfadenitis TB. Obat diberikan pada pasien berupa obat kategori I
dosis harian (2HRZE/ 4H3R3).
Saat ini pasien dalam pengobatan OAT kategori I dosis harian dengan 14
dosis 1x5 tablet untuk 14 hari agar terpantau dan tidak terjadi putus obat.
Selain itu juga pasien diberikan obatan sesuai keluhan berupa Vitamin B6
2x1 tablet.
Tatalaksana non farmakologi yang diberikan yakni edukasi agar pasien selalu
menerapkan protokol kesehatan berupa pemakaian masker dan cuci tangan,
menerapkan etika batuk yang baik dan benar, mau memeriksakan anggota
keluarga yang berkontak erat dengan pasien, rajin olahraga dan makanan
bergizi serta hindari stress. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan
keluarga serta peran PMO untuk membantu dalam keberhasilan terapi ini.

Permasalahan
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC terutama
pengobatan yang tepat. Tidak adaknya Pengawas Menelan Obat (PMO) di
masyarakat ataupun di keluarga pasien. Masih banyak masyarakat yang
tidak mengetahui etika batuk dan membuang dahak yang benar. Kurangnya
perhatian masyarakat dan pejabat setempat tehadap penyakit TBC.

Intervensi
1. Menjadwalkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit
TBC.
2. Menciptakan Pengawas Menalan Obat (PMO) dalam keluarga untuk
lebih taat dalam pengobatan.
3. Menciptakan sumber daya manusia berupa kader TBC agar dapat
memantau masyarakat yang mengkonsumsi obat ataupun mempunyai
gejala penyakit TBC
4. Mengedukasi kepada keluarga dan masyarakat tentang etika batuk,
membuang dahak yang benar serta memakai masker ketika batuk dan
keluar rumah.
5. Mensosialisasi dam promosi kepada masyarakat dan pejabat
setempat agar mendukung program yang dilaksananakan.

Monitoring Evaluasi
Setelah dilakukan sosialisai dan promosi kepada keluarga, masyarakat dan
pejabat daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali
gejala penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapat
penamnahan sumberdaya manusia dari puskesmas untuk pemantauan
berkala penyakit TBC. Pasien semakin taat meminum obat TBC karena
adanya pengawas menelan obat (PMO).

2. Kegiatan Pengobatan TB Tn. Y usia 70 tahun

Tn.Yusuf usia 70 tahun, Berat badan 68kg, Tinggi badan 165cm,


Riwayat Diabetes Mellitus dengan pengobatan Insulin
Tuberculosis paru adalah penykit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang
organ tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu,
disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung namun dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab (Muttaqin, 2012). Tuberculosis (TBC) adalah
infeksius kronik yang biasanya mengenai paruparu yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini ditularkan oleh droplet nucleus,
droplet yang ditularkan melalui udara dihasilkan ketika orang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi (Priscilla, 2012)
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan
tuberkulosis paru menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
• Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA (+), BTA (-) 18
2)
• Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien ulangan
pengobatan kategorinya I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
• Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
4)
• Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan tuberkulosis
kronik 5)
• Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien MDR TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (KemenKes
RI, 2014). Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya
adalah: 1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi. 2) Diberikan dalam dosis yang tepat. 3)
Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) 4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pasien datang ke Puskesmas Pematang Kandis mengeluhkan lemas, napsu


makan yang berkurang dan sering mual. Sebelumya pasien post opname
dirumah sakit karena kadar gula tinggi, dan di lakukan pemeriksaan TCM (+),
GDS 456g/dl. Pengobatan Diabetes Mellitus diberikan oleh dokter spesialis,
untuk penyakit TBC dilakukan pengobatan di puskesmas. Pasien diberikan
tatalaksana dan non farmakologi. Pasien merupakan pasien baru dengan
komorbid. Obat diberikan pada pasien berupa obat kategori I dosis harian
(2HRZE/ 4H3R3).
Saat ini pasien dalam pengobatan OAT kategori I dosis harian dengan 14
dosis 1x4 tablet untuk 14 hari agar terpantau dan tidak terjadi putus obat .
Selain itu juga pasien diberikan obatan sesuai keluhan berupa Vitamin B6
2x1 tablet, Lantus 12-12-12 IU.
Tatalaksana non farmakologi yang diberikan yakni edukasi agar pasien selalu
menerapkan protokol kesehatan berupa pemakaian masker dan cuci tangan,
menerapkan etika batuk yang baik dan benar, mau memeriksakan anggota
keluarga yang berkontak erat dengan pasien, rajin olahraga dan makanan
bergizi serta hindari stress. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan
keluarga serta peran PMO untuk membantu dalam keberhasilan terapi ini.

Permasalahan
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC terutama
pengobatan yang tepat. Tidak adanya Pengawas Menelan Obat (PMO) di
masyarakat ataupun di keluarga pasien. Masih banyak masyarakat yang
tidak mengetahui etika batuk dan membuang dahak yang benar. Kurangnya
perhatian masyarakat dan pejabat setempat tehadap penyakit TBC.

Intervensi
1. Menjadwalkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit
TBC.
2. Menciptakan Pengawas Menalan Obat (PMO) dalam keluarga untuk
lebih taat dalam pengobatan.
3. Menciptakan sumber daya manusia berupa kader TBC agar dapat
memantau masyarakat yang mengkonsumsi obat ataupun mempunyai
gejala penyakit TBC
4. Mengedukasi kepada keluarga dan masyarakat tentang etika batuk,
membuang dahak yang benar serta memakai masker ketika batuk dan
keluar rumah.
5. Mensosialisasi dam promosi kepada masyarakat dan pejabat
setempat agar mendukung program yang dilaksananakan.

Monitoring Evaluasi
Setelah dilakukan sosialisai dan promosi kepada keluarga, masyarakat dan
pejabat daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali
gejala penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapat
penamnahan sumberdaya manusia dari puskesmas untuk pemantauan
berkala penyakit TBC. Pasien semakin taat meminum obat TBC karena
adanya pengawas menelan obat (PMO).

3. Kegiatan Pengobatan TB Tn. L usia 36 tahun

Tn. Lasno usia 36 tahun, Berat badan 50kg, Tinggi badan 162cm

Tuberculosis paru adalah penykit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang
organ tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu,
disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung namun dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab (Muttaqin, 2012). Tuberculosis (TBC) adalah
infeksius kronik yang biasanya mengenai paruparu yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini ditularkan oleh droplet nucleus,
droplet yang ditularkan melalui udara dihasilkan ketika orang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi (Priscilla, 2012)
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan
tuberkulosis paru menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
• Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA (+), BTA (-) 18
2)
• Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien ulangan
pengobatan kategorinya I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
• Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
4)
• Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan tuberkulosis
kronik 5)
• Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien MDR TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (KemenKes
RI, 2014). Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya
adalah: 1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi. 2) Diberikan dalam dosis yang tepat. 3)
Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) 4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pasien datang ke Puskesmas Pematang Kandis mengeluhkan napsu makan


yang berkurang dan sering mual. Pasien merupakan pasien baru dengan
pengobatan tahap lanjutan. Pasien diberikan tatalaksana dan non
farmakologi. Obat diberikan pada pasien berupa obat kategori I dosis
intermiten (2HRZE/ 4H3R3).
Saat ini pasien dalam pengobatan OAT kategori I dosis intermiten dengan 12
dosis 1x3 tablet. Selain itu juga pasien diberikan obatan sesuai keluhan
berupa Vitamin B6 2x1 tablet, Vitamin B-compleks 1x1.
Tatalaksana non farmakologi yang diberikan yakni edukasi agar pasien selalu
menerapkan protokol kesehatan berupa pemakaian masker dan cuci tangan,
menerapkan etika batuk yang baik dan benar, mau memeriksakan anggota
keluarga yang berkontak erat dengan pasien, rajin olahraga dan makanan
bergizi serta hindari stress. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan
keluarga serta peran PMO untuk membantu dalam keberhasilan terapi ini.

Permasalahan
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC terutama
pengobatan yang tepat. Tidak adaknya Pengawas Menelan Obat (PMO) di
masyarakat ataupun di keluarga pasien. Masih banyak masyarakat yang
tidak mengetahui etika batuk dan membuang dahak yang benar. Kurangnya
perhatian masyarakat dan pejabat setempat tehadap penyakit TBC.

Intervensi
1. Menjadwalkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit
TBC.
2. Menciptakan Pengawas Menalan Obat (PMO) dalam keluarga untuk
lebih taat dalam pengobatan.
3. Menciptakan sumber daya manusia berupa kader TBC agar dapat
memantau masyarakat yang mengkonsumsi obat ataupun mempunyai
gejala penyakit TBC
4. Mengedukasi kepada keluarga dan masyarakat tentang etika batuk,
membuang dahak yang benar serta memakai masker ketika batuk dan
keluar rumah.
5. Mensosialisasi dam promosi kepada masyarakat dan pejabat
setempat agar mendukung program yang dilaksananakan.

Monitoring Evaluasi
Setelah dilakukan sosialisai dan promosi kepada keluarga, masyarakat dan
pejabat daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali
gejala penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapat
penamnahan sumberdaya manusia dari puskesmas untuk pemantauan
berkala penyakit TBC. Pasien semakin taat meminum obat TBC karena
adanya pengawas menelan obat (PMO).

4. Kegiatan Pengobatan TB Tn. A usia 45 tahun

Tn. Agus usia 45 tahun, Berat badan 53kg, Tinggi badan 155cm

Tuberculosis paru adalah penykit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang
organ tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu,
disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung namun dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab (Muttaqin, 2012). Tuberculosis (TBC) adalah
infeksius kronik yang biasanya mengenai paruparu yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini ditularkan oleh droplet nucleus,
droplet yang ditularkan melalui udara dihasilkan ketika orang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi (Priscilla, 2012)
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan
tuberkulosis paru menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
• Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA (+), BTA (-) 18
2)
• Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien ulangan
pengobatan kategorinya I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
• Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
4)
• Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan tuberkulosis
kronik 5)
• Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien MDR TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (KemenKes
RI, 2014). Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya
adalah: 1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi. 2) Diberikan dalam dosis yang tepat. 3)
Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) 4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pasien datang ke Puskesmas Pematang Kandis dengan rujukan dari rumah


sakit karena putus obat tahap lanjutan. Pasien mengeluhkan napsu makan
yang berkurang dan sering mual. Pemeriksaan TCM (+), Pada pasien
diberikan tatalaksana dan non farmakologi. Obat diberikan pada pasien
berupa obat kategori I dosis harian (2HRZE/ 4H3R3).
Saat ini pasien dalam pengobatan OAT kategori I dosis harian dengan 14
dosis 1x3 tablet untuk 14 hari agar terpantau dan tidak terjadi putus obat
kembali. Selain itu juga pasien diberikan obatan sesuai keluhan berupa
Vitamin B6 2x1 tablet, Vitamin B-compleks 1x1.
Tatalaksana non farmakologi yang diberikan yakni edukasi agar pasien selalu
menerapkan protokol kesehatan berupa pemakaian masker dan cuci tangan,
menerapkan etika batuk yang baik dan benar, mau memeriksakan anggota
keluarga yang berkontak erat dengan pasien, rajin olahraga dan makanan
bergizi serta hindari stress. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan
keluarga serta peran PMO untuk membantu dalam keberhasilan terapi ini.

Permasalahan
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC terutama
pengobatan yang tepat. Tidak adaknya Pengawas Menelan Obat (PMO) di
masyarakat ataupun di keluarga pasien. Masih banyak masyarakat yang
tidak mengetahui etika batuk dan membuang dahak yang benar. Kurangnya
perhatian masyarakat dan pejabat setempat tehadap penyakit TBC.

Intervensi
1. Menjadwalkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit
TBC.
2. Menciptakan Pengawas Menalan Obat (PMO) dalam keluarga untuk
lebih taat dalam pengobatan.
3. Menciptakan sumber daya manusia berupa kader TBC agar dapat
memantau masyarakat yang mengkonsumsi obat ataupun mempunyai
gejala penyakit TBC
4. Mengedukasi kepada keluarga dan masyarakat tentang etika batuk,
membuang dahak yang benar serta memakai masker ketika batuk dan
keluar rumah.
5. Mensosialisasi dan promosi kepada masyarakat dan pejabat
setempat agar mendukung program yang dilaksananakan.
Monitoring Evaluasi
Setelah dilakukan sosialisai dan promosi kepada keluarga, masyarakat dan
pejabat daerah setempat terdapat kemajuan, masyarakat mulai mengenali
gejala penyakit TBC dan melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Terdapat
penamnahan sumberdaya manusia dari puskesmas untuk pemantauan
berkala penyakit TBC. Pasien semakin taat meminum obat TBC karena
adanya pengawas menelan obat (PMO).

5. Kegiatan Pengobatan TB An. N usia 3 tahun

An. N, 3 tahun, BB 14 kg, TB 115 cm

Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TB.


Kasus tuberkulosis di Indonesia dalam kurun tiga tahun terakhir ini
mengalami tren karena kasus terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2015 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebesar 330.910 kasus,
tahun 2016 sebesar 360.565 kasus, dan tahun 2017 sebesar 425.089 kasus.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TB
dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TB BTA positif sebesar
257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB. Terdapat beberapa jenis tes yang dilakukan untuk
mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak, skrining TB umumnya dilakukan
dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien dewasa, pemeriksaan ini bisa
berupa tes dahak dan rontgen dada. Selain identifikasi pada orang dengan
gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang
yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan
infeksi paru

An. N, 3 tahun, BB 14 kg
Pasien datang dibawa oleh orangtua untuk dibacakan hasil mantoux test
yang dilakukan 3 hari lalu pada lengan bawah kanan. Pasien memiliki riwayat
demam dan menggigil malam hari hilang-timbul, berat badan tidak sesuai
kurva di posyandu, batuk kering kadang-kadang. Kakek pasien (kontak +
namun tidak tinggal serumah) terdiagnosis TB paru dan sedang pengobatan.
Pemeriksaan Fisik
KU sedang, kes: composmentis, HR: 88x/I, RR: 19x/I, S: 37,8
- Mata : konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
- Hidung : cavum nasi lapang
- Paru : SN vesikuler (+/+), Wh (-/-), Rh (+/+)
- Jantung : dbn
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : akral hangat, CRT<2"Pasien sudah dilakukan rontgen paru -->
gambaran pneumonia dd/TB paru
- Mantoux test : 12 mm --> Positif
- Berdasarkan sistem skoring : 9 --> TB Paru klinis
- Kontrol poli anak untuk pengobatan TB OAT
- 10-14 kg : 2 tab FDC anak/hari selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan 2
tab FDC anak/hari selama 4 bulan fase lanjutan

MONITORING DAN EVALUASI


Dilakukan setiap pasien mengunjungi poli tb setiap bulannya, dan kejadian
ISPA yang berpotensi mengarah pada kasus KLB Covid-19

Anda mungkin juga menyukai