Anda di halaman 1dari 17

TEORI REALITAS

Kelompok 2 :
1. Fransiska Disa Desiana ( 1753052009 )
2. Miranda Putri ( 1713052041 )
3. Sindika Dwi Putri ( 1713052001 )
4. Yuli Hasanah ( 1713052021 )
5. M. Akbar A.Sanusi Al Hanif ( 1753052003 )

Program Studi : Bimbingan dan Konseling


Mata Kuliah : Mikro Konseling
Dosen Pengampu : Mujiyati, S.Pd., M.Pd.

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNUVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat
menyelesaikan makalah kelompok berjudul “Realitas” dengan tepat waktu.

Pada awalnya terdapat beberapa kesulitan dan hambatan yang kami dapat
dalam penulisan makalah ini, namun berkat kehendak Tuhan Yang Maha Esa dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya kami mampu menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dalam  rangka memenuhi salah satu  tugas mata
pelajaran Mikro Konseling. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca yang membutuhkannya.
Kami sangat sadar bahwa didalam makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan kekurangan baik dari kuantitas maupun kualitas. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kepada semua
pihak yang telah membacanya. Atas kritik dan saran para pembaca kami ucapkan
terima kasih.

Bandar Lampung, April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................. 1

BAB II ISI LAPORAN

2.1 Asumsi Dasar Manusia......................................................................... 3


2.2 Asumsi Perilaku Bermasalah......................................................... 4
2.3 Karakteristik Konseli dan Konselor...................................................... 5
2.4 Tujuan Konseling.................................................................................. 7
2.5 Prosedur Konseling .............................................................................. 7
2.6 Teknik-Teknik Konseling..................................................................... 10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang penuh dengan masalah. Tiada seorang pun
hidup di dunia ini tanpa suatu masalah, baik dengan diri sendiri maupun orang
lain. Manusia yang baik adalah manusia yang mampu keluar dari setiap
permasalahan hidupnya. Manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan realitas
yang ada dan memiliki identitas adalah manusia yang dapat berkembang dengan
baik dan sehat. Untuk membantu manusia keluar dari masalahnya dan
memperoleh identitas diperlukan suatu terapi.
Di balik semua itu, banyak manusia yang masih belum mencapai identitas
keberhasilannya. Mereka masih belum dapat mencapai kebutuhan dasar
psikologisnya, yaitu kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan
untuk merasakan bahwa Ia berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang menjadi asumsi dasar manusia?
2. Bagaimana rincian gejala perilaku bermasalah teori ini?
3. Bagaimana karakteristik konseli dan konselor?
4. Apa saja tujuan dari konseling realitas?
5. Bagaimana prosedur konseling realitas?
6. Bagaimana teknik-teknik dalam konseling realitas?

1.3 Tujuan
1. Pembaca menjadi paham apa asumsi dasar manusia realitas
2. Pembaca mengetahui dan memahami karakteristik konseli dan konselor
3. Pembaca mengetahui tujuan dari konseling realitas

1
4. Pembaca mengetahui dan memahami prosedur dan teknik konseling
realitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asumsi Dasar Manusia

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dasar


dan dalam kehidupannya mereka berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan bertahan hidup (survival),
mencintai dan dicintai (love and belonging), kekuasaan atau prestasi (power or
achievement), kebebasan atau kemerdekaan (freedom or independence), dan
kesenangan (fun) (Corey, 2005). Glesser (2000) meyakini bahwa di antara
kebutuhan dasar tersebut kebutuhan mencintai dan dicintai merupakan yang utama
dan paling sukar pemenuhannya.
Keberhasilan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akan
memberikan identitas berhasil pada dirinya, sedangkan kegagalan akan
pemenuhan kebutuhan dasar menyebabkan individu mengembangkan identitas
gagal (Rasjidan, 1994). Individu yang memiliki identitas berhasil akan
menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip 3 R, yaitu right, responsibility,
dan reality (Ramli, 1994). Right merupakan nilai atau norma patokan sebagai
pembanding untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah.
Responsibility merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu
untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku.
Individu, dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara langsung. Individu berusaha melakukan sesuatu yang dapat
membuat mereka merasa nyaman. Hal ini yang disebut “kehidupan yang
berkualitas” (quality world). Dunia yang berkualitas merupakan “surga pribadi”
yang diharapkan setiap individu. Jadi bisa diartikan Quality World adalah cara
pandang yang unik untuk memenuhi kebutuhan. Kehidupan yang berkualitas
didasarkan atas kebutuhan dasar, tetapi dunia yang berkualitas berbeda dengan
kebutuhan. Dunia yang berkualitas bersifat umum, sedangkan dunia yang
berkualitas bersifat khusus. Agar individu dapat memperoleh dunia yang

3
berkualitas dengan baik maka individu harus berhubugan dengan orang lain; yakni
orang-orang yang dekat dengan kita dan nyaman bila didekatnya. Ada dua pokok
inti dalam konseling realitas yang dijadikan sebagai titik tolak kegiatn pada
konseling Realitas dalam menganalisis masalah-masalah klein, antara lain :
1. Right : adalah kebenaran dari tingkah laku seseorang dengan standar norma
yang berlaku baik itu norma agama, hukum, dan lain-lain.
2. Reality : adalah kenyataan, yaitu individu bertingkah laku sesuai dengan
kenyataan yang ada.
3. Responbility : adalah bertanggung jawab, yaitu tingkah laku dalam
memenuhi kebutuhan dengan menggunakan cara yang tidak merugikan
orang lain.

2.2 Asumsi Dasar Perilaku Bermasalah

Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu


itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas
lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak
tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan
karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya
kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu
sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya,
tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.

Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia


dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan
istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan,
penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak
bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.

Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu
para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang
mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk
merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring
lain”.

4
Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu
“kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas
keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas.
Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa
mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa
mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah
laku.

Maka jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat


deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia
adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa
masing-masing orang memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-
konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang
ditetapkannya.

2.3 Karakteristik Konseli dan Konselor

Bebarapa karakteristik yang mendasari pelaksanaan konseling Realita yaitu:

1) Penekanan pada pilihan dan tangung jawab

Konselor realita menekankan pada pentingnya pilihan dan tangung jawab individu
dalam berperilaku. Karena individu memilih apa yang ia lakukan berarti bahwa
individu tersebut hendaknya bertangung jawab terhadap perilaku yang dipilihnya.
Untuk itu konselor hendaknya membantu individu menyadari adanya fakta bahwa
individu tersebut bertangung jawab terhadap apa yang dilakukanya.

2) Penolakan terhadap transferensi

Konselor realita berupaya menjadi dirinya sendiri dalam proses konseling. Untuk
itu, ia dapat mengunakan hubungan untuk mengajar para konseli bagaima
berinteraksi dengan orang lain dalam hidup mereka. Transferensi merupakan cara
konselor dan konseli menghindar untuk menjadi diri mereka sendiri dan memiliki
apa yang dikerjakan saat ini. Hal tersebut tidak realistis bagi konselor untuk
menjadi orang lain dan bukan menjadi dirinya sendiri.

5
3) Penekanan konseling pada saat sekarang

Beberapa konseli datang ke konseling yakin bahwa masalahnya berawal dari masa
lalu dan mereka harus merevisi masa lalu tersebut agar mereka dapat terbantu
melalui konseling. Glasser menyakini bahwa kita adalah produk dari masa lalu
tetapi kita bukan korban masa lalu kecuali kita memilih untuk menjadi korban
masa lalu tersebut. Glasser tidak menyetujui pandangan bahwa kita harus
memahami dan merevisi masa lalu agar dapat berfungsi dengan baik saat ini.
Menurutnya, kesalahan apapun yang dibuat pada masa lalu tidaklah berhubungan
dengan masa sekarang. Kita dapat memuaskan kebutuhan kita pada saat sekarang.
Walaupun demikian konseling realita tidak menolak sepenuhnya masa lalu. Jika
konseli ingin bicara tentang keberhasilan masa lalunya atau hubungan yang baik
pada masa lalu, konselor akan mendengarkan karena hal tersebut mungkin diulang
pada masa sekarang. Konselor akan mengunakan waktu hanya secukupnya bagi
kegagalan masa lalu konseli untuk menyakinkan para konseli bahwa konselor
tidak menolajk mereka.

4) Penghindaran dari pemusatan perilaku bermasalah

Pemusatan pada gejala-gejala perilaku bermasalah akan melindungi konseli dari


kenyataan hubungan saat ini yang tidak memuaskan. Oleh kerena itu konselor
realita meluangkan waktu sesedikit mungkin terhadap gejala-gejala perilaku
bermasalah tersebut karena hal tersebut hanya berlangsung selama gejala-gejala
tersebut diperlukan untuk menangani hubungan yang tidak memuaskan atau
ketidakpuasan pemenuhan kebutuhan dasar.

5) Penentangan pandangan tradisional tentang penyakit mental

Konselor realita menolak pandangan tradisional bahwa orang yang memiliki


gejala masalah fisik dan psikologis adalah orang sakit secara mental. Glasser
memperingatkan orang-orang untuk berhati-hati terhadap psikiatri yang dapat
membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental. Disamping itu, ia mengkritik
penetapan psikiatrik yang banyak bersandar pada klasifikasi dan statistik ganguan
mental untuk diagnosis dan pemberian bantuanya.

6
2.4 Tujuan Konseling

Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan


(connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain yang
mereka pilih untuk mendasari kualitas hidupnya. Di samping itu, konseling
realitas juga bertujuan untuk membantu klien belajar memenuhi kebutuhannya
dengan cara yang lebih baik, yang meliputi kebutuhan mencintai dan dicintai,
kekuasaan atau berprestasi, kebebasan atau independensi, serta kebutuhan untuk
senang. Sehingga mereka mampu mengembangkan identitas berhasil.

Tujuan konseling realitas adalah sebagai berikut :

1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat


menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala
resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam
perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian
yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya
keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.

2.5 Prosedur Konseling

Prosedur dalam konseling realitas ada delapan yaitu sebagai berikut:

1. Berfokus Pada Personal

Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada


klien. Perhatian itu ditandai oleh hubungan hangat dan pemahamannya ini
merupakan kunci keberhasilan konseling. Glasser beranggapan perlunya
keterlibatan (involvement) yang maknanya sama dengan empati dalam pengertian

7
yang dikemukakan Rogers. Keterlibatan yang dicapai konselor dapat menjadi
fungsi kebebasan, tanggung jawab dan otonomi pada klien.

2. Berfokus Pada Perilaku

Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap.
Hal ini menurut Glasser karena perilaku dapat diubah dan dapat dengan mudah
dikendalikan jika dibandingkan dengan perasaan atau sikap. Konselor dapat
meminta klien untuk “merasa yang lebih baik”. Melakukan yang lebih baik pada
akhinya akan dapat merasakan yang lebih baik. Antara perasaan (feeling) dengan
perilaku pada dasarnya memiliki hubungan.

3. Berfokus Pada Saat Ini

Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lau klien. Masa
lalu tidak dapat diubah dan membuat klien tidak bertanggung jawab terhadap
pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya, hal ini sejalan dengan
tujuan konseling Glasser ada tiga tahap, yaitu membantu klien (1) melihat
perilakunya (yang terakhir) adalah yang tidak realistik (2) menolak perilaku klien
yang tidak bertanggung jawab (3) mengajarkan cara yang terbaik menemukan
kebutuhan dalam dunia riil.

4. Pertimbangan Nilai

Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan


nilai. Klien perlua menilai kualitasperilakunya sendiri apakah perilakunya itu
bertanggung jawab, rasional, realitas dan benar atau justru sebaliknya. Penilaian
perilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif atau mencapai keberhasilan.

5. Pentingnya Perencanaan

Kesadaran klien tentang perilakunya yang tidak bertanggung jawab harus


dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang
bertanggung jawab. Konseling realitas beranggapan konseling harus mampu
menyusun rencana-rencana yang realistik memiliki identitas keberhasilan. Untuk

8
mencapai hal ini konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh
pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.

6. Komitmen

Perencanaan saja tidak cukup. Perencanaan tidak akan mampu mengubah


keadaan perilaku yang tidak bertanggung jawab. Klien harus memiliki komitmen
atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen ditunjukkan dengan
ketersediaan klien sekaligus secara riil melakukan apa yang direncanakan.
Konselor terus meyakinkanklien bahwa kepuasan atau kebahagiaannya sangat
ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.

7. Tidak Menerima Dalih

Adakalanya rencana yang telah disusun dan telah ada komitmen klien
untuk melaksanakan, tetapi tidak dapat dilaksanakan atau mengalami kegagalan.
Ketika klien melaporkan alasan-alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor
menolak menerima alasan-alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor menolak
menerima dalih atau alasan-alasan yang dikemukakan klien. Justru saat itu
konselor perlu membuat rencana dan membuat komitmen baru untuk melasanakan
upaya lebih lanjut. Konselor tidak perlu menanyakan alasan-alasan mengapa tidak
dilaksanakan atau mengapa kegagalan itu terjadi. Yang lebih penting bagi
konselor adalah mena-nyakan apa rencana lebih lanjut dan kapan mulai
melaksanannya.

8. Menghilangkan Hukuman

Hukuman harus ditiadakan. Konseling realitas tidak memperlakukan


hukuman sebagai teknik pengubah perilaku. Hukuman menurut Glasser tidak
efektif dan justru memperburuk hubungan konseling. Hukuman yang biasanya
dilakukan dengan kata-kata yang mencela dan menyakitkan hati klien harus
dihilangkan, setidaknya dalam hubungan konseling. Glasser menganjurkan agar
klien tidak dihukum dalam bentuk apa pun dan dibiarkan belajar mendapatkan
konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.

9
Peranan Konselor dalam Konseling realitas didasarkan pada antisipasi
bahwa klien menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab ini akan
membantu klien untuk mencapainya sendiri. Konslor dapat memberikan
dorongan, dengan jalan memuji klien ketikan melakukannya jika klien tidak
melakukannya.

Munculnya pendekatan sangat dipengaruhi oleh pengalaman Glasser yang


bekerja di sekolah anak-anak wanita di Amerika. Glasser menaruh perhatian
mengenai cara belajar klien dan masalah-masalah perilaku sambil dia bekerja
dengan anak-anak yang memiliki penyimpanan perilaku, yaitu di Ventura Shool
for Girls of California Youth Authority. Dia selalu mencatat sejarah umum
kegagalan dan kesalahans sekolah anak wanita itu, selama mendapatkan
kepercayaan untuk menjadi konsultan sekolah itu. Glasser kemudian
mengembangkan konsep konseling untuk memecahkan masalah para siswanya,
yang kemudian dijelaskan dalam bukunya Reality Therapy.

2.6 Teknik-Teknik Konseling

Berikut ini langkah-langkah yang ditempuh dalam realitas yaitu:

1. Menciptakan hubungan kerja dengan klien


2. Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya
dan melakukan transferensi.
3. Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
4. Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
5. Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
6. Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
7. Menutup wawancara konseling

Teknik Konseling dalam realitas

Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Dalam
membantu klien dalam menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa
menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :

10
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien
2. Menggunakan humor
3. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun
4. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi
tindakan
5. Bertindak sebagai model dan guru
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
7. Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk
mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis;
8. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang
lebih efektif.

Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah teknik yang secara umum


diterima oleh pendekatan-pendekatan terapi lain. Pempraktek terapi realitas
berusaha membangun kerja sama dengan para klien untuk membantu mereka
dalam mencapai tujuan-tujuannya. Teknik-teknik diagnostik tidak menjadi bagian
dari terapi realitas. Teknik-teknik lain yang tidak digunakan adalah penafsiran,
pemahaman, wawancara-wawancara non direktif, sikap diam yang
berkepanjangan, asosiasi bebas, analisis transferensi dan resistensi, dan analisis
mimpi.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konseling realita (reality counseling atau reality therapy) dikembangkan
oleh William Glasser pada tahun 1960-an sebagai reaksi penolakan terhadap
konsep-konsep dalam konseling psikoanalisa. Glasser memandang Psikoanalisa
sebagai suatu model perlakuan yang kurang memuaskan, kurang efektif, dan oleh
karena itu ia termotivasi untuk memodifikasi konsep-konsep psikoanalisa dan
mengembangkan pemikirannya sendiri berdasarkan pengalaman hidup dan
pengalaman klinisnya.

Manusia digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang asalnya bersifat


genetik. Semua prilaku manusia mempresentasikan upaya untuk mengontrol dunia
agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan sebaik-baiknya. Orang tidak
pernah terbebas dari kebutuhan-kebutuhannya dan, begitu terpenuhi, muncul
kebutuhan lain. 

12
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. Teori Dan Praktek Konseling & Psikoterapi. 2010. Refika Aditama
Hansen, James C. Richard R. Stevic, dan Richard W. Warner, Jr. 1982.
Counseling: Theory and Process. Boston; allyn and Bacon. Inc.
Prayitno. 1998. Konseling Panca Waskita, PSBK. FIP IKIP Padang
Pujosuwartno, Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan Dalam Konseling. Yogyakarta
: Menara mas Offset.

13

Anda mungkin juga menyukai