Anda di halaman 1dari 6

Menurut untuk Dunia

Organisasi (WHO) tahun 2010, prevalensi stunting

diartikan “tinggi” jika mencapai 30% hingga 39%

dan “sangat tinggi” jika

Stunting pada anak di bawah 5 tahun perlu

mendapat perhatian khusus karena dapat

memperlambat perkembangan fisik dan mental pada

anak. Hal ini terkait dengan peningkatan risiko morbiditas

dan mortalitas serta gangguan pertumbuhan

kemampuan motorik dan mental. Sebuah penelitian

menemukan bahwa anak di bawah usia 5 tahun dengan

stunting memiliki risiko lebih tinggi mengalami penurunan

kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan

risiko penyakit degeneratif di kemudian hari (Kukuh,

2013). Hal ini sejalan dengan penelitian Hizni

(2010) di Kawasan Pesisir Pantai Utara

Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon yang

menemukan bahwa terdapat hubungan antara

stunting dan motorik halus, bahasa serta

perkembangan motorik kasar (Hizni, 2010).

Data menunjukkan prevalensi stunting di

Kabupaten Purbalingga pada tahun 2014

mencapai 20,2%. Berdasarkan data

surveilans gizi tahun 2015, Puskesmas

Padamara memiliki angka kejadian masalah

status gizi tertinggi (Dinas Kesehatan

Purbalingga,

2015). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara status gizi

dengan empat dimensi perkembangan

(motorik kasar, motorik halus, bahasa dan


sosial pribadi) pada anak usia balita.

Kesehatan

mencapai ≥ 40%. Prevalensi

stunting pada anak di Indonesia tergolong

tinggi yang jumlahnya mencapai 30,7%.

Prevalensinya meningkat 1,6% pada tahun

2010-2013. Prevalensi stunting lebih tinggi

dibandingkan gizi buruk (17,9%), kelesuan

(13,3%), dan obesitas (14%) (Riskesdas,

2013).

Stunting merupakan kondisi gizi buruk

kronis karena asupan gizi yang tidak dapat

memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang

lama (Ernawati, 2013). Tentang Nutrisi di 1000

Hari Pertama Ibu di Dunia ( 2012), disebutkan

bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh

kondisi pada 1000 hari pertama kehidupan atau

dimulai sejak janin dalam kandungan hingga

usia 2 tahun. Disebut sebagai windows critical

period karena otak atau kecerdasan

berkembang pesat selama ini. Akibatnya,

asupan nutrisi yang tidak memadai (ASI atau

MP-ASI) selama 2 tahun pertama kehidupan

dapat menyebabkan stunting (Imtihanatun,

2012)

Stunting pada anak di bawah 5 tahun perlu

mendapat perhatian khusus karena dapat

memperlambat perkembangan fisik dan mental pada

anak. Hal ini terkait dengan peningkatan risiko morbiditas

dan mortalitas serta gangguan pertumbuhan

kemampuan motorik dan mental. Sebuah penelitian


menemukan bahwa anak di bawah usia 5 tahun dengan

stunting memiliki risiko lebih tinggi mengalami penurunan

kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan

risiko penyakit degeneratif di kemudian hari (Kukuh,

2013). Hal ini sejalan dengan penelitian Hizni

(2010) di Kawasan Pesisir Pantai Utara

Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon yang

menemukan bahwa terdapat hubungan antara

stunting dan motorik halus, bahasa serta

perkembangan motorik kasar (Hizni, 2010).

Data menunjukkan prevalensi stunting di

Kabupaten Purbalingga pada tahun 2014

mencapai 20,2%. Berdasarkan data

surveilans gizi tahun 2015, Puskesmas

Padamara memiliki angka kejadian masalah

status gizi tertinggi (Dinas Kesehatan

Purbalingga,

2015). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara status gizi

dengan empat dimensi perkembangan

(motorik kasar, motorik halus, bahasa dan

sosial pribadi) pada anak usia balita.

Anak-anak dengan stunting mengalami

pertumbuhan tulang yang lambat dan pendek. Kondisi ini

sering kali disebabkan oleh tidak terpenuhinya

kebutuhan nutrisi dan nyeri kronis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara stunting

dan pribadi sosial

perkembangan (p> 0,05). Hal ini dikarenakan keluarga


dapat memberikan perhatian dan dukungan yang

dibutuhkan anaknya untuk berinteraksi dengan

lingkungan tanpa memandang status gizinya. Ketika

anak mampu mengembangkan keterampilan sosial

pribadinya, diharapkan mereka juga dapat

mengembangkan penyesuaian sosial. Sebuah penelitian

menemukan bahwa anak yang mendapatkan stimulasi

yang cukup dari keluarga atau lingkungannya mampu

mengembangkan keterampilan sosial pribadinya sesuai

dengan usianya (Hizni, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara stunting dengan

perkembangan motorik halus (p> 0,05). Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Hizni (2010)

yang menemukan hal tersebut

anak-anak dengan pembangunan

Gangguan tersebut ditandai dengan lambatnya

pematangan sel saraf, pergerakan motorik, respon

sosial, dan juga kurangnya kecerdasan. Akibatnya,

anak-anak memiliki kebutuhan untuk belajar. Berbagai

rangsangan sensorik seperti mendengar, melihat,

merasakan, mencium, dan menyentuh yang diberikan

selama awal kehidupan telah ditemukan memiliki

pengaruh besar pada pertumbuhan dan pematangan

otak. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak yang

mengalami stunting parah pada awalnya Usia 2 tahun, pada usia 8 tahun dan 11 tahun

menunjukkan nilai tes kognitif yang lebih rendah

dibandingkan dengan pasangannya.

Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara stunting dan

perkembangan bahasa (p> 0,05). Perkembangan


bahasa pada anak mendukung kemampuan anak

untuk memahami, berpendapat, dan menarik

kesimpulan. Perkembangan bahasa meliputi aspek

motorik tuturan yang terkait dengan kemampuan

menghasilkan bunyi tertentu yang disebut kata,

serta aspek mental tuturan yang berkaitan dengan

kemampuan mengumpulkan makna dengan

kata-kata tersebut.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang signifikan antara stunting

dengan perkembangan motorik kasar (p> 0,05).

Salah satu perkembangan motorik kasar pada

anak usia 14 bulan adalah berlarian. Namun, pada

anak kurang gizi, waktu pengembangan motorik

kasar ini akan tertunda hingga berusia 18 bulan. Ini

merupakan masa kritis karena jika anak gagal

menyelesaikan tugas perkembangan pada usia ini,

maka kemungkinan besar mereka akan mengalami

gangguan tumbuh kembang pada masa dewasa.

Untuk mengurangi kemungkinan terhambatnya

perkembangan anak, stimulasi penting dilakukan.

Penelitian sebelumnya

memiliki mengungkapkan bahwa

Faktor stimulasi berperan penting dalam tumbuh

kembang anak. Anak yang mendapat kecukupan

stimulasi akan menjadi

berkembang lebih cepat daripada mereka yang tidak

atau Dapatkan kurang stimulasi

(Soetjiningsih, 2012).

Saat ini ada upaya yang komprehensif

untuk menjaga tumbuh kembang anak sejak


sangat dini dalam kandungan hingga usia

lima tahun. Stimulasi sesuai usia anak sangat

dibutuhkan. Penelitian ini menyarankan

perlunya meningkatkan peran ibu dalam Perkembangan anak misalnya dengan melakukan

pemantauan secara ketat bila dicurigai adanya

gangguan atau keterlambatan perkembangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara status

stunting dan perkembangan balita. Desain dalam penelitian ini menggunakan analitik survei dengan

pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 60 balita yang dipilih melalui teknik quota sampling.
Instrumen

untuk status stunting menggunakan meteran mikrotoase kemudian dapat menggunakan perangkat
lunak

antro WHO sedangkan Denver lembar ke II digunakan untuk mengawasi perkembangan. Analisis
data

menggunakan analisis uji chi square, uji Fisher Exact, dan Kolmogorov smirnov. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stunting dan perkembangan motorik kasar (p =
0,649),

tidak ada hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik halus (p = 1.000), tidak ada
antara

stunting dengan perkembangan sosial pribadi (p = 1.000), tidak ada hubungan antara stunting dan

perkembangan bahasa (p = 0,998). Kesimpulannya tidak ada hubungan antara status stunting dan

perkembangan anak. Disarankan kepada ibu yang memiliki balita dengan status stunting perlu

memperhatikan perkembangan anak mereka dengan memberikan stimulasi perkembangan pada


anak.

Anda mungkin juga menyukai