Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum & Kebijakan Lingkungan
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Jacob Manusawai, MH
Disusun Oleh :
1. Agustina A.Y.Kambuaya (NIM. 202002009)
Asal Instansi: Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Maybrat
2. Yeddi Aprian Syakh (NIM. 202002010)
Asal Instansi: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat
3. Mugiyono (NIM. 202002038)
Asal Instansi: DPRD Provinsi Papua Barat
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan ke hadapan-Nya, karena dengan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat
menyusun makalah ini dengan maksimal secara berkelompok sehingga makalah ini dapat
terselesaikan pada waktunya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah kami masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami akan menerima kritik dan saran dari pembaca dengan tangan
terbuka, agar kami dapat memperbaiki kekurangan tersebut.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ........................................................................................ 2
2. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
3. Maksud dan Tujuan ................................................................................ 3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Terminologi hukum positif seringkali dipahami secara berbeda-beda diantara
para teoritisi ataupun para praktisi hukum. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh adanya
pemahaman yang kurang lengkap terhadap pengertian terminologi hukum positif itu
sendiri.
Umumnya ketika mendengar terminologi hukum positif, diantara penstudi ilmu
hukum lazimnya tanpa berpikir panjang mereka akan langsung memaknai hukum positif
dengan sebuah pengertian, yakni hukum yang berlaku saat ini. Pengertian ini memang tidak
salah, namun juga tidak benar, lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai kurang tepat.
Pengertian ini secara teoritik serta merta memang dapat dibenarkan dan juga dapat
disalahkan, atau dalam istilah yang bebreda, bahwa pendapat ini dapat dikatakan setengah
benar dan setengah salah, dalam artian benarnya tidak mutlak, salahnya pun juga tidak
total.
Namun menyama-artikan hukum positif dengan hukum yang berlaku saat ini
adalah sebuah kekeliruan, sebab kedua terminologi ini memiliki definisi dan pengertiannya
masing-masing. Hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan yang
memiliki otoritas membentuk hukum, dan menghendaki adanya formalitas tertentu,
sedangkan hukum yang berlaku saat ini justru lebih luas pengertiannya, karena di dalamnya
mencakup hukum positif, dan juga hukum yang tidak dipositifkan, seperti misalnya hukum
adat dan hukum kebiasaan. Dalam penerapan hukum positif, sering ditemukan adanya
kekosongan norma, ketidakjelasan norma (norma samar), konflik norma, dan adakalanya
norma-norma yang sudah usang. Norma-norma ini pada akhirnya akan menimbulkan
diskresi yang dapat memicu penyalahgunaan wewenang bagi para pengambil keputusan.
Masing-masing problem penerapan norma tersebut telah disediakan metode penyelesaian
teoritiknya.
Dari gambaran di atas, ada hal yang perlu dikemukakan, bahwa terlepas dari
bobot kebenaran atau kesalahan terhadap pengertian hukum positif, kesalahpahaman
pengertian ini sebenarnya berawal mula dari pendapat Algra K dan Van Duijvendik, yang
menyamakan terminologi positive recht dengan gelding van recht. Dalam hal ini, positive
recht diartikan sebagai hukum positif, sedangkan gelding van recht diartikan sebagai
2
hukum yang berlaku saat ini. Pengertian inilah yang kemudian diikuti secara turun temurun
hingga saat ini tanpa melakukan klarifikasi lebih jauh terhadap pengertian kedua
terminologi ini. Oleh karena itu, makalah ini diharapkan kiranya dapat membantu
memberikan pencerahan terhadap pengertian dua terminologi yang berbeda namun
kerapkali disamakan satu sama lain, yakni positive recht sebagai hukum positif, dan
gelding van recht sebagai hukum yang berlaku saat ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Hukum Positif (positive recht) kerapkali didefinisikan dan disama-artikan sebagai
hukum yang berlaku saat ini (gelding van recht), padahal keduanya memiliki
pengertian yang berbeda.
2. Lantas apa pengertian dari Hukum Positif itu?
3. Dan apa pula pengertian dari Hukum Yang Berlaku Saat ini?
4. Kemudian apa saja yang menjadi Sumber-Sumber Hukum Positif di Indonesia?
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.C.L, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), (Yogyakarta: UII
Press,2004), hal. 1 dan hal. 13.
https://books.google.co.id/books?id=px1mDwAAQBAJ&pg=PA7&dq=hukum+positif+indonesia+bagir+manan&
hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwi5-
Mm59YbsAhVIfisKHSusBgkQ6AEwAnoECAMQAg#v=onepage&q=hukum%20positif%20indonesia%20bagir%20
manan&f=false
2
John Austin, The Province of Jurisprudence, London, 1832,
https://books.google.co.id/books?id=yjXxxaeudhoC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&
cad=0#v=onepage&q&f=false
4
merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau
memiliki kedaulatan. Hukum dianggap sebagai sistem norma yang logis dan
bersifat tertutup (closed logical system).
John Austin juga menegaskan bahwa setiap hukum atau peraturan adalah
perintah, atau lebih tepatnya hukum atau peraturan adalah spesies dari perintah -
perintah. Perintah adalah suatu pernyataan kehendak dari individu yang ditujukan
kepada individu lainnya. Dalam pengertian yang demikian , hukum positif
mewujudkan diri dalam keputusan -keputusan dari lembaga-lembaga atau badan-
badan yang memang memiliki otoritas untuk membentuk hukum.
Sedangkan J.J.H. Bruggink 3, menyampaikan pendapatnya terkait hukum
positif sebagai produk hukum dari orang-orang yang berwenang untuk membuat
hukum, mengenai orang-orang yang berwenang adalah para Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara, termasuk di dalamnya badan pembentuk undang -undang (legislatif),
badan kehakiman (yudikatif), dan badan pemerintahan (eksekutif).
Berdasarkan paparan di atas, maka untuk disebut hukum positif, diperlukan
adanya lembaga pembentuk formal, mekanisme (prosedur) pembentukan secara
formal, dan juga memiliki bentuk formal tertentu. Untuk dapat disebut sebagai
hukum positif, norma hukum itu harus berisikan perintah dan larangan dari pihak
yang berwenang. Esensi hukum positif adalah “perintah” dari penguasa yang
berwenang, menyebabkan teori John Austin dikenal dengan teori perintah ( the
command tehory of law).
Secara acontrario, jika sebuah norma tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka tidak dapat dikategorikan sebagai norma hukum positif, melainkan
hanya sekadar moralitas positif masyarakat atau hanya sekedar aturan moral
masyarakat semata. Pentaatan norma hukum positif dilakukan oleh kekuata n
eksternal yaitu oleh lembaga/badan/organ yang diberi kewenangan untuk
memaksakan berlakunya hukum positif melalui penjatuhan sanksi hukum.
Sedangkan pada norma moral pentaatannya lebih bersifat internal, yaitu bersumber
pada kekuatan dorongan nurani seti ap individu untuk mentaati aturan-aturan moral
tersebut.
3
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, ed. by Alih Bahasa Arief Sidarta (Bandung: Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1998) dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 2, Edisi Agustus 2019 – Januari 2020.
5
2.2 Lalu Apa Itu Hukum Yang Berlaku Saat Ini (Gelding van recht)
6
produk hukum yang bersifat umum, seperti u ndang-undang, sebab putusan hakim
itu mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit.
Putusan hakim yang menjadi yurisprudensi, sekaligus memiliki dua fungsi, di
samping menyelesaikan peristiwa hukum konkrit dalam masyarakat, juga berfu ngsi
untuk memenuhi kebutuhan hukum mayarakat serta merupakan petunjuk sejauh
mana hukum telah berkembang. Sehubungan dengan fungsinya yang demikian,
maka hakim pun dalam perkembangannya juga memposisikan diri sebagai
pembentuk hukum.
Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita
dapat menemukan atau menggali hukum. Sudikno Mertokusumo 4 memberikan
pengertian terkait terminologi “sumber hukum” dalam beberapa arti sebagai
berikut: (a) sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya ; (b)
menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan -bahan hukum yang sekarang
berlaku; (c) sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara
formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat) ; (d) sebagai sumber dari
mana dapat mengenal hukum misalnya dokumen, undang -undang dan sebagainya;
dan (e) sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.
Sudikno Mertokusumo membagi sumber hukum ini menjadi sumber hukum
materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat dari
mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum, misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik,
situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah
(kriminologi, lalu lintas), perkembangan internasional, keadaan geografis. Sedangkan sumber
hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.
4
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hlm. 82.
https://books.google.co.id/books?id=piBEtwAACAAJ&dq=Sudikno+Mertokusumo+Mengenal+Hukum&hl=id&sa
=X&ved=2ahUKEwjY8uqsgofsAhX0Q3wKHViOAD4Q6AEwAHoECAEQAQ
7
Sudikno Mertokusumo juga menyebutkan bahwa dalam konteks sumber
hukum formil, yang menjadi sumber-sumber hukum positif diantaranya adalah
sebagai berikut:
a) Undang-Undang
Dalam arti materiil, yang dinamakan undang-undang merupakan keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya undang-undang dan mengikat setiap orang
secara umum. Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari
bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi, undang-undang dalam arti formil
tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “undang-undang”
karena cara pembentukannya.
Undang-undang itu bersifat umum karena mengikat setiap orang dan merupakan
produk lembaga legislatif. Undang-undang terdiri dari dua bagian yaitu; 1) Konsiderans,
yang berisi pertimbangan-pertimbangan mengapa undang-undang itu dibuat; dan 2)
Undang-Undang, yang berisi diktum atau amar. Di dalam amar inilah terdapat isi atau pasal-
pasal undang-undang.
8
c) Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional atau treaty merupakan sumber hukum dalam arti formal,
karena harus memenuhi persyaratan formal tertentu untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional. Lazimnya, perjanjian internasional atau perjanjian antar negara memuat
peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum.
d) Yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak), yaitu
pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu
badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau
siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi
kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau
terhukum. Bedanya dengan undang-undang, keputusan pengadilan bersifat konkrit karena
mengikat orang-orang tertentu saja, maka undang-undang berisi peraturan-peraturan yang
bersifat abstrak atau umum karena mengikat setiap orang.
e) Doktrin
Undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi adalah sumber hukum.
Tidak mustahil ketiga sumber hukum itu tidak dapat memberi semua jawaban mengenai
hukumnya, maka hukumnya dicari dari pendapat-pendapat para sarjana hukum atau ilmu
hukum.
Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum,
tempat hakim dapat menemukan hukum dari satu perkara. Ilmu hukum adalah sumber
hukum tetapi bukan hukum karena tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum.
9
BAB III
PENUTUP
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.C.L, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik),
(Yogyakarta: UII Press,2004), hal. 1 dan hal. 13.
https://books.google.co.id/books?id=px1mDwAAQBAJ&pg=PA7&dq=hukum+positi
f+indonesia+bagir+manan&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwi5-
Mm59YbsAhVIfisKHSusBgkQ6AEwAnoECAMQAg#v=onepage&q=hukum%20pos
itif%20indonesia%20bagir%20manan&f=false
2. John Austin, The Province of Jurisprudence, London, 1832,
https://books.google.co.id/books?id=yjXxxaeudhoC&printsec=frontcover&hl=id&source
=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.
3. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 2, Edisi Agustus 2019 – Januari 2020.
4. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2005), hlm. 82.
https://books.google.co.id/books?id=piBEtwAACAAJ&dq=Sudikno+Mertokusumo+Me
ngenal+Hukum&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjY8uqsgofsAhX0Q3wKHViOAD4Q6AE
wAHoECAEQAQ
5. https://hukamnas.com/apa-itu-hukum-positif
6. http://www.pa-cimahi.go.id/tentang-pengadian/peraturan-dan-kebijakan/yurisprudensi
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Doktrin
11