Anda di halaman 1dari 2

POLITIK DINASTI BUKAN SEKEDAR ANOMALI DEMOKRASI

Oleh :
Delya Lusiana (Mahasiswi Universitas Padjadjaran)

Majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, dalam pemilihan wali kota Solo
menjadi sorotan publik. Pasalnya, baru kali ini putra dari presiden yang sedang berkuasa ikut
dalam pemilihan kepala daerah. Gibran resmi diusung oleh PDIP sebagai calon wali kota Sol
o yang berpasangan dengan Teguh Prakosa. Akan tetapi, yang paling mencuri perhatian dala
m persoalan ini tercium adanya ‘politik dinasti’.
Politik dinasti digambarkan sebagai kekuasaan yang secara turun temurun hanya berk
utat dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Politik dinasti saat
ini nampaknya sudah menjadi hal yang lumrah dalam perpolitikan bahkan semakin berkemba
ng. Sering sekali kita jumpai seorang kepala daerah yang sudah habis masa periodenya dilanj
utkan oleh keturunannya atau juga saudaranya. Sebenarnya tak ada yang salah dengan hal itu,
hanya saja dalam prakteknya ketika dilaksanakan pemilihan, maka proses nepotisme tidak ak
an bisa dihindari. Seseorang pasti akan menggunakan previlege untuk memuluskan jalan me
mperoleh jabatan. Dia akan menggunakan nama besar keluarganya yang lebih dulu terjun ke
politik untuk mendapatkan suara.
Pada prosesnya, politik dinasti ini akan mempengaruhi jalannya suatu demokrasi dima
na proses yang mestinya demokratis, karena campur tangan pihak yang memiliki kekuasaan,
pengaruh dan infrastruktur politik menjadi modal dasar kemenangan. Sebenarnya dalam dem
okrasi ini munculnya politik dinasti tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Hal itu disampaikan ol
eh akademisi Universitas Gajah Mada yaitu Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun Fisi
p UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (18/12). Kuskrido menyampaikan bahwa Politik Dinasti ti
dak tiba-tiba muncul. Ada kaitannya dengan kartelisasi (oligarki) politik. Jika oligarki politik
dilakukan partai politik, sementara politik dinasti dilakukan pribadi-pribadi. Munculnya politi
k dinasti dapat memudahkan kartel politik bergerak serta langkah kartelisasi partai lebih mud
ah tercapai.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indon
esian Political Review, Ujang Komarudin yang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo se
karang ini tengah berupaya membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi presi
den, sedang memiliki kekuasaan, akhirnya anaknya bisa didorong jadi wali kota. Ia juga meni
lai pencalonan keluarga Presiden di Pilkada berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan
penyalahgunaan wewenang. Sebab, presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memen
angkan anaknya, mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain. B
ahkan, ujang juga mengungkapkan Indonesia saat ini sedang diwarnai fenomena oligarki dan
dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, tetapi juga di tingkat daerah.
Suatu keniscayaan dalam demokrasi, publik akan menjumpai politik oligarki yang dib
angun partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa. Politik di
nasti adalah salah satu hasil mutlak sistem demokrasi. Demokrasi meniscayakan pemenang m
endapat suara terbanyak. Sebab ia memiliki dana besar juga pengaruh jabatan yang sedang ia
pegang. Politik dinasti yang terus terjadi bukan sekadar anomali dari praktik demokrasi. Ia ju
ga muncul dari beberapa sebab, yaitu adanya keinginan untuk memegang kekuasaan, adanya
kelompok terorganisir, yaitu kesepakatan dalam kelompok yang membentuk penguasa kelom
pok dan pengikut kelompok, serta adanya penguasa dan pengusaha yang saling berkolaborasi
yang mengakibatkan terjadinya korupsi.
Jadi, apa akibatnya jika dinasti politik ini terus berkembang? Inilah yang dikhawatirka
n. Korupsi sumber daya alam dan lingkungan kian marak, kebocoran sumber-sumber pendap
atan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN dan sebagainya. Dampak lain dari politi
k dinasti juga adalah melahirkan kebijakan-kebijakan kompromi sekelompok orang tertentu t
anpa dikompromikan di ruang publik. Seperti inilah kecacatan sistem demokrasi.
Islam mengajarkan pemimpinan ditujukan untuk menegakkan agama dengan melaksa
nakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat. Menjadi penting bagi Islam untuk me
milih memimpin yang sesuai dengan syarat yang disyariatkan serta mendapat dukung penuh
umat. Bukan dengan penunjukkan yang sifatnya turun menurun, melainkan umat memahami
benar pada seorang pemimpin terdapat ketakwaan serta kapasitas menjalankan seluruh perint
ah syariat. Dalam Islam, syarat seorang pemimpin itu harus memiliki ilmu pengetahuan, buka
n saja piawai dalam mengatur urusan negara tapi juga berpengetahuan luas tentang agama. Se
lanjutnya, kandidat seorang pemimpin adalah seorang yang adil, menjalankan amanah kepe
mimpinan dengan baik, dan tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia. Untuk menemukan s
osok pemimpin yang dilihat pertama kali bukan faktor dari keturunannya, tapi harus diperhati
kan pula tentang kecakapan dan kepantasan menjadi seorang pemimpin.

Anda mungkin juga menyukai