“PARENTERAL”
Oleh :
ANJELI KHAIRUNNISA
BP. 1701106
Kelas : 6B
PADANG
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “SISTEM PENGHANTARAN OBAT PARENTERAL” ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Sistem Penghantaran Obat. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Sistem Penghantaran Obat
Parenteral bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu HENNI ROSAINI,S.Si,
Anjeli Khairunnisa
ii
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................2
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan
steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan
atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan
dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput
lendir. Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik.
Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang
diinjeksikan atau disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam
kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan parenteral memasuki
pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran
mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan bahan-bahan beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat
diterima.
1
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang
berarti disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi dari sediaan parenteral.
2. Mengetahui bagaimana sejarah dari sediaan parenteral.
3. Mengetahui pembagian dan cara penggunaan masing- masing sediaan
parenteral.
4. Mengetahui apa saja syarat- syarat sediaan parenteral.
2
5. Mengetahui macam- macam bentuk sediaan parenteral konvensional.
6. Mengetahui apa alasan dan tujuan pengembangan sediaan parenteral.
7. Mengetahui apa saja bentuk sediaan parenteral yang dimodifikasi dan cara
penggunaannya.
8. Mengetahui apa saja keuntungan dan kelemahan bentuk konvensional dan
modifikasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tahun 1616, William Harvey, seorang dokter dan ahli fisiologis Inggris
mendeskripsikan tentang sirkulasi darah dalam tubuh manusia. Harvey
berkeyakinan bahwa kematian akibat gigitan ular beracun terjadi krn racun
daibsorpsi melalui vena dan disirkulasikan ke tubuh. Tahun 1665, Sir
Christoper Wren berhasil menidurkan anjing dengan cara menyuntikkan
opium ke dalam (melalui) vena kaki belakang dengan bantuan jarum (dari
bulu angsa) yang disambungkan pada kantong kemih (bladder) hewan.
Prosedur ini selanjutnya dicobakan pula ke manusia. Tahun 1836, Lafarque,
seorang ahli bedah Peracis merobek kulit dengan piasau bedah kecil yang
telah direndam dalam larutan morfin untuk pengobatan neuralgia. Tahun
1853, Gabriel Pravaz, seorang ahli bedah dari Pereancis memperkenalkan alat
suntik berpepncebur (plunger). Bentuk alat suntik ini banyak digunakan.
Tahun 1860, Pengobatan secara subkutan telah dipraktekkan walaupun
dengan jumlah obat yang masih terbatas. Tahun 1880, dokter mempraktekkan
secara luas pembuatan larutan injeksi dari tablet triturasi pada saat akan
disuntikkan. Tahun 1890-an pustaka bidang kedokteran mengemukakan
pentingnya mensterilkan, baik alat suntik maupun larutan obat. Dengan
kemajuan berupa penemuan saringan (filter) bakteri, maka secara bertahap hal
ini memberikan kontribusi pada perkembangan pengobatan secara parenteral.
Lalu, Stanislaus Limausin, seorang farmasis Perancis mengembangkan
kontener untuk penyimpanan larutan steril, dan menamakannya ampoule
(ampul). Kontener gelas tersebut mempunyai leher panjang yang ujungnya
terbuka. Abad ke 20, Ehrlich berhasil mensintesis arsfenamin dan hal ini
secara dramatis memacu perkembangan terapi parenteral. Reaksi piretik
(kenaikan suhu tubuh) berlanjut dan terkait dengan pemberian obat secara
4
parenteral. Tahun 1911, Florence Seibert membuktikan bahwa sumber rekasi
piretik berasal dari air yang digunakan untuk pembuatan larutan, Karena air
tidak di destilasi dan disimpan secara biak serta engandung pirogen yang
merupakan hasil metabolism mikroorganisme. Zat ini yang merupakan
penyebab reaksi demam pada pasien yang menerima injeksi secara parenteral.
Tahun 1923, Kausch menggagas injeksi glukosa secara intravena. Sesudah
ditemukan air bebas pirogen baru digunakan secara luas untuk pembuatan
larutan isotonis dan sebagai sumber kalori. Tahun, 1926, monografi resmi
pertama dari larutan injeksi tampil dalam monografi National Formulary V
(NF V) Amerika dengan judul “ampuls”.
5
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk
mendapatkan efek segera. Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml
hingga 100 ml, bahkan untuk infus dapat lebih besar dari 100 ml.
5. Rute Peritoneal
6. Rute Intratekal
Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal
atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke dalam daerah
yang berkenaan langsung pada SSP.
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan
pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama
penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan
sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahn
obat dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis, yaitu tekanan osmosis larutan sama dengan tekanan osmosis cairan
tubuh. Di luar isotonis disebut paratonis, meliputi: hipotonis dan hipertonis.
7. Isohidris, yaitu pH larutan sama dengan pH darah. Kalau bisa pH sama
dengan pH darah, tapi tidak selalu, tergantung pada stabilitas obat.
8. Bebas partikel melayang
2.5 Bentuk sediaan parenteral konvensional
Beberapa sediaan parenteral konvensional terbagi dalam 5 kategori umum
(Lecvhuk, 1992) :
1. Infus
Infus adalah produk parenteral yang digunakan untuk injeksi ke dalam
pembuluh darah vena melalui intravena. Infus dikemas dalam wadah Large
Volume Parenteral (LVP) plastic atau gelas yang cocok untuk intravena.
6
Sistem infus menyediakan kecepatan aliran cairan yang terus menerus dan
teratur. Infus bias diberikan dengan atau tanpa bahan tambahan.
2. Suntikan
Obat suntik atau Small Volume Parenteral (SVP) digunakan untuk pemberian
parenteral. Farmasis rumah sakit biasa terkait dalam penyediaan SVP,
distribusi dan mengontrol produk komersial yang tersedia di rumah sakit dan
penggunaannya sebagai bahan tambahan dalam pembuatan intravena
admixtures.
3. Sediaan Mata
Sediaan mata termasuk larutan atau suspensi steril yang ditujukan untuk
tetesan topical pada mata atau salep untuk diaplikasikan di area mata.
4. Larutan Dialisis dan Irigasi
Produk larutan dialisis dan irigasi harus memenuhi semua syarat standar infus.
Pencampuran sediaan irigasi biasanya dengan antibiotik, kadang- kadang
dilakukan dibagian farmasis.
5. Larutan untuk terapi inhalasi
Sediaan ini digunakan menggunakan respirator atau alat terapi respiratori
lainnya untuk terapi saluran pernafasan.
7
8. Inbalance (cairan badan dan elektrolit). Contoh: muntah berak serius,
sehingga kekurangan elektrolit yang penting dan segera harus
dikembalikan.
9. Efek lokal yang diinginkan. Contoh: anestesi local.
2.6.2 Tujuan
8
Nanosuspensi adalah dispersi koloid submikron partikel obat yang
diproduksi dengan metode yang sesuai dan distabilkan oleh
surfaktan.
b. Nanoemulsion/ microemulsion
Nanoemulsi/ mikroemulsi adalah dispersi dispersi cair dan air
minyak yang dibuat homogen, transparan (atau tembus cahaya)
dan stabil secara termodinamik dengan penambahan sejumlah
besar surfaktan dan co- surfaktan.
c. Partikel nanolipid padat
d. Nanostructured lipid carriers (NLC)
Nanostructured lipid carriers (NLC) adalah minyak yang dimuat
solid- lipid nanopartikel.
e. Lipid drug conjugate (LDC) nanoparticles
c. Microparticles
1. Mikrosfer
Mikrosfer adalah bubuk mengalir bebas yang terdiri dari partikel
berbentuk bola dengan ukuran idealnya kurang dari 125 mikron.
2. Mikrokapsul
d. Released Erythrocytes
2.7.2 IMPLANT
2.7.3 INFUSION DEVICE
a. Sistem pengiriman obat diaktifkan tekanan osmotic
1. ALZET pompa osmotic
2. Implan infus DUROS
Implan osmotik DUROS adalah silinder titanium miniatur yang non
biodegradable yang dimasukkan untuk memungkinkan terapi spesifik
sistemik atau jaringan untuk obat- obatan molekul kecil, peptida,
protein, DNA dan makromolekul bioaktif lainnya.
b. Sistem pengiriman obat diaktifkan tekanan uap
Prinsip perangkat ini bahwa pada suhu tertentu, cairan dalam
kesetimbangan dengan fase uapnya memberikan tekanan konstan yang
tidak tergantung pada volume penutup.
c. Sistem pengiriman obat bertenaga baterai
9
System ini dapat deprogram untuk mengirimkan obat pada tingkat yang
di inginkan.
2.8 Keuntungan dan kelemahan bentuk konvensional dan modifikasi
2.8.1 Keuntungan
1. Respon fisiologis segera.
2. Untuk obat yang tidak efektif jika diberikan secara oral karena obat
mudah rusak akibat sekresi lambung.
3. Dapat digunakan sebagai pengobatan pada pasien yang tidak sadar.
4. Bila dikehendaki efek lokal.
5. Koreksi gangguan kesetimbangan cairan elektrolit (dengan infus).
2.8.2 Kelemahan
1. Pemberian obat harus oleh personal terlatih.
2. Pemberian obat perlu waktu yang lebih lama.
3. Pemberian obat perlu teknik aseptis.
4. Dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi penyuntikan.
5. Sukar menghilangkan efek fisiologis jika obat sudah berada di dalam
sirkulasi sistemik.
6. Harga lebih mahal.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
3. Banyak dilakukan modifikasi yang dapat mengurangi efek- efek yang tidak di
inginkan sehingga di peroleh produk yang aman.
11
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1984. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Halaman 9, 31, 902.
Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi
Kedua, 1091-1098, UI Press, Jakarta.
12